Aku melihat di media sosial tipe ponsel milik pemuda itu. Harganya setara empat bulan gajiku. Kalau gajiku fokus untuk ganti ponselnya, bagaimana aku mengirim uang untuk suami dan anakku?
Kring ... kring ... kring! Telepon rumah majikanku tiba-tiba berdering. Dari display aku bisa melihat nomer Indonesia, pasti Mas Rendy.
"Wei?" sapaku dalam bahasa Canton.
"Alien, aku menelepon ponselmu, tapi kenapa yang ngangkat laki-laki, dia selingkuhan kamu ya?" tukasnya.
"Mas Rendy!" bentakku. "Emang kamu, tukang selingkuh!" hardikku.
"Kok jadi aku yang kena sih?" sahut Rendy.
"Ponsel laki-laki itu jatuh gara-gara aku, dia minta ganti rugi. Sementara ponselku di tahan," lanjutku kecewa.
"Dasar ceroboh! Kok bisa sih?" olok Rendy. "Sifat ceroboh kamu kenapa dibawa kesana juga?" lanjutnya masih mengolok.
"Kamu ya, caci terus aku!" hardikku emosi.
"Ya sudah, maaf Sayang ... aku cuma mau mengingatkan saja," ujarnya merendah. "Gimana, kapan kirimnya, hari ini kamu gajian kan?" lanjutnya.
"Iya Mas, tapi aku belum ke bank masih memasak untuk sarapan bobo. Untuk bulan ini dan empat bulan ke depan aku tidak bisa transfer banyak, Mas. Aku harus menabung untuk mengganti ponsel itu. Aku transfer lima juta rupiah ya, Mas?" tawarku pelan memohon pengertiannya.
"Nggak bisa begitu dong, Alien! Gaji kamu mulai bulan ini kan naik jadi 14 juta kan? Kebutuhan kita banyak, Alien. Kita harus mengangsur bank, kamu kan tahu sertikat rumah kugadaikan. Kalau kamu tidak mengangsurnya maka rumah ayahmu akan disita bank," ungkap Rendy. "Belum biaya hidup ibu dan anak kita cukup tinggi, Alien," lanjutnya mengeluh.
Aku menangis, aku tahu suamiku super tega kepadaku. Dia tidak mau tahu penderitaanku yang harus berpisah dengan keluarga di Indonesia. Dia tidak tahu bagaimana aku sangat merindukan dia, mama dan anakku semata wayang.
"Pokoknya aku tidak mau jatah untuk Indonesia dikurangi sedikit pun. Malah kalau bisa ditambahi dong, kan gajimu naik? Kalau memang kamu ada masalah keuangan, kan kamu bisa kerja part time!" usulnya. "Daripada libur untuk keluyuran yang nggak jelas mending untuk kerja cari uang," lanjutnya.
Emangnya aku mesin yang tidak punya capek, mesin saja butuh istirahat. Benar-benar kayak sapi perah rasanya, diperas dan diperas terus, ditekan dan ditekan terus.
"Mana mama dan Berlian, aku mau bicara!" pintaku menahan kesal, sambil ingin mengalihkan pembicaraan.
"Tidak ada, dia lagi main ke tempat tetangga," sahut Rendy ketus.
"Kenapa sih setiap aku mau bicara sama mama dan anakku selalu kamu halangi. Ada yang kamu sembunyikan dariku ya? Mamaku bukanlah orang yang suka keluyuran ke rumah tetangga," tukasku.
"Kamu tidak percaya sama suamimu? Kalau dulu, mungkin iya, tapi sekarang dia jarang di rumah," jawabnya asal.
"Kamu bohong!" bentakku kemudian menutup teleponnya.
Aku sedih, hanya ingin bicara sama mama dan anakku selalu tidak bisa. Dia selalu berada di dekatnya untuk mengawasi mama agar tidak bicara macam-macam kepadaku. Aku ingin membelikan ponsel untuk mama, tapi Rendy melarang keras. Aku harus bagaimana?
"Ayo kita pergi, Alien!" ajak bobo yang sudah rapi.
"Siap, Bobo!" jawabku.
Seperti biasa aku harus menemani bobo jalan-jalan dan senam bersama para lansia. Aku bangga bobo selalu mengenalkan aku kepada teman-temannya sebagai cucunya. Kemanapun tangannya melingkar kuat di lenganku.
Aku duduk di bangku taman sambil mengawasi bobo sedang yoga. Tiba-tiba seorang pemuda datang menghampirinya dan memeluknya. Mereka tampak akrab berbincang-bincang. Aku tidak bisa melihat wajahnya, dia mengenakan masker, kacamata dan penutup kepala. Selama setahun aku bekerja di rumah bobo tiga kali ini, aku melihat dia mendatangi bobo di tempat yoga. Aku lupa menanyakan kepada bobo, siapa dia?
"Sampai jumpa, Bobo! Jaga dirimu baik-baik!" ucapnya sambil melambaikan tangannya pergi meninggalkan bobo.
Sepertinya bobo sudah selesai, aku menghampirinya.
"Sudah selesai, Bobo?" tanyaku sopan.
"Sudah, Alien. Biarkan aku istirahat sebentar, nanti kita mampir makan di restoran seperti biasanya ya bersama mereka," ujarnya.
"Siap Bobo! Oh ya, tadi yang bicara sama bobo pakai kacamata dan masker itu siapa, kayaknya akrab sekali?" tanyaku penasaran.
"Dia cucuku, baru selesai sekolah di Amerika," jawab bobo bangga.
"Kenapa menutupi wajahnya seperti itu, masih takut Corona ya, Bobo?" tanyaku usil.
"Tidak, dia artis terkenal. Dia tidak mau jadi pusat perhatian banyak orang," jawab bobo menjelaskan.
"O begitu?"
Tangan nenek sudah melingkar di lenganku mengajak pergi.
"Aku pesan tempat duluan, nanti kalian menyusul ya?" teriak bobo kepada teman-temannya.
"Iya, pergilah!" jawabnya serentak.
Untung bobo sekarang fisiknya lebih sehat, dia kuat berjalan agak jauh. Saat aku menawarkan kursi roda, dia menolaknya. Padahal saat aku baru datang bekerja di sini, dia dalam keadaan lumpuh. Semua aktifitas dilakukan diatas kasur.
Dengan cinta kasihku yang tulus, aku memberikan semangat untuk sembuh. Berasa merawat nenekku sendiri yang selama hidup kuimpikan. Allah menjawab setiap permohonanku, dia benar-benar sembuh. Bahkan aku bisa menghancurkan kekerasan dan kebencian di hatinya terhadapku dulu. Kini berubah menjadi cinta yang tulus seperti terhadap cucunya sendiri.
Kini aku dan bobo sudah duduk di restoran menunggu teman-temannya datang. Di Hong Kong istilahnya Yam Zha, nongkrong minum teh dengan aneka makanan sambil bergurau.
"Wah keren ya, ternyata majikanku cucunya seorang artis terkenal. Apa kata teman-temanku kalau mereka tahu, aku jadi ikut bangga," kataku berapi-api.
"Kamu itu ... orang memandang dari kulitnya saja, tidak tahu kenyataannya. Seperti diriku, cucuku juga selalu merasa kesepian, Alien. Anak-anakku pekerja keras, hingga melupakan waktu untuk dirinya sendiri juga keluarganya. Cucuku selalu tersenyum di depan kamera, tapi siapa tahu tangis batinnya?" ungkap bobo dengan mata berkaca-kaca.
Aku memandang bobo yang tatapannya hampa jadi tidak tega, aku menggeser dudukku dan merangkulnya.
"Aku bahagia punya kamu, Alien," bisiknya. "Sebelumnya anak-anakku akan menitipkan aku di panti jompo," lanjutnya makin terisak.
Tiba-tiba teman-temannya berdatangan menghampiri kami. Bobo mengusap air matanya. Akhirnya mereka bercengkerama dan bersenda gurau.
Bagaimana keadaan keluargaku di Indonesia yang sebenarnya?
Bersambung ...
Aku harus bisa menepis keinginanku yang melambung tinggi. Jangankan untuk memiliki, mendekati saja resikonya seperti ini. Aku berani bersu'udzon ini pasti ulah dari keluarga besar Hanna tunangan Lay Ka Shing. Tidak habis pikir bagaimana hanya demi menghancurkan aku yang hanya seorang babu dari Indonesia mereka melakukan pengorbanan yang begitu besar. Narkoba sebagai barang bukti itu bernilai milyaran harus hilang di sita pemerintah Hong Kong hanya untuk menjebakku. "Alien, aku berjanji akan membantumu, ini hanya jebakan belaka untuk menjauhkan kamu dari Bos Lay Ka," janji Devis. "Terima kasih, Devis, kamu melakukan banyak pengorbanan buat aku juga mama dan anakku. Bagaimana cara aku membalasmu, Devis?" gumamku pelan. "Jangan bilang kamu menerima cintaku karena ingin membalas budi, Zhee? Andai memang demikian tak apalah, aku akan membuatmu benar-benar mencintaiku tanpa syarat," kata Devis yakin. "Beri aku kesempatan untuk jatuh cinta lagi, aku butuh waktu, Devis. Apalagi mengingat a
Sudah dua hari wanita penyebab aku mendekam di terali besi itu bungkam tanpa mengungkap pernyataan apapun. Ini membuat aku masih terkatung-katung di tahanan. Geram rasanya, ingin menghampiri nya dan menjambak rambutnya. "Kenapa sih sulit mengakuinya, takut hukuman mati menantimu ya? Tapi kenapa harus aku, coba? Apa salahku padamu?" monologku dengan geram. "Ada apa?" tanya polisi penjaga kepadaku. Aku mengoceh sendiri dalam bahasa Indonesia kayak orang gila. Sehingga membuat polisi Hong Kong merasa terganggu. "Pengacaramu ingin bertemu," kata seorang polisi yang lain yang tiba-tiba muncul. Apakah dia bersama Lay Ka? Kenapa aku merindukannya? Harusnya Devis yang kuharapkan, karena selain Lay Ka dia banyak membantuku juga. Bahkan dia dengan terus terang sudah menyampaikan perasaannya kepadaku. Polisi membuka gembok terali dan mengikutiku saat aku melangkah ke suatu ruangan. Telah duduk pengacara ku Andy Cheong sambil membuka-buka berlembar-lembar kertas fail. "Selamat siang, Tua
Aku berusaha menghubungi Lay Ka. Sepertinya dia masih di lokasi syuting karena saat dia mengangkat teleponnya suaranya sangat ramai. Lay Ka kesulitan mendengarkan suaraku. "Lay Ka, tolong aku ... sekarang aku di kantor polisi Central, aku tidak bersalah!" itu yang aku katakan. Tapi kiranya Lay Ka tidak mendengarnya. Dia berusaha untuk bertanya berkali-kali memperjelas, tapi tetap saja tidak bisa mendengar. "Alien ...halo?" Tidak jelas, Alien!" kata Lay Ka berteriak. "Kirimlah pesan!" lanjut Lay Ka meminta. Padahal aku bisa mendengar dengan jelas suara Lay Ka meskipun berisik. Akhirnya aku menulis pesan dalam bahasa Inggris. Karena aku tidak bisa menulis bahasa kantonis. Padahal aku juga tidak pandai berbahasa Inggris. "Help me, please!, I"m in trouble! Now, I am in police office in Central," itu yang aku tulis entah itu benar atau salah, aku yakin ini cukup dimengerti Lay Ka. Polisi Hongkong mempersilahkan aku duduk di suatu ruangan dan ponselku disita untuk diperiksa juga. Mer
Setelah mendengar ungkapan Lay Ka aku tidak tahu harus senang ataukah bersedih. Sejenak aku tersanjung mendengar pengakuan Lay Ka tentang perasaannya. Apalagi di depan publik, juga di depan Hanna yang selama ini selalu merendahkanku. Tapi juga sedih karena aku terjebak dengan sandiwaraku sendiri. Lay Ka dan publik menganggap aku dan Devis benar-benar pacaran. Tapi Devis benar-benar mencintaiku, haruskah aku menyakitinya? Dia orang yang selama ini tulus mencintai dan begitu baik kepadaku dan mamaku. "Sejak kapan perasaan itu datang, Lay Ka?" tanya salah satu fansnya. "Saya tidak sadar kapan datangnya, yang jelas kebersamaan kami selama ini menumbuhkan perasaan itu yang aku sendiri tidak menyadarinya," ungkap Lay Ka. Aku melambankan langkahku demi mendengar lagi pengakuan Lay Ka. "Terus bagaimana dengan Nona Hanna? Kapan dia hadir dalam hidup anda, Lay Ka?" tanya yang lain. "Mereka hadir di waktu yang berbeda, juga di tempat yang berbeda di hatiku," jawab Lay Ka mengambang. "Alien
Rendy mengirim pesan yang intinya dia minta ganti rugi uang untuk biaya pengobatan Berlian. Seluruh biaya selama dia di rumah sakit dan biaya ini itu aku harus menggantinya. "Aku sudah mentransfernya sesuai dengan permintaanmu," kataku lewat telepon pagi harinya. "Benarkah? Oke nanti aku cek!" jawab Rendy singkat. "Ya sudah aku tutup dulu, satu pesanku, "jangan sia-siakan anakku Berlian!" "Ya tidak mungkinlah, dia adalah kartu As ku. Oh ya, kamu nggak jadi pulang ke Indonesia? Tidak ingin nih ketemu Berlian? Kayaknya dia sedang menahan rindu padamu, Alien," ujarnya sedikit merendah. "Kamu akan sangat menyesal bila pulang nanti dia tidak mengenali kamu sebagai ibunya," bisiknya mengancam dan mengolok. Aku jadi berpikir, aku sendiri juga sedang menahan rindu. Benar apa kata Rendy bagaimana kalau Berlian lebih mengenal Ika daripada aku? Betapa hancurnya hatiku. Apalagi Rendy tidak pernah memberi kesempatan kepadaku untuk video call.
Lay Ka tiba-tiba merasa canggung, dia belum siap dengan jawaban tanpa konsep. "Bukan begitu Om, ini terlalu tergesa-gesa. Saya masih ingin menikmati kebersamaan ini, toh usia kita juga masih muda," jawab Lay Ka sekenanya. "Jawab saya dengan jujur, Lay Ka! Apakah kamu mencintai anakku?" tanya papanya Hanna tegas. "Sebenarnya yang kita lakukan selama ini adalah tuntutan peran, Om. Kalau ada chemistry diantara kita itu karena profesional kita berdua. Untuk ke jenjang yang lebih serius saya belum kepikiran kesana sama sekali." "Oke, om mengerti apa maksud jawaban kamu. Maksudmu kamu menolak Hanna kan? Apa itu karena ada wanita lain?" tanya papanya Hanna dengan tegas karena kecewa. "Usia kita masih sama-sama muda, Om. Masih banyak yang bisa kita lakukan. Kemungkinan Hanna bisa menemukan pria yang jauh lebih baik dari saya" kata Lay Ka pelan. "Kamu sedang menolak saya, Lay Ka? Jangan bilang kamu sedang jatuh cinta pada pembantumu itu,"
Akhirnya aku menunjukkan foto-foto anakku yang sedang terbaring tidak berdaya di bed rumah sakit. Dengan berat hati baik bobo maupun Lay Ka akhirnya mengijinkan. Aku menghubungi mama yang sekarang tinggal di rumah yang dibeli Devis. Mama menjelaskan kalau Berlian sedang terkena campak. Dan pagi ini dia sudah tidak demam. "Kalau kamu memang belum ada tabungan untuk dibawa pulang, kamu tangguhkan dulu tidak apa-apa, Alien," mama menasehatiku. "Yakin tidak apa-apa, Ma?" tanyaku menyakinkan. "Iya Alien, atau begini saja kita tunggu satu sampai dua hari kalau semakin baik berarti kamu tunda saja dulu kepulanganmu. Mama kasihan kamu, takut kamu berkecil hati karena kehidupan di Indonesia tidak mudah, Alien," mama masih menasehatiku. Akhirnya aku mengerti tujuan mama, aku tahun ini harus bisa menabung. Dua tahun yang berlalu gajiku habis kukirimkan ke suamiku yang ternyata habis untuk bersenang-senang. "Koko, malam ini aku pulang ke rum
Lay Ka mulai kewalahan mengendalikan gejolak nafsunya sendiri. Kini dia bisa mengalihkan konsentrasinya untuk lebih fokus menikmati gelora birahinya. Aku pun menikmatinya sekalipun terkadang sadar bahwa apa yang aku lakukan ini tidak benar dan harus segera dihentikan. Hujan berhentilah, aku mohon! "Aku mulai merasakan ada benda yang mengeras diantara pahaku. Aku terbelalak takut, bukan ini yang aku harapkan. Perlahan hujan mulai berhenti, tidak ada lagi kilat maupun petir. Sontak aku mendorong tubuh Lay Ka sehingga Lay Ka tersentak. "Alien!" pekiknya. Dia semakin ganas, dengan matanya yang menyala penuh nafsu dia kembali menubruk tubuhku dan menindihnya. Kembali ciumannya mendarat di bibirku lebih ganas, kemudian lidahnya yang basah dan hangat turun ke leherku yang jenjang. "Jangan, Lay Ka!" bisikku sambil kembali mendorong tubuhnya lebih kuat. Begitu aku bisa terlepas dari pelukan Lay Ka, bergegas aku lari keluar kamar.
Sejak insiden ciuman itu aku malu sekali untuk menampakkan batang hidungnya di depan Lay Ka. Tapi apa boleh buat Lay Ka sedang sakit bahkan bobo meminta aku menemani Lay Ka selama dia belum sehat. Sedang bobo ditemani adiknya yang kebetulan tepat tinggalnya tidak jauh. Aku datang dengan makanan dan susu di nampan. Lay Ka tampak bermain ponsel dan cuek dengan kehadiranku. ""Koko, aku buatkan bubur ayam, makanlah dulu," ujarku menahan kikuk karena malu. "Tadi bobo telepon, sementara kamu disuruh merawat aku dulu sampai sembuh, dia sudah ditemani adiknya," ujar Lay Ka datar. "Iya, bobo juga sudah bicara kepadaku," sahutku. "Makanlah, Koko, keburu dingin!" perintahku lagi. "Nanti saja belum selera," jawabnya. Kalau udah dingin aku yang repot lagi. Saat aku istirahat dia malah ngrepoti dengan permintaan ini itu. Akhirnya aku duduk di bibir ranjang dan menyuapinya. "Koko, aku suapi, aku tidak mau kamu ngerepoti aku saat kerja n