Sudah seminggu berlalu, tetapi kesehatan Riani justru makin memburuk. Dia makin sering muntah dan lemas, bahkan dia sudah beberapa kali pingsan di sekolah. Aku sudah berkali-kali mendesaknya untuk istirahat, mengambil cuti sementara sampai pulih. Akan tetapi, Riani menolak keras dengan alasan takut ketinggalan pelajaran, seolah pelajaran lebih penting dari pada kesehatannya.
Tentu saja, kondisi Riani ini mengundang kecurigaan. Guru-gurunya mulai bertanya-tanya dan akhirnya melapor pada orang tua kami. Setiap kali mereka menelepon, aku berusaha memberikan alasan masuk akal, salah satunya adalah Riani sedang stres menghadapi ujian. Untungnya, mereka sedang di luar kota mengurus usaha toko kue keluarga, jadi mereka tidak bisa langsung menginterogasi Riani. Namun, aku tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui hal ini. Kini, aku berdiri di depan kamar Riani, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam. Tanganku sedikit gemetar, bukan karena beratnya nampan, tetapi karena perasaan yang berkecamuk dalam hati. Resah, cemas, dan jengkel bercampur menjadi satu, membuat dadaku sesak. Aku tidak bisa terus berdiam diri dan membiarkan adikku hancur seperti ini. Aku harus menemukan jawabannya—jawaban mengapa dia bisa hamil, dan siapa yang bertanggung jawab atas keadaan ini. Riani tidak boleh memendam masalah ini seorang diri. Aku tidak akan membiarkannya. Dengan tarikan napas dalam dan embusan perlahan, aku mencoba menata perasaanku sebelum masuk ke kamarnya. “Rin, gimana keadaanmu? Sudah mendingan?” tanyaku lembut, membuka pintu. Riani, yang sedang membaca buku, buru-buru menutupnya begitu aku masuk. Senyumnya tampak kaku, seolah ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan. “S-sudah, kok,” jawabnya tergagap, menyembunyikan buku bersampul biru itu di belakang punggung. “Apa itu? Kok main sembunyi-sembunyi dari Kakak?” godaku, meski rasa penasaran mulai menggelitik. Matanya terlihat gugup. “Ini... buku catatan sekolah, Kak,” balas Riani dengan nada tidak meyakinkan. Aku menatapnya beberapa detik, tetapi memilih untuk pura-pura percaya. “Oh, begitu. Ayo makan dulu.” Aku duduk di tepi kasur, menyuapinya beberapa sendok bubur, lalu memberinya susu. Dia meneguknya perlahan, tanpa tahu bahwa susu itu sebenarnya susu ibu hamil. “Lebih baik kamu istirahat saja,” kataku setelah dia selesai makan. Riani mengangguk patuh, lalu merebahkan tubuhnya. Aku mengusap rambutnya, berharap sentuhan itu bisa menenangkannya dan membawanya ke alam mimpi. Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya napasnya menjadi lebih stabil, tanda dia sudah tertidur. Dengan hati-hati, aku melambai di depan wajahnya, memastikan dia benar-benar terlelap. Ketika yakin dia sudah tenggelam dalam mimpinya, aku menarik buku bersampul biru itu dari bawah bantal. Aku keluar, duduk di sofa dan mulai membacanya. Membaca setiap kalimat yang tertulis, membuat alisku berkerut. ‘Awalnya, aku sangat membencinya karena dia sok ganteng dan genit. Dia menggunakan kegantengannya untuk menggoda semua cewek cantik di sekolah kami. Aku bahkan sering memergokinya bergonta-ganti pacar di mal atau kafe.’ ‘Aku sangat jijik padanya, tetapi anggapanku mulai berubah setelah aku mengenalnya lebih dalam. Dia tak pernah menyerah mendekatiku, meski awalnya aku menolaknya. Lama-kelamaan, aku tenggelam dalam kata-kata manisnya.’ Hatiku serasa tercabik saat membaca kelanjutan tulisannya. ‘Sejak berpacaran dengannya, aku merasa menjadi cewek paling bahagia. Tapi, semua itu hancur saat dia menodai aku dan menolak bertanggung jawab. Kini aku adalah wanita paling bodoh dan kotor. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana aku bisa menanggung aib ini sendirian?’ Air mata mulai mengalir tanpa bisa aku cegah, membasahi lembaran buku harian itu. Betapa sakitnya Riani harus menanggung semua ini sendiri. “Kak? Kakak nangis?” Suara pelan Riani menyentakku dari lamunan. Aku mendongak, mendapati adikku berdiri di depan pintu, matanya terbelalak. Dia buru-buru merampas buku itu dari tanganku. “Kenapa Kakak baca buku ini tanpa seizinku?” protesnya, cemas dan marah bercampur jadi satu. Aku melonjak berdiri dan menatapnya tajam. “Kakak nggak nyangka kamu akan melakukan hal sebodoh ini, Riani. Kenapa kamu membiarkan cowok itu menodaimu?” Meski murka, aku berusaha menjaga notasi suaraku agar tetap tenang. Riani hanya diam, bibirnya bergetar, air matanya sudah menggantung di sudut mata. Rasanya aku tak lagi mengenal gadis yang ada di depanku. “Katakan, siapa yang menghamilimu? Siapa cowok itu, Rin?” tanyaku lebih tegas, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak. “I-itu... nggak benar, Kak. Aku...” “Jangan bohong lagi!” bentakku, akhirnya emosiku meledak. Riani terisak hebat hingga tubuhnya bergetar. Aku menyesal telah kehilangan kendali. Aku langsung merengkuh tubuhnya, memeluknya erat-erat. “Maafkan Kakak,” bisikku, mengusap punggungnya lembut. Setelah tangisnya mereda, aku membawanya duduk di sofa. “Kakak akan bantu kamu, Rin. Kita harus mencari cowok itu. Siapa dia? Di mana dia tinggal?” “A-aku nggak tahu dia tinggal di mana sekarang.” “Maksudmu, dia kabur?!” Suaraku sedikit meninggi. Aku terperangah. Amarahku meledak mendengar itu. Riani enggan suara, tampak tertekan. Aku berkali-kali mendengus kasar saat Riani memilih bungkam. Namun, di sisi lain, aku memahami kekalutannya. Dia pasti sedang kehilangan arah, bingung harus mengadu pada siapa karena semua orang pasti akan menghakiminya. “Siapa nama dia? Kakak akan cari tahu keberadaan dia.” Riani terdiam, menunduk. “Namanya... Darma,” katanya, nyaris berbisik. Aku seperti tersengat aliran listrik. Tubuhku membeku mendengar nama itu. Seperti ada ribuan jarum menusuk hatiku. ‘Darma? Apa dia... Darma yang dikeluarkan dari sekolah karena kasus pelecehan di sekolahku?’ gumamku dalam hati. Riani menatapku ketakutan sekaligus penasaran. “A-ada apa, Kak? Apa Kakak kenal dia?” Seketika dunia di sekitarku terasa runtuh. “Gimana ciri-cirinya?” Riani terdiam sejenak, seperti menyusun kalimat, lalu menyebutkan ciri-cirinya secara detail. Bahuku merosot, seolah energiku terkuras habis. Ciri-ciri itu sama dengan cowok berengsek itu. “Kak?” Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diriku. “Kamu jangan khawatir. Kakak akan cari dia, dan Kakak pastikan dia bertanggung jawab.” Riani menatapku berkaca-kaca, lalu meraih tanganku. “Tapi… tolong jangan kasih tahu Papa dan Mama. Aku nggak mau mereka kecewa. Terutama Papa. Aku takut penyakit jantungnya kumat lagi.” Aku tersenyum kecil sambil mengusap pundaknya lembut. “Tenang, Rin. Kakak janji tidak akan bilang apa-apa sama mereka. Kita hadapi ini bersama.” Riani memelukku erat-erat, tangisnya pecah lagi. “Terima kasih, Kak. Maafkan aku... karena sudah membuatmu kecewa. Aku sudah gagal jadi adik yang baik.” Aku mengecup puncak kepalanya. “Nggak, Rin. Kamu nggak pernah gagal.” Setelah lebih tenang, aku mengantar Riani ke kamar dan menemaninya hingga tertidur. Aku mengambil ponsel dan menelepon seseorang yang pernah mengenal Darma. Jantungku berdetak cepat saat nada sambung bersenandung di telingaku. “Halo?” suara di seberang menjawab. Napasku tercekat di tenggorokan. Kalimat yang sudah kususun menguap begitu saja. Aku diserang dilema. Apakah aku harus membeberkan masalah ini padanya?(POV Diani)Hari itu langit tampak suram, seakan merasakan kesedihan yang menyelimuti keluargaku. Aku berdiri di samping makam Riani, menatap batu nisan yang tertutup bunga dan tanah basah. Hati ini rasanya hampir tak sanggup menahan beban yang terus datang. Riani, adikku, yang dulu selalu ceria, yang dulu selalu ada untukku, kini hanya bisa kuingat dalam kenangan.Kami baru saja menguburkan Riani. Pemakaman ini terjadi begitu cepat. Begitu banyak hal yang belum sempat aku katakan padanya. Begitu banyak yang belum sempat kami selesaikan. Tapi kini, semuanya telah terlambat. Aku tidak tahu harus merasa apa. Duka mendalam? Iya, pasti. Tetapi ada juga perasaan marah yang membara dalam dada. Marah pada Darma. Marah pada ketidak peduliannya. Marah pada dunia yang begitu kejam padanya. Aku sudah terlalu lama diam.Ketika kami pulang dari pemakaman, rumah kami dipenuhi oleh keheningan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ayah dan ibu duduk di ruang tamu, wajah mereka hancur. Mereka ti
(POV Darma)Aku masih sangat jengkel saat Diani menyerangku dan mempermalukanku di klub beberapa saat lalu. Makiannya terus terngiang-ngiang di telingaku, meski aku sudah meneguk beberapa gelas alkohol.Sekarang teman-temanku terus-menerus menanyaiku tentang Riani dan meminta penjelasan tentang pernikahan kami. Padahal aku mengaku pada mereka bahwa aku masih lajang.Sial! Beraninya gadis itu mempermalukanku aku di depan teman-teman balap liarku.Aku meremas gelas alkohol saat teringat tatapan penuh kebencian dan tangisan histeris Diani. Sebenarnya aku juga heran tentang kepergian Riani, karena baru pertama kali dia pergi tanpa izinku.Apalagi saat Diani menangis histeris di depanku, membuatku makin penasaran. Dia memang selalu mengkhawatirkan adiknya, tetapi kali ini berbeda, seolah-olah Riani sedang di ambang malapetaka.Namun, bukan itu yang kucemas. Ada perasaan aneh yang memenuhi di dadaku dan aku tidak tahu bagaimana cara menyingkirkannya.Aku merasa cemas dan tegang tanpa alasan
Aku keluar dari club dengan dadaku masih terbakar rasa marah dan benci yang bercampur aduk. Percakapanku dengan Darma barusan benar-benar membuatku muak. Bagaimana mungkin dia bisa sekejam itu? Bahkan di saat Riani sedang dalam kondisi yang tidak jelas, dia masih saja tidak peduli.Langkahku terasa berat saat berjalan di trotoar. Udara malam terasa dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhku menggigil. Rasa takut dan gelisah terus menghantui pikiranku. Aku masih belum tahu di mana Riani dan orang tuaku berada. Darma jelas tidak peduli. Dia bahkan berharap Riani mati.Pikiran itu membuat dadaku sesak. Aku mengeluarkan ponselku dan mencoba menelepon Ayah sekali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari mereka ke mana lagi.Tetapi, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benakku. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah mengantar Riani ke rumah sakit karena dia pingsan di kosan. Saat itu, dokter menyuruhnya untuk banyak istirahat dan tidak terlalu stres.Mun
(POV Diani)Hari ini cukup melelahkan. Aku baru saja selesai menemani temanku membeli beberapa baju untuk acara akhir pekan. Ketika sampai di depan rumah, hal yang kupikirkan adalah mandi lalu tidur.Namun, saat aku membuka pintu rumah dan memasuki ruang tamu, perasaan cemas langsung menyelimuti hatiku. Rumah yang biasanya ramai dengan kehadiran orang tua, kini terasa kosong. Tidak ada suara Ibu yang biasanya menyambutku saat pulang. Tidak ada suara televisi yang sering Ayah tonton.Aku berdiri sejenak sambil menatap ke sekeliling. Suasananya sangat berbeda dari sebelumnya. Sangat sepi dan hampa.“Bu?” Aku mencari mereka di semua ruangan, tetapi tidak ada. Ini aneh. Ibu dan Ayah jarang sekali pergi pada malam hari, apalagi tanpa memberitahuku. Biasanya mereka selalu mengabari ke mana mereka pergi, meski hanya sebentar. Tapi malam ini, tidak ada kabar sama sekali. Aku mulai merasa khawatir. Ada yang tidak beres.Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimi pesan pada Ibu dan Ayah.“K
(POV Riani) Aku berusaha tetap sadar, meski semuanya terasa gelap dan rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku nyaris pingsan. Pandanganku kabur dan perutku terasa kram luar biasa. Aku mencoba memegang dinding untuk berusaha bangkit berdiri, tetapi tenaga yang kumiliki habis sehingga aku kembali terduduk lemas di lantai. Aku teringat pada bayi di dalam kandunganku. Aku memegangi perutku yang sudah membesar. Rasa nyeri hebat menghantam dinding perutku, membuat darah mengalir dari selangkanganku. ‘Tolong, Tuhan. Jangan sampai aku kehilangan bayiku!’ jeritku dalam hati. Aku mengerang pelan sambil mencoba bangkit dengan bertumpu pada meja kecil di dekatku. Namun, tanganku gemetar hebat dan pandanganku makin gelap. Sebelum aku bisa berdiri dengan sempurna, sikuku menyenggol gelas di atas meja. Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, suaranya menggema dalam kesunyian rumah yang mencekam. Aku tersentak dengan napas tersengal-sengal. Aku kembali meraih meja di dekatku, tetap
Langit biru mulai berubah kekuningan saat aku melangkah keluar dari rumah Ibu. Udara sore terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku menghela napas panjang untuk mencoba menguatkan diri. Pertemuan singkat dengan Ibu membuat dadaku semakin sesak. Apalagi saat aku memasuki rumah itu yang mengingatkanku pada masa kecilku. Aku sangat merindukan semua momen bahagia saat aku dan Diani menghabiskan waktu bersama dengan orang tuaku. Meski masalah utang terus mengancam kami, aku masih bisa berbahagia menikmati kebersamaan keluarga. Bukan seperti sekarang. Setiap hari hanya ada air mata dan ketakutan. Aku menyesal telah menyerahkan diriku pada Darma karena cinta. Kata-kata manisnya seolah dia sangat mencintaiku telah meracuni pikiranku. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Aku menghela napas berat. Tidak ada gunanya aku menyesali semua yang telah terjadi. Semuanya telah terlambat untuk diperbaiki. Sekarang aku harus fokus menanggung kesalahannya, m