LOGINAina tidak tahu berapa lama dia pingsan di dalam kolam renang. Dia membuka matanya saat langit sudah gelap.
Mungkin Ilham dan ibu mertuanya sudah pulang. Pikir Aina panik. Dia harus segera membuatkan makan malam untuk mereka. "Ughh ...." Aina berusaha bangun dengan susah payah. Dan di saat Aina sudah dalam posisi duduk, dia merasakan rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepala dan sekujur tubuhnya. Aina mencoba menyentuh kepalanya, dan tercekat mendapati ada darah kering di bagian pelipisnya. Mengabaikan rasa sakitnya, Aina cepat-cepat keluar dari kolam sebelum Tari melihatnya. Dia tidak mau ibu mertuanya kembali menenggelamkan kepalanya ke wastafel penuh dengan air dingin seperti yang sudah-sudah, saat mendapati Aina ketiduran karena kelelahan. Setelah berhasil keluar dari kolam renang, Aina berderap dengan kaki tertatih-tatih menuju ruang utama. Namun, rumah terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ilham, Tari, ataupun Della. Aina mendesah berat, lalu mendudukkan dirinya yang lemas di sofa. Semua yang terjadi padanya hari ini sungguh membuat energinya habis terkuras. Air mata Aina menitik kembali. Ingin rasanya dia menyusul kedua orang tuanya saja. Aina sudah lelah. Tak tahu apa dia bisa bertahan lebih lama lagi di tempat yang terasa seperti neraka ini. "Pa .... Ma .... Kenapa kalian meninggalkanku sendirian? Kenapa tidak membawaku bersama kalian saja?" isak Aina sambil memeluk kakinya yang tertekuk dengan kedua tangan. Aina membenamkan kepalanya di antara tangannya, dan membiarkan air matanya luruh membasahi rok yang dia pakai. Dadanya sangat sesak karena perlakuan buruk Ilham, dan Tari. Sekaligus kerinduannya terhadap kedua orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan pesawat dua tahun yang lalu. *** Jam delapan malam Ilham, Tari, dan Della belum juga pulang. Entah ke mana perginya mereka hingga selama ini. Aina yang baru saja mandi mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Tadi Aina sudah memasakkan empat menu untuk makan malam. Semuanya sudah terhidang di atas meja makan hingga menguarkan aroma harum yang enak. Perut Aina mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi, tapi dia tidak boleh makan sebelum Ilham dan Tari pulang. Karena dia tidak mau mendapatkan tamparan dari ibu mertuanya lagi. Dulu pernah di saat Aina kelaparan, dia mengambil roti sisa yang sudah berjamur dari kulkas dan melahapnya habis. Tari yang tahu langsung menampar, dan memukul Aina. Mulai saat itu, Aina takut makan tanpa seizin ibu mertuanya. Aina mengalihkan tatapannya dari meja makan ke seluruh penjuru rumah yang terasa sunyi tanpa kehadiran Ilham dan Tari. Meski, begitu Aina justru lebih menyukai keadaan rumah yang seperti ini. Aina memang tidak terlalu suka tempat sepi. Tapi, selama tinggal di rumah ini dia selalu merasa kesepian. Hingga dia menjadi terbiasa. Aina menghela napas berat. Dadanya terasa nyeri setiap dia menarik napasnya panjang-panjang. Perhatiannya kemudian teralihkan pada layar ponselnya yang menyala. "Mas Ilham?" gumam Aina heran saat membaca siapa yang menghubunginya. Dengan sigap Aina menerima panggilan itu. Dia berkata setelah menempelkan ponselnya ke telinga. "Mas Ilham kapan pulang? Kenapa lama sekali? Aku sudah membuatkan masakan daging kesukaan Mas. Jadi, cepat pulang ya, Mas." "Ini aku Della. Mas Ilham sedang mabuk. Kamu ke sini sekarang! Aku perlu bantuanmu untuk membawa Mas Ilham pulang." Aina berubah malas mendengar suara wanita di seberang telepon. "Kenapa harus aku? Kan bisa minta tolong Mama?" tanyanya setengah ketus. "Hanya ada aku dan Mas Ilham di sini! Cepat ke sini! Aku akan kirim alamat clubnya padamu!" Seusai membentak Aina, Della langsung menutup panggilan teleponnya tanpa sopan. Padahal perempuan itu lebih muda dari Aina satu tahun. Lalu, muncul pesan dari nomor Ilham berisi alamat club paling mewah di Kota Jakarta. Aina memandangi alamat itu dalam diam seolah sedang berdebat dengan pikirannya sendiri. Kenapa Ilham mabuk lagi? Padahal selama bersama Aina, kebiasaan suaminya itu sudah hilang. Aina tahu benar jika Ilham mabuk, pria itu bisa menimbulkan kekacauan di sekitarnya. Dan setelah satu menit terdiam menimbang-nimbang, Aina akhirnya memutuskan pergi ke club. Aina mengambil jaketnya, dan pergi memesan taksi dengan sisa uang yang dia pegang. Tak lama kemudian, Aina sudah berada di dalam club mewah yang dipenuhi pengunjung. Semakin malam, club ini terlihat semakin padat. Aina mencoba menelepon Ilham lagi untuk tahu di mana persis suaminya itu berada sekarang. Tapi, ponselnya sudah tidak aktif. Sambil mengeratkan jaketnya, Aina mencoba menembus orang-orang yang sedang tenggelam dalam kenikmatan dunia malam. Aroma rokok yang pekat, dan alkohol langsung menyambut penciuman Aina. Aina merinding mendapati dirinya masuk ke club. Di usianya yang sudah dua puluh tahun, baru sekarang Aina menginjakkan kakinya di sebuah club karena sebelumnya orang tuanya selalu melarang Aina pergi ke tempat seperti ini. "Sialan!" Seorang pria mabuk tidak sengaja menyenggol lengan Aina. Aina langsung beringsut mundur menghindari tatapan pria itu yang seolah ingin menelanjanginya. Buru-buru Aina berlari menuju ke bagian lebih dalam dari gedung club ini. Aina mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan mengandalkan ketajaman penglihatannya, karena ruangan ini cukup gelap sehingga wajah orang-orang tampak tersamarkan. Tidak ada Ilham di sini. Aina pun berpindah ke ruangan lain. Namun, di saat Aina hendak berbelok ada tiga pria bertubuh gempal menghardiknya. "Hei .... Sendirian aja, Cantik?" ucap salah satu dari mereka dengan gelagat aneh. "Ada mangsa baru nih, Bos," tambah pria di sampingnya. Merasa harus menghindari tiga pria gempal itu, Aina perlahan memundurkan langkah, berbalik, dan langsung berlari. Aina menoleh ke belakang sambil terus berlari ke tempat yang sulit dijangkau. Dan betapa terkejutnya Aina saat melihat tiga pria tadi mengejarnya. Aina merinding membayangkan kemungkinan yang akan terjadi saat dirinya tertangkap. Tuhan, tolong Aina. Aina menghentikan gerakan kakinya ketika dia menemukan jalan buntu. Keringat dingin mengucur deras di dahinya. Namun, sebelum tiga pria tadi mendekat, ada sebuah tangan yang menarik Aina ke sebuah ruangan VIP. "Arghh!!" teriak Aina terkejut. Suaranya segera menghilang karena mulutnya dibekap oleh seorang pria berperawakan tinggi gagah. "Diam!" Pria itu menatap Aina tajam dengan mata hazelnya. Kemudian tatapan itu menggelap. Tanpa peringatan pria itu merenggut Aina ke dalam gendongannya. Aina berusaha lepas dengan meronta-ronta, dan mencakar punggung si pria. "Lepas! Lepaskan! Kumohon!" teriak Aina terus mencakar dengan membabi buta. Tapi, semua cakaran Aina yang tercipta di punggungnya tak memberikan pengaruh sama sekali pada si pria yang sudah menjatuhkan tubuh Aina ke sofa pelan. Pria itu beralih melepaskan bajunya sendiri dengan napas terengah-engah, dan peluh menghiasi wajah tampannya. Dan yang terjadi setelahnya membuat Aina menyesali keputusannya mencari Ilham di club ini. Si pria yang sudah telanjang bulat menindih tubuh mungil Aina. Dia dengan ganas melucuti pakaian Aina juga. Pria itu meracau tak jelas begitu menatap payudara Aina yang ranum. Dia kemudian melahap payudara Aina , dan menggigitnya kecil. Air mata Aina pecah sudah, saat tubuhnya dipermainkan oleh pria yang tidak dia kenal. Semua jengkal tubuhnya telah terjamah. Dan ketika Aina merasakan sakit luar biasa di antara pangkal pahanya saat pria itu berusaha memasukinya, tangisan Aina semakin keras. "Kumohon berhenti. Ini sangat sakit." Hanya itu yang bisa Aina ucapkan sebelum kesadarannya mulai menghilang. Sementara, si pria masih terus menyapukan lidahnya di kedua puting payudara Aina. Melampiaskan hasratnya yang bergelora karena obat perangsang sialan. -BersambungBrakk!!! "Eh, ayam!" Jantung Dodik nyaris meloncat dari tempatnya saat Raja tiba-tiba membanting tabletnya ke meja cukup keras. "Pak Raja, kenapa sih marah-marah? Masih pagi loh, Pak." Dodik tanpa sadar meringis menatap tablet atasannya itu yang malang. Selain suara tadi begitu mengerikan, dia juga merasa sayang pada benda pipih berharga belasan juta itu. Memang sih Pak Raja kaya raya. Tapi ya tidak gini juga. Pikir Dodik murung. Entah kenapa atasannya itu uring-uringan di hari yang masih pagi ini di kantor. Tapi, Raja tak menjawab pertanyaan Dodik sama sekali, Raja justru balik bertanya dengan tatapan tajam pada orang kepercayaannya itu. "Kamu sudah dapat infonya?" tanya Raja dingin tanpa ekspresi. Dodik menelan ludahnya dengan susah payah. Sekarang dia tahu apa yang membuat Raja kesal. Semuanya karena perempuan misterius yang sudah membuat junior atasannya bisa turn on kembali. Bekerja di bawah Raja selama delapan tahun, Dodik jadi mengerti kalau atasannya itu orang yang t
"Sial!" Raja berdecak kesal melihat tonjolan dari balik celananya semakin membesar. Raja sekarang duduk di ruang kerjanya sendirian sehingga dia bisa bebas melepaskan celananya tanpa takut ada yang melihatnya. Ketika celana dalamnya sudah terlepas, kejantanan Raja yang berukuran sangat besar langsung berdiri tegak bagaikan mercusuar. Hanya dengan bersentuhan dengan Aina tadi di dapur, kejantanan Raja bisa mengeras secepat ini. Padahal dengan Tari pun dia kesulitan berdiri. Raja memakai kedua tangannya untuk mengurut pusaka kebanggaannya. "Ahh ...." Raja mendesah sambil membayangkan tubuh perempuan yang dia habisi di hotel miliknya dua hari yang lalu. Raja gagal mencari tahu identitas dari perempuan itu. Membuat Raja merasa frustrasi karena hanya dengannya Raja bisa turn on kembali. Raja merilekskan punggungnya ke sandaran kursi saat dia akan mencapai gelombang kenikmatannya. Cairan miliknya yang kental dan berwarna putih segera menyembur mengenai lantai dan meja kerjanya. Ra
Semua orang tak akan percaya jika Raja adalah ayah kandung Ilham. Begitu pun dengan Aina yang baru melihatnya sekarang.Ayah mertuanya itu kembali ke Jakarta setelah menetap dua tahun lebih di Amerika. Raja masih muda. Mungkin usianya masih tiga puluh delapan tahun. Hanya selisih empat belas tahun dari Ilham. Raja juga memiliki perawakan yang tinggi gagah, dengan garis wajah seperti orang blasteran. Semua fisik yang menjadi nilai plus milik ayah mertuanya itu sama sekali tidak menurun pada Ilham. Untuk beberapa saat Aina seolah terbius oleh ketampanan Raja. Tapi, setelah ayah mertuanya balas menatapnya dengan dingin, Aina segera tercekat. "Siapa dia, Tari?" tanya Raja pada istrinya tanpa mengalihkan tatapannya dari Aina. Entah kenapa Raja merasa familier dengan perempuan belia di depannya. Dia lupa bertemu di mana, tapi dia merasa ada sesuatu dari perempuan itu yang berhasil menarik perhatiannya. Aina mengingatkan Raja pada seseorang. Tari melirik menantunya sinis karena tat
"Astaga! Maafkan aku. Aku kurang hati-hati." Aina buru-buru mengumpulkan pecahan gelas, dan mengelap lantai yang basah karena kecerobohannya. "Bagaimana ini? Jus lemon dariku sangat mahal loh. Bisa-bisanya terbuang sia-sia karena pembantu sialan ini," celoteh salah satu teman Ilham disertai dengusan kasar. "Pecat saja pembantumu itu, Ilham. Dasar pembantu tak berguna," tambah teman Ilham lainnya dengan mendecakkan lidah. Ilham sama sekali tak membantah teman-temannya yang mengatai Aina sebagai pembantu. Ilham juga tak membantu istrinya itu yang sedang membungkuk-bungkuk di hadapannya demi membersihkan serpihan gelas yang tercecer. "Aww ...." Satu pecahan gelas yang tajam menggores telapak tangan Aina karena dia kurang hati-hati. Darah segar mulai merembes keluar dari bagian tangannya yang terluka. Aina meringis merasakan perihnya. Tapi, hatinya kini terlampau sakit karena perlakuan Ilham, dan ucapan teman-teman suaminya itu. Meski, pakaian Aina sederhana. Dia-lah istri sah Ilh
"Apa? Kalian gagal membawanya ke hotel?" Della nyaris berteriak pada pria gempal yang sudah dia bayar untuk memerkosa Aina, di telepon.Sebenarnya tadi Della berniat menjebak Aina, membuat istri Ilham itu seolah-olah sedang bersenang-senang dengan seorang pria di hotel yang sudah Della pesan sebelumnya.Sehingga Ilham semakin membenci Aina.Dengan begitu Ilham menceraikan Aina lebih cepat, dan Della bisa segera menguasai harta keluarga Ilham yang sangat banyak."Tadi dia menghilang begitu saja saat kami mengejarnya," balas pria gempal dari seberang telepon takut-takut, memicu emosi Della memuncak."Dasar kalian tidak berguna! Cuma mengatasi satu perempuan lemah saja kalian tidak becus! Aku tidak akan memakai jasa kalian lagi!" Della berteriak geram. Dia langsung mematikan sambungan telepon dengan dada bergemuruh.Sialan! Rencananya gagal! Della menendang meja tak bersalah di depannya. Dia akan berusaha mencari cara lain untuk menyingkirkan Aina. Secepatnya!"Della sayang, kenapa waja
Aina tidak tahu berapa lama dia pingsan di dalam kolam renang. Dia membuka matanya saat langit sudah gelap. Mungkin Ilham dan ibu mertuanya sudah pulang. Pikir Aina panik. Dia harus segera membuatkan makan malam untuk mereka."Ughh ...." Aina berusaha bangun dengan susah payah. Dan di saat Aina sudah dalam posisi duduk, dia merasakan rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepala dan sekujur tubuhnya.Aina mencoba menyentuh kepalanya, dan tercekat mendapati ada darah kering di bagian pelipisnya.Mengabaikan rasa sakitnya, Aina cepat-cepat keluar dari kolam sebelum Tari melihatnya. Dia tidak mau ibu mertuanya kembali menenggelamkan kepalanya ke wastafel penuh dengan air dingin seperti yang sudah-sudah, saat mendapati Aina ketiduran karena kelelahan.Setelah berhasil keluar dari kolam renang, Aina berderap dengan kaki tertatih-tatih menuju ruang utama. Namun, rumah terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ilham, Tari, ataupun Della.Aina mendesah berat, lalu mendudukkan dirinya







