Share

Bab 2: Mengikuti Wanita Aneh

"Semoga hari ini nggak ada yang mengusik mood saya …" wanita dengan pakaian rumahan dan rambut dicepol itu melangkah masuk ke dalam rental komik "Ha … benar kata mereka. Sepertinya saya terlalu capek ...," batinnya berharap demikian.

Langkah kakinya mengantarkannya pada tempat yang seharusnya tak dia kunjungi. Hari ini Gasa memilih untuk mengunjungi rental komik langganannya.

"Pilih maksimal dua, ya!" kata pak tua pemilik rental komik yang sedang membaca koran.

Senandung lagu itu terdengar dari gumaman mulut wanita itu. Setiap langkahnya terdengar riang. Diambil earphone berwarna monochrome itu, dia memasangnya dengan 'cara' yang tidak biasa. Earphonenya dipasang terbalik supaya bisa digunakan dalam jangka yang lama. 

"Hari ini pilih yang mana, ya?" gumamnya seraya menyentuh buku-buku komik itu. Langkah kakinya mengantarkan dia pada gerbang kesialan yang akan mengubah hidupnya.

Ketika dia menarik satu buku komik yang menarik perhatiannya, saat itu pula seseorang dengan tampilan culun menarik buku itu juga. 

"Ck! ada apa di balik sana? Kenapa bukunya sulit diambil, sih?! Pak! Bukumu ada masalah, ya?" Dia menggerutu sendiri. Dengan segala emosi yang meluap, langkah kakinya mengantarkannya pada pertemuan kedua kalinya dengan laki-laki yang familiar. 

DEG!

Seketika matanya membulat ketika melihat sosok yang dia cari selama ini kini tepat ada di depannya. Tapi gelagatnya berbeda dari sosoknya yang kemarin. Laki-laki itu terlihat kaget juga saat melihat Gasa.

"Yan?" sapa Gasa, pelan tapi pasti–langkahnya mendekati sosok itu. Tapi orang yang disebut Yan tiba-tiba lari sangat cepat. Sampai-sampai Gasa yang mengejarnya kehilangan jejak.

"Yan? Tolong jangan begini! Ada yang mau saya tanyakan!" Gasa memegang dengkulnya dengan napas ngos-ngosan. 

"Pak! Laki-laki yang pakai hoodie hitam tadi ke mana, ya? Anda melihatnya?" tanya Gasa yang dijawab gelengan oleh pria tambun itu. 

Dan seketika telinganya berdengung kencang lagi. Kali ini berbeda, dia merasakan sakit kepala luar biasa. Gasa terus meraung-raung kesakitan. 

"Perlu kubilang berapa kali, sih agar kau tahu?! Jangan cari-cari aku!" Suaranya terdengar angkuh tak terbantahkan. Samar-samar suara itu menghilang dan kondisinya kembali normal.

"Sebenarnya siapa itu Yan?" tanya seseorang di belakang Gasa. Seketika dia menoleh mendengar suara lelaki yang amat dia cintai. Saat itu pula Gasa memeluknya erat-erat.

"Kenapa? Akhir-akhir ini kamu nggak hubungin saya. Padahal pacar, kangen ...." Diciumnya pucuk kepala wanita itu. Pelukannya semakin dieratkan.

"Hal, akhir-akhir ini saya mengalami banyak kejadian aneh," adu Gasa yang mulai menceritakan seruntut kejadian aneh.

"Gasa, jika terjadi sesuatu padamu, gimana? Pacar–khawatir, lho!" Hal memeluknya lagi. Pacarnya itu memang terlihat khawatir. Tapi ada sisi lain yang Hal inginkan. Jauh dari yang Gasa tahu. 

"Hal?" Mimik wajah Gasa yang sepertinya ingin mempertanyakan sesuatu "kita beda sekolah, ya …." Raut wajahnya merengut sempurna. Tatapan matanya mencari secarik harapan dari seorang Hal.

"Apa maksudmu? Kita, 'kan, memang beda sekolah. Dan itu tidak akan menjadi penghalang buih cinta yang berlabuh di hati kita," jelas Hal mencoba memberi pengertian. 

Jauh di luar yang orang-orang tahu. Gasa adalah wanita normal, dia sama seperti yang lainnya. Hanya Hal yang tahu itu. Dia tak setegar dan secuek sosok luarnya.

"Jalan, yuk? Kamu beruntung karena pacar sudah selesai belajar!" kata Hal, laki-laki paling pengertian, selalu setia, dan mau menerima segala kekurangannya. Itu bagi Gasa yang telah berpacaran dengannya dari sekitar setahun yang lalu.

Mereka berjalan menyusuri kedai kafe yang hanya berjarak puluhan meter dari rental komik tua itu. Semua orang dapat mengetahui mereka adalah sepasang kekasih. 

***

"Siapa mereka? Kenapa kau mengikutinya? Kok sepertinya wanita di sebelahnya itu anak baik-baik, ya," kata makhluk-makhluk sialan yang sejak tadi tidak mau pergi. Entah apa alasannya, mereka terus mengikuti Yan yang sedang menyamar itu.

"Diam. Pergi," perintah Yan yang sedang membuat kopi pesanan pelanggannya. Banyak sepasang mata perawan yang memandangnya tanpa berkedip. Tubuh tinggi dengan badan sedikit berisi, warna kulit putih pucat. Dia dianugerahi fisik yang cukup tampan. Dialah barista Dacil, tubuh yang dirasuki Yan.

"Kenapa rasanya Dacil semakin terlihat tampan, ya? Kau merasa begitu juga gak?" bisik barista lain yang sedang menyiapkan pesanan. Temannya mengangguk cepat. 

Tak heran kalau Dacil semakin tampan. Itu karena ketika Yan merasukinya, dia dengan mudah mengubah warna kulitnya yang asli. Selebihnya, Yan tidak bisa mengubahnya. Sejauh ini, kemampuannya hanya itu. Lagi pula wajah Dacil terbilang cukup tampan. Hal itu membuatnya sedikit lega, walau tidak setampan wajah Yan yang asli.

"Ternyata hari ini mereka kesini lagi," batin Yan seraya memperhatikan sepasang kekasih yang sedang bersenda gurau melangkah masuk ke kafe ini.

Ada salah satu gadis stalker yang terus memotretnya. Yan hanya bisa diam, orang yang sedang 'dipinjamnya' itu terkenal akan sikap sopannya. Padahal ketidaknyamanan kerap menghampirinya.

"Jangan cemberut gitu, dong! Harusnya mata kau berbinar bahagia ketika melihat 'mangsa'!" celetuk makhluk yang baru bergabung di sekitarnya. Energi Yan memang terlalu kuat. Sehingga beberapa makhluk menetap walau hanya untuk sekedar mengusiknya.

"Anak ini … kau dengar, gak sih?! Kami lagi bicara, hey!" Akhirnya salah satu dari 'mereka' benar-benar mengganggu Yan secara verbal. Itu sudah tak bisa di toleransi.

PRANG!

Seketika semua barista menatap heran Dacil. Sebenarnya barista sialan yang dikenal tak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun itu telah diambil alih raganya oleh sosok Yan. 

"Maaf." Kata Dacil dengan raut wajah kaku. Terlihat para barista juga beberapa pelanggan mendekatinya yang sedang memunguti pecahan kaca ulah salah satu dari makhluk sialan yang malah menertawakannya. Padahal itu ulah makhluk kecil yang asal mencoba menguji kekuatan energinya.

"Cil? Kenapa akhir-akhir ini sikapmu berubah lagi? Apa ada masalah? Profesionallah seperti biasanya! Jika butuh curhat, sepulang kerja kita bisa bicara," kata Bani karib dekatnya Dacil.

"Tumben ayang Acil mecahin gelas? Ah, apa Anda kurang tidur? Sayang, tidurlah! Sini, aku bantuin. Kamu tahu, hari ini kamu sangat tampan, lho …," ucap wanita berambut merah mencolok. Itu adalah wanita yang selalu mengikuti Yan. Dia sama seperti Yan. Berbeda dari manusia normal.

"Tidak usah!" Ditepis tangan wanita itu, dilirik tajam tatapan matanya. Sekarang para makhluk itu tertawa cekikikan. Banyak dari 'mereka' yang mengejek bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang sangat serasi. Biasanya jika suasananya sudah seperti itu, Yan akan mengeluarkan benda pusakanya. Tapi kenyataannya kali ini tidak.

"Kita lihat saja, seberapa kuat Anda menghindariku …," bisik wanita itu dengan tatapan ambisiusnya. Lalu dia benar-benar pergi dari kafe itu. Yan bernapas lega.

Satu penganggu sudah pergi, sekarang saatnya menjalankan misi selanjutnya. Kebetulan pesanan untuk kursi tempat mereka adalah jadwal gilirnya. Yan melangkah penuh percaya diri membawa pesanan itu untuk targetnya.

"Permisi. Ini pesanannya—" kata Yan sambil menata minuman yang dibawanya ke atas meja pasangan itu. Tapi saat menaruh pesanan untuk laki-laki itu, minumannya tumpah sempurna sesuai prediksinya. 

"Sa, aku punya dua kabar mengenai pertanyaanmu kemarin. Jadi—" ucapan Hal tercekat begitu saja saat bajunya mulai basah akibat ulah kecerobohan barista itu.

Seketika raut wajah mereka berubah. Padahal saat itu adalah momen ketika Hal menggenggam tangan Gasa, mereka sedang membicarakan hal yang sudah dinantikan Gasa. Gara-gara insiden ini, suasananya jadi berantakan.

 Namun, raut wajah lelaki itu tetap kaku seakan tidak ada apa-apa. Padahal sungguh dalam hatinya, dia tertawa terbahak-bahak. Yan merasa rencananya telah berjalan sempurna.

"Maaf. Biar saya bantu bersihkan—" pinta Yan yang mencoba membersihkan noda coklat yang sudah telanjur meluber mendominasi baju putih itu. Tapi sepertinya terlambat. Raut wajah Hal telah berubah. Dia sangat malu dengan pakaiannya saat ini.

"Gak usah! Kamu sengaja, 'kan?! Kamu pasti memang sengaja ingin menghancurkan kencan saya! Alasan kamu bekerja di hari libur seperti ini, pasti karena tidak punya pacar! Dasar keparat! Cari mati, ya?!!!" hina Hal dengan tangan siap meninju barista lugu itu. Kini suasananya semakin tidak terkendali. 

Gasa tidak tinggal diam. Tangannya menahan emosi Hal yang meluap-luap. "Diam!!!!! Berhenti!!!!!" Gasa berteriak sangat kencang. Mendadak suasananya jadi hening. Meskipun mulutnya bungkam, tatapan mereka yang silih berganti itu menggambarkan kekagetannya masing-masing akibat ulah Gasa.

"Hal! Kita pulang saja!" pinta Gasa yang langsung menarik laki-laki itu ke depan meja kasir. Dia tidak mau ambil pusing. Dan Yan hanya mengekor mengikuti mereka seraya menunduk.

Saat wanita itu ingin membayar, Hal malah semakin memperkeruh suasana. "Manajer atau siapapun pemilik kafe ini! Tolong pecat orang ini!" teriak Hal dengan menunjuk-nunjuki Yan sebagai tersangka. Dia terus mengoceh protes. 

"Dacil! Cepat minta maaf dan segera berlutut padanya! Sekarang!" perintah orang yang membelakangi mereka. Terlihat kilat-kilat api di mata laki-laki kurus itu. Dia adalah orang yang paling disegani di sini. Dialah wakil pemilik kafe ini.

Namun, kata-kata itu buru-buru disela Gasa. "Jangan! Begini, Pak. Tadi dia sudah minta maaf. Tapi pacar saya yang membuat keributan. Mohon jangan pecat dia, Pak!" pinta Gasa yang melirik tajam ke arah Hal. Seketika semua mata menaruh tanda tanya besar pada wanita itu.

"Cih? Sok pahlawan kau wanita bodoh! Pasti otaknya sudah dirasuki! Makanya membela si Yan sialan itu!" Makhluk-makhluk itu kembali berkomentar. Kali ini Yan sudah tidak tahan. Diambilnya sebilah pisau tajam dari sakunya. Yan menangkapnya, lalu mulai menggoreskan luka pada sekujur tubuh makhluk itu. Seketika dia berderai air mata menahan rasa sakit dan perih.

"Akh … tolong lepaskan …! Dasar keparat, hiks! Lepas!!!" rintihnya kemudian menggigit tangan Yan. Seketika raut wajahnya berubah. Padahal tadi dia terlihat sangat menikmati ketika makhluk itu meraung-raung.

"Sialan …," gumam Yan, lalu mengibas tangan yang sedikit robek. Dia tak menyangka gigitannya akan terasa sangat sakit. Tapi Yan tetap bersikap biasa saja. Dia tak menunjukkan raut wajah kesakitan walau itu bisa membuatnya mati sekalipun.

"Dacil! Kamu sakit jiwa, ya?!" Paman bertubuh kecil mendekatinya, dan satu tamparan mendarat mulus. Seketika pipinya merah.

"Paman, mungkin dia kurang istirahat. Bolehkah saya membayar waktunya tiga jam untuk membawanya pergi sebentar?" celetukan Gasa membuat Hal semakin darah tinggi. Sebagai pacar, kehadirannya seperti tidak dianggap lagi. Entah apa maunya Gasa. Yang jelas Hal sangat marah. Otaknya tidak dapat berpikir jernih.

"Gasa. Maaf, deh. Kayaknya kita harus putus. Apa ini? Lucu sekali, kamu ingin berselingkuh terang-terangan begini?" kata Hal seraya tertawa getir. Sebentar lagi air mata buayanya akan menetes. Laki-laki itu melirik tajam ke arah Yan sebelum benar-benar pergi dari sana.

"Hal. Kita perlu bicara nanti," ucap Gasa. Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, dia ingin segera menyelesaikan permasalahan ini. Namun seolah-olah dibuat bingung oleh perasaannya sendiri. Satu hatinya menyuruh menyelamatkan ketidakberesan pada barista ini. Tapi hatinya yang lain meminta untuk segera menuntaskan kesalahpahaman Hal. Dia juga takut Hal benar-benar pergi darinya.

Setelah menyelesaikan total pembayaran sekaligus membayar waktu tiga jam Yan, mereka segera pergi dari sana. 

***

"Ah …. Bodoh banget, padahal saya nggak kenal dia. Kenapa tiba-tiba peduli begini? Pasti dia merasa nggak nyaman, 'kan … Dan saya yakin sudah membuatnya merinding karena tiba-tiba membawanya seperti ini," ujar batin Gasa.

Jalan berdua seperti ini, Gasa tidak pernah membayangkan dia akan jalan dengan laki-laki yang tak punya hubungan apa-apa dengannya. Ini terasa sangat canggung. Apalagi sejak tadi Yan terus memandanginya.

"Wanita yang aneh. Padahal saya berniat jahat. Tapi apa ini? Dia malah menolong? Luar biasa aneh," batin Yan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status