Share

Terjerat Cinta TKW Indonesia
Terjerat Cinta TKW Indonesia
Penulis: Roesaline

1. Pertemuan Tak Terduga

Aku keluar dari masjid terbesar di Hong Kong yang terletak di Central bersama dua temanku, Yuni dan Yuli. Untuk naik MTR aku harus berjalan menelusuri lorong yang lumayan jauh. Kami bertiga berlarian mengejar waktu agar cepat sampai di rumah majikan.

Terutama aku karena harus memasak untuk makan malam. Majikanku seorang nenek yang hidup sebatang kara karena kedua anaknya tinggal di luar negeri, yaitu Canada dan Amerika. Satu tahun kebersamaan kami menumbuhkan rasa saling menyayangi. Sebelum tidur aku memijit badannya dengan penuh kasih sayang sambil kita saling curhat. Kebetulan dari kecil aku tidak pernah mendapat kasih sayang dari seorang kakek dan nenek.

Kami bertiga berjalan semakin cepat, kami terbawa kebiasaan orang Hong Kong, serba cepat.

"Alien, wah ini artis tampan yang sering tampil di televisi, selfi dong!" ajak Yuni.

"Ayo ... ayo!" sahutku dan Yuli setuju.

Sepanjang lorong yang terang benderang itu terpampang banyak poster artis Hong Kong. Akhirnya aku berselfi dengan poster artis muda yang sangat terkenal dan tampan. Aku berpose dengan bibir monyong seolah mau menciumnya. Tiba-tiba seorang pemuda Hong Kong mengenakan hoodie dengan  kacamata dan masker menabrakku dengan keras.

Pyar! Ponsel pemuda itu jatuh dan hancur.

"Maaf, Koko!" spontan ucapku dengan memanggil dia kakak.

"Enak saja bilang maaf, lihat ponselku, hancur! Dasar pembantu kampungan, apa yang kamu lakukan di jalan umum seperti ini? Jangan jadi sampah di negara orang dong!" bentaknya emosi.

"Sebenarnya bukan aku yang salah, aku sudah berusaha minta maaf karena budaya negara kami mengutamakan kesopanan," jawabku kesal.

"Kamu tahu ini jalan umum, terus apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya menggertak.

"Tidak ada, aku cuma ... cuma," jawabku terbata-bata.

"O aku tahu, pasti kamu sedang memimpikan berfoto dengan artis terkenal Lay Ka," ujarnya sambil menunjuk poster Lay Ka. "Tahu dirilah! Mimpi di siang bolong, bagai langit dan bumi, tahu!" oloknya.

"Dasar ya, pasti orang tuamu menyesal melahirkan kamu. Tidak bisa menghargai wanita," sergapku.

Aku berjongkok memunguti ponselnya yang sudah hancur tak berbentuk. Karena bukan saja jatuh tapi tidak sengaja aku juga menginjaknya. Ponsel produk terbaru yang harganya pasti selangit, bisa-bisa gajiku enam bulan untuk ganti rugi.

"Ini kecelakaan, Kak. Aku tidak sengaja, kakak sendiri yang menabrakku, bukan aku yang salah," kataku membela diri.

"Kalau ingin tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, kita ke kantor polisi saja. Mana ada jalan umum di pakai selfi mengganggu orang jalan saja," tantangnya.

Waduh kalau urusannya sama polisi jadi rumit, kasihan bobo di rumah tidak ada yang melayani. Dia akan terkejut bila mendengar aku berurusan dengan polisi.

"Jangan, Kak, kita damai saja! Aku ganti ponselmu dengan yang baru, tapi aku minta waktu!" kataku berjanji.

"Kamu yakin? Kamu punya uang? Terus apa jaminannya kalau kamu mau ganti ponselku?" umpatnya mengejek.

"Bawa saja ponselku!" jawabku asal.

"Hah! Yang bener saja, ponsel jadul ini? Punya otak nggak sih kamu?" tanyanya kasar. "Mana ID card kamu!" lanjutnya sambil tangannya menengadah.

"Apa? Jangan dong bahaya saya tanpa ID card di negara orang, kalau ada apa-apa gimana?" kataku sedih.

"Udah berikan saja, kita nanti bisa urus surat kehilangan minta lagi masih bisa," bisik Yuli bersiasat.

"Jangan pernah berkonspirasi kejahatan di negara saya!" tukasnya.

Aku melihat jam tanganku, aku teringat majikanku sendiri di rumah dan waktunya makan dan minum obat. Kalau aku masih terjebak lama di sini bagaimana dia di sana? Tanpa berpikir panjang aku memberikan ID cardku kepadanya.

"Ini, aku tidak punya banyak waktu," ujarku sambil menyerahkan ponselku dan ID.

"Ih sombong! Emang siapa kamu tidak punya waktu? Pembantu saja belagu!" hinanya. "Sekarang aku tidak punya nomer telepon kamu, aku menunggu etikat baikmu menghubungi aku ke ponselmu sendiri. Kalau kamu mau main-main denganku, aku tinggal lapor polisi dengan petunjuk ID kamu, polisi mudah menemukanmu. Ini Hong Kong bukan Indonesia!" ancamnya, kemudian berlalu pergi.

"Ih kurang ajar!" teriakku. "Dasar mata sipit!" lanjutku mengumpat.

"Emang kamu tahu dia bermata sipit? Mana matanya pakai kacamata, pakai masker, pakai kudung kepala, mana kita tahu siapa dia? Jangan-jangan mafia kayak di film-film itu," ujar Yuni orang Indonesia dari Tulungagung.

"Ih termakan drama kamu!" olok Yuli sambil menggetok lengan Yuni. Yuli adalah sahabatku dari Ngawi, Jawa Timur.

Akhirnya kita berlarian menuju perlintasan MTR, untung jarak antara Central dengan Kennedy Town tidak jauh hanya melewati empat stasiun. Kalau Yuni dan Yuli masih harus transit, karena jaraknya sangat jauh.

Tak lama kemudian aku sampai di rumah majikan, sekalian tadi berbelanja untuk makan malam kami berdua.

"Selamat malam, Bobo!" sapaku, begitu aku memanggil nenek di Hong Kong.

"Kamu sudah pulang?" tanyanya dingin.

Sekalipun orangnya dingin dan kaku tapi dia baik hati.

"Kalau kamu capek, bagaimana kalau kita makan malam di luar saja, Alien?" tawar Bobo.

"Tidak, Bobo, aku hanya kesal hari ini aku apes. Ada orang menabrak aku, malah dia minta aku yang tanggung jawab, lucu kan? Aku harus mengganti ponselnya lagi!" gerutuku kesal.

"Kamu melakukan kesalahan apa? Kalau kamu tidak salah, tidak mungkin dia ada alasan minta ganti rugi?" tanya Bobo bijaksana.

"Iya sih, aku selfi di lorong stasiun, Bobo," jawabku menyesal.

Bobo tertawa ngekeh, sambil berjalan sedikit tertatih menghampiriku.

"Ini Hong Kong bukan Indonesia, Alien," katanya sambil menekan pundakku.

Kok kata-katanya sama dengan pemuda tadi? Ini Hong Kong bukan Indonesia.

Bagaimana cara aku mengganti ponselnya?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status