Share

Bab 4

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-10-12 01:30:31

Jena berjalan cepat di trotoar, wajahnya masih cemberut. Bibirnya mengerucut, maju seperti paruh bebek, seakan-akan dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya pada udara. Sandalnya menghentak-hentak kecil setiap kali melangkah, menandakan mood-nya yang jelas masih buruk.

Jena memilih sisi kanan jalan, padahal persis di sampingnya kendaraan lalu-lalang, sesekali mobil melintas cukup dekat.

Abas yang berjalan setengah langkah di belakangnya hanya mengamati tanpa suara. Mata dinginnya memperhatikan betapa sembrono gadis itu, seolah tidak sadar betapa rawannya posisi di tepi jalan.

Tanpa berkata apa-apa, Abas tiba-tiba mengulurkan tangannya. Dengan gerakan tegas namun tak kasar, ia menahan lengan Jena dan memindahkannya ke sisi kiri—menempatkan dirinya di sisi kanan, berhadapan langsung dengan lalu lintas.

Jena terbelalak, menoleh cepat. "Mas Abas! Kamu ngapain sih?!"

Abas tidak menatapnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya mantap. "Kamu jalan di pinggir banget. Kalau ada motor nyerempet, bisa jatuh."

Jena mengedip, sempat terdiam. Tapi kemudian bibirnya kembali mengerucut, kali ini lebih dalam. "Aku bisa jaga diri sendiri."

"Bisa jaga diri? Lagi-lagi kamu ngomong begitu." Abas melirik sekilas, nadanya datar penuh sindiran. "Barusan hampir jatuh di warung, hampir keserempet motor juga. Definisi jaga diri kamu kayaknya beda sama yang saya tahu."

Jena berhenti melangkah sejenak, menginjak keras trotoar dengan sandal seolah melampiaskan kesalnya. "Dasar dingin! Nyebelin banget!"

Abas tidak merespons, hanya terus berjalan. Tapi dari sudut matanya, ia bisa melihat jelas ekspresi Jena yang semakin manyun, pipinya menggembung seperti anak kecil yang ngambek.

Entah kenapa, tanpa ia sadari, sudut bibir Abas terangkat tipis.

Baru beberapa langkah kemudian, wajah Jena yang tadinya cemberut berubah tegang. Ia berhenti mendadak, satu tangannya refleks menekan perut bagian bawah.

"Aduh... kenapa perut aku tiba-tiba mulas begini?" ucap batin Jena.

Jena mengerjap cepat, mencoba menahan ekspresi aneh di wajahnya. Tapi keringat dingin mulai muncul di pelipis, dan langkah kakinya jadi kikuk.

Abas yang sudah beberapa langkah di depan menoleh heran. Alisnya terangkat melihat istrinya tiba-tiba berdiri kaku sambil menggenggam perut.

"Kamu kenapa?" tanya Abas singkat.

"Ngg... nggak apa-apa!" sahut Jena cepat, terlalu cepat, suaranya meninggi karena panik.

Abas menyipitkan mata, tatapannya jelas tidak percaya. "Kalau nggak apa-apa, kenapa jalannya kayak kepiting?"

Jena menggertakkan gigi, wajahnya memerah bukan karena marah kali ini, tapi karena menahan malu. Ia menunduk, suaranya pelan nyaris berbisik.

"Perut aku... sakit. Aku... aku pengen ke toilet."

Abas terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ada sesuatu di sorot matanya—antara ingin menahan tawa atau sekadar pasrah dengan tingkah laku gadis itu.

"Ya ampun, Jena..." gumamnya lirih. "Bisa-bisanya drama kamu lanjut sampai perut mulas."

Jena mendongak cepat, melotot meski wajahnya makin merah. "Mas Abas! Jangan ketawa! Ini serius, sakit banget!"

Abas akhirnya bergerak, melangkah lebih cepat sambil menoleh ke sekeliling. "Ayo. Ada warung kopi di depan, biasanya ada toilet di belakang. Jalan cepet, sebelum kamu bikin masalah baru."

Jena pun setengah berlari kecil, menunduk, sambil terus mengerucutkan bibirnya. Sementara Abas mengikuti di samping, wajahnya tetap datar tapi sudut bibirnya jelas menahan senyum.

Dalam hati, ia bergumam dingin, "Istri macam apa yang harus saya urus sampai masalah perut segala?"

******

Dengan langkah panjang, Abas lebih dulu sampai di warung kopi sederhana di pinggir jalan. Aroma kopi hitam dan gorengan tercium kuat dari dapur. Beberapa bapak-bapak duduk sambil merokok, tertawa kecil melihat Jena yang berjalan tergesa-gesa sambil menahan perut.

Abas tak memedulikan tatapan mereka. Ia langsung menghampiri pemilik warung, seorang ibu setengah baya yang sedang mengelap meja. Suaranya dalam, tenang, tapi terdengar tegas.

"Bu, maaf, boleh pinjam toiletnya sebentar? Istri saya sakit perut," ucap Abas sambil melirik singkat ke arah Jena yang sudah berdiri gelisah di belakangnya.

Ibu itu terperangah sebentar, lalu tersenyum ramah. "Oh, boleh banget, Mas. Ada di belakang warung, pintu kayu warna biru itu. Silakan dipakai."

Abas mengangguk sopan. "Terima kasih, Bu."

Abas kemudian menoleh pada Jena, matanya memberi isyarat tanpa kata-kata. "Cepat," seolah begitu maksud tatapannya.

Jena menggembungkan pipinya, menahan malu karena orang-orang di warung ikut melirik mereka sambil tersenyum-senyum. "Ih, Mas Abas..." bisiknya geram, merasa makin salah tingkah.

Abas hanya menghela napas panjang, menyibakkan sedikit tubuhnya agar Jena bisa lewat.

"Udah, buruan. Sebelum semua orang di sini tahu detail masalah perut kamu."

Wajah Jena makin merah padam. Ia pun segera melangkah cepat ke arah toilet, sementara Abas berdiri di samping pintu warung, bersedekap, menjaga—dengan wajah tetap dingin meski jelas-jelas menahan senyum tipis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 6

    Abas kembali melajukan mobilnya, roda berputar mulus di atas aspal tol yang panjang. Lampu-lampu jalan berbaris rapi, sementara suara mesin mobil berpadu dengan aliran angin dari AC.Sejak tadi, Jena duduk gelisah di kursinya. Matanya berulang kali melirik ke arah Abas, lalu buru-buru berpaling lagi setiap kali hampir ketahuan. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada gengsi yang ia simpan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas terdengar, Jena memberanikan diri bertanya, "Mas... dada kamu sakit nggak?"Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus ke jalan, wajahnya tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Hanya jemari tangannya yang sempat mengecilkan genggaman di setir, sebelum kembali menguat."Sakit sedikit," jawabnya datar, seolah itu bukan hal penting. "Tapi masih bisa nyetir. Kamu tenang aja."Jena mengerutkan kening, tangannya meremas tas di pangkuan. "Kok bisa bilang 'tenang aja'? Mas tadi kebentur keras, lho. Harusnya kamu jangan sok kuat gitu. Gimana kala

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 5

    Beberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis."Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus.Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!"Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk."Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong."Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng b

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 4

    Jena berjalan cepat di trotoar, wajahnya masih cemberut. Bibirnya mengerucut, maju seperti paruh bebek, seakan-akan dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya pada udara. Sandalnya menghentak-hentak kecil setiap kali melangkah, menandakan mood-nya yang jelas masih buruk.Jena memilih sisi kanan jalan, padahal persis di sampingnya kendaraan lalu-lalang, sesekali mobil melintas cukup dekat.Abas yang berjalan setengah langkah di belakangnya hanya mengamati tanpa suara. Mata dinginnya memperhatikan betapa sembrono gadis itu, seolah tidak sadar betapa rawannya posisi di tepi jalan.Tanpa berkata apa-apa, Abas tiba-tiba mengulurkan tangannya. Dengan gerakan tegas namun tak kasar, ia menahan lengan Jena dan memindahkannya ke sisi kiri—menempatkan dirinya di sisi kanan, berhadapan langsung dengan lalu lintas.Jena terbelalak, menoleh cepat. "Mas Abas! Kamu ngapain sih?!"Abas tidak menatapnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya mantap. "Kamu jalan di pinggir banget. Kalau ada

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 3

    Perut Jena mulai terasa kosong, suara lirih keroncongan terdengar jelas di tengah kesunyian kamar hotel. Ia mendesah, menatap sekilas menu room service yang tergeletak di meja, lalu menggeleng. "Aku nggak mau makanan hotel," gumamnya pelan.Dengan langkah ringan, Jena keluar dari kamar. Udara pagi yang masih segar menyambutnya ketika ia menuruni lobi hotel. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu—atau mungkin sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari penat yang menyesakkan di dadanya.Di sisi lain, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di parkiran hotel. Abas turun, ke keluar dari mobil. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jena yang keluar sendirian. Gadis itu berjalan dengan langkah malas, sesekali menunduk pada ponselnya, seolah tak peduli sekitar.Abas merapatkan rahang, menghela napas panjang. Ia sempat berpikir untuk memanggilnya, tapi akhirnya urung. Sebaliknya, ia memilih langkah yang lebih diam-diam.Abas mengikuti dari kejauhan. Tidak

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 2

    Abas sudah terjaga sejak subuh, duduk di sofa dengan kemeja putih yang sudah rapi kembali. Wajahnya segar, meski semalaman ia hampir tidak tidur. Ia menatap layar tablet di tangannya, membaca email pekerjaan, seakan pernikahan semalam hanyalah agenda kecil yang bisa ia letakkan di sudut pikirannya.Sementara itu, Jena masih tertidur di ranjang besar dengan piyama berwarna pastel yang ia kenakan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalaman ia bergulat dengan pikirannya sendiri.Abas melirik jam tangannya, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia mendekati ranjang, berhenti tepat di sisi Jena."Bangun," suaranya dalam, tegas, namun tidak keras.Jena mengerjap pelan, membuka mata dengan tatapan sayu. "Hm... Om?""Kita perlu bicara sebelum saya ambil keputusan," ucap Abas tanpa basa-basi.Jena langsung terduduk, menyibakkan selimut, wajahnya masih agak kusut tapi matanya menatap serius. "Keputusan soal kontrak?"Abas mengangguk. Ia kembali duduk di

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 1

    Resepsi pernikahan megah selesai. Musik yang sedari tadi riuh di ballroom kini berganti dengan senyap malam. Lampu-lampu gantung kristal masih berkilau, namun para tamu sudah satu per satu meninggalkan tempat.Bastian Lengkara Samudra, atau yang sering dikenal Abas, CEO berusia tiga puluh lima tahun yang dikenal dingin, cuek, dan selalu berpikir logis, berdiri tegak dengan wajah datar di samping pengantin wanitanya. Ia masih mengenakan jas hitam elegan, dasinya terikat rapi, dan sorot matanya dingin.Di sebelahnya, Jenara Cerelia Praratya—atau Jena—gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dengan gaun pengantin putih sederhana, melangkah pelan. Senyumnya tadi di depan tamu hanyalah formalitas, sama seperti Abas yang menahan ekspresi apapun.Tidak ada romantisme. Tidak ada tatapan hangat.Hanya dua orang asing yang dipaksa oleh keluarga untuk menikah.*****Setelah acara usai, Abas dan Jena ke sebuah hotel mewah yang sudah disiapkan oleh orang tua Abas.Di kamar pengantin, Abas m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status