Share

Paspor

“Kau sangat luar biasa, Sayang. Bahkan Harger tidak pernah memperlakukanku semanis ini.”

“Kau menyerahkan padaku kenikmatan yang gila. Aku mencintaimu.”

Badai ketegangan mengamuk di benak Harger. Itu adalah saat – saat dia harus mengetahui hubungan terlarang antara tunangan dan sahabatnya sendiri. Harger benci untuk menerima pengkhianatan terbesar dalam hidup yang kacau. Bagaimanapun Rob telah menghancurkan segala peristiwa yang Harger anggap sebagai suatu momen manis. Merompak ketenangan maupun kepercayaan Harger, seolah tidak ada harga yang lebih murah dari kesedihan Harger di hari ulang tahun sahabatnya.

“Selamat bertambah usia, Alice. Rob adalah hadiah ulang tahun terbaikku untukmu.”

Harger mungkin bersedih. Namun dia tidak pernah menyangka akan bersedia melempar seonggok sampah pada tempatnya. Alice dan Rob memberikan pertunjukan serasi. Mereka baru saja bercinta dalam balutan selimut putih tebal. Begitu gelagapan menghadapi Harger yang sama sekali tidak mengalihkan tatapan tajam sekadar mendikte kesalahan dua orang dewasa itu.

“Harger, tolong dengar penjelasanku dulu—“

“Tidak perlu.”

Harger meniup lilin dengan tenang, kemudian sengaja menjatuhkan bongkahan kue ulang tahun acuh tak acuh ke atas ranjang. Dia datang baik – baik untuk memberikan kejutan, ternyata keputusannya adalah kesalahan besar.

“Silakan lanjutkan kegiatan panas kalian.”

“Berhenti, Rob.” Nada tinggi Harger rasanya sudah cukup untuk mengingatkan Rob, agar tidak sekali pun pria itu mencoba membujuknya. Namun kenyataan bahwa Rob sangat berani melakukan tindakan fisik bersama seseorang—bukan dirinya. Memberi Harger rasa sakit yang parah. Artinya Rob tak akan segan bertindak lebih jauh dari itu.

Wajah Rob penuh amarah mulai mencekal pergelangan Harger. Menyeretnya sebegitu kasar, hingga kelopak mata Harger terbuka lebar menyadari semua itu hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan, setelah kenyataan itu sendiri nyaris dia lupakan.

Napas Harger menjadi sesak, mulai merasakan sesuatu yang berat menimpa tubuh yang telentang. Rob sedang duduk di atas permukaan perut ratanya dengan cekalan seperti di dalam mimpi. Harger segera berontak. Berusaha menjauhkan Rob, tetapi sosok itu sangat mengerikan di tengah – tengah keremangan.

Telapak tangan dingin membasah milik Rob tidak akan pernah membiarkan Harger terbebas secara cuma – cuma.

“Tolong!”

Sehingga Harger berteriak keras. Menarik perhatian Rob yang jelas – jelas sedang meremehkan situasi di sana.

“Siapa yang akan menolongmu, Sayang?” Pria itu berdecih sinis, sambil menekan tulang rahang Harger. Berpikir dia telah menang untuk kemudian mengancam Harger dengan nada bicara yang kejam.

“Sekali lagi aku bertanya padamu. Di mana batu berlian itu?”

“Sudah kubuang. Apa lagi yang kau inginkan?”

“Aku tidak bodoh, Harger. Katakan di mana batu berlian itu!”

“Kau sendiri sudah tahu isi koperku hanya ada pakaian. Aku membuang batu sialan itu di Laut Mediterania. Cari saja jika kau memang tidak percaya! Laut Mediterania letaknya tidak jauh dari sini.”

“Beraninya kau—“

“Hentikan!”

Kemunculan Deu memprovokasi Harger untuk mendorong Rob sekuat tenaga. Memberi sedikit pelajaran dengan kepalan tangan menghantam wajah mantan tunangan yang menyedihkan, lalu segera meninggalkan pria itu untuk membeku lama di tempat. Rob sangat jelas memperhatikan sang hakim, meski tidak melontarkan sikap keberatan secara langsung.

“Aku sedang bersama hakim, Rob. Tidak sulit melibatkanmu sampai ke pengadilan, karena sudah mencoba merampokku. Kau bahkan sudah melakukan itu sebelumnya.”

Harger harap Rob memiliki secuil nurani mengembalikan barang yang pria itu ambil. Ironi sekali, bajingan seperti Rob tidak muncul sekadar menawarkan perdamaian. Justru berdecih sinis di sana, menunjukkan seringainya yang kejam dan memuakkan.

“Kau sungguh beruntung malam ini. Tapi aku tidak akan membuat hidupmu tenang, Harger! Percayalah ....”

Harger tidak takut pada ancaman demikian. Hanya saja dia masih sangat waras meladeni kegilaan Rob. Tidak mengatakan apa pun saat Rob melompat ke luar jendela. Meninggalkan keheningan sampai sang hakim menuntun Harger duduk di sudut ranjang untuk menenangkan diri.

Langkah hakim mantap menepi pada titik di mana Rob kabur secara tergesa. Melakukan sesuatu ... paling tidak jendela yang dirusak—sedikit bisa dipaksa kembali menutup.

“Dia membuatku menanggung akibat dari ulahnya.” Harger menghela napas kasar memikirkan bagaimana harus menghadapi pemilik rumah sewa ketika wanita tua itu mengetahui apa yang sudah terjadi pada jendela lusuh yang tempo waktu lalu begitu dibanggakan.

“Aku akan mengurus jendela yang rusak. Tapi setelah ini, kau lebih baik pindah.”

Harger terlonjak seketika. Rasanya hampir tersedak ludah sendiri, lantas segera menegakkan tubuh memperhatikan sang hakim yang menjulang tinggi.

“Apa katamu?”

“Pindah.”

Gelak tawa Harger nyaris membludak. Dengan bahu bergetar, dia merapatkan bibir berusaha menahan diri, tetapi ucapan sang hakim terlalu getir baginya.

Seperempat uang yang Harger miliki sudah diinvestasikan untuk sebuah rumah sewa. Lalu ke mana dia akan mengungsi, selain di tempat yang sama?

“Pria itu sewaktu – waktu akan kembali. Di sini sudah tidak aman.”

Meskipun benar. Harger tetap tidak bisa menuruti saran dari lawan bicara. Deu tidak di posisinya ketika sedang membutuhkan uang. Mereka tidak sama, dan tidak semua hal bisa dipukul rata.

“Aku tidak bisa pergi.”

Menyatukan hasrat maupun logika untuk kehidupan yang benar – benar damai adalah pilihan sulit. Harger tidak bisa memaksa. Dia menegadah pada situasi yang remang. Menatap wajah sang hakim yang samar – samar, namun raut datar itu tidak pernah berubah.

“Aku tidak mempermasalahkan soal mantan tunanganku jika dia akan kembali ke sini. Tapi, Yang Mulia ....”

Sebelum melanjutkan. Harger berpikir, sepertinya tidak terlalu lancang memanggil Deu dengan sebutan demikian.

“Tiba – tiba saja aku teringat sesuatu,” ucapnya, membuat sorot mata hakim sangat serius memperhatikan gerakan bibir saat dia sedang bicara.

“Adakah saran yang lebih baik—maksudku, besok aku harus melakukan pertemuan penting. Sayangnya aku tidak punya sesuatu untuk dibawa dan ditukar dengan uang ....” Harger berhenti sejenak. Iris matanya masih mengamati bagaimana sang hakim begitu tenang menerima ungkapan dan keraguan secara bersamaan.

“Aku sudah menerima separuh bayaran. Sebagai itikad baik, itu yang dilakukan orang yang menyewa jasaku. Mereka mungkin akan meminta kembali setelah tahu aku tidak berhasil melakukan pekerjaan dengan baik.”

“Kau bisa mengembalikan uang itu.”

“Ya. Kalau saja uangnya masih ada. Tapi sekarang aku tidak punya apa pun. Sisa uangku hilang bersama koperku.”

“Kau punya batu berharga, yang juga diincar mantan tunanganmu.”

“Apa maksudmu?”

Perasaan Harger mendadak tidak nyaman. Dia segera bangkit. Menelusuri wajah sang hakim sebelum melenggang pergi ke dapur untuk kembali memastikan keberadaan batu berlian itu.

Dengan tergesa ujung jarinya mereguk ganggang laci. Sedikit mengembuskan napas lega ketika mengetahui batu berlian itu masih di tempatnya. Ya, seharusanya seperti itu, tetapi baru saja melemaskan otot yang menegang. Tubuh Harger mendadak beku saat menyadari beberapa tumpukkan lain telah hilang di sana.

“Di mana pasporku?” tanyanya nyaris menyerupai parau.

“Ada bersamaku.”

“Kenapa kau mengambilnya?” tanya Harger menuntut. Sang hakim masih terlihat tenang, bahkan ketika mereka melakukan kontak mata dengan intens.

“Karena aku tidak mungkin membebaskan gadis liar sepertimu. Kau punya banyak paspor dengan identitas berbeda. Semua ilegal, kecuali satu ....”

Ada jeda di mana sang hakim mulai meledakkan perasaan berdebar di benak Harger. Dia terpaku. Keluh merenungi pernyataan Deu, seolah pria itu telah menyelidikinya secara diam – diam. Atau barangkali sang hakim menelusuri dapur setelah dia masuk ke dalam kamar.

“Di sini ada nama lengkapmu. Ada di paspor yang ini.”

Sebuah buku kecil terpampang di hadapan Harger. Menimbulkan suatu perasaan tegang memercik di dada. Harger berniat merenggut paspor di tangan sang hakim, tetapi itu tak akan mudah dilakukan.

Mengapa aku bisa begitu percaya pada pria yang baru saja kutemui, benaknya mulai menyesali peristiwa di mana Harger harus membiarkan pandangan tetap memburam di bawah tuntutan air yang membuat matanya berkaca – kaca.

“Apa yang akan kau lakukan setelah ini. Setelah kau bertemu seseorang yang bertentangan dengan prinsipmu sebagai seorang hakim?”

“Tidurlah. Besok pagi kau harus ikut denganku.”

Kelopak mata Harger melebar. Kata – kata sang hakim terdengar cukup mengancam, sekaligus menimbulkan ketenangan di saat bersamaan. Tapi Harger tidak bisa mengabaikan setiap debaran dada yang bertalu liar. Mulai memikirkan tujuan Deu sebenarnya. Dengan napas nyaris tercekat, dia tidak akan berhenti bicara sebelum selesai.

“Apa kau akan menyeretku ke pengadilan atas laporan pencurian dompet dan karena pasporku? Lalu menjatuhkan hukuman penjara dengan vonis yang berat?”

Nada bicara Harger terombang dalam lautan putus asa. Sudah mengira sang hakim akan membenarkan rentetan pertanyaannya. Namun dia sangat terkejut ketika Deu berlalu pergi sambil mengatakan satu hal.

“Segera selesaikan urusanmu bersama mereka.”

Itu memang harus ... setelah satu hal dikerjakan dengan tepat. Paspor. Harger harus mendapatkan kembali paspornya.

Mula – mula dia mengira Deu tidak akan terlelap dengan posisi duduk seperti yang dia amati; menyangga di sandaran sofa sambil bersedekap dada. Pria itu jelas sangat waspada terhadap apa pun, meski gerakan napas yang tenang menunjukkan sang hakim benar – benar sudah tertidur.

Harger ingat betul di saku celana bagian mana Deu mengantongi paspornya. Pelan – pelan mengulurkan tangan, menyeka cela yang terlipat, sesekali akan memperhatikan wajah tampan itu.

Sedikit lagi, tapi kemudian dia dibanting dengan kasar, kemudian sang hakim menindih tubuh Harger cukup lama.

“Jangan mencobaku, Hargerie Warrance.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status