Masuk“Hutang? Hutang yang mana maksud kamu, Sei?”
Suara Andrew terdengar sangat terkejut mendengar pertanyaan dari Seira. “Jordy bilang kalo selama ini papa pinjam modal sama om Darwin. Sekarang Jordy nagih semuanya untuk dikembalikan.” Seira mengadu. Penasaran juga Seira dengan seberapa banyak hutang keluarganya pada keluarga Jordy. “Aku menghubungi papa dan mama tapi mereka masih marah, nggak mau angkat telfon aku. Aku pikir kakak tahu tentang hutang itu,” lanjut Seira. “Nanti aku tanyain ke papa,” ucap Andrew. Sedikit banyak, Andrew memang tahu kalau Darwin pernah memberikan suntikan dana untuk bisnis Benjamin yang mengalami kesulitan, tapi ia pikir mereka melakukan kerjasama yang saling menguntungkan. Seira mengangguk. Ia harus tahu seberapa besar uang yang telah diberikan Darwin. Kalau memang Benjamin berhutang, Seira akan memikirkan cara untuk melunasinya. “Kapan Jordy bilang, Sei? Apa aja yang dia omong?” tanya Andrew mencoba mencari tahu. “Tadi aku ke kantor, ambil barang-barang aku yang masih di sana. Eh, ketemu sama si Jordy. Dia ngehina keluarga kita habis-habisan kak, bilang kalo keluarga kita itu parasit!” Seira mengadu. “Keterlaluan si Jordy!” Andrew ikut geram. “Tenang saja, kalau benar papa punya hutang, kita lunasin. Jangan lagi berurusan sama dia!” Seira mengangguk setuju. “Iya kak, walaupun aku nggak punya banyak tabungan tapi aku bakal bantu lunasin hutang papa.” Andrew menepuk bahu Seira lembut. “Jangan khawatir, kakak sanggup bantu papa. Kamu fokus saja dengan masa depan kamu.” “Iya kak.” “Ya sudah kak, aku pulang dulu.” Seira berpamitan. Tidak enak juga berlama-lama mengganggu kakaknya. “Hati-hati! Nanti kakak pulang ke rumah,” ucap Andrew berjanji. Hati Seira terasa lapang mendengarnya. “Iya kak, aku tunggu di rumah. Kita makan malam bareng.” Seira memutuskan pulang setelah menemui kakaknya. Bertemu dengan Jordy dan Luna sangat menguras tenaga. Seira butuh berendam air hangat untuk meredakan emosinya. Andrew menepati janjinya, ia pulang sebelum jam makan malam. Biasanya lelaki itu lebih betah tinggal menyendiri di apartemen. Tapi karena kedua orang tuanya sedang di luar, Andrew akan menemani Seira di rumah. “Gimana kak, papa sudah bisa dihubungi?” tanya Seira. Seira tak sabar ingin tahu. Berharap Benjamin—ayahnya, tidak benar-benar memiliki hutang pada keluarga Jordy. “Sudah, tapi papa merasa sudah mengembalikan semua modal yang dulu om Darwin kasih. Kata papa, nanti akan tanyakan ke om Darwin kenapa Jordy sampai bilang begitu,” ujar Andrew. Seira merasa lebih tenang setelah mendengar pengakuan dari Benjamin melalui Andrew. Itu berarti, ada kemungkinan kalau ucapan Jordy hanya omong kosong belaka. “Terus kapan papa sama mama pulang?” “Seminggu lagi.” “Mereka masih marah sama aku, kak?” “Nggak.” Andrew mana tega mengatakan yang sebenarnya kalau Benjamin dan Irina masih sangat kecewa pada Seira. “Sabar sebentar lagi, Sei. Tunggu HP kamu selesai di service. Bukti akan mengungkap semuanya,” ucap Andrew. Seira menghela napas. “Masih lama ya?” “Sabar.” “Hem, iya kak. Aku sabar kok.” Seira melanjutkan makan malam dengan diam. Ia masih memikirkan kedua orang tuanya yang belum juga mau bicara dengannya. Sedangkan Andrew tidak bisa berbuat banyak. Ia sempat memberi pengertian pada Benjamin dan Irina, tapi bukti yang Jordy tunjukkan cukup mempengaruhi keduanya. Andrew tidak bisa memaksa tanpa menunjukkan bukti nyata. Usai makan malam dan berbincang sebentar, kakak beradik itu kembali ke kamar masing-masing. Di kamar, Seira mulai mencari pekerjaan baru. Ia tidak mau berlama-lama menjadi pengangguran. Ia juga ingin suasana dan teman baru agar bisa melupakan asmaranya yang kandas. Tengah fokus menatap layar laptop, pintu kamar Seira tiba-tiba diketuk sekali dan langsung terbuka. Andrew muncul dari sana. “Sei, teman aku mau datang. Nanti suruh masuk saja ya, aku mau mandi dulu.” Seira mendongak, melihat Andrew berdiri di ambang pintu. “Tumben, teman kakak main ke sini?” “Dia dari luar kota. Tadi mampir ke apartemen, lupa nggak bilang aku pulang ke rumah,” jawab Andrew. “Suruh tunggu sebentar.” “Iya kak.” Seira menyanggupi. “Tapi ada Bibi di bawah, kan?” Andrew menggelengkan kepala. “Nggak. Bibi keluar, aku suruh ke minimarket.” “Oke.” Seira memutuskan untuk turun ke lantai satu. Sekalian ia juga ingin menyeduh kopi untuk menemaninya begadang malam ini. Tidak lama kemudian, terdengar suara bel berbunyi. Tamu yang ditunggu datang. Sesuai permintaan sang kakak, Seira yang sudah menuang bubuk kopi dan air panas ke dalam gelasnya, langsung berbalik untuk membukakan pintu. “Biar saya saja, Non,” ucap sang ART yang baru saja muncul dari pintu belakang membawa belanjaan. “Ya sudah, Bi. Tolong bukain pintu ya! itu tamu kak Andrew,” ujar Seira. “Siap, Non!” Seira pun kembali mengaduk kopi yang baru diseduh. “Sekalian deh aku bikin minuman buat teman kak Andrew,” gumam Seira. Bibi kembali ke dapur setelah beberapa menit. “Non, temannya Den Andrew sudah bibi suruh tunggu di ruang tamu.” Seira mengangguk, menerima informasi itu. “Bibi istirahat saja, sudah malam. Biar aku yang buatin minum.” “Beneran, Non?” Senyum tulus Seira terulas manis. “Iya, santai Bi!” “Makasih ya, Non.” Kemudian Bibi menambahkan, “Kata tamunya, dia mau kopi tanpa gula.” “Oke, Bi. Nanti aku buatin.” Menyadari asisten rumah tangganya itu masih berdiri di sana, Seira menoleh lagi. Keningnya berkerut melihat si Bibi senyum-senyum sendiri. “Kenapa, Bi?” “Eh? A—anu, Non ….” Bibi kelihatan gugup dan salah tingkah. “Itu, Non. Temannya Den Andrew ganteng banget. Nggak kalah ganteng sama Den Andrew.” Wanita paruh baya itu terkekeh kecil, seperti anak SMA yang melihat idolanya. Seira mengernyitkan hidungnya dan menggoda Bibi. “Dih! Bibi jangan mulai genit gitu, deh!” “Hehehe! Coba saja Non lihat sendiri nanti. Non Seira pasti kenal sama orangnya. Sudah pernah ke sini kok.” Dahi Seira berkerut. Mencoba mengingat-ingat, tapi tak ada bayangan. “Pernah ke sini? Siapa?”“Kamu ngapain di sini?” Alexander begitu tenang berjalan melewati Seira. Tidak merasa canggung sedikitpun. Seira mendelik. “Harusnya aku yang tanya kenapa kamu di sini? Ini kan apartemen kakak aku?!” “Aku tamu yang sedang berkunjung,” balas Alexander. Pria itu melangkah ke dapur untuk mengambil air mineral. Seira membalikan badan, niatnya ingin menegur teman kakaknya ini yang seolah menganggap kedatangannya yang mengganggu. Tapi mulutnya langsung membisu, tatapannya terkunci melihat gerakan jakun Alexander, otot lengan yang seksi, turun ke bawah ada empat kotak di perutnya. Damn! Seira menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran kotornya. Alexander mengusap bibirnya yang terasa basah. Gerakannya terhenti, diikuti sebelah alisnya terangkat saat mendapati Seira diam mematung. “Mau minum?” “Eh?” Seira gelagapan. Memalukan sekali ketahuan memperhatikan Alexander. Seira melengos, kembali ke sofa. Duduk di sana bermain ponsel untuk menyibukkan diri. Cappucino hangat terlupakan b
“Kamu, Seira?” Alexander yang sedang duduk, berdiri ketika seorang gadis datang menghampiri. Ia bisa menebak kalau gadis yang datang ini adik dari temannya. “Hah?” Seira terkejut, tak menyangka kalau teman Andrew mengenalnya. Alexander tersenyum tipis. “Andrew sering cerita tentang adiknya. Kamu Seira kan, adiknya Andrew?” tanyanya sekali lagi untuk memastikan. Alexander dulu pernah beberapa kali main ke rumah Andrew tapi tidak begitu memperhatikan wajah Seira. Berpapasan hanya sekilas dan tanpa meninggalkan kesan. Seira mengangguk gugup. Tidak dipungkiri, Seira sedikit terpesona pada laki-laki gagah di depannya ini. Benar kata Bibi, dia sangat tampan. “Kopi tanpa gula.” Seira segera mengalihkan pandangan dan menaruh secangkir kopi di atas meja. “Terima kasih,” ucap Alexander sembari duduk kembali. “Kak Andrew sedang mandi, dia bilang suruh tunggu sebentar.” Seira bingung, ia harus duduk menemani atau beranjak pergi meninggalkan Alexander. Alexander hanya mengangguk tanpa ber
“Hutang? Hutang yang mana maksud kamu, Sei?” Suara Andrew terdengar sangat terkejut mendengar pertanyaan dari Seira. “Jordy bilang kalo selama ini papa pinjam modal sama om Darwin. Sekarang Jordy nagih semuanya untuk dikembalikan.” Seira mengadu. Penasaran juga Seira dengan seberapa banyak hutang keluarganya pada keluarga Jordy. “Aku menghubungi papa dan mama tapi mereka masih marah, nggak mau angkat telfon aku. Aku pikir kakak tahu tentang hutang itu,” lanjut Seira. “Nanti aku tanyain ke papa,” ucap Andrew. Sedikit banyak, Andrew memang tahu kalau Darwin pernah memberikan suntikan dana untuk bisnis Benjamin yang mengalami kesulitan, tapi ia pikir mereka melakukan kerjasama yang saling menguntungkan. Seira mengangguk. Ia harus tahu seberapa besar uang yang telah diberikan Darwin. Kalau memang Benjamin berhutang, Seira akan memikirkan cara untuk melunasinya. “Kapan Jordy bilang, Sei? Apa aja yang dia omong?” tanya Andrew mencoba mencari tahu. “Tadi aku ke kantor, ambil ba
“Oh?! Punya muka juga kamu datang ke sini lagi!” Pagi ini, Seira datang ke kantor untuk mengambil sebagian barang miliknya yang masih tertinggal. Sekalian berpamitan pada rekan kerja yang lumayan akrab. Baru saja ingin menekan tombol lift, suara seseorang yang sangat ia kenali terdengar. Seira membalikan badan. Luna. Mantan sahabatnya itu berdiri dengan pongah di hadapannya. “Kamu nggak malu datang ke sini, setelah apa yang kamu lakuin pada pak Jordy?” Luna berkata seolah semua yang terjadi bukan kesalahan wanita itu. “Memang apa yang aku lakuin?” Seira balik bertanya. “Seharusnya kamu yang malu karena sudah merebut tunanganku!” Luna terdiam. Pandangannya melirik ke sekitar takut ada yang mendengar. “Oh! Tapi aku nggak masalah kamu merebut Jordy. Aku nggak butuh cowok player macam Jordy!” Seira meralat ucapannya, sekarang ia sama sekali tidak peduli dengan si pengkhianat. “Aku nggak ngerebut! Kami saling cinta!” balas Luna tidak mau disalahkan. “Cih! Saling cinta!” Seira gel
“Mama sama papa nggak mau ketemu sama aku?” Seira berdiri di depan pintu kamar kedua orang tuanya. Sedari tadi dia mengetuk pintu dan memanggil Benjamin tapi tidak ada jawaban. “Bapak sama ibu pergi, Non,” ucap ART yang datang menghampiri anak majikannya itu. Seira menghela pasrah. ‘Sepertinya mama papa tidak mau bertemu. Mereka lebih pilih pergi entah ke mana.’ “Ya sudah, Bik. Makasih.” Seira beranjak dari sana, memutuskan untuk kembali mengurung diri di kamar. Sejak tuduhan dari Jordy seminggu yang lalu, teman-temannya menganggap Seira wanita murahan. Seira yakin kalau Luna yang sudah menyebarkan gosip tentangnya. Sampai ponsel barunya penuh dengan pesan yang berisi hujatan. “Cih! Awas aja kamu, Luna!” berulang kali Seira mengumpati mantan sahabatnya. Tidak menyangka kalau orang yang dianggap sebagai sahabat oleh Seira, rupanya tega menusuk dari belakang. Padahal, selama ini ia sering membantu Luna jika sedang mendapat kesusahan. “Bodoh banget sih! Kenapa juga aku nggak
“Batal nikah?!”Seira mengangguk mantap di depan 4 pasang mata yang kini memandangnya dengan penasaran. Mereka adalah orang tua dan calon mertuanya.“Iya, Pa! Ma, Om, Tante. Aku mau mengakhiri pertunanganku dengan Jordy.”Seira menegaskan kembali bahwa keputusannya sudah bulat.Hati Seira sudah tidak karuan sejak beberapa hari lalu memergoki Jordy berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Sekarang, Seira memberanikan diri untuk mengungkapkan semuanya.“Ada apa, Nak? Apa alasannya?” tanya Diana dengan dahi berkerut. Bukan hanya calon ibu mertuanya yang penasaran dengan keputusan Seira. Semua yang ada di ruangan ini pun ingin mendengar penjelasan Seira.Seira memang sengaja mengundang mereka datang ke rumahnya, berniat membicarakan hubungan pertunangannya dengan Jordy.“Kalian akan menikah sebentar lagi. Kalau hanya masalah kecil, tolong bicarakan baik-baik,” tambah Irina— ibu Seira.Calon ibu mertuanya ikut mengangguk. “Satu bulan lagi, loh, Sei. Ada apa sebenarnya?”Seira tidak tahu har







