"Kau sudah selesai, Patra?" tanya karyawan pria yang sudah berdiri di depan ruang ganti cleaning service."Eh, iya, sebentar!" sahut Patra yang masih merapikan kemejanya.Patra sengaja menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat malam itu lalu ia mandi dan berganti kemeja serta rok span agar ia terlihat lebih pantas.Patra pun sedikit melongokkan kepalanya ke arah pintu masuk."Entah dia akan merasa kelamaan atau tidak, ah, tapi biar saja, aku harus tampak sedikit lebih cantik agar tidak memalukan," gumam Patra sambil memoles wajahnya dengan make up tipisnya.Setelah memastikan penampilannya lagi, Patra pun menggerai dan menyisir rambutnya lalu ia tersenyum mendapati penampilannya yang menurutnya sempurna.Patra segera keluar dan menemui karyawan pria yang sudah menunggunya itu sampai membuat pria itu tertegun sejenak menatap Patra."Eh, Patra ... kau ... cantik sekali! Astaga, melihatmu tanpa sera
"S-selamat malam semuanya! Aku Patra ... aku ...."Susah payah Patra membuka mulutnya menyapa semua, tapi Maya langsung menyelanya dengan nada meremehkan."Cleaning service kan? Kami sudah tahu!" Maya menatap Patra dari atas ke bawah dan tersenyum menyeringai.Tanpa sengaja, Maya mengetahui rencana manager proyek dan dua karyawannya untuk menggoda Patra dan Maya yang memang kesal pada Patra karena insiden di kantin pun menawarkan diri untuk membantu mengerjai Patra."Kau ini kenapa, Maya? Hei, Patra, ayo kemari!" ajak Timo, manager proyek yang langsung bangkit berdiri dan memeluk bahu Patra dengan santainya.Refleks Patra menepis lengan Timo sampai Timo pun membelalak kaget."Ah, maaf ya! Aku hanya bersikap santai dan akrab saja.""Ah, iya, apa ... hanya ada ... kita?" tanya Patra sungkan.Entah mengapa rasa antusias Patra yang tadi mendadak menghilang merasakan atmosfer yang berbeda begitu masuk k
"Sial! Mengapa perasaanku seperti ini?"Nero tidak berhenti mengumpat saat ia sudah duduk di dalam mobilnya.Bahkan, ia tidak juga berniat menjalankan mobilnya dan hanya terus memukul setirnya dengan geram."Dia sengaja berdandan untuk mereka kan?" gumam Nero sambil tertawa begitu frustasi."Sial! Mengapa aku harus mendengar obrolan mereka kemarin malam? Mengapa harus aku? Mengapa juga aku harus memakai toilet karyawan pada saat seharusnya aku bisa memakai toiletku sendiri? Sial!" geram Nero lagi sambil berusaha menenangkan napasnya.Nero pun memejamkan matanya dan bayangan Patra muncul di sana.Patra yang begitu cantik dengan kemeja dan rambutnya yang tergerai, make up tipisnya pun membuat wajah cantik itu menjadi makin cantik.Namun sedetik kemudian, Nero mengepalkan tangannya mengingat bagaimana Patra bersandar di pelukan pria tadi."Cukup, Nero! Berhenti memikirkannya! Para pria itu brengsek! Ya, o
"Pergi ke mana dia?"Nero melangkah cepat ke toilet wanita di dekat ruangan Timo dan membuka satu persatu biliknya, tapi Patra tidak ada."Sial! Bukankah wanita suka bersembunyi di toilet? Di mana dia sebenarnya?"Nero pun keluar dari toilet dan meraih ponselnya, bermaksud menelepon bagian CCTV untuk mencari Patra, tapi ia teringat karyawan CCTV sedang berada di ruangan Timo.Dengan tidak sabar, Nero mencari Patra ke ruangan cleaning service. Dan benar saja, Patra memang ada di sana.Awalnya Nero mau langsung masuk saja karena pintunya tidak tertutup rapat, tapi mendengar suara isakan dari dalam, Nero pun menghentikan langkahnya.Sebagian hati Nero merasa perih mendengar tangisan Patra. Saat masih bersama dulu, Nero selalu melindungi Patra dan tidak pernah membiarkan Patra menangis sedikit pun, walaupun tetap saja Patra pernah menangis di depan Nero dan setiap mendengar tangisan Patra, Nero pun merasa sedih.&nbs
"Lepaskan aku, Pak Nero! Apa lagi yang mau Anda dengar, hah?" Patra menatap Nero dengan berani.Nero pun terdiam sambil menatap Patra dengan tatapan yang sulit diartikan."Aku tidak menyangka kau benar-benar murahan, Patra! Sepenting itukah uang untukmu sampai mengorbankan harga dirimu?""Tadinya aku masih berharap semua yang aku tahu tentangmu itu salah, tapi apa yang aku lihat sudah membuktikan semuanya! Kau menghalalkan segala cara hanya demi uang! Kau berakting polos padahal kau ... KAU MURAHAN, PATRA!" teriak Nero begitu keras.Dan Patra yang mendengarnya kembali tertawa frustasi.Tubuh Patra lemas setelah berjuang melawan traumanya, Patra menangis begitu keras tadi dan Patra sangat lelah, namun saat ini, otak dan hatinya kembali dipaksa berperang melawan Nero tanpa ampun hingga seluruh bagian dalam diri Patra pun meledak."Benar!" sahut Patra akhirnya. "BENAR! AKU MURAHAN!" teriak Patra dengan sama k
Gila!Nero pasti sudah gila saat mengajukan syarat untuk Patra.Pertama karena Nero tidak sungguh-sungguh ingin mengijinkan Patra keluar dari perusahaan ini.Dan kedua, mengapa syaratnya harus tidur bersama?Entahlah, Nero hanya tidak bisa berpikir jernih saat ini, tapi kebutuhan untuk mempertahankan Patra mendadak ia rasakan sangat mendesak.Nero pun hanya bisa menatap Patra dengan hati yang galau, menunggu respon Patra.Namun tanpa disadari, hatinya diam-diam berharap, bukan karena ia ingin melecehkan Patra, tapi karena ia sungguh menginginkan wanita itu.Sedangkan Patra yang mendengarnya sudah membelalak begitu lebar."Apa? Apa yang Anda katakan?" tanya Patra dengan syok.Nero menelan salivanya dengan samar sambil berusaha mempertahankan ekspresinya."Kau mendengarku, Patra! Tidur denganku!" ulang Nero yang merasa tidak ada jalan untuk kembali lagi.Nero su
Cukup sudah!Kesabaran Patra sudah habis mendengar semua hinaan Nero. Setiap kata yang terucap dari bibir pria itu seolah meremat hatinya dan Patra sudah tidak sanggup lagi.Sekalipun Patra bukan orang kaya, sekalipun sekarang ia hanya seorang cleaning service, tapi ia tidak terima terus direndahkan seperti ini. Cara Nero membalas sakit hatinya terasa sangat menyesakkan dan Patra tidak mau lagi. Itulah yang membuat Patra begitu berani berteriak dan melawan Nero tadi. "Ya, aku tidak menyesal! Aku sama sekali tidak menyesal sudah membela martabatku sendiri! Dan apa yang aku katakan adalah kebenaran! Mengenal Nero adalah penyesalan terbesar dalam hidupku! Hidupku berantakan karena mengenal pria itu dan jatuh cinta padanya!"Sesaat setelah mengatakannya, Patra memeluk dirinya makin erat sambil meringkuk di atas ranjang kamarnya. Patra menangis. Lagi-lagi ia menangis. Saat semua emosi dalam diri tidak cukup diungkapkan hanya dengan kata-kata, maka tangisan adalah satu-satunya cara unt
"Ayo cepat, Greedy!""Tunggu dulu! Kau tahu tubuhku sebesar ini, aku tidak bisa berlari cepat! Kau duluan saja, cari Patra di ruang cleaning service, aku akan menyusul!" sahut Greedy dengan napas yang sudah tersengal karena berlari mengikuti Selly. Selly dan Greedy baru saja datang bersama ke kantor tadi saat beberapa karyawan lain bergosip tentang insiden kemarin malam.Awalnya Selly hanya memasang telinganya untuk sekedar ingin tahu saja, tapi begitu mendengar nama Patra disebut, Selly langsung panik dan mereka pun mencari Patra. Patra sendiri baru saja selesai mengganti seragam cleaning servicenya, tapi hatinya sendiri tidak tenang. "Apa benar para karyawan itu menatapku dengan aneh atau itu hanya perasaanku saja? Mengapa rasanya seperti ini? Apa karena masalah kemarin?"Patra mengernyit dan mengingat kembali lirikan para karyawan lain saat ia masuk ke lobby tadi, bahkan baru saja teman sesama cleaning service juga buru-buru keluar saat ia masuk. Entah masalah apa lagi ini. Pat
Brak!Nero menutup pintu kamarnya dengan begitu kesal. Tanpa mempedulikan Kania, Nero pun terus berjalan mondar mandir sambil mengembuskan napas panjang dan hati Kania pun makin sakit melihatnya. "Ada apa, Nero?" Kania berhasil bertanya dengan suara yang sudah bergetar. "Apa yang ... membuatmu sampai semarah ini?""Tidak ada, Kania! Aku hanya sedang kesal! Tidurlah duluan!" Nero mengedikkan kepalanya ke arah ranjang. Namun, Kania hanya melirik ranjangnya lalu tertawa pelan menatap Nero. "Ranjang itu sama sekali tidak hangat untukku, Nero. Kita tidur satu kamar tapi aku merasa seperti sedang tidur sendiri."Nero langsung terdiam mendengarnya. Ia pun menatap Kania dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu, Kania? Kemarin malam aku memang baru kembali ke kamar tengah malam karena itu, aku langsung tidur!""Kau tahu bukan itu maksudku, Nero!""Tidak! Aku tidak mengerti maksudmu, Kania! Apa yang sebenarnya kau bicarakan?"Kania menelan salivanya dan memaksakan senyumnya. "Selama tiga
"Baiklah, aku bersedia berinvestasi untuk proyek ini!" kata Pak Barry siang itu. Semua orang sudah begitu tegang sejak pagi dan Patra pun menampilkan presentasi terbaiknya di hadapan Pak Barry di ruang kerja pria itu. Patra menjelaskan semuanya dengan sangat baik sampai Axel dan Juan pun tersenyum puas. Axel sendiri ikut membantu menjelaskan bagiannya dan singkat kata, semuanya berjalan begitu lancar dan sukses. Patra pun hampir saja melonjak kegirangan mendengar ucapan Pak Barry. "Anda ... Anda serius, Pak Barry?" tanya Patra tidak yakin. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" balas Pak Barry santai seolah memutuskan menggelontorkan uang begitu banyak sama sekali tidak ada artinya untuk pria itu. "Ah, tidak ...." Patra begitu sungkan. "Selama kau yang memimpin proyeknya, aku setuju!""Eh? Aku ... tentu aku yang memimpin proyek ini!""Baiklah, aku setuju! Aku menunggu dokumen legalnya untuk kutandatangani dan aku akan segera mengirim uangnya untuk berinvestasi di proyek ini." Se
"Terima kasih banyak, Pak Barry.""Sama-sama, Bu Kania. Aku menantikan presentasinya besok.""Tentu, Pak Barry. Terima kasih."Kania dan Axel pun tersenyum ramah sebelum mereka berpisah dengan Pak Barry dan setelah itu, Kania pun kembali memasang ekspresi datarnya sampai Axel yang melihatnya pun mengernyit. "Hei, mengapa kau begitu murung, Kak? Bukankah seharusnya kau senang tanggapan dari Pak Barry begitu baik, kans kita cukup besar untuk mendapatkan hatinya di proyek ini! Selain itu kau juga bisa berlibur di tempat yang indah ini bersama Kak Nero kan?"Kania yang mendengarnya hanya terdiam dan mengangguk. "Tentu saja aku senang, Axel. Banyak hal yang seharusnya membuat aku senang.""Hmm, lalu apa yang membuatmu cemberut sekarang?""Tidak, aku tidak cemberut. Benarkah aku cemberut?""Astaga, Kak Kania! Kau pikir aku ini sungguhan karyawanmu, hah? Aku ini adikmu, tentu saja aku mengenalmu. Kakakku adalah wanita yang sangat ramah, murah senyum, dan selalu positif. Tidak seperti raut w
Juan dan Nero masih mengobrol saat Nero melihat Kania yang masih berdiri begitu lama dengan posisi membungkuk ke dalam mobil. Nero pun mengernyit dan mendekati Kania sambil mencoba melirik apa yang Kania lakukan. "Kania?" panggil Nero akhirnya. Kania yang tersentak kaget pun hanya bisa mengerjapkan matanya dan menyimpan kembali sepatu yang ia lihat tadi lalu memasang senyuman manisnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Ah, iya, Sayang?""Apa berat? Sini kubantu!" Nero mengambil beberapa berkas yang sudah ditumpuk oleh Kania dan siap diangkat. "Terima kasih, Sayang!" seru Kania sambil masih tersenyum menatap Nero.Nero sendiri pun masih mengangkat berkasnya dan ia terdiam sejenak menatap Patra yang masih tertawa senang bersama Selly dan Axel. Nero mengembuskan napas panjang dan langsung saja mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebelum ia melangkah mengikuti Juan. Sementara Kania ikut terdiam dan langsung menoleh ke arah tatapan Nero tadi.Kania pun kehilangan senyumnya sama sekali
Axel menghentikan mobilnya di parkiran kantor pagi itu. Ia baru saja menjemput Patra dan mereka sudah sangat terlambat pagi itu. Patra pun sudah siap berlari, tapi Axel mendadak mengulurkan tangannya ke arah Patra sampai Patra mengernyit bingung. "Apa? Kita sudah terlambat!""Aku tahu!" Axel mengedikkan kepalanya ke arah uluran tangannya. "Berlari bersama akan lebih cepat!"Patra pun terdiam sejenak dan bermaksud menolak, tapi belum sempat penolakan itu keluar dari mulutnya, Axel sudah menyambar tangan Patra dan menggenggamnya erat. Patra sempat tersentak kaget, tapi ia tidak sempat protes lagi karena Axel sudah mengajaknya berlari begitu cepat. "Akkhh, Axel!"Namun, Axel hanya tertawa begitu senang dan Patra pun akhirnya ikut tertawa senang. Menyenangkan sekali berlarian seperti anak kecil dari parkiran yang begitu luas sampai ke lobby perusahaan. Mereka pun terus tertawa bersama sambil sesekali Axel menoleh menatap Patra. Sedangkan Nero yang melihatnya dari balkon tentu saja l
"Astaga, Axel! Aku benar-benar tidak menyangka kau begitu gentle!" sahut Kania tiba-tiba. "Kau baru mengenalnya sebentar tapi kau sudah begitu yakin padanya.""Haha, aku sudah sangat yakin dengan perasaanku, Kak. Semakin diyakinkan lagi, yang ada malah aku semakin menyukainya. Bahkan aku tidak tahan berjauhan dengannya. Aku benar-benar seperti orang bodoh saat ada di dekatnya.""Wah wah, aku yakin kali ini Axel serius. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya." Kania melirik Nero dan Juan yang sudah mematung tanpa ekspresi. Kania dan Axel pun mendadak heboh sendiri menceritakan tentang Patra, tapi mendadak Nero berkomentar. "Kapan kau mau menyatakan perasaanmu, Axel? Di villa nanti? Kau tidak bisa melakukannya, Axel!" geram Nero dengan nada meninggi. "Momennya tidak pas. Kalau kau ditolak, kau akan down dan tidak bisa bekerja lagi! Kau mau mempertaruhkan nama perusahaan hanya karena ungkapan cinta, hah?" "Jangan kekanakan, Axel! Lagipula seperti dia juga menyukaimu saja!" geram Nero
"Pihak investor mau kita menemuinya di villanya besok lusa, Patra. Jadi bersrmangatlah. Namanya Pak Barry, kita harus berhasil melobinya untuk berinvestasi di proyek itu!" seru Axel pagi itu. Patra yang mendengarnya pun berdebar, tapi ini proyek pertamanya. Karena itu, Patra harus berusaha keras untuk mendapatkan investasi itu. Di sisi lain, Juan sedang sangat gelisah dan terus mengikuti Nero ke mana-mana. Nero mabuk semalam saat mengatakan akan memutuskan Kania dan ketika Juan meminta penjelasannya, Nero malah tertidur. "Semoga saja dia tidak ingat apa yang sudah dia katakan tadi malam." Juan terus bergumam sendiri. "Apa Kania tidak ke kantor pagi ini? Dia tidak memberitahuku soal jadwalnya pagi ini," kata Nero yang melangkah masuk ke ruang kerjanya. "Eh, mengapa mendadak kau mencari Kania?" sahut Juan tegang. "Memangnya mengapa aku tidak boleh mencarinya? Tidak biasanya dia tidak memberitahu jadwalnya.""Err, apa sekarang kau mempedulikan Kania?""Heh? Aku tidak mengerti maks
"Nero ... lepas ..." Patra masih mencoba bicara walau bibirnya saat ini sedang dikunci oleh Nero. "Mmphh ...." Beberapa kali Patra berusaha mendorong Nero namun semakin Patra mendorong, Nero semakin maju sampai Patra terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Nero terus memagut bibir Patra begitu lama, mengabaikan Patra yang terus memberontak. Hingga akhirnya Patra pun menyerah, alih-alih mendorong, Patra malah mencengkeram kemeja pria itu. Tanpa disadari, Patra mulai membalas pagutan bibir pria itu. Nero yang merasakannya sempat tersenyum kecil, sebelum ia kembali melahap bibir Patra. Tubuh Patra pun mulai melemas, menandakan bahwa wanita itu sudah pasrah dan tangan Nero pun berhenti mengungkungnya. Tanpa melepas pagutan bibirnya, Nero pun mulai menangkup dan membelai kepala Patra dengan sayang. Dan untuk sesaat, mereka begitu menikmati tautan bibir mereka, sama seperti dulu saat mereka masih sepasang kekasih. Hanya saja, bedanya kalau dulu mereka hanyalah sepasang remaja yang m
Nero memicingkan matanya mendengar pertanyaan Kania pada Patra.Walaupun Nero cukup kaget dengan pertanyaan kepo itu, namun Nero sendiri cukup penasaran apa jawaban Patra. Namun, Patra sama sekali tidak berniat menjawabnya. Patra pun melirik Axel, seolah meminta bantuan dan Axel yang pengertian pun lagi-lagi menyelamatkannya. "Haha, Bu Kania! Lagi-lagi Anda membuat Patra takut!" "Ya ampun, maaf ya, Patra! Aku tidak bermaksud membuatmu takut, aku hanya penasaran. Tapi kalau kau tidak mau bercerita juga tidak apa." Kania melirik Axel dan memberi kode tidak bisa membantu lagi. Patra tersenyum canggung, tapi Axel terus berusaha mencairkan suasana sampai pembicaraan mereka menjadi lebih santai, walaupun tatapan Nero tidak berhenti terpaku pada Patra. Sampai tidak lama kemudian, ponsel Kania dan Axel berbunyi pada saat yang hampir bersamaan. Mereka pun mendadak sibuk mengangkat teleponnya masing-masing. "Astaga, Nero! Maaf aku harus segera pulang. Ibuku baru saja dijambret dan dia san