Bagai dihantam batu, perasaan Alyssa terluka mendengarnya. Ia seolah seperti wanita murahan yang bisa dengan mudahnya diperintahkan untuk melakukan hal hina seperti itu. Statusnya masih menjadi istri dari pria lain, tetapi kini ia justru disuruh melayani lelaki lain sebab ulah suaminya sendiri. Entah apa salahnya sehingga takdirnya seperti ini. Dalam keadaan saat ini ingin rasanya Alyssa menjerit sekencang-kencangnya untuk meluapkan emosi di dalam dirinya, namun semua itu harus ia tahan demi keamanan dirinya.
Selesai dengan acara minumnya, Roy mengajak Alyssa pulang ke rumahnya. Meski sebenarnya enggan, tapi mau tak mau Alyssa harus menuruti apa yang dikatakan oleh Roy, atau nyawanya yang mungkin nanti akan terancam.
Di dalam mobil, meski Roy dan Alyssa duduk berdekatan, tapi keduanya sama-sama tak ada yang membuka suara. Keduanya sama-sama memilih diam dengan pikiran mereka masing-masing. Sesampainya di kediaman Roy yang tampak sangat megah nan mewah, rumah dengan cat berwarna putih yang dikombinasikan dengan warna coklat muda itu terlihat layaknya rumah-rumah kerajaan yang pernah Alyssa tonton di televisi. Kini, Alyssa bisa tinggal di rumah besar seperti dulu lagi meski dengan keterpaksaan.
“Istirahatlah dulu, tenangkan pikiranmu. Besok pagi, aku tidak mau melihatmu menangis lagi,” kata Roy saat mereka telah masuk ke dalam rumah.
“Antarkan dia ke kamarnya,” titah Roy pada ketua pelayan di rumahnya.
“Baik, Tuan,” ucap ketua pelayan dengan mengangguk patuh. Wanita itu kemudian menoleh pada Alyssa, “Mari, Nyonya,” ajaknya dengan ramah.
Alyssa mengikuti langkah kaki pelayan tersebut hingga tiba-tiba langkah kaki pelayan itu berhenti tepat di depan pintu kamar dengan cat berwarna putih emas. Ketua pelayan yang biasa dipanggil Bi Ningrum itu dengan sigap membukakan pintu kamar tersebut, lalu mengajak Alyssa masuk ke dalam kamar tamu yang kini menjadi kamarnya.
“Baju-bajunya sudah di lemari, Nyonya barangkali Nyonya ingin berganti pakaian,” ucap Bi Ningrum memberitahu, sedangkan Alyssa hanya menjawab dengan anggukan singkat. “Apa Nyonya ingin mandi? Kalau mau mandi biar saya siapkan dulu air hangatnya,” tawar Bi Ningrum dengan ramah.
“Tidak, aku hanya butuh istirahat, tolong tinggalkan aku sendiri,” sela Alyssa.
“Baik, kalau begitu saya keluar dulu, Nyonya. Nanti jika ada yang Nyonya butuhkan bisa panggil saya,” ujar Bu Ningrum seraya tersenyum lembut. Alyssa hanya mengangguk singkat, kemudian mengalihkan pandangannya karena air matanya akan meluncur kembali.
Setelah pintu tertutup, sesuai dugaan, air mata Alyssa seketika mengalir membasahi pipi mulusnya. Make-up yang telah menempel di wajah wanita itu bahkan hampir hilang karena air mata yang tidak henti-hentinya keluar.
Alyssa duduk di pinggir ranjang dengan kedua telapak tangannya yang ia letakkan di depan wajahnya. Dadanya naik turun dengan isakan yang terus terdengar. Pikirannya terus berputar mengingat kenyataan pahit yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin Dio—suaminya, orang yang seharusnya melindunginya justru dengan tega malah menjualnya demi uatng, bahkan Dio sama sekali tidak minta maaf dan menerima uang itu tanpa4asa bersalah kepadanya..
Setelah puas menangis, mata Alyssa seketika terpejam begitu saja. Sangking lelah fisik dan jiwanya, Alyssa tanpa sadar tertidur di atas ranjang tersebut. Wajah wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu kini tampak sangat damai ketika ia tengah tidur dengan nyenyak
***
Pagi hari yang cerah telah menyapa, namun tampaknya Alyssa masih betah dengan mimpinya. Wanita itu hingga setia memejamkan kedua matanya di atas ranjang itu. Bi Ningrum mencoba mengetuk pintu kamar Alyssa beberapa kali, namun tak ada jawaban. Bi Ningrum tampaknya menjadi bimbang antara kembali melanjutkan mengetuk pintu lagi, atau justru berhenti dan menunggu Alyssa bangun dengan sendirinya saja. Setelah mempertimbangkannya, Bi Ningrum memilih kembali melanjutkan mengetuk pintu kamar Alyssa kembali karena hari sudah akan siang. Bi Ningrum takut jika Alyssa nanti jadi sakit karena belum sarapan sejak pagi tadi.
Tok Tok Tok
Wanita paruh baya itu menunggu beberapa menit menunggu jawaban dari Alyssa yang ternyata belum ada suara sama sekali, akhirnya bi Ningrum kembali mengetuk pintu itu hingga akhirnya Alyssa bangun juga.
Alyssa lantas berjalan ke arah pintu dan membuka pintu kamarnya. Tampak bi Ningrum yang sudah menunggunya di depan pintu dengan senyuman ramah yang ia tunjukkan.
“Saya bawakan sarapan, Nyonya, karena hari sudah hampir siang,” ujar Bi Ningrum. “Boleh saya masuk untuk menaruh makanan ini?” lanjutnya mencoba bertanya. Alyssa yang perasaannya belum sepenuhnya baik pun hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda jika dia memperbolehkan wanita itu masuk.
Melihat jawaban Alyssa, bi Ningrum melangkah masuk ke dalam kamar dan meletakkan nampan yang penuh dengan lauk pauk beserta susu dan juga desert untuk Alyssa. Bi Ningrum kemudian berjalan ke arah jendela, tangannya dengan cekatan memegang sisi tirai tebal berwarna coklat muda keemasan, menariknya dengan lembut ke samping hingga terikat rapi di pinggir jendela. Di balik tirai tebal itu, terlihat hordeng tipis berwarna putih yang sengaja dibiarkan terjunta. Silau cahaya menembus hordeng putih itu, menyebar ke seluruh kamar tanpa mengungkapkan bagian dalamnya kepada dunia luar. Suasana kamar tetap privat namun dipenuhi dengan cahaya alami yang menenangkan.
Setelah kepergian Bi Ningrum, Alyssa kembali naik ke atas ranjangnya dan merendahkan tubuhnya lagi. Jika biasanya setiap pagi dirinya akan ke rumah para tetangga untuk mengambil pakaian kotor milik para pelanggannya yang akan dia cuci, kini Alyssa hanya ingin menyendiri menenangkan hatinya yang masih dalam keadaan terluka, lagipun juga pasti dirinya sudah tidak akan bisa bekerja seperti biasanya lagi karena ia sudah dijual oleh suaminya. Kini, Alyssa hanya bisa meratapi nasibnya di dalam kamar barunya yang sangat luas ini.
Matanya menoleh melihat makanan di atas nampan yang tadi dibawa oleh Bi Ningrum. Makanan yang terlihat mewah, namun saat ini nafsu makannya sedang hilang entah ke mana. Sakit di hatinya mengalahkan rasa lapar di dalam perutnya. Wanita itu lebih memilih merenung kembali, melihat langit-langit atas sembari mengingat semua yang telah terjadi di dalam pernikahannya bersama dengan Dio selama beberapa tahun ini.
Air mata tak lagi bisa ia bendung. Hatinya teramat sakit saat mengingat semua yang terjadi di dalam kehidupannya. Mulai dari waktu kebersamaan bersama orang tuanya yang jarang bisa ia rasakan, kemudian saat ia sudah dewasa tiba-tiba dirinya dijodohkan oleh Dio demi bisnis papanya, tak lama setelah pernikahannya justru kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan tunggal, hidupnya jadi miskin gara-gara ulah suaminya, dan yang terakhir Alyssa justru dijual oleh suaminya sendiri hanya demi uang. Lengkap sudah penderitaan Alyssa selama ini. Tak ada lagi harapan bahagia di dalam dirinya. Kini, ia hanya bisa pasrah menerima takdir pahit ini. Isakan tangisan terus keluar dari mulutnya. Alyssa kini benar-benar tidak tahan dengan nasibnya. “Kenapa hidup gue sesial ini, sih?” jerit Alyssa sembari tersedu-sedu.
Bi Ningrum dan para pelayan lainnya yang tengah di lantai bawah, tepatnya di dapur, mereka sampai terkejut saat mendengar ada suara tangisan dari kamar Alyssa. Hati mereka ikut teriris mendengar tangisan pilu itu. Entah apa yang telah terjadi pada Alyssa, tapi dari suaranya terdengar sangat amat sakit.
“Kenapa, ya? Apa terjadi sesuatu?” tanya salah satu pelayan kepada teman-teman pelayan lainnya.
“Apa Nyonya nangis karena Pak Bos?” timpal pelayan lainnya yang juga ikut bertanya.
“Entahlah, aku tidak tahu, tapi mungkin saja, sih,” celetuk salah satu pelayan di antara mereka.
“Huss, sudah, kita jangan ikut campur. Kita semua tidak tahu apa yang telah terjadi pada Nyonya, jadi sebaiknya kita tidak bersikap ceroboh dengan mencari tahu hal-hal yang seharusnya tidak kita ketahui. Berpura-pura tuli lah agar hidup kita aman,” tegur Bi Ningrum selaku kepala pelayan. Setelahnya mereka semua mengangguk patuh dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing, sedangkan di dalam kamar Alyssa tak menghentikan tangisnya hingga siang hari.
Pukul 12:00 siang Bi Ningrum ke kamar Alyssa lagi dengan membawakan makan siang untuk wanita yang dia panggil dengan sebutan Nyonya itu, siapa lagi kalau bukan Alyssa. Satu-satunya wanita yang diperbolehkan tinggal di rumah majikannya, bahkan semua pelayan diminta Roy agar memanggil Alyssa “Nyonya.”
Tok Tok Tok!!
Bi Ningrum mengetuk pintu itu perlahan. Suara tangus nampaknya sudah tak terdengar, namun Alyssa sama sekali tidak menjawab ataupun membuka pintu kamarnya.
“Nyonya, saya membawakan makan siang untuk Nyonya. Boleh saya masuk ke dalam?” Hening, tak ada suara apa pun dari dalam kamar Alyssa. “Apa tidur, ya?” batin Bi Ningrum.
Bi Ningrum yang merasa sedikit cemas pun lantas mencoba membuka pintu kamar Alyssa yang ternyata sama sekali tidak dikunci. Dengan perlahan Bi Ningrum melangkah masuk. Matanya melirik melihat Alyssa yang sepertinya masih menangis. Meski suaranya tak terdengar karena Alyssa menutupi kepalanya dengan bantal, namun gerakan badan bagian belakang belakang Alyssa yang terlihat sesegukan itu memperlihatkan kalau Alyssa masih menangis. Bi Ningrum dibuat terkejut saat matanya melihat nampan berisi makanan yang tadi pagi ia bawa ternyata masih utuh dan belum tersentuh sedikit pun.
“Loh, Nyonya tadi pagi gak sarapan?” tanya Bi Ningrum memastikan, meskipun sebenarnya ia sudah tau jawabannya. “Nyonya kenapa gak sarapan, nanti sakit, loh?” Bi Ningrum berusaha mencari cara agar ia bisa akrab dengan Alyssa. Kepala pelayan itu kemudian mencoba duduk di pinggir ranjang, berusaha membujuk Alyssa agar mau makan siang.
Tangan Bi Ningrum terulur mengusap lengan Alyssa. “Nyonya, makan dulu, yuk!” bujuk Bi Ningrum, tapi Alyssa masih tidak merespon sedikit pun. “Nyonya kenapa? Kalau Nyonya mau berbagi cerita sama Bibi, Bibi siap dengerin, kok.”
Alyssa yang merasa belum kenal, juga belum dekat dengan Bi Ningrum itu membuatnya tak mau merespon apa pun. Yang ia butuhkan saat ini hanya menyendiri sampai hatinya lega dan ia bisa menerima semua kenyataan pahit ini.
Bi Ningrum yang melihat Alyssa tak mau meresponnya lantas menoleh pada nampan yang ada di atas nakas sebelah tempat tidur Alyssa. “Makan dulu ya, Nyonya, saya suapin biar Nyonya gak lemas. Kalau Nyonya nggak makan nanti Nyonya bisa sakit, dan saya bisa dipecat sama pak Roy.” Bi Ningrum mau tak mau harus berkata seperti itu agar Alyssa mau makan. Akhirnya, Alyssa menoleh menatap Bi Ningrum dengan mata yang sudah terlihat sembab, bahkan bekas air matanya pun masih tampak jelas di wajah wanita itu.
“Nanti akan saya makan, saat ini saya hanya butuh waktu untuk sendiri,” lirih Alyssa.
“Baiklah, nanti jangan lup makan siangnya dimakan, ya, Bibi lanjutin kerjaan Bibi dulu,” ucap Bi Ningrum seraya tersenyum lembut, sedangkan Alyssa kembali membenamkan wajahnya pada bantal yang ia pegang.
***
Pukul 20:00 malam Roy tiba di rumah. Seperti biasa para pelayan langsung menyambutnya dan mempersilakan Roy untuk makan malam.
“Alyssa sudah makan?” tanya Roy yang tak mendapati Alyssa di ruang makan.
“Maaf, Tuan, Nyonya Alyssa sejak tadi pagi mengurung diri di dalam kamarnya. Saya sudah bawakan sarapan dan makan siang untuk Nyonya, tapi Nyonya sama sekali tidak memakannya. Saya juga sudah bujuk Nyonya dan berinisiatif untuk menyuapi Nyonya, tapi Nyonya tidak mau. Maafkan saya, Tuan,” ungkap Bi Ningrum takut-takut.
“Sekarang di mana dia? Masih di kamarnya?” tanya Roy menoleh sekilas pada Bi Ningrum.
Bi Ningrum dengan cepat mengangguk. “Iya, Tuan.”
Mendengar jawaban Bi Ningrum, Roy lantas berjalan ke arah kamar Alyssa. Langkahnya yang tegas membuat orang-orang di sekelilingnya merasa takut dengan apa yang akan terjadi. Terlihat Roy melinting kemeja pergelangan tangannya sembari kakinya terus melangkah menaiki tangga.
Di sisi lain, Alyssa tampak duduk termenung di pinggir ranjang dengan tatapan kosong. Wanita itu benar-benar terlihat hancur. Kesedihan yang terlalu dalam membuatnya tidak ingin melanjutkan hidupnya, namun takdir masih memintanya untuk tetap hidup di bumi yang abu-abu ini.
Suara pintu terbuka, menampakkan wajah lelaki yang telah membelinya. Lelaki berwajah dingin tanpa ekspresi yang sama sekali tak pernah Alyssa kenali. Roy masuk dengan langkah tenang namun penuh otoritas, terdengar tegas sesuai dengan wajah pria itu.
Alyssa sama sekali tak menggubris siapa yang akan menghampirinya, yang ia inginkan saat ini hanya diam tanpa mau tahu keadaan di sekitarnya. Wanita itu bahkan tampak sangat kucel dan tak terurus. Rambutnya tergerai, namun terlihat kusut, beberapa helaian rambutnya menempel di wajah Alyssa. Matanya bengkak dan merah dengan lingkaran hitam di bawahnya akibat kurang tidur karena menangis yang terlalu lama. Terlihat bekas air mata yang sudah mengering. Wajah wanita itu bahkan tampak pucat dan kusam tak seperti saat Roy bertemu Alyssa tadi malam. Terlihat juga tisu bekas yang berserakan di lantai, selimut dan bantal pun tampak sangat berantakan. Alyssa benar-benar terlihat kacau.
Roy menghampiri Alyssa dan berdiri tepat di samping wanita itu. Meski sebenarnya merasa kasihan, tapi semua ini sudah menjadi kesepakatan antara Roy dengan Dio, dan Alyssa harus menanggung kesepakatan itu karena Roy sudah membayar mahal Alyssa. Pria itu memandang Alyssa dengan wajah datar tanpa ekspresi sedikit pun.
“Kau tidak makan seharian?” tanya Roy saat melihat nampan di atas nakas masih penuh dengan lauk pauk dan semua yang dibawa Bi Ningrum siang tadi.
Hening. Tak ada jawaban sama sekali dari mulut Alyssa. Tak menyerah, Roy kembali bertanya dengan sindiran celetukannya. “Kenapa kau tidak makan? Apa kau berniat untuk berpuasa, atau mencoba bunuh diri?” Alyssa menoleh sekilas, kemudian kembali memandang luar jendela dengan tatapan kosong.
“Makanlah, atau aku yang akan menyuapimu,” pungkas Roy. Namun, Alyssa sama sekali tak mengindahkan ucapan Roy. Roy yang merasa diabaikan lantas dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang. “Bawakan makan malam sekarang,” titah Roy pada seseorang di sambungan teleponnya. Tak lama, hanya dalam beberapa menit pintu terbuka lebar menampakkan Bi Ningrum yang membawa nampan berisi makan malam untuk Alyssa. Tenyata yang Roy hubungi adalah nomor telepon rumahnya sendiri dan meminta pelayannya untuk membawa makan malam itu
Bi Ningrum melangkah masuk menaruh nampan yang ia bawa di atas nakas, “Makan malam Tuan mau saya bawakan ke sini juga, Tuan?” tanya Bi Ningrum.
“Tidak perlu. Nanti saya akan makan di sana,” jawab Roy tenang, namun terdengar tegas.
“Baik, Tuan, kalau begitu saya ke bawah dulu.” Roy hanya menjawabnya dengan anggukan singkat.
Roy kemudian mengambil nampan itu, duduk di samping Alyssa dan mulai menyendok makan malam untuk Alyssa. “Buka mulutmu,” titah Roy, namun Alyssa tetap tak menggubrisnya.
“Aku bilang buka mulutmu, atau aku yang akan menyuapimu dengan mulutku,” ancam Roy yang membuat Alyssa menoleh sekilas.
“Aku tidak ingin makan,” cetus Alyssa sambil menatap ke luar jendela.
“Baiklah jika itu maumu, maka jangan menyesal dengan apa yang akan aku lakukan.”