Mag-log in"Ma, tunggu!"
Aina berlari tergopoh-gopoh dari dapur saat melihat ibu mertuanya mengeluarkan barang serta pakaiannya dari kamar, dan melemparkan semuanya itu ke lantai. "Ma, kenapa membuang barang-barangku?" tanya Aina memunguti barang-barang miliknya dengan hati pedih. Pakaian lungsuran dari Tari, dan pakaian lamanya semuanya tercecer di lantai. Meski, Ilham berasal dari keluarga berada. Tapi, tak sekali pun suaminya itu membelikan pakaian baru untuk Aina. Padahal saat masih pacaran dulu, Ilham cukup royal pada Aina. Ilham sering mengajak Aina pergi kencan, dan membawakan coklat serta bunga saat menjemput Aina di tempat kerjanya dulu. Namun, semua sikap baik dan perhatian suaminya itu berubah setelah mereka menikah. Ilham jadi cuek, tak acuh, bahkan tidak pernah lagi bersikap romantis pada Aina. "Memangnya kenapa lagi? Tentu saja, kamu harus pindah ke kamar pembantu!" balas Tari menyentak Aina. Aina yang sudah membawa semua barangnya dalam pelukan, menatap ibu mertuanya dengan menahan pahit. "Kenapa aku harus pindah, Ma? Ini kan kamarku dan Mas Ilham," tanya Aina perlahan berdiri, masih tak habis pikir dengan apa yang Tari lakukan. Sejak dulu ibu mertuanya itu memang selalu sinis pada Aina, tapi sikapnya itu semakin buruk akhir-akhir ini. Jika, Aina disuruh tidur di kamar pembantu, lalu siapa yang akan menempati kamar ini bersama Ilham? Jangan bilang .... "Masih nanya! Tentu saja karena kamar ini akan dipakai Ilham dan Della!" Hati Aina mencelos mendengar ucapan dari ibu mertuanya. Ingin sekali Aina menolak dan bersikukuh mempertahankan kamarnya. Ingin rasanya membantah Tari, tapi Aina tidak memiliki daya untuk melakukannya. Hidup Aina masih bergantung pada keluarga Ilham. Kalau sampai Aina diusir dari rumah ini, dia tidak punya tempat untuk pulang lagi. Dia juga tidak memiliki kerabat yang mau menampungnya. Akhirnya lagi-lagi Aina hanya bisa menurut. Tanpa membalas ucapan Tari, Aina menunduk dan berjalan menuju kamar pembantu yang ada di bagian belakang rumah. Saat Aina memasuki ruangan sempit dan pengap itu, dia baru menyadari ruangan ini begitu berbeda dengan ruangan lainnya. Kamar ini berukuran sangat kecil. Dibandingkan semua ruangan yang ada di rumah milik keluarga Ilham yang berukuran besar, sungguh perbedaan yang jomplang. Dindingnya yang sudah terkelupas dipenuhi jamur yang bisa membuat kualitas udara di dalamnya tidak sehat. Selain itu, kamar ini hanya memiliki jendela kecil. Alih-alih terlihat seperti sebuah kamar, justru terlihat seperti sel tahanan. Aina tidak bisa membayangkan dulu ada pembantu keluarga Ilham yang pernah tidur di kamar yang seperti sel tahanan ini. Betapa menyiksanya. Dengan menahan perasaannya, Aina menyimpan barang-barangnya ke lemari plastik kecil di sudut ruangan. Lalu, Aina duduk di tepi kasur yang sudah tak tertebak warnanya karena terlalu kumal, dan menguarkan bau apek. Ada beberapa tahi tikus juga di lantai dekat kasur. Tapi, Aina tak mengeluh dengan keadaan kamar barunya. Bagi Aina ini masih jauh lebih baik daripada dia terlunta-lunta di jalanan tanpa tujuan. Sejurus kemudian. Aina yang merasakan lelah luar biasa setelah membersihkan kamarnya itu, menidurkan dirinya di kasur yang sudah dia ganti spreinya. Namun, baru saja mata Aina terpejam. Suara melengking Tari memanggilnya. "Aina! Cepat kemari!" Dengan berlari kecil Aina memenuhi panggilan Tari. Dahi Aina berkerut heran begitu melihat Tari, Ilham, dan Della sudah berpakaian rapi. "Kami mau makan siang sekalian jalan-jalan di luar. Kamu jangan ke mana-mana, jaga rumah dengan baik. Jangan lupa cuci baju di keranjang kotor, dan bersihkan rumah" tukas Tari dengan bibirnya yang tebal terpoles lipstik merah menyala. Dandanannya sungguh meriah. Melebihi penyanyi dangdut yang hendak naik panggung. Pandangan Aina beralih pada Ilham yang bergeming di depannya. Tatapan Aina lalu turun ke arah tangan Ilham yang menggenggam erat tangan Della. "Mas Ilham," panggil Aina pada suaminya. "Hmm ...." balas Ilham berdeham datar. "Boleh aku ikut juga?" Aina berharap Ilham mengatakan iya. Tapi, Ilham malah bergeleng sambil mendengus kasar. "Bercerminlah sebelum bertanya, Aina. Sungguh memalukan membawa istri kumal sepertimu ke luar. Lebih baik kamu membersihkan rumah, dan menguras kolam renang karena besok teman-temanku akan ke sini." Ilham berucap tanpa mempedulikan perasaan Aina. Della yang ada di samping Ilham terkekeh kecil secara disengaja. "Hahaha, kasihan. Mana mau Mas Ilham bawa wanita mandul miskin buat jalan-jalan. Adanya bikin malu." Aina meremas rok yang dia pakai erat-erat. Lalu memaksakan seuntai senyuman. Dia harus tetap tegar menghadapi sikap menyebalkan mereka. "Baiklah," balasnya setelah berhasil menelan rasa kecewanya. Melihat kepergian Ilham bersama Della. Hati Aina kembali berdenyut sakit. Sudah lama Aina tidak jalan-jalan. Aina kemudian berlari ke kamar mandi untuk menatap dirinya di cermin wastafel. Memangnya Aina sejelek dan sekumal itu sampai Ilham malu pergi bersamanya? Aina mengamati wajahnya di cermin. Rambut hitam panjangnya tampak kusut, bibir ranumnya sekarang kering, kulitnya yang putih terlihat kusam dan tidak bersinar. Mata Aina yang bulat tidak sejernih biasanya. Matanya itu kini terlihat memerah karena kelelahan dan sering menangis. Aina sampai lupa kapan terakhir dia berdandan dan merawat diri. Sepertinya sudah hampir satu tahun. Aina meraba wajahnya dan mendapati dirinya tidak sejelek itu sehingga membuat Ilham malu. Malah, Aina bisa dikatakan sangat cantik andai dia bisa lebih merawat dirinya. *** "Ughh ...." Aina merasakan punggungnya terasa pegal setelah membersihkan rumah, dan menggosok pinggiran kolam renang di siang yang panas ini. Air di kolam sudah habis dia kuras. Dia hanya perlu membersihkan pinggirannya saja. Namun, karena kurang hati-hati kaki Aina tersandung selang air yang keberadaannya melintang di dekat kolam renang. Tubuh Aina kehilangan keseimbangan, dan dia terjatuh ke dalam kolam renang setinggi dua meter. Kepalanya membentur lantai kolam cukup keras. Dukk!! Aina merasakan kepalanya berdenyut sakit, lalu pandangannya menjadi gelap. -BersambungBrakk!!! "Eh, ayam!" Jantung Dodik nyaris meloncat dari tempatnya saat Raja tiba-tiba membanting tabletnya ke meja cukup keras. "Pak Raja, kenapa sih marah-marah? Masih pagi loh, Pak." Dodik tanpa sadar meringis menatap tablet atasannya itu yang malang. Selain suara tadi begitu mengerikan, dia juga merasa sayang pada benda pipih berharga belasan juta itu. Memang sih Pak Raja kaya raya. Tapi ya tidak gini juga. Pikir Dodik murung. Entah kenapa atasannya itu uring-uringan di hari yang masih pagi ini di kantor. Tapi, Raja tak menjawab pertanyaan Dodik sama sekali, Raja justru balik bertanya dengan tatapan tajam pada orang kepercayaannya itu. "Kamu sudah dapat infonya?" tanya Raja dingin tanpa ekspresi. Dodik menelan ludahnya dengan susah payah. Sekarang dia tahu apa yang membuat Raja kesal. Semuanya karena perempuan misterius yang sudah membuat junior atasannya bisa turn on kembali. Bekerja di bawah Raja selama delapan tahun, Dodik jadi mengerti kalau atasannya itu orang yang t
"Sial!" Raja berdecak kesal melihat tonjolan dari balik celananya semakin membesar. Raja sekarang duduk di ruang kerjanya sendirian sehingga dia bisa bebas melepaskan celananya tanpa takut ada yang melihatnya. Ketika celana dalamnya sudah terlepas, kejantanan Raja yang berukuran sangat besar langsung berdiri tegak bagaikan mercusuar. Hanya dengan bersentuhan dengan Aina tadi di dapur, kejantanan Raja bisa mengeras secepat ini. Padahal dengan Tari pun dia kesulitan berdiri. Raja memakai kedua tangannya untuk mengurut pusaka kebanggaannya. "Ahh ...." Raja mendesah sambil membayangkan tubuh perempuan yang dia habisi di hotel miliknya dua hari yang lalu. Raja gagal mencari tahu identitas dari perempuan itu. Membuat Raja merasa frustrasi karena hanya dengannya Raja bisa turn on kembali. Raja merilekskan punggungnya ke sandaran kursi saat dia akan mencapai gelombang kenikmatannya. Cairan miliknya yang kental dan berwarna putih segera menyembur mengenai lantai dan meja kerjanya. Ra
Semua orang tak akan percaya jika Raja adalah ayah kandung Ilham. Begitu pun dengan Aina yang baru melihatnya sekarang.Ayah mertuanya itu kembali ke Jakarta setelah menetap dua tahun lebih di Amerika. Raja masih muda. Mungkin usianya masih tiga puluh delapan tahun. Hanya selisih empat belas tahun dari Ilham. Raja juga memiliki perawakan yang tinggi gagah, dengan garis wajah seperti orang blasteran. Semua fisik yang menjadi nilai plus milik ayah mertuanya itu sama sekali tidak menurun pada Ilham. Untuk beberapa saat Aina seolah terbius oleh ketampanan Raja. Tapi, setelah ayah mertuanya balas menatapnya dengan dingin, Aina segera tercekat. "Siapa dia, Tari?" tanya Raja pada istrinya tanpa mengalihkan tatapannya dari Aina. Entah kenapa Raja merasa familier dengan perempuan belia di depannya. Dia lupa bertemu di mana, tapi dia merasa ada sesuatu dari perempuan itu yang berhasil menarik perhatiannya. Aina mengingatkan Raja pada seseorang. Tari melirik menantunya sinis karena tat
"Astaga! Maafkan aku. Aku kurang hati-hati." Aina buru-buru mengumpulkan pecahan gelas, dan mengelap lantai yang basah karena kecerobohannya. "Bagaimana ini? Jus lemon dariku sangat mahal loh. Bisa-bisanya terbuang sia-sia karena pembantu sialan ini," celoteh salah satu teman Ilham disertai dengusan kasar. "Pecat saja pembantumu itu, Ilham. Dasar pembantu tak berguna," tambah teman Ilham lainnya dengan mendecakkan lidah. Ilham sama sekali tak membantah teman-temannya yang mengatai Aina sebagai pembantu. Ilham juga tak membantu istrinya itu yang sedang membungkuk-bungkuk di hadapannya demi membersihkan serpihan gelas yang tercecer. "Aww ...." Satu pecahan gelas yang tajam menggores telapak tangan Aina karena dia kurang hati-hati. Darah segar mulai merembes keluar dari bagian tangannya yang terluka. Aina meringis merasakan perihnya. Tapi, hatinya kini terlampau sakit karena perlakuan Ilham, dan ucapan teman-teman suaminya itu. Meski, pakaian Aina sederhana. Dia-lah istri sah Ilh
"Apa? Kalian gagal membawanya ke hotel?" Della nyaris berteriak pada pria gempal yang sudah dia bayar untuk memerkosa Aina, di telepon.Sebenarnya tadi Della berniat menjebak Aina, membuat istri Ilham itu seolah-olah sedang bersenang-senang dengan seorang pria di hotel yang sudah Della pesan sebelumnya.Sehingga Ilham semakin membenci Aina.Dengan begitu Ilham menceraikan Aina lebih cepat, dan Della bisa segera menguasai harta keluarga Ilham yang sangat banyak."Tadi dia menghilang begitu saja saat kami mengejarnya," balas pria gempal dari seberang telepon takut-takut, memicu emosi Della memuncak."Dasar kalian tidak berguna! Cuma mengatasi satu perempuan lemah saja kalian tidak becus! Aku tidak akan memakai jasa kalian lagi!" Della berteriak geram. Dia langsung mematikan sambungan telepon dengan dada bergemuruh.Sialan! Rencananya gagal! Della menendang meja tak bersalah di depannya. Dia akan berusaha mencari cara lain untuk menyingkirkan Aina. Secepatnya!"Della sayang, kenapa waja
Aina tidak tahu berapa lama dia pingsan di dalam kolam renang. Dia membuka matanya saat langit sudah gelap. Mungkin Ilham dan ibu mertuanya sudah pulang. Pikir Aina panik. Dia harus segera membuatkan makan malam untuk mereka."Ughh ...." Aina berusaha bangun dengan susah payah. Dan di saat Aina sudah dalam posisi duduk, dia merasakan rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepala dan sekujur tubuhnya.Aina mencoba menyentuh kepalanya, dan tercekat mendapati ada darah kering di bagian pelipisnya.Mengabaikan rasa sakitnya, Aina cepat-cepat keluar dari kolam sebelum Tari melihatnya. Dia tidak mau ibu mertuanya kembali menenggelamkan kepalanya ke wastafel penuh dengan air dingin seperti yang sudah-sudah, saat mendapati Aina ketiduran karena kelelahan.Setelah berhasil keluar dari kolam renang, Aina berderap dengan kaki tertatih-tatih menuju ruang utama. Namun, rumah terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ilham, Tari, ataupun Della.Aina mendesah berat, lalu mendudukkan dirinya







