Share

Pukulan Berat

"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.

Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.

“Sebaiknya kau duduk dulu.”

Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya.

Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”

“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.

Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.

“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang kau puas?!”

Hazel menatap lurus ke arah Dean. Sorot matanya sangat tajam, disertai dengan air mata yang mendadak mengalir deras. Dia sadar seharusnya dia tidak menangis di hadapan laki-laki itu.

"Aku bisa mengerti perasaanmu. Kau pasti merasa kehilangan," ucap Dean canggung.

"Tahu apa kau tentang perasaanku?"

Hazel mengangkat dagunya. Dia mengusap air matanya dengan kasar. Dia tidak ingin terlihat sangat lemah di mata Dean.

"Olivia masih muda. Nyawanya bisa diselamatkan kalau saja kalian mau peduli," tambah Hazel.

Dean tidak membalas kata-kata Hazel, percuma saja. Posisinya saat ini tidak menguntungkan dirinya. Karena dia memang bersalah. Dia bersalah telah meragukan perkataan Hazel sebelumnya.

Hazel berjalan melewati Dean tanpa memandang ke arah laki-laki itu. Dia ingin menyingkir dari hadapan Dean. Tapi, pandangan matanya tiba-tiba mengabur. Kepalanya terasa berat, detik selanjutnya tubuhnya ambruk tidak sadarkan diri.

***

Aroma desinfektan tajam menusuk hidung. Perlahan Hazel mulai membuka matanya. Tapi, hanya sebentar. Dia langsung menutup matanya kembali begitu melihat seberkas cahaya yang sangat menyilaukan.

"Kau sudah sadar?"

Sebuah suara yang tidak asing terdengar di kepalanya. Tanpa melihat pun dia tahu si pemilik suara. Siapa lagi kalau bukan Dean.

Hazel bergumam tidak jelas. Seluruh tubuhnya terasa remuk dan sulit untuk digerakkan. Dia mencoba untuk bangun, tapi gagal.

"Sebaiknya kau beristirahat dulu. Dokter bilang kau menderita anemia dan dehidrasi," ucap Dean pelan.

"Aku ingin melihat jenazah adikku, serta bayinya."

Hazel mecabut jarum infusnya dengan kasar.

Pelan-pelan dia menegakkan punggungnya, lalu menurunkan kedua kakinya. Setelah yakin kakinya menjejak dengan sempurna, dia mencoba untuk berdiri. Dia menunggu sampai benar-benar yakin sanggup untuk berjalan.

"Aku akan memegang tanganmu kuat," ucap Dean. Dia berjalan mendekat, tangannya menyentuh lengan Hazel.

Hazel mendorong tubuh Dean menjauh dengan sekuat tenaga. Kepalanya terangkat, dan matanya menatap tajam. Dia sama sekali tidak segan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Dean.

"Jauhkan tanganmu dariku! Aku bisa melakukannya sendiri," tukas Hazel kesal.

Akhirnya Hazel berhasil masuk ke ruang jenazah dengan jalan tertatih. Dari ekor matanya, dia tahu kalau Dean mengikutinya dari belakang. Dia memilih membiarkan Dean begitu saja.

"Aku sudah mengurus proses pemakaman adikmu dan bayinya," ucap Dean di belakangnya.

Hazel hanya diam. Matanya menatap lurus ke arah dua jenazah orang yang dia cintai. Sekarang dia tidak memiliki siapa-siapa. Menyadari kenyataan itu, membuat hatinya serasa diiris-iris.

“Aku tidak mau mengganggumu lagi. Besok aku akan kembali menemuimu. Mungkin kita bisa membicarakan masalah ini lebih lanjut saat suasana hatimu telah membaik,” ujar Dean lalu memutuskan meninggalkan Hazel sendirian.

***

Hazel menatap gundukan tanah yang masih basah. Tubuh adiknya terbujur kaku di bawah sana, kedinginan. Sekarang dirinya sebatang kara, tidak lagi memiliki keluarga. Rasanya sungguh berat, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya kelak.

"Hazel ...."

Seseorang memanggil namanya pelan. Hazel melirik sekilas. Dean menemuinya lagi seperti janjinya kemarin.

"Jangan pernah memanggil namaku seolah kau mengenal baik diriku!" sergah dia ketus. Dia sama sekali tidak malu menunjukkan rasa bencinya pada laki-laki itu.

"Ada yang harus aku sampaikan. Tapi, tidak di sini." Dean berkata dengan nada kaku.

Dean lalu mengepalkan kedua tangannya, mencoba menahan emosi yang tengah menggelegak di dalam dada. Kemarin dia telah berusaha bersikap sebaik mungkin, tapi tindakannya itu tidak mampu menyentuh hati Hazel . Sekarang dia akan kembali menjadi dirinya sendiri.

"Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan. Adikku sudah meninggal. Jadi, tidak ada alasan kau datang menemuiku," ucap Hazel kasar.

"Aku tidak berniat menghiburmu atau apa karena aku tahu kau tidak membutuhkannya," sergah Dean tidak kalah ketus.

Hazel membalikkan badannya, memandang tajam pada Dean. Seumur hidup dia tidak ingin membenci seseorang seperti sekarang. Entah kenapa perasaan bencinya pada Dean seperti telah mengakar kuat di dalam hatinya.

“Aku juga tidak mau kau melakukannya.”

Hazel mengayunkan langkah. Dia harus secepatnya pergi dari sini bila tidak ingin berdebat dengan laki-laki sombong itu. Tidak ada gunanya.

Dean menghentikan langkah Hazel saat gadis itu berhasil melewatinya. Dia tidak ingin membiarkan Hazel pergi sebelum dia menyampaikan niatnya. Bagaimana pun caranya, Hazel harus mau mendengarkan ucapannya.

"Kita perlu bicara. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan," kata Dean.

Hazel bergeming. Dia meneruskan langkahnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kata-kata Dean.

“Hazel ….”

Satu tangan Dean mencengkeram kuat pergelangan tangan Hazel ketika Hazel berjalan cepat melaluinya begitu saja. Kali ini dia mungkin akan bersikap kasar. Hazel bisa saja terluka, tapi dia tidak peduli.

“Lepaskan tanganku!” desis Hazel marah.

“Jika bukan karena kenyataan bahwa aku mampu memaklumi kesedihanmu, aku pasti sudah menuntut permintaan maaf,” kata Dean dengan sorot mata penuh amarah.

"Oh, sekarang kau bersikap seolah aku menjadi penyebab masalah dalam hidupmu?"

Hazel membuang muka. Dia memandang ke arah lain. Setidaknya dia bisa mengalihkan perhatiannya sejenak pada deretan pohon yang berada di area pemakaman itu.

"Dengar. Aku tidak mau kau mengotori hari pemakaman adikku. Aku ingin kau pergi dari hadapanku," bisik Hazel. Suaranya pelan, tapi nada bicaranya sangat tajam.

Dean menarik tubuh Hazel mendekat padanya. Dia menarik napas panjang, lalu berdeham sebentar. Dia menatap Hazel lekat-lekat, mengunci Hazel agar tetap diam di tempatnya.

“Ini bukan tempat yang tepat untuk bertengkar. Kendalikan dirimu sebelum aku lepas kendali!" sergah Dean tidak kalah sengit.

“Kalau begitu, kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?” Mata Hazel beradu dengan mata Dean, lalu dia buru-buru berpaling. “Enyahlah.”

Napas Hazel terengah-engah. Berbicara dengan Dean membuat emosinya meledak-ledak. Dia tidak mampu mengendalikannya. Lalu, sesuatu yang tidak terduga terjadi padanya.

Dean meraih tangan Hazel. Dia menyeret gadis itu menuju tempat mobilnya terparkir. Dia membiarkan Hazel meronta-ronta di belakangnya.

“Kesabaranku ada batasnya. Tutup mulutmu, dan duduk tenang," ucap Dean disertai dengan geraman.

Dean mendorong Hazel masuk ke dalam mobilnya. Dia berjalan cepat menuju ke sisi lain mobil, dan langsung menyalakan mesin begitu dia berhasil duduk di belakang roda kemudi. Dia memacu mobilnya kencang membelah jalanan yang sepi.

***

Sekarang, di sini lah mereka. Di ruangan kantor Dean yang luas. Dean tidak membiarkan orang lain masuk ke ruangannya sementara dia perlu berbicara dengan Hazel.

"Apa yang kau inginkan sekarang?” sembur Hazel tanpa segan menunjukkan amarahnya.

“Aku akan memberikan kompensasi atas meninggalnya adikmu. Meskipun adikku bersalah, adikmu juga punya andil di dalamnya” ucap Dean santai.

"Huh ...." Hazel mendengus. "Bukan ini yang mau aku dengar keluar dari mulutmu."

"Kau tidak perlu berpura-pura seolah peduli dengan adikmu. Kalau kau peduli, kau tidak mungkin membiarkan adikmu menggoda adikku. Atau ...."

"Atau apa? Katakan saja. Aku sudah terbiasa menerima kata-kata buruk selama ini." Hazel menantang dengan sorot mata berapi-api.

"Atau kau memang sengaja menyuruh adikmu untuk menggoda adikku."

Hazel meraup wajahnya, lalu menyentuh keningnya. Bila di sini ada segelas air, dia pasti langsung menyiramkannya pada laki-laki itu. Sayangnya di hadapannya sekarang hanyalah sebuah meja kosong.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang hidup kami. Perlu kau tahu. Adikmu lah yang terlebih dahulu mendekati dan menggoda adikku," balas Hazel tidak mau kalah.

Dean membuka mulutnya, tapi langsung menutupnya kembali. Dia seperti kehilangan kata-kata. Hanya sementara karena setelah itu dia memutuskan untuk tidak membuang-buang waktu lebih lama lagi.

"Kau boleh menulis berapa pun yang kau mau. Setelah itu menjauh lah dari kehidupan kami." Dean melemparkan buku cek tepat di depan Hazel.

Hazel terperangah, seolah terkena sebuah tamparan keras di pipinya. Dia menatap tidak percaya pada laki-laki itu. Ini merupakan sebuah penghinaan.

"Aku tidak butuh uangmu. Aku juga tidak berniat berada dekat-dekat dengan hidupmu," ucap Hazel ketus. Giginya saling beradu.

Hazel meraih buku cek itu, lalu menyobek lembaran-lembaran yang ada di dalamnya. Setelah itu dia melemparkannya ke arah Dean. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah menerima penghinaan seperti ini.

“Hentikan sandiwaramu! Kau tentu berpikir kau bisa menaikkan harganya dengan berpura-pura menyayangi adikmu ” Dean bergumam pelan, menggoda.

“Kau tidak berhak menilai diriku sesuka hatimu. Tapi, terserah apa katamu. Aku tidak peduli."

"Oh, ayolah. Selama ini kau hidup dalam kekurangan. Selagi bisa, kenapa kau tidak menyambar kesempatan yang aku berikan?" pancing Dean.

"Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin kau katakan, sebaiknya aku pergi," ucap Hazel lalu beringsut dari sofa.

Hazel melangkah pelan dengan kepala tengadah. Dia tidak ingin membuat Dean merasa puas karena berhasil mempermalukannya. Dalam hati dia berharap hari ini adalah pertemuan terakhir mereka.

"Simpan saja uang beserta kesombonganmu. Aku tidak membutuhkannya," ucap Hazel setelah mencapai depan pintu.

"Aku akan naikkan harganya. Uang yang kau terima bisa kau gunakan untuk melunasi semua hutangmu," lanjut Dean tanpa mengalihkan tatapannya dari Hazel.

Tubuh Hazel berputar seketika. Mulutnya terbuka dengan lebar. Dia mendengus kesal. Dia menatap Dean dengan sorot tidak percaya.

"Apa kau telah memata-matai diriku?"

Dean mengangkat bahunya. Dia mengulas senyum sinis. Sepertinya ucapannya tadi mampu memancing emosi Hazel.

"Bagaimana menurutmu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status