Share

Salah paham

"Wah …." Yan menahan kalimatnya dengan mulut membulat. Dia membuat petugas itu pasrah sepenuhnya. Terdengar helaan napas panjang serta raut wajah ditekuk. Sesaat sang petugas baru melepaskan beberapa kancing baju seragamnya, namun Yan menahannya seraya tersenyum manis. Senyum yang belum pernah dilihat siapapun.

"Saya kurang 0,9 persen. Itu artinya kamu harus berterimakasih pada saya, 'kan? Ah, tolong jangan—" Mendengarnya membuat petugas tersenyum lebar. Dia langsung tahu apa yang Yan inginkan.

"Iya, baiklah. Terimakasih banyak, Tuan! Sungguh—" Baru saja dia ingin lebih berantusias menerima kebaikan langka dari Yan yang terkenal kekejamannya. Namun lelaki itu sudah bertingkah normal lagi.

"Cepatlah! Waktuku untuk kabur tak banyak!" desak Yan mengeluarkan aura kegelapannya sebagai basic memperkuat sosoknya yang tak kenal ampun.

Petugas itu mengangguk, dan segera memberikan hukuman favorit Yan. Menyabetnya, menyisakan luka merah di punggung lelaki itu. Yan tersenyum seraya mengacung jempol. Sesaat dia kabur ketika sayup-sayup mendengar suara perempuan laknat yang tak lain adalah Putri Mershery.

"Kau petugas langgananku! Jadi tolong terus bertahan, ya!" kata Yan, langsung menghilang karena energi bahagianya telah terisi penuh. Jadi lelaki itu dengan mudah kabur menggunakan kekuatan tercepatnya. Walaupun itu menguras tenaganya dari berjalan cepat, tapi dia sudah tak sabar untuk segera berlama-lama di rumah.

"Beginikah rasanya jatuh cinta? Ah, apa benar aku telah jatuh … jatuh cinta?" batinnya di bawah gemerlap rembulan yang mulai menghilang terganti fajar.

Tak butuh waktu yang lama. Kini lelaki itu sudah sampai di rumah dengan baju basah kuyup. Karena daerah pedalaman yang cuacanya tidak bisa terprediksi dengan akurat. Sangat jauh berbeda dari pusat kota yang serba tahu segalanya.

"Yan …." Gasa ragu melanjutkan ucapannya. Matanya membulat ketika noda darah tadi masih tersisa di punggung Yan. Tampaknya itu merembes pada jaket usangnya. Walaupun pakaian Yan serba hitam, kemampuan mata Gasa memang sangat bagus. Sejak kecil dia bahkan bisa melihat hal-hal yang jauh lebih detail. Itu seperti penglihatannya sangat jernih, bersih.

"Kenapa?" tanya Yan, datar. Dari tadi tangannya sibuk berkutat pada ikatan tali sepatunya. Tampaknya dia lupa, kalau kakinya mudah melepas benda yang dipakainya. Jadi untuk apa sebenarnya dia melepas tali sepatu itu?

"Ah, tidak," Gasa menggeleng seraya menaruh kopi yang rencananya untuk menemaninya begadang. " Apa kamu kesusahan membukanya?" tanyanya, ikut andil dalam menyelesaikan ikatan rumit tali sepatu itu.

"Perhatikan. Saya akan ajarkan bagaimana cara melepas tali simpul tipe rumit seperti ini," ujar Gasa, lembut.

Berbeda dengannya, Yan malah memperhatikan setiap inchi keelokan wajah cantik dengan warna kulit putih memerah di pipi. Karena Gasa merasa kurang nyaman, dia beranjak lekas mengambil kopinya kembali.

"Uruslah sendiri! Saya masih banyak kerjaan!" dalih Gasa, berbohong.

Yan sedikit tersenyum oleh tingkah aneh Gasa. Malam ini, dia merasa Gasa terasa lebih bisa menerima kehadirannya. Walaupun ini mendadak, Yan tetap merasa inilah keputusan paling terbaik untuk mereka.

Di dalam kamar, Gasa langsung mengerjakan tugasnya lagi. Wanita itu memang sangat suka suasana malam yang tenang dan penuh kesunyian. Baginya, itulah waktu yang tepat untuk mengerjakan pekerjaan yang butuh kefokusan tingkat tinggi.

Sambil menyeruput kopi, dia mengerjakan ketikan makalah yang belum selesai. Deadline-nya adalah esok di jam pelajaran pertama.

Pukul 02:10

Sedangkan Yan sudah beranjak menyusulnya. Namun saat melewati kamar Hal, dia melihat adiknya menatap tajam saat melihatnya melintas di depannya.

"Pembohong. Cih!" Bola mata Hal membiru besar. Dia duduk di tepi ranjang, postur tubuhnya yang tidak se-atletis Yan membuatnya membungkuk.

"Yah, dia milikku sekarang. Dan kamu tidak boleh mengacaukannya," ucap Yan dengan enteng dan berlalu.

"Sial … keparat itu … dia pasti telah memengaruhi Gasa! Jadi jalang murahan itu terpengaruh begitu saja! Mereka pasti selingkuh di belakangku!" Deru napas yang tidak beraturan, serta kilat-kilat api pada sorot matanya membuatnya bertindak gegabah.

Malam ini, Hal berniat menghancurkan kencan rumahan mereka. Dengan membawa segenap emosi yang kian memuncak, Hal hampir saja mengetuk pintu kamarnya, namun niatnya diurung ketika mendengar suara yang membuatnya ambigu.

"Shhhh … Yan! Sakit sekali, tahu!" desah Gasa, tangannya tak berhenti mengipasi area tangannya yang tertumpah kopi akibat tingkah sembarangan Yan.

"Maaf, maaf … sakit sekali, ya? Duh, maaf …." Keadaannya membuat Yan yang seperti es batu itu menjadi seseorang yang berbeda. Apalagi Gasa terluka karenanya. Dia membantu mengipasi luka tersebut sambil memikirkan bagaimana caranya untuk mengobati luka itu.

Lagi dan lagi tingkah ceroboh Yan membuat suasananya semakin kacau. "Mmmhhh … ashh … jangan disentuh begitu, dong!" bentak Gasa, dingin. Dia melirik tajam pada Yan yang menunduk dipenuhi rasa bersalah.

Namun, Hal sudah terlanjur berpikir yang tidak-tidak. Emosinya semakin memuncak, cemburunya semakin tak terkontrol, namun dia harus menahan diri karena sekarang status mereka sudah berubah akibat tingkahnya yang kekanak-kanakan.

"Sialan … bahkan mereka having sex di dalam kamar Yan?! Gila … padahal selama pacaran denganku, Gasa tak pernah mau melakukannya seolah dia gadis baik-baik yang sangat polos!" batinnya berhasil menguras lebih banyak emosi.

Hal menggertakkan gigi, dan tangannya masih setia mengepal kuat-kuat seolah itu akan menghancurkan apa yang menghadangnya.

Sebenarnya rasa penasarannya sangat menggebu-gebu dadanya saat ini. Namun, dia tak mau ambil resiko lebih jauh. Cepat atau lambat, Hal harus melupakan Gasa dan segala kenangannya yang kini telah usai. Baginya, mantan adalah masa lalu yang buruk. Lelaki itu tidak percaya tentang pasangan yang berjodoh dengan mantannya.

"Bersenang-senanglah, para penghianat! Suatu hari, akan kubalas rasa sakit ini!" batinnya dan beranjak pergi.

Yan melirik ke arah pintu. Lirikannya sulit dijelaskan. Karena Yan punya kebiasaan yang unik. Kemudian dia beranjak mendekati pintu yang belum tekunci, terlihat dari engselnya.

Yan tersenyum kecil saat mengetahui bau Hal yang tercium sangat dekat dengannya. Dugannya mengatakan kalau Hal mengikuti mereka sampai di depan ambang pintu kamar.

"Hey! Ngapain bengong disitu? Cepat cari P3K, bodoh!" Gasa kembali pada wataknya yang normal. Itu membuat Yan semakin terpesona.

"Di mana? Saya tidak tahu …." Yan urung mengatakan yang sebenarnya. Baginya ini bisa menjadi peluang yang bagus untuk suatu hari nanti.

"Ah … kau ini sangat bodoh, ya?! Memangnya di mana lagi?! Coba cari di laci ruang depan! Pokoknya tulisannya PE TIGA KA. Paham?" tanya Gasa masih setia mengipasi luka yang semakin memerah.

Yan mengangguk cepat. Dia berlalu dan mencari di tempat yang Gasa sarankan. Dan benar saja, obat itu ada di sana. Sebelum kembali, Yan melirik kamar Hal yang sudah terutup rapat. Sepertinya sang adik sudah tidur. Lagipula untuk apa dia begadang selarut ini?

Yan tidak yakin dia melakukannya tanpa sebab. Lagipula Hal bukan tipe manusia seperti Gasa. Dia lebih mementingkan pendidikan di atas segalanya. Jadi jika ada PR, pasti sudah selesai dari sore hari.

Yan tak acuh. Saat ini prioritasnya adalah target mainannya.

"Maaf, Gasa. Saya melibatkan wanita sebaik kamu untuk bermain permainan berbahaya ini."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status