Share

Bab 3: Mulai Terungkap

Angin berembus kencang berlawanan pada arah jalan mereka. Kulit Gasa mendadak terasa dingin juga sangat merinding. Beberapa debu sudah menempati ruang mata gadis itu. Yan yang tak pernah melepaskan pandangannya segera ambil alih ketika melihat 'sesuatu' mencoba mengusik Gasa.

"Menyingkir! Sialan ... masih saja, ya. Dasar kurang kerjaan!" hina Yan menatap tajam ke arah makhluk itu. Tangan kanannya cekatan merangkul Gasa yang hampir tersentuh oleh hantu-hantu sialan itu. Sedangkan tangannya yang lain mendorong jauh makhluk itu. Akan tetapi, sialnya makhluk-makhluk lain ikut membantu makhluk itu. 

"Kenapa? Apa tadi Anda bilang? Kurang kerjaan? Maksud Anda, saya begitu?" tanya Gasa dengan nada suara menginterogasi. Lirikan matanya sungguh tajam. 

Terdengar helaan napas Yan yang kini fokus menatap mata Gasa yang juga menatapnya. "Tutup mata kau. Tahan napas bersama. Ikuti gerakan saya," bisik Yan yang tiba-tiba memerintahnya. Namun, sayangnya wanita itu tak mudah ditaklukkan. Dia malah berteriak histeris. 

Melihat responnya diluar rencana, Yan mengambil alih keputusan secara sepihak. Dia memeluk erat-erat tubuh Gasa dengan mata tertutup rapat dan napas yang terhenti. Gasa tak melakukan perlawanan sedikit pun. Akan tetapi Yan bisa merasakan degupan jantung yang sangat cepat. Dia tidak tahu itu milik siapa. Sekarang ini pikirannya hanya berfokus pada penyelamatannya.

"Pergilah kalian! Sebelum saya murka!!!" perintah Yan dalam hati.

"Hey! Si Gila Yan mulai berlagak! Lihatlah teman-teman! Apa-apaan ini? Ah, gara-gara wanita jelek ini rupanya!" olok salah satu di antara 'mereka' yang mulai menertawakan Yan.

"Berisik! Pergi sana bangsat! Cari mati ya?!!!" gerutu Yan dengan kekuatan batinnya.

Akhirnya 'mereka' benar-benar pergi. Energi negatif di sekitarnya samar-samar menghilang. Helaan napas Yan membuat Gasa tersadar akan situasi bodoh ini.

 Yan tidak sadar kalau sekarang posisi mereka sangat dekat. Alih-alih mengusir makhluk-makhluk biadab itu, sekarang dia lebih terlihat seperti lelaki gila mesum yang sedang mencuri kesempatan dalam kesempitan. Mereka diam membisu, hanya saling memandang. 

"Lepaskan! Dasar aneh!" cemooh Gasa yang memalingkan wajahnya. Mendadak hatinya berdegup kencang. Segelintir perasaan aneh kini menghampirinya.

"Apa, sih?! Tiba-tiba pegang-pegang begitu. Dia beneran punya kelainan, ya?" gerutu batinnya.

"Padahal saya membantunya untuk sehat lagi. Orang ini, menurut buku psikolog yang saya baca. Dia pasti ada kelainan yang harus dibetulkan." Tubuhnya segera dijauhkan dari jangkauan lelaki itu.

"Kau mau bawa saya ke mana?" tanya Yan sedikit membungkuk agar bisa melihat wajah wanita itu.

"Ikut saja. Anda pasti takkan menyesal. Saya yakin Anda membutuhkannya," jelas Gasa melangkah mandiri memimpin arah jalan. Mereka tak lagi berjalan beriringan.

Yan cepat-cepat menyusulnya. "Pacar kau masih marah?" tanya Yan yang setiap saat pindah posisi jalan. Itu dia lakukan karena Gasa yang terus menjauhkan wajahnya dari laki-laki itu. 

"Itu tidak penting! Anda urus diri Anda saja sendiri!" kata Gasa dengan ketus. Terdengar helaan napasnya akibat tingkah laki-laki misterius yang kini harus terlibat dengannya. Bukan pacar, teman juga bukan, tapi entah bagaimana caranya kini mereka bersama.

"Cukup! Bisakah Anda bertindak normal?!" Teriak Gasa yang sekarang wajahnya tidak dialihkan lagi. Lirikan matanya pada Yan sungguh tajam.

"Kau terus memalingkan wajah. Jadi saya pikir kau sengaja ingin mengajak saya bermain petak umpat yang biasa dilakukan manusia," jelas Yan dengan wajah polos.

Kali ini Gasa menghela napas panjang. Dia yakin laki-laki ini pasti bukan manusia normal. Jadi dia takkan menjelaskan apapun dan tetap diam. Caranya berpikirnya saja tidak seperti manusia normal.

"Cepat-cepatlah selesaikan urusan dengannya, deh!" Batinnya kembali bersuara.

"Hah … kenapa dari tadi leher saya tidak berhenti merinding, ya?" ucap Gasa dalam hati seraya mengusap-usap lehernya.

Wanita itu mulai menekan-nekan pelipisnya. Dia benar-benar terlihat kelelahan.

"Pakailah," perintah Yan yang tiba-tiba menyodorkan syal rajut berwarna abu-abu. Gasa menatapnya cukup lama. Sebelum dia mengambil cardigan itu, Yan lebih dulu memakaikannya.

"Dari mana itu? Kok saya nggak lihat Anda membawanya?" tanya Gasa sembari membenarkan posisi syal itu. Sekarang terasa jauh lebih baik. Walaupun udaranya masih dingin, tapi lehernya sudah aman.

Yan tidak menjawabnya. Dia memalingkan wajah persis seperti yang tadi dilakukan Gasa. 

"Itu tidak penting! Anda urus diri Anda saja sendiri!" jawab Yan menirukan gaya Gasa. Hal itu sukses membuat Gasa tercengang.

"Oh, jadi Anda meniru saya?" cibir Gasa tak terima. 

"Tidak, kok." Yan berbicara tanpa ekspresi lagi. Hal itu membuat Gasa semakin malu. Padahal, jelas-jelas tadi lelaki itu menirunya, 'kan?

Sepanjang perjalanan menuju klinik psikologi, tak ada percakapan lagi. Mereka bersikukuh bungkam suara. Berkelana pada pikirannya masing-masing.

***

Untuk pertama kalinya, Yan menjejakkan kaki dalam ruangan yang tertata rapi. Selama ini tempat yang dia kunjungi selalu berpenampilan urakan, penuh debu. Yang dimaksudnya adalah gudang tempat penyekapan musuh.

"Ayo," ajaknya seraya menarik lengan Yan yang setia memperhatikan kondisi ruangan klinik psikologi. Mereka melangkah masuk dalam ruangan yang diberi nama 'Kelainan mental'. Yan tidak tahu itu.

"Sini! Duduklah! Diam dan jawab semua pertanyannya dengan jujur!" perintah Gasa yang kini duduk di sebelahnya. 

"Gasa, kamu yakin lelaki ini punya kelainan mental?" tanya wanita yang pakaiannya seperti dokter menatap Gasa penuh tanda tanya. Sebab kini Yan menunjukkan wajah polosnya.

"Iyalah. Sekarang coba Kak Ajeng periksa dia. Saya yakin, ada sesuatu yang tidak beres dengannya," jelas Gasa dengan percaya diri melipat tangan di dada. Sekilas matanya melirik Yan yang terlihat kebingungan. 

"Baiklah. Kita langsung saja, ya. Atas nama siapa? Sebutkan biodata pribadi Anda, seperti nama, tanggal lahir, alamat rumah," pinta dokter Ajeng S.Psi yang sedang menulis kertas keluhan.

"Nama saya Dacil. Selebihnya, saya tidak tahu," jawab Yan yang semakin membuat kedua wanita itu saling pandang penuh tanda tanya.

"Anu, mas atau pak? Bisakah Anda tidak bercanda? Tolong hargai saya sebagai dokter di sini—" Dokter muda itu tidak melanjutkan ucapannya ketika melihat ada bekas luka gigitan yang masih terlihat jelas di tangan kiri lelaki itu.

"Oh! Ya ampun, Gasa! Bagaimana bisa kamu tidak mengobatinya? Lihat ini! Lukanya keliatan lumayan dalam!" oceh Dokter yang terlihat panik. Tangannya membuka laci meja, dan cepat-cepat dibersihkannya luka itu. 

"Ah, saya tidak tahu. Tapi, luka itu sepertinya baru?" tanya Gasa melirik Yan yang membuang muka lagi. Dia seperti tak acuh pada lukanya sendiri.

"Itu sudah tidak sakit. Jadi lebih baik tidak usah seperti ini. Langsung saja, tiga jam tidak lama, Nona Gasa," kata Yan yang mendadak dingin lagi. Dia memang tak suka terlalu diperhatikan seperti ini. Dia juga melepas perban yang susah payah dibuat dokter muda itu.

"Tuh, 'kan, benar! Dia ini pasti ada yang tidak beres, kak! Masa katanya luka sedalam itu tidak sakit?! Ha … memangnya wajar manusia normal merespon seperti itu?!" protes Gasa yang telah dikuasai emosi. Lagi-lagi lirikannya pada Yan sungguh tajam. Tidak, itu lebih terlihat seperti tatapan penuh curiga.

Alih-alih ikut panik, dokter muda itu malah tersenyum simpul. Lalu tangannya menepuk bahu Gasa seraya berkata, "Kakak lebih setuju kamu sama yang ini. Dia sangat tampan, wajahnya lugu polos seperti bayi tak ada dosa. Kakak yakin pria tampan sudah pasti dianugerahi hati bak malaikat. Dan juga kalian pasti langgeng terus, Gasa. Ngomong-ngomong ini sudah waktunya saya pulang. Permisi, ya." Dokter Ajeng benar-benar pergi setelah melirik jam dinding ruangan itu. Mendadak suasananya jadi canggung lagi.

"Oh, begini. Ini sudah selesai. Jadi Anda boleh kembali ke kafe lagi. Saya juga mau pulang," kata Gasa yang merasa semakin malu karena prediksinya tak membuktikan kebenaran. Baru saja beranjak dari kursi, tangannya sudah ditahan Yan. 

"Makasih sebab sudah sangat perhatian. Saya akan antar Anda." Yan ikut beranjak berdiri.

"Waktu tiga jamnya akan habis kalau anda mengantar saya—" tolak Gasa yang mencoba menolak dengan halus. Lagipula, mereka tidak benar-benar dekat. Untuk apa sampai mengantar ke rumah?

"Tidak apa-apa. Jangan menolak," pinta Yan kemudian menarik lengan wanita itu. Entah kenapa, Gasa tak mampu menolaknya lagi. Seakan-akan ada 'sesuatu' yang mendorongnya untuk menyetujui itu.

"Yan payah sekali! Dia merayu seorang gadis dengan kekuatannya! Oh, sungguh malang sekali! Wajah tampannya tak berguna!" hina salah satu makhluk keparat yang memperhatikan mereka sejak tadi. Yan melirik sinis ke arah 'mereka' yang menertawakannya terbahak-bahak.

"Jika dia nggak ada, kalian sudah saya siksa dari awal!" gerutu Yan dalam hati.

 Dalam perjalanan pulang pun, keduanya hening cipta lagi. Apalagi suasana jalan menuju rumah Gasa sedang sepi-sepinya. Sekilas, Yan bersikap aneh lagi. Seperti meninju angin, menendang seolah-olah ada sesuatu di depannya. Dia benar-benar pantas disebut laki-laki gila. Wanita itu diam saja berusaha pura-pura tak melihatnya. Dia hanya bisa terus berdoa dalam hati, semoga laki-laki ini tak menyakitinya.

"Itu dia! Orang itu yang sudah menolak hati tuan putri! Bunuh dia dan bawa kepalanya untuk tuan putri!" Tiba-tiba beberapa orang bertopeng putih mendekati Yan. Suasananya berubah jadi mencekam. Terdengar helaan napas panjang Yan dan pertengkaran hebat itu pun terjadi. 

"Sialan. Cecenguk-cecenguk ini mengganggu waktu kencan saya saj—" Yan menggetarkan gigi seraya mengepal tangan menahan gelojak emosi meluap-luap "ah! Gila! Saya pasti sudah beneran jadi gila! Saya lagi ngomong apa, sih?!"

BUGH!!!

SRET! SRET!! SRET! SRETTT!!

Dikeluarkan pedang kebanggaannya. Ditarik rambut salah satu anak buah di situ, Yan mulai melakukan tingkah brutalnya. Dia menyayat bagian-bagian favoritnya. Bagian yang dimaksud itu adalah kulit yang tipis, pergelangan tangan, pergelangan kaki, kulit wajah, nadi leher, dan terakhir kulit jari yang mulai meneteskan darah-darah segar. Yan tersenyum lebar menatap darah-darah yang menetes. 

Dilempar sembarangan orang yang sudah sekarat, lalu ditarik lagi satu di antara mereka yang sudah tergeletak tak berdaya namun masih hidup. Perlakuannya selalu sama. Kadang kala, jika darahnya tercium segar di kalangan 'hantu', Yan dengan rakus menjilat sampai pendarahan itu berhenti.

"Ah, sayang sekali. Diantara kalian tidak ada yang berdarah spesial!" kata Yan merengut kecewa. Sesaat kemudian matanya berbinar-binar.

"Tapi, siapa ketua kalian? Jawablah selagi saya belum memotong urat nadi kalian!" perintah Yan tak berhenti menendang-nendang seluruh anak buah yang sudah di 'main' kan olehnya. 

Berjalan menyusuri orang-orang yang sedang sekarat sambil memainkan pisau tajam yang digenggamnya. Sesekali menusuk pada organ-organ penting seperti jantung, urat nadi, dan ginjal. Dia tak benar-benar menusuknya. Pisau itu hanya tertancap setengahnya. Itulah kegemaran Yan. Menyiksa musuh.

"I-itu! Akh!!!" rintih salah satu anak buahnya, menunjuk salah seorang pria kerdil yang sepertinya lebih dulu menemui ajalnya. Yan terkekeh senang, dijambak rambut 'si bos' lalu Yan membisikkan sesuatu yang terdengar begitu menakutkan.

"Sejujurnya saya ingin 'main-main' lebih lama denganmu, Bos! Tapi, sepertinya waktunya sudah telat! Jadi langsung saja, ya, khekhekhe …."

CRAT!!

Awalnya Yan hanya menggorok seperempat dari bagian leher bos itu. Tapi tampaknya Yan ingin sedikit menikmati tugas yang diberikannya. Dia juga sudah lama tidak memenggal kepala orang, semenjak tugas mengungkap kasus sekolah itu diambil alih olehnya ketika tahu lokasi sekolah yang dimaksud adalah sekolah Gasa.

"Aaaakk!!! Akh ...!" rintih bos itu tak berhenti 

"Hey, Pak! Sudah lama tak berjumpa! Apakah ini sesakit yang dulu kau lakukan pada dewi cantikku?" tanya Yan padanya, tak sadar air matanya menetes melambangkan ketakutan di masa lampau.

"Bajingan .... Hahaha, aku sama sekali tak pernah menyesali—" jawaban si bos membuat darah Yan berdesir panas, otaknya tak dapat berpikir jernih lagi. Tangannya bergetar, dengan cepat dilayangkan pisau tajam itu. Dia tak sadar telah ceroboh  mengambil keputusan yang akan menjadi masalah baru untuknya.

 SRASH!!!

Yan menggorok habis leher orang yang disebut 'bos' itu. Dia tertawa cekikikan khas dirinya yang berbeda. Walaupun dia melakukannya dengan sadar, tapi Yan yang satunya tidak pernah menyadari kalau dia adalah seorang pembunuh kejam. 

"Eh! Lihatlah! Yan psikopat sudah kembali!" ejek salah satu makhluk yang tak sengaja melihatnya.

"Wah ... Apa ini? Gila. Benar-benar gila. Kukira kau akan bertarung sekedarnya, Yan. Jadi begini ya? Ternyata kau kembali lagi, ya?" Makhluk lain yang berdatangan mulai menyudutkan Yan yang mulai panik.

"Bangsat! Aku tidak membunuh!!! A-aku, aku bukan pembunuh! Uhuhu ... Bukan! Bukan!!!" sanggah Yan memegangi dengkulnya yang terkulai lemas. Air mata atas kepanikannya mulai berjatuhan. Tangannya bergetar, sekilas dia melirik benda tajam yang telah membuatnya 'kembali' menjadi orang gila brutal seperti dulu.

"Bangsat! Gara-gara benda ini ...." Sesaat kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Sebuah perubahan emosional yang fantastis.

Beberapa saat sebelum itu ….

"Gasa, apa kau bisa pulang sendiri? Saya ingat ada urusan mendadak. Lain kali saya pasti mengantarmu sampai ke depan rumah! Maaf!" kata Yan membungkuk berkali-kali karena merasa bersalah karena tak bisa menepati ucapannya.

"Tidak masalah. Rumah saya hampir sampai," jawab Gasa menunjuk lokasi rumahnya yang hanya kisaran 50 meter lagi. Mereka berpisah di sana. Yan mengira kalau Gasa benar-benar pulang.

***

"Ah, tubuh ini cepat bau!" gumam Yan merubah tubuhnya ke versi dia yang asli. Tubuh Decil sudah dikembalikan ke kafe lagi bersamaan dengan rohnya.

"Di mana rumah Gasa, ya?" monolognya sambil menenteng kepala bos yang akan dibawa untuk seseorang. Yan tidak tahu kalau Gasa bersembunyi di pohon angker yang berjarak 10 meter dari rumahnya. Para makhluk tak kasat mata di sana sedang menggerogoti energinya.

Dengkul Gasa melemas ketika melihat Yan menenteng kepala tanpa tubuh itu dengan wajah bangga. Kepalanya berputar sangat cepat. Keliatannya wanita itu sangat syok dengan apa yang baru saja dilihatnya. Bahkan Gasa adalah pembenci film thriller karena adegan yang ditawarkan sangat tak manusiawi! 

Deru napasnya ngos-ngosan, sorot matanya melemah, pelan tapi pasti wanita itu mulai kehilangan kesadarannya. Terakhir kali dia melihat Yan berjalan ke arahnya, itu sebelum matanya benar-benar tertutup.

"Hah … hah … Yan … Anda gila …."

BRUK! 

Gasa terkulai lemas, dia tak tahu apa yang Yan lakukan padanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status