05
"Ini, dari Ibu," tutur Avreen sambil mengulurkan tas belanja biru.
"Makasih," jawab Jauhari. Dia mengambil tas dan mengecek isinya. "Wangi seblak," ungkapnya sembari mengangkat satu wadah makanan plastik dari dalam tas.
"Hu um. Kak Mala bikin banyak. Jadinya dibagikan."
"Buatan Kak Mala pasti pedas."
"Iya, tapi enak. Aku sampai nambah tadi."
Jauhari menyunggingkan senyuman yang menjadikan lesung pipinya tercetak dalam. "Sekali lagi, makasih, Non."
Avreen mengangguk. Dia mengamati lelaki yang tengah mengecek isi tas. "Om, kata Bang Varo, Om sudah cukup hafal wilayah Australia. Beneran?"
"Lumayan. Aku hampir tiap bulan dinas di sana. Kadang sambil ngawal para bos, atau Bang W."
"Habis ngecek kampusnya, aku pengen ke Brisbane."
"Mau ngapain ke sana?"
"Penasaran sama pantainya. Kata Bang Varo, bagus."
Jauhari manggut-manggut. "Ya, memang bagus."
"Bisa, kan?"
"Lihat sikon, Non. Kalau waktunya cukup, kuantarkan ke sana. Kalau nggak, kita ke pantai di sekitar Sydney aja. Bagus juga."
"Hmm, ya."
Keduanya saling menatap, sebelum Avreen memutus pandangan dan berbalik. Jauhari mengawasi gadis berkaus biru hingga lenyap dari pandangan.
Jauhari mundur dua langkah dan menutup pintunya. Dia bergegas pindah ke tepi kasur untuk menyantap makanan yang aromanya sangat menggoda.
Sementara itu di tempat berbeda, Khairani tengah memandangi fotonya dan Jauhari, yang diambil saat pesta pernikahan Chairil, beberapa bulan silam.
Khairani merindukan Jauhari yang belakangan kian sibuk dan sulit ditemui. Meskipun mereka bekerja di satu tempat, bahkan sama-sama menjadi asisten Wirya, tetapi Khairani dan Jauhari jarang berjumpa di kantor.
Gadis berparas manis tersebut menggeser layar ponsel untuk mengecek aplikasi pesan. Dia menggulirkan jemari untuk membaca pesan-pesan yang masuk, sebelum akhirnya mendengkus pelan.
Pesan yang dikitimkannya pada Jauhari satu jam lalu, hingga detik itu belum dibalas. Walaupun telah dibaca pria tersebut, tetapi Jauhari tidak membalasnya.
Terdorong rasa penasaran, akhirnya Khairani menelepon Jauhari. Dia menunggu panggilan masuk dengan sedikit tidak sabar. Kala telepon diangkat dan terdengar suara Jauhari menyapanya dengan salam, hati Khairani seketika merasa tenang.
"Waalaikumsalam. Abang lagi apa?" tanya Khairani.
"Makan seblak," sahut Jauhari.
"Beli di mana?"
"Enggak beli. Ini buatan Kak Mala."
"Loh, kok, bisa Abang dapat itu?"
"Aku nginap di mess atas garasi. Tadi rapat lama sama Pak Sultan dan disuruh nginap di sini."
"Pantesan. Chat-ku cuma dibaca dan nggak dibalas."
"Sorry. Aku lupa."
"Ya, udah. Nggak apa-apa."
"Ada hal penting?"
Khairani menggigit bibir bawah. Dia menggerutu dalam hati, karena Jauhari ternyata tidak peka. "Abang weekend ini, sibuk, nggak?" tanyanya.
"Kayaknya nggak. Kenapa?"
"Aku pengen nonton. Ada film bagus di bioskop."
"Boleh. Sabtu siang."
"Enggak sore aja?"
"Kalau sore, rame banget. Siang rada sepi dan bisa konsentrasi nonton."
"Oke, deh. Pulangnya kita makan. Aku yang traktir."
"Semuanya?"
"Yeee! Enggaklah."
"Kamu yang ngajak, berarti kamu yang bayar semuanya."
"Ish! Nggak modal!"
Jauhari terkekeh, demikian juga dengan Khairani. Akrab sejak beberapa tahun lalu menjadikan mereka sudah terbiasa bergurau dan saling mencela. Tidak ada yang boleh tersinggung, karena pastinya akan makin dijahili yang lainnya.
***
Jalinan waktu terus bergulir. Sesuai janji, Sabtu siang, Jauhari dan Khairani berangkat ke pusat perbelanjaan besar di kawasan Jakarta Selatan.
Lalu lintas yang cukup lengang menjadikan perjalanan itu berlangsung lancar. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka telah tiba di tempat parkir.
Setelah memarkirkan mobil SUV biru tua dengan rapi, Jauhari mematikan mesinnya, lalu melepaskan sabuk pengaman. Dia membuka pintu dan keluar. Jauhari menutup pintu, sebelum menekan remote untuk mengunci kendaraan.
Tidak berselang lama, pasangan tersebut telah melenggang menyusuri koridor panjang. Berbeda dengan jalanan yang lengang, suasana di mal itu cukup ramai.
Keduanya memutuskan untuk menggunakan eskalator dibandingkan lift. Meskipun harus berpindah-pindah posisi untuk tetap menggunakan eskalator, hal itu lebih cepat daripada harus menunggu lama antre di depan lift.
Sementara di pintu samping kanan lantai satu, Avreen muncul bersama Nuriel dan kedua sahabatnya, Tyas dan Viviane. Keempatnya melenggang menyusuri koridor, sebelum menaiki eskalator.
Kala tiba di lantai empat, Nuriel melihat Jauhari dan Khairani yang tengah berhenti di depan toko. Nuriel spontan memanggol kedua seniornya yang serentak menoleh ke belakang.
Avreen memerhatikan pasangan tersebut sesaat, sebelum berhenti di ujung belokan untuk menunggu Nuriel yang tengah menyambangi Jauhari dan Khairani.
"Itu, siapa, Reen?" tanya Tyas.
"Om Ari," jawab Avreen.
"Bukan yang cowok, tapi ceweknya."
"Kalau nggak salah, namanya Khairani. Asistennya Bang Wirya."
"Oh, teman satu timnya Bang Ari?"
"Hu um."
"Mereka pacaran?" sela Viviane.
"Enggak tahu," sahut Avreen.
"Kayaknya gitu, deh. Nempel mulu," tukas Viviane.
Avreen tidak menyahut. Dia enggan mengomentari kehidupan orang lain, dan memilih untuk tetap mengamati. Nuriel berpamitan pada kedua senior, kemudian dia berbalik untuk mendatangi ketiga perempuan tersebut.
"Non, Bang Ari juga mau ke bioskop. Dia ngajak barengan," tutur Nuriel.
"Aku nggak mau ganggu orang yang lagi pacaran," tolak Avreen.
"Mereka bukan pacaran, cuma sobatan."
"Iyakah?"
"Non tanya aja. Jawabannya pasti sama."
"Males. Aku bukan orang yang suka kepo dengan kehidupan orang lain."
Avreen memindai sekitar, kemudian dia mengajak kedua sahabatnya kembali ke eskalator, untuk melanjutkan perjalanan ke bioskop yang berada di lantai teratas.
Nuriel berpikir sesaat, lalu menyusul ketiga perempuan yang matanya sama-sama sipit. Nurut menunjuk ke atas dan Jauhari membalasnya dengan acungan jempol.
Puluhan menit terlewati, Jauhari dan Khairani memasuki studio dua. Mereka segera menuju kursi deretan tengah, yang ternyata berdekatan dengan kursi yang ditempati kelompok Avreen.
Jauhari menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan sang nona, yang menempati kursi yang hanya berselang satu nomor, dengan yang diduduki Jauhari.
"Buat Non." Jauhari mengulurkan satu kaleng minuman soda pada Avreen.
"Om, kok, bisa tahu, kalau aku suka ini?" tanya Avreen sembari mengambil kaleng tersebut.
"Tiap aku ngawal, Non pasti minum itu."
Avreen mengulaskan senyuman. "Makasih."
"Sama-sama."
Keduanya kembali saling menatap selama beberapa saat, sebelum Jauhari mengalihkan pandangan ke depan.
Avreen masih termangu dan baru mengarahkan tatapannya ke kiri, kala dipanggil Tyas. Tidak lama kemudian, lampu-lampu dipadamkan dan ruangan seketika gelap.
Sepanjang pemutaran film romantis mix action ala Hollywod itu, Avreen dan Jauhari beberapa saling melirik. Keduanya akan cepat-cepat mengalihkan perhatian, bila terpergok tengah memandangi.
Saat adegan menegangkan, Khairani mencengkeram tangan kanan Jauhari yang refleks menggeser tangannya menjauh. Khairani menoleh ke kiri dan terpaku kala melihat bila Jauhari tengah mengambil popcorn yang diberikan Avreen.
Hati Khairani tiba-tiba terasa tidak nyaman. Terutama karena Jauhari dan Avreen sama-sama menggeser badan untuk saling mendekat. Khairani mengerutkan dahi, kala Jauhari dan Avreen terlihat berbincang akrab.
107Ruang tunggu khusus penumpang pesawat pribadi atau carteran, sore itu tampak ramai orang dengan berbagai tampilan. Sebab rombongan yang akan berangkat sangat banyak, membuat para ketua rombongan membedakan warna baju setiap kelompok.Tim Eropa yang dipimpin Carlos, mengenakan kemeja putih dan celana biru. Tim Kanada yang dipimpin Harun, memakai kemeja biru muda dan celana hitam. Sedangkan tim Australia yang dipimpin Nadhif, menggunakan kemeja hijau dan celana krem. Keluarga puluhan pengawal muda, terlihat lebih sedih dibandingkan pengantar lainnya. Sebab anak-anak mereka yang berangkat itu semuanya berusia di bawah 24 tahun, dan baru pertama kali bertugas ke luar negeri. Hal berbeda dilakukan keluarga pengawal lama, yang sudah lebih kuat hatinya ditinggal anak untuk berdinas. Para orang tua tersebut tampak ceria dan saling bercengkerama, karena sudah cukup akrab. Menjelang keberangkatan, para manajer dan staf masing-masing kelompok, dipanggil Wirya untuk berkumpul di sudut kan
106Pagi menjelang siang, Ishwar dan keluarganya tiba di kediaman Jauhari. Tidak berselang lama, Mediawan dan Lituhayu beserta keluarga Pramudya, juga turut hadir. Jalan blok depan rumah Jauhari seketika dipenuhi banyak mobil mewah. Beberapa ajudan muda akhirnya memindahkan mobil-mobil ke blok belakang yang masih kosong. Jauhari meringis ketika mendengar percakapan Tio, Mediawan, Sultan, dan Marley, yang tengah membahas rencana renovasi rumah. Jauhari bingung, bagaimana caranya untuk menyampaikan keberatannya pada keluarga Avreen. Selain karena sungkan, Jauhari juga tidak mau menyinggung perasaan mereka yang berniat membantu. Kala Alvaro datang bersama keenam sahabatnya, Jauhari menarik tangan Alvaro dan Wirya, untuk memasuki kamar utama. Jauhari bahkan sampai mengunci pintu, supaya tidak ada yang menerobos. Jauhari duduk di kursi dekat meja rias. Dia menyampaikan kegundagannya tentang percakapan Sultan dan yang lainnya. Alih-alih langsung menjawab, Alvaro dan Wirya justru tersen
105*Grup PBK New Original*Alvaro : Tes. Tes. Zulfi : Naha' bikin grup PBK New deui? Alvaro : Yang ini khusus kita bertujuh belas. Wirya : Aku baru mau ngusulin bikin grup khusus begini. Biar lebih enak ngobrolnya, dan nggak terlalu rame. Yoga : Yoih. Supaya lebih terkontrol. Yanuar : Mataku siwer. Huruf R, nggak kelihatan. Jadi terk-on-tol.Andri : Kumat! Haryono : Sipitih, Mesum! Jauhari : Bang Yan! Yusuf : Baru juga buka grup, sudah ngakak aku. Hisyam : Aku sampai baca ulang. Takut salah. Qadry : Maafkan Abang iparku, Teman-teman. Chairil : Nasibmu, @Qadry. Jeffrey : Aku lagi minum, sampai nyembur lihat komenan Bang Yan. Aditya : Bang Yan menodai mataku. Nanang : Merampas kesucianku. Fawwaz : Merenggut masa mudaku. Ibrahim : Menggelapkan duniaku. Yanuar : Kalian lebay! Alvaro : Elu duluan yang mulai, @Yanuar. Zulfi : Ho oh. Kita lagi mau mulai obrolan serius, jadi buyar pikiranku. Wirya : Stop dulu rapat kerjaan, capek otakku. Andri ; Iya, ihh. Aku lagi pengen
104Hari berganti. Senin pagi, Jauhari telah berada di ruang rapat lantai lima kantor PBK. Dia dan teman-temannya memfokuskan pandangan ke depan, di mana Wirya tengah mengumumkan nama para pengawal muda, yang harus bersiap-siap dikirim ke luar negeri. Semua orang bersuit kala nama Riaz disebut Wirya, dalam tim yang akan diberangkatkan ke London, awal tahun depan. Jauhari dan teman-temannya sudah menduga, jika Riaz-lah yang akan dipersiapkan untuk menggantikan Lazuardi, untuk menangani area Eropa.Jauhari dan rekan-rekannya tidak mempermasalahkan jika karier Riaz lebih melesat dibandingkan angkatan lama. Sebab mereka tahu, Riaz telah digembleng keras oleh Alvaro, Wirya dan Zulfi. Selain itu, para pengawal lapis tiga hingga sepuluh, mengakui kemampuan Adik Zulfi tersebut, dalam memimpin pasukan besar. Setelah Riaz dan rekan-rekan satu tim-nya kembali duduk di tempat semula, Wirya beralih mengumumkan kelompok pengawal muda yang akan dikirim ke Kanada, awal Januari tahun depan. "Untuk
103Jamuan makan malam di restoran milik Hadrian di kawasan Lebak Bulus, berlangsung meriah. Selain tim PBK, kelompok Rupert, tim Spanyol, Australia, Kanada, Eropa, dan Taiwan juga berada di sana. Seusai bersantap, Jauhari mengajak Avreen ke panggung kecil yang telah disiapkan panitia. Keduanya berbisik-bisik, kemudian mereka mengarahkan pandangan ke depan. "Silakan dilanjutkan makannya. Kami hanya ingin mendongeng sedikit," tutur Jauhari memulai pidatonya. "Aku dan Avreen, ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, yang telah membantu menyukseskan acara pernikahan kami," ungkap Jauhari. "Dimulai dari acara lamaran yang tidak bisa kuhadiri karena masih terkurung di dalam jeruji. Acara pengajian, siraman, akad, pesta pertama hingga pesta kedua," cakap Jauhari. "Aku tahu, miliaran ucapan terima kasih dari kami, tidak akan cukup untuk membalas kerja keras kalian," tukas Avreen. "Sebab itu, aku dan Abang, hanya bisa berdoa supaya kalian selalu sehat, berl
102 Jumat pagi, Jauhari dan Avreen berpamitan pada kedua orang tua dan keluarga lainnya. Kemudian pasangan tersebut menaiki mobil MPV hitam, yang segera melaju menjauhi kediaman Ishwar. Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Avreen sibuk berkomunikasi dengan rekan-rekannya di grup pesan alumni kampus. Setelahnya, Avreen beralih untuk berbincang dengan karyawan ZAMRUD kantor Jakarta, tempat yang tengah dituju perempuan tersebut. Puluhan menit berlalu, Jauhari menghentikan kendaraan di depan gedung belasan lantai. Dia dan Avreen turun, lalu mereka jalan menuju lobi utama. Sapaan para pegawai dibalas keduanya dengan ramah. Kemudian mereka menaiki lift untuk mencapai lantai 3, di mana kantor PBK berada. Teriakan rekan-rekan Jauhari menyambut kedatangan pasangan pengantin baru tersebut, yang membalas dengan senyuman. Mereka menyalami tim lapis empat hingga tujuh, yang menempati deretan kubikel di sisi kanan bangunan. Jauhari dan Avreen meneruskan langkah menuju ruangan luas di sisi ki