Alyssa Xaviera, seorang istri yang dijual oleh suaminya sendiri kepada pria yang sama sekali tidak ia kenali. Alyssa dipaksa melayani pria yang telah membelinya karena Erik, suami Alyssa memiliki hutang sebesar 1 Miliar kepada Roy Johnson Maxwell, pria terkaya seantero jagat raya. Namun, tanpa mereka ketahui sebenarnya Roy adalah anak dari raja mafia terbesar di muka bumi ini. Roy menjadi penerus untuk menjalankan semua bisnis-bisnis besar milik ayahnya, Robert Aldison.
Lihat lebih banyakDi tengah malam yang sunyi, suara berisik dari ruang tamu mulai terdengar jelas di seluruh penjuru ruangan yang ada di dalam rumah kecil itu. Alyssa Xaviera, wanita sekaligus istri dari pria bernama Dio Andreas itu terlihat tengah duduk di sofa itu sembari memijit pelipisnya menahan lelah dan frustasi yang sudah mulai mencapai puncaknya.
Bau alkohol yang cukup menyengat itu mulai memenuhi dalam ruangan ketika Dio—suami Alyssa berjalan masuk dengan tubuh yang telah sempoyongan sambil memegang dua minuman keras. Wajah pria itu tampak sangat kusut, dengan mata yang sudah memerah. Alyssa bergegas menghampiri suaminya dan berdiri di hadapan Dio—sang suami. Kini, hanya tersisa jarak sekitar satu meter saja diantara Alyssa dan pria pemabuk itu. “Kamu mabuk lagi, Mas? Udah berapa kali aku bilang sama kamu, jangan pulang dalam keadaan mabuk seperti ini,” tegur Alyssa seraya menahan amarah di dalam hatinya. Meskipun sebenarnya Alyssa sudah sangat muak dan dongkol, tapi sebisa mungkin Alyssa tetap menahan emosinya agar Dio tidak semakin menjadi seperti biasanya. Ya, hal seperti ini bukanlah hal yang baru pertama kali Alyssa jumpai. Setiap malam Dio selalu pulang dalam keadaan mabuk, atau bahkan pria itu pasti marah-marah tidak jelas akibat kalah dalam pertarungan judi yang ia ikuti, sedangkan Alyssa hanya bisa pasrah menerima nasib pahitnya menjadi istri dari pria yang telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya dahulu. “Bawel banget, sih. Berisik tau, gak!” sahut Dio. “Gimana aku gak bawel kalau kamunya kayak gini terus, Mas! Aku cuma pengen kamu berubah.” Wanita bertubuh ramping nan putih itu menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca menahan tangis dan amarah yang tengah membuncah di dalam dirinya. Dio, pria bertubuh sedikit gempal itu lantas menggeram seraya melempar botol kosong yang ada di salah satu tangannya ke sembarangan arah. Dio kemudian menatap istrinya dengan tajam. Namun, detik berikutnya pria itu justru tersenyum miring. “Berubah seperti apa yang kamu inginkan, hah? Spiderman?” Dio terkekeh layaknya orang tak waras, sedangkan Alyssa memilih diam dengan perasaan yang telah bercampur aduk. Kaki Dio terseret mendekat ke arah Alyssa. “Kamu itu jadi cewek gak usah ngatur-ngatur. Di sini aku yang kepala keluarganya, bukan kamu!” seru Dio menatap Alyssa dengan tatapan menusuk. “Kepala keluarga? Kepala keluarga yang mana? Kepala keluarga siapa yang kamu maksud. Emang selama ini kamu pernah berperan sebagai kepala keluarga di dalam pernikahan kita ini?” sahut Alyssa menggebu. Dada wanita itu bahkan tampak naik turun menahan emosi yang masih bersarang di dalam dirinya. “Kamu pulang-pulang selalu bawa masalah, Mas. Mabuk, ngabisin uang buat berjudi. Apa sih gunanya itu semua? Apa nggak cukup bagi kamu kalau aku tiap hari harus kerja pontang-panting cari duit buat makan kita sehari-hari. Belum cukup itu, Mas?” Air mata Alyssa yang sejak tadi ia tahan pada akhirnya terjun bebas membasahi pipi mulusnya. Wanita itu tampaknya sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap suaminya yang selalu semena-mena terhadapnya. “Berisik! Aku juga kerja, bukan kamu doang!” Mata Dio melotot. Namun, tubuhnya kemudian goyah dan hampir terjatuh. “Kerja kamu bilang? Kerja apaan kamu, hah? Semua duitmu juga selalu habis kamu pakai buat judi dan mabuk-mabukanmu yang gak jelas itu,” cela Alyssa. “Aku udah capek, Mas. Capek sama semua ini. Kamu nggak pernah mikirin aku, nggak pernah mikirin keluarga kecil kita.” Alyssa memandang sang suami dengan tatapan penuh kekecewaan. Dio yang tengah dipengaruhi alkohol itu lantas mendekat tepat di depan wajah Alyssa. Sorot matanya semakin tajam dan lebih menusuk dari yang sebelumnya. “Jangan hanya karena kamu ikut bantu aku cari duit, kamu bisa seenaknya ngatur-ngatur aku ya, Alyssa!” geram Dio. Alyssa menggeleng pelan, “Bukannya ngatur-ngatur, Mas. Aku cuma mau kita bisa hidup dengan lebih layak. Aku pengen kamu sadar kalau kita ini butuh uang buat hidup. Bukan hanya untuk makan, tapi juga buat bayar listrik, air, dan kebutuhan lainnya. Bukannya malah kamu gunakan untuk judi dan mabuk-mabukan seperti yang kamu lakukan ini,” ucap Alyssa. “Diam!” bentak Dio melotot. “Kamu ini jadi istri terlalu berisik banget, ya? Aku capek, mau istirahat. Aku gak butuh denger ocehanmu itu. Kamu gak perlu ceramahin aku.” Dio lantas membalikkan badannya. Pria itu kemudian mengangkat botol satunya yang ada di sebelah tangannya dan langsung menenggaknya dengan rakus. “Biarkan aku bersantai. Kamu nggak tau betapa stresnya hidup ini. Aku ingin bersantai, bersantai, hahahaha.” Dio tertawa kencang sembari berjalan menuju kamarnya. Pria itu seperti orang gila yang kehilangan akal sehat. Alyssa mematung menatap punggung suaminya yang makin menjauh. Ada rasa menyesal karena ia dahulu mau menerima perjodohan itu. Namun, sebagai seorang anak, Alyssa tentu kalah dengan perintah ataupun keputusan dari kedua orang tuanya. Kini, ia hanya bisa menerima nasib dan kenyataan bahwa suaminya bukanlah pria baik seperti yang sanjung-sanjungkan oleh orang tuanya dulu. Flashback. “Al, nanti malam kita akan kedatangan tamu penting. Tolong kamu dandan yang cantik ya, Nak,” pinta Herlina—ibu Alyssa. Alyssa yang sedang mengunyah makan malamnya spontan menoleh ke arah sang ibu. “Tamu penting siapa, Ma?” tanya Alyssa dengan alis yang saling bertautan. Herlina yang mendapat pertanyaan dari anaknya sontak menoleh pada suaminya. “Papa akan menjodohkan kamu dengan anaknya teman bisnis papa.” Bukan Herlina yang mengatakannya, tapi Heri—ayah dari Alyssa. Alyssa yang mendengarnya spontan terkejut. Wanita itu lantas menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Al gak mau dijodoh-jodohin,” tolak Alyssa. “Gak ada penolakan. Pokoknya papa mau nanti malam kamu udah harus siap karena kita akan bahas rencana pertunangan kalian,” pungkas Heri tak bisa dibantah. “Papa apa-apaan, sih. Pokoknya Al gak mau dijodoh-jodohin!” seru Alyssa dengan kesal. “Al, dengerin Mama. Semua ini demi kelancaran bisnis papa kamu. Papa kamu lagi butuh dana investor yang cukup besar. Lagian mama lihat juga anak yang mau dijodohkan sama kamu itu kelihatannya baik, kok, mama sudah bertemu satu Minggu yang lalu. Iya kan, Pa?” ucap Herlina panjang lebar demi meyakinkan anak semata wayangnya. “Iya, Dio kelihatannya anak baik, kok. Lagian keluarganya juga kan udah terjamin bibit bebet bobotnya, jadi kamu gak perlu khawatir," ujar Heri ikut menimpali ucapan istrinya. “Ya tapi kan Al belum kenal dia, Pa, masa iya langsung dijodohin?” keluh Alyssa. “Ya sudah kalau gitu nanti malam saja kenalannya, sekalian bahas rencana pertunangan kalian. Papa yakin kamu pasti bakal suka.” Kini, Alyssa hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang begitu pahit. Setelah menikah dengan pilihan kedua orang tuanya, bukannya kehidupan Alyssa semakin baik dan bahagia seperti yang dikira oleh kedua orang tuanya, Alyssa justru harus menanggung semua beban biaya hidupnya bersama Dio. Bukan hanya biaya bulanan seperti air dan listrik, atau hanya sekedar untuk makan sehari-hari, tapi Alyssa juga harus membayarkan hutang-hutang suaminya yang selalu meminjam sana-sini untuk berjudi dan minum-minuman di diskotik. Bagaimana jika kamu yang berada di posisi Alyssa, stress bukan? Jadi, siapa yang lebih stres di sini, Alyssa atau Dio? Alyssa berjalan ke arah sofa dan memilih menenangkan dirinya di sana. Banyak hal yang mengganggu pikirannya, dan banyak hal yang ia sesali karena tidak memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya. Semasa hidupnya sejak kecil hingga dewasa, Alyssa selalu menuruti kemauan kedua orang tuanya, dan begitu menikah dengan Dio pun Alyssa juga selalu menurut pada suaminya. Alyssa tidak berani membantah, atau dia yang akan kena amuk suaminya. Kini, Alyssa sudah benar-benar lelah menjalani hidupnya. Ia ingin menyerah, namun takdir memaksanya untuk terus berjuang menjalani hidupnya yang pahit itu. ***** “Hey, Alyssa, bangun!” seru Dio membangunkan Alyssa yang tertidur di sofa ruang tamu. Namun, Alyssa sama sekali tak bergerak sedikit pun. Dio yang melihat istrinya tak kunjung bangun pun akhirnya semakin meninggikan suaranya dengan tangan yang masih menepuk-nepuk lengan Alyssa agar cepat bangun. “Alyssa, bangun! Udah jam berapa ini, kamu belum masak, belum beres-beres rumah! Jadi cewek malas betul, sih!” Alyssa yang mendengar suara berisik pun lantas membuka kedua matanya dan mendudukkan dirinya. Wanita itu kemudian mencoba melihat di sekitarnya. Deg! Jantungnya hampir copot saat melihat suaminya yang sudah ada di belakangnya dengan kedua tangan yang diletakkan di pinggang kanan dan kirinya bersiap untuk memarahi Alyssa. Ya, itulah kebiasaan Dio jika Alyssa telat bangun. “M—mas, kamu udah bangun?” tanya Alyssa terkejut sekaligus takut. “Mis, kimi idih Bingin,” ejek Dio menirukan ucapan Alyssa dengan bibir yang ia buat-buat. “Cepet bangun! Lihat tuh udah jam berapa!” Dio menunjuk jam di dinding. “Udah siang bukannya cepetan beres-beres rumah, masak, ini malah enak-enakan tidur di sini,” sungut Dio emosi. “M—maaf, Mas. Tadi malam aku gak sengaja ketiduran di sini,” ungkap Alyssa apa adanya. Ya, setelah semalaman Alyssa berperang dengan pikiran dan batinnya, tanpa sengaja mata wanita itu terpejam begitu saja dan tertidur dengan sangat pulas di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu tersebut. Sofa yang sudah tidak lagi empuk disertai dengan warna yang telah pudar hingga kehilangan warna kecerahan aslinya, juga terdapat beberapa noda yang cukup sulit untuk dihilangkan. Bagian-bagian yang sering diduduki pun bahkan sudah mulai kempis, sehingga akan terasa sangat tidak nyaman jika untuk ditiduri. Namun, faktor fisik yang terlalu lelah membuat Alyssa bisa tertidur dengan mudah di atas sofa yang telah terlihat usang itu. Jika bukan karena dibangunkan oleh suaminya, mungkin Alyssa akan tetap tidur di atas sofa itu dengan nyenyak, tapi sayangnya Alyssa harus bangun karena hari sudah akan siang. Alyssa mendongak ke arah dinding untuk melihat jam. Matanya seketika terbelalak saat mengetahui bahwa ternyata ia baru terbangun di saat waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Hari sudah akan siang, tapi ia baru terbangun. Namun, mengingat apa yang telah terjadi tadi malam membuat Alyssa sebenarnya malas untuk beraktivitas, tapi jika ia tidak segera beberes rumah, Dio akan semakin memarahinya. Nasib memiliki suami yang mudah emosi membuat Alyssa harus menyetok kesabaran yang lebih banyak lagi dan lagi. Alyssa lantas berdiri meninggalkan sofa yang tadi ia tiduri. Tujuan pertamanya adalah dapur karena hari sudah cukup terik tapi ia sama sekali belum memasak. Namun, baru saja Alyssa melangkahkan kakinya, wanita itu spontan menghela nafas saat matanya melihat pecahan-pecahan botol yang masih bertebaran di mana-mana akibat tadi malam Dio membuangnya dengan asal. Mau tak mau Alyssa harus membersihkan lantai terlebih dahulu agar pecahan beling itu tidak mengenai kaki penghuni rumahnya, sedangkan Dio, pria itu justru terlihat asik memainkan ponselnya dengan bersandar pada punggung sofa. Sungguh enaknya hidup laki-laki satu ini, huft. Alyssa mengambil sapu lantai dan juga serok sampah yang biasa ia letakkan di dekat dapur. Wanita itu kemudian mulai mengayunkan salah satu tangannya guna membersihkan pecahan-pecahan botol tersebut. Ada satu dua pecahan botol yang tidak mau masuk ke dalam serokan sampah ketika di sapu, sehingga mau tak mau Alyssa mengambil pecahan beling itu menggunakan tangannya dengan hati-hati. Namun, meski Alyssa sudah berusaha mengambil beling itu dengan hati-hati, tapi karena bentuknya yang kecil, tipis dan runcing membuat Alyssa cukup kesusahan mengambilnya hingga tanpa sengaja jarinya tertancap pecahan beling tersebut. “Aw!” Alyssa meringis merasakan sedikit perih di bagian jari telunjuknya. Wanita itu lantas segera mencabut beling itu dengan hati-hati. Jarinya seketika mengeluarkan darah saat Alyssa berhasil mencabut pecahan beling itu. Alyssa kemudian segera menaruh beling itu pada serok sampah di hadapannya, dan mengelap begitu saja darah di jarinya pada baju daster yang ia kenakan. Tak ada waktu baginya untuk mengeluh hanya karena jarinya terkena pecahan beling. Lagi pun, jarinya hanya berdarah sedikit, jadi bagi Alyssa ia tak perlu mengeluh berlebihan. Setelah dirasa lantainya sudah bersih dan aman dari pecahan beling, Alyssa gegas membuang pecahan beling itu ke dalam tong sampah yang terletak di luar rumahnya. Alyssa bergegas kembali ke dapur setelah membuang pecahan-pecahan botol minuman keras tersebut. Wanita itu tampak akan mengambil beras. “Yaaah, berasnya tinggal sedikit. Cukup gak ya sampai nanti malam? Semoga aja cukup, deh. Kalaupun tidak cukup ya harus tetap dicukup-cukupin,” ucap Alyssa dengan lirih. Bibirnya tersenyum miris mengingat keuangannya yang sangat mengenaskan. Sambil mencuci beras, pikiran Alyssa tak berhenti memikirkan banyak hal. “Mas Dio ada uang gak, ya? Kalau nanti sore aku tidak beli beras dan ternyata nasinya habis, lalu makan malam kami bagaimana? Apa mas Dio mau nahan lapar? Ah, pasti dia tidak mau, dan pasti nanti aku juga yang harus nahan lapar sampai besok,” batin Alyssa yang tengah dilanda rasa bingung bagaimana caranya ia bilang kepada Dio nanti kalau berasnya sudah habis, sedangkan Dio setiap dimintain uang selalu saja marah-marah dan mengatakan bahwa Alyssa terlalu boros. Padahal Alyssa sudah sangat-sangat menghemat dan mengatur segala kebutuhan rumah tangganya dengan sebaik mungkin. Namun, pengeluaran tak terduga seperti membayar hutang-hutang suaminya saat tiba-tiba ada rentenir yang datang ke rumahnya untuk menagih tunggakan yang belum dibayarkan oleh Dio, dan beberapa pinjol yang juga ikut meneror nomornya sebab suaminya selalu meminjam duit di berbagai aplikasi menggunakan nomor istrinya tanpa sepengetahuan Alyssa. Bayangkan, betapa stress-nya hidup Alyssa harus menanggung beban yang cukup berat semenjak menikah dan menjadi istri dari seorang Dio Andreas, sangat menyedihkan bukan? Setelah memasukkan beras ke dalam Magicom dan menancapkan kabelnya, Alyssa kemudian membuka kulkas untuk mengambil sayuran segar yang akan ia masak. Namun, nafas berat kembali ia hembuskan saat melihat sayur-mayur yang juga tinggal sedikit. Hanya tinggal beberapa macam sayuran yang ada di dalam kulkas, dan Alyssa tentunya harus pintar-pintar mengolah sayuran itu agar bisa menjadi masakan yang enak untuk suaminya. Dengan buru-buru Alyssa merajang bahan-bahan masakan itu hingga hanya dalam waktu setengah jam saja masakan telah siap. Alyssa lantas segera menaruh lauk-pauk itu ke dalam wadah untuk ia bawa ke ruang televisi. Ya, Dio selalu makan sambil menonton televisi. Rumah kecil nan sempit, juga ruangan yang terbatas membuat mereka tidak memiliki ruangan khusus yang bisa mereka gunakan untuk makan bersama. Hanya ada ruang TV, dapur, 1 kamar mandi, dan 1 kamar. Untuk melempit dan menggosok pakaian pun Alyssa lakukan di ruang televisi. Kadang Alyssa merindukan rumah ibunya yang cukup nyaman dan luas. Namun, semua telah terkubur dalam kenangan. “Alyssaaaaa!! Mana sarapannya?” teriak Dio dari ruang tamu.Mobil mewah memasuki halaman rumah yang tampak begitu megah, berhenti di depan pintu dengan jarak sekitar lima meter. Roy menoleh, menatap wajah cantik Alyssa yang bersandar di bahunya dengan mata yang terpejam. Tampaknya ia ragu untuk membangunkan Alyssa, sementara supirnya sudah membukakan pintu untuknya. Akhirnya, Roy mengangkat Alyssa dengan perlahan supaya Alyssa tak terbangun. Seorang pelayan dengan sigap menghampiri mobil tuannya, berdiri di depan Jerry dengan memegang payung besar guna memayungi majikannya. Roy keluar dari mobilnya dengan menggendong Alyssa ala bridal style, sedangkan Bi Ningrum memayungi keduanya hingga sampai di depan pintu, lalu memberikan payung itu pada pelayan yang lain untuk disimpan di tempat semula, sementara Bi Ningrum menyiapkan minuman untuk majikannya. Begitu minuman yang ia bikin sudah siap, Bi Ningrum dengan dibantu pelayan lainnya, lantas meletakkan minuman-minuman itu di atas nampan-nampan yang telah mereka siapkan, satu untuk Roy, dan sat
Pria itu kemudian sedikit menjauhkan badannya dari Alyssa, mengusap air mata itu dengan lembut, menatapnya dengan raut wajah bersalah. “Alyssa?” panggilnya berbisik. Suaranya bahkan hampir tak terdengar saking pelannya. “Apa sakit? Maaf jika aku mencium 'mu terlalu kasar. Sakit, ya?” Roy meniup pelan bibir Alyssa yang terlihat sedikit bengkak akibat ulahnya. “Maafkan aku.” Roy kembali meminta maaf merasa bersalah pada Alyssa. Namun, Alyssa justru meremas baju di bagian dadanya seakan memberitahu jika dadanya teramat sakit menerima takdir pahit yang selalu datang kepadanya. Mata Roy tak lepas dari gerak-gerik yang dilakukan Alyssa, ia menggenggam halus tangan Alyssa sambil bertanya, "Kenapa? Apa yang sakit?" Namun, Alyssa hanya diam, matanya tetap terpejam dengan diiringi air mata yang terus keluar. "Hey, please ... jangan nangis, dong? Tolong jangan bikin aku panik, Alyssa." Roy mengusap lembut pipi Alyssa, ia menatap sedih pada wanita di hadapannya yang terlihat sangat hancur.
Lagi-lagi Alyssa hanya menggeleng. Roy spontan mengepalkan satu tangannya melihat respon Alyssa yang jelas terlihat kalau Alyssa sedang tidak baik-baik saja. Pria itu menoleh ke arah Tiffany, meminta jawaban dari sikap Alyssa yang tampak badmood, namun Tiffany hanya menggeleng sebagai jawaban kalau dia tidak tahu Alyssa kenapa. “Mau pulang?” tanya Roy. Tangannya mengusap lembut rambut Alyssa dengan penuh kasih sayang, tatapannya sangat terpancar jika pria itu benar-benar mencintai Alyssa. “Beri aku waktu sebentar,” tukas Alyssa tanpa ingin dibantah. Roy mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Satu tangannya masih terus membelai lembut rambut Alyssa, berharap wanita di sampingnya kembali ceria seperti saat mereka berlatih tadi. “Tak usah memikirkan hal yang tidak penting, Baby. Cukup nikmati hidupmu di samping ku, maka akan ku pastikan kau bahagia bersamaku selamanya,” bisik Roy yang kemudian mengecup singkat pucuk kepala Alyssa cukup lama, sedangkan A
Dengan cepat wanita itu menggeleng, “Maaf, saya tidak tahu, Nyonya.” “Oh … ya sudah kalau gitu, biar saya tunggu di sini saja.” Alyssa mendudukkan pantatnya pada kursi yang ada di gazebo tersebut. “Baik, Nyonya. Saya akan jaga Nyonya dari situ,” ucapnya sambil menunjuk bangku yang tidak begitu jauh dari Alyssa. Alyssa spontan menoleh cepat, melihat pelayan itu berjalan ke arah bangku yang tidak jauh darinya. “Mbak, gak perlu jagain saya gak apa-apa, kok. Mbak lanjut kerja aja,” seru Alyssa yang merasa sedikit tak enak hati. “Gak apa-apa, Nyonya, sudah tugas saya untuk menemani pelanggan.” Wanita itu lantas mendudukkan bokongnya di salah satu kursi yang ada di gazebo, tentunya tidak jauh dari Alyssa untuk tetap menjaga Alyssa, hanya berjarak dua meter dari kursi yang Alyssa duduki. “Bosnya gak marah Mbak, kalau Mbak nemenin saya?” tanya Alyssa. Ia takut kalau nanti pelayan itu dimarahi oleh bosnya karena menemani dirinya. “Tidak, Nyonya. Bos saya justru akan marah kalau saya tida
“Jadi benar kau selingkuh dariku?” Alex menatap Tasya dengan penuh emosi. Tasya menoleh, menatap Alex sambil tersenyum miring. “Selingkuh? Dia calon suamiku, dan aku tidak pernah mengkhianatinya,” tukas Tasya melirik sinis. “Jadi selama ini kau mempermainkanku?” seru Alex dengan wajah yang telah memerah menahan amarah. Tasya terkekeh pelan, “Hidup itu memang seperti permainan. Kita tinggal memilih, menjadi pemainnya, atau yang dimainkan,” celetuk Tasya. Alex yang semakin terbawa emosi lantas mengepalkan kedua tangannya, lalu menarik-nariknya dan berusaha mengeluarkan tangannya dari ikatan besi yang menjeratnya. Namun, sayangnya hal itu sia-sia baginya. Tasya dan pria di sampingnya berbalik menghadap Roy, “Tugas saya sudah selesai, King. Kami izin untuk kembali berjaga,” pamit Tasya dengan membungkukkan sedikit badannya kepada Roy, lalu keduanya keluar dari ruangan itu setelah Roy memberi kode lewat gerakan telunjuknya. Tatapan Alex terkejut, “Jadi, dia orang suruhan Roy?” batin
Di sebuah ruang bawah tanah yang agak gelap, terlihat seorang pria terikat di dinding berwarna abu-abu. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang berat, memaksa tubuhnya tetap bersandar tegak pada dinding. Wajahnya penuh luka dan lebam, bekas pertarungan atas perlawanannya saat akan ditangkap oleh anak-anak buah Roy. Matanya memancarkan kelelahan, tetapi ada kilatan amarah yang belum padam. Terlihat darah yang telah mengering di bagian pelipis dan sudut bibirnya. Di sekelilingnya tak terdengar suara apapun, sangat sunyi dan sepi. Dalam kesunyian, pria itu tampak merencanakan sesuatu, menunggu momen yang tepat untuk membebaskan dirinya dari rantai-rantai yang mengikatnya. Namun, dia tidak tahu bahwa tepat di balik pintu tebal itu, dua penjaga berpakaian serba hitam berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, dan tangan mereka masing-masing menggenggam senjata api. Dari jauh, terdengar suara langkah pelan namun tegas. Seorang pria dengan setelan santai namun tetap terlihat el
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen