Morgan keluar dari ruang kerja Ayahnya dan langsung menuju ruang tengah. Tetapi Bianca tidak ada disana dan Mamanya-pun entah kemana. Sepi, Morgan mencari ke ruang utama juga nihil. Tidak ada tanda-tanda Bianca berada di sana.
“Bianca!” panggilnya mengitari lantai dasar rumahnya yang cukup luas. Kesunyian membuat suaranya memantul dan tidak ada sahutan dari Bianca.
“Mas Morgan,” Seorang pelayan memanggil Morgan, dan Morgan langsung menanyakan keberadaan kekasihnya.
“Di mana Bianca?”
“Ada di kamarnya Mas. Nyonya juga berada di sana. Beliau minta saya untuk memberitahu Mas Morgan.”
“Oke.”
Pelayan itu berlalu pergi dan Morgan juga melangkah cepat menuju kamarnya di lantai dua. Ia tidak sabar untuk melihat kondisi Bianca lebih jelas. Apakah tadi Bianca benar-benar habis menangis? Lantas apa alasannya? Morgan mempercepat langkahnya dan akhirnya tiba di depan pintu
“Menikah denganku?”Deja vu. Bianca merasa pernah mengalami situasi ini beberapa waktu lalu setelah Morgan mengucapkan kata terakhirnya. Sudah dua kali Morgan menyatakan hal serupa, dan dua kali pula Bianca menganggap ini adalah mimpi. Mimpi tentang dirinya yang akan menikah dengan seseorang yang Bianca idamkan dan cintai.Tidak ada kata yang terucap dari bibir berlekuk itu. Semula Bianca kehilangan seluruh oksigennya dan kini pita suaranya yang lenyap entah kemana. Sementara mata rusa bening miliknya tidak berkedip, tetap menjurus pada bola mata pemuda yang baru saja melamarnya.Sekali lagi, melamar Bianca di pagi yang cerah dan detakan jarum jam mendekati angka delapan. Dengan lamaran yang tak pernah direncanakan sebelumnya.“Aku belum siapin cincin sebelumnya. Maaf.” Tidak ada senyum untuk membalas senyuman tipis Morgan. “Aku hanya nggak bisa nunggu lebih kama lagi buat milikin kamu. Milikin kamu seb
Tepat pukul empat sore, jam kuliah Bianca berakhir. Gadis bermata rusa nan jernih itupun memperbaiki rambutnya yang tertiup angin. Bianca berharap hujan tidak turun terlalu cepat sebab ia harus berdiri sendirian di depan gerbang demi menunggu sopirnya datang menjemput.Sebuah mobil berhenti tepat di depan Bianca. Bianca hafal dengan mobil itu namun ia tidak menyangka Morgan-lah yang menjemputnya, bukan Pak Yusuf.“Ayo masuk!”Morgan menurunkan kaca mobilnya seraya tersenyum tampan.Bianca membalas senyum itu dan memasuki mobil Morgan yang sejak awal sudah dihafalnya.“Aku kira kerjaanmu belum selesai,” ucap Bianca setelah menutup pintu mobil.“Kerjaanku udah selesai sejak jam tiga tadi.”“Ohya? Tumben.”Morgan mengelus puncak kepala Bianca gemas. Bianca benar, Morgan sangat jarang pulang lebih awal. Biasanya jam pulang Morgan adalah jam lima sore, itupun jika tidak
Morgan datang lebih lambat dari waktu yang telah ia janjikan untuk menjemput Bianca. Meskipun hanya lima belas menit dan Bianca tidak mempermasalahkan hal itu, tetap saja ia merasa bersalah karena harus membuat Bianca menunggunya.Hal itu membuatnya tidak banyak bicara selama perjalanan dan Bianca hanya membiarkan Morgan fokus pada laju mobilnya hingga tak terasa mobil hitam mewah itu telah sampai di depan rumah minimalis berwarna putih salju milik keluarga Reynald.“Kita sampai.” Morgan mematikan mesin mobilnya dan keluar, sementara Bianca ikut keluar dan berdiri di samping lelaki itu.“Kak,” sela Bianca membuat langkah Morgan terhenti. Lelaki itu diam saja saat Bianca membebaskan jemarinya, mengangkat dua jari telunjuk untuk dibawa ke setiap sudut bibirnya dan menariknya saling menjauh. Membentuk sebuah senyuman yang dipaksakan.“Kamu nakutin kalau diem dan cemberut,” ujar Bianca tersenyum membu
Suasana kantor masih terlalu sepi di pukul enam pagi seperti ini. Embun masih menggantung di jendela kaca besar yang menghadap hiruk pikuk kota Jakarta yang tidak pernah sepi. Belum ada suara kehidupan selain suara Cleaning Service yang membersihkan setiap sudut ruangan sebelum karyawan kantor mulai berdatangan untuk aktivitas hari ini.Tap ... tap ... tap ...Langkah seorang pria menggema di sebuah gedung berlantai tiga itu. Ia berjalan ke arah suara Cleaning Service itu, dan menemukan seorang pria seumuran dengannya baru mengunci pintu Ruang Divisi Pemasaran. Pria itu tersentak kaget akan kedatangannya.“Oh, s-selamat pagi Pak Candra.”Petugas CS itupun membungkuk hormat kepada salah satu petinggi perusahaan itu. Di hatinya tersimpan pertanyaan mengapa pria itu datang sepagi ini di kantor. Tidak biasanya.“Beri aku kunci ruangan Presdir!” perintah Pak Candra dengan nada angkuhnya.“M-maa
“K–Kak ...”“Aku dapet paket itu kemarin. Jessica merancang khusus gaun itu buat kamu.”“Jessica?”Percayalah, Bianca tidak asing dengan nama itu. Dulu Mama memang sering membicarakan nama itu, meskipun Bianca tidak yakin ia adalah orang yang sama.“Ya. Wanita yang merancang gaun saat pertunangan kita dulu.” Mata rusanya kembali terpaku pada gaun itu dan ia tergoda untuk melihat gaun itu lebih detail dengan mengangkatnya tinggi-tinggi.“Cantik sekali.” Bianca berpaling pada Morgan dan Morgan membalasnya dengan senyuman bangga. Bangga telah berhasil menerbitkan senyum bahagia Bianca dengan begitu indahnya.“Benar. Jessica sangat pandai merancang baju yang cocok buat kamu.”Itu adalah kalimat pujian untuk gadis lain tetapi Bianca tidak sedikitpun cemburu, ia justru membenarkannya. “Aku tidak sabar ngeliat kamu pake gaun itu enam ha
Morgan kembali duduk di sofanya setelah mempersilakan Maudy duduk juga, dan ia melirik singkat ke arah Pak Anwar. Pria paruh baya itu tidak mengucapkan sepatah kata-pun. Ia sendiri juga tidak tahu tentang apa yang terjadi dengan adik mendiang Presdir-nya dan ia tidak ingin berkomentar karena itu bukanlah urusannya.“Baiklah, saya akan membacanya.” Ketiga orang lainnya terdiam, mempersiapkan diri untuk mengetahui keputusan Pak Adnan. “Aku, Adnan Hardianto , menulis surat wasiat ini tanpa paksaan dan ancaman dari pihak manapun. Menyatakan bahwa aku akan memberikan seluruh saham perusahaan atas namaku kepada putriku, Bianca Putri Hardianto. Dengan kata lain, aku mempercayakan putriku yang memimpin perusahaan Prima Growth Company dan tidak menginginkan siapa pun menggantikannya dengan alasan apa pun. Sementara Adian Putra Hardianto, putraku akan meneruskan kepemimpinan Prima Growth Company di masa depan.”“Dan untuk adik
Hari masih terbilang pagi saat sebuah tempat sudah ramai dengan berbagai kesibukan yang berbeda. Puluhan orang di sana sudah stand by untuk mengerjakan apa yang sudah menjadi tugasnya, menyiapkan satu per satu hal yang diperlukan dengan rinci dan berharap tidak ada yang cacat sedikitpun. Ada cacat sedikit saja, maka bisa dipastikan mereka akan menerima konsekuensi pemotongan gaji atau bahkan lebih parahnya kehilangan pekerjaan. Dan tidak ada satupun yang mengharapkan hal itu terjadi.Jika diluar dipenuhi kesibukan, maka ada satu ruangan yang terbilang sunyi. Hanya ada satu sosok yang kini tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar, memperlihatkan tubuh mungilnya yang dibalut dengan gaun pernikahan yang anggun dan sangat mewah.Bianca, adalah gadis itu. Gadis yang tak lama lagi melepas masa lajangnya demi menjadi pendamping hidup lelaki yang dicintainya, Morgan.Berdiri merasakan kegugupan dan kebahagiaan di detik ini sama sekali tidak d
Sekali lagi, Morgan mengusap bulir-bulir keringat di pelipisnya. Kegugupan membuat keringat dingin berlomba-lomba keluar dari lapisan kulitnya. Wajah boleh saja datar, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana gugupnya Morgan menjelang moment paling bersejarah dihidupnya kecuali sang sahabat karib. Hal itu yang membuat Reynald dan Vyan terkikik geli di sebuah bangku panjang yang mereka bagi bersama pasangan masing-masing. Bangku yang terletak di barisan nomor dua dari depan.“Lihat Morgan. Kayaknya dia bakal mati gugup kalau harus nunggu lebih lama lagi.”Ucapan Reynald membuat Vyan terkikik geli. “Lo bahkan dulu lebih gugup dari itu.” ejeknya.“Eyy enak aja! Wajar bukan kalau pengantin pria gugup setengah mati? Ck, itu karena lo belum pernah ngerasain.”“Memang gimana rasanya nunggu di sana?”“Lebih ngeri daripada nunggu pasien nenek-nenek sadar habis operasi.”Se