MasukAina menekan dadanya pelan, berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang sangat cepat.Padahal masih jam satu pagi, tapi dia sudah senam jantung.Ngomong-ngomong, benda apa yang tadi ada di tangan ayah mertuanya?Aina menelan ludahnya dengan susah payah begitu menyadari benda apa itu."Ya Tuhan," gumam Aina tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya.Baru kali ini Aina melihat ada kejantanan seorang pria sebesar itu.Mungkin, besarnya seperti terong raksasa yang biasa Aina masak."Astaga, Aina. Sadarkan dirimu!" Aina buru-buru menepuk kedua pipinya yang terasa panas berulang kali.Pasti sekarang kedua pipinya sudah semerah tomat karena membayangkan kejantanan Raja yang sangat besar itu menyodok-nyodok miliknya."Aina!" teriak Tari tiba-tiba, meruntuhkan pikiran Aina yang terkutuk.Aina yang sebelumnya berdiri di balik pintu kamarnya. Mencoba menengok ke luar, di mana ibu mertuanya sudah berdiri tegak di sana.Tari melirik Aina dengan tatapan sewot, begitu Aina melongokkan kepalanya b
"Sudah pulang, Mas?" tanya Tari begitu Raja masuk ke dalam kamar mereka."Iya," balas Raja singkat."Gimana, Mas? Tas Hermesnya udah Mas beliin?""Belum." "Yah, kok belum sih. Padahal aku kepengen make tas itu pas berkunjung ke rumah temanku besok." Tari mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.Semenjak Raja memanggil Dokter Anwar untuk mengobati Aina, Tari jadi sedikit uring-uringan dan jadi sedikit manja.Tari kira dengan melakukan itu, Raja mau membujuknya. Mau merayunya seperti pasangan suami-istri lainnya. Tapi, Raja tetap saja bersikap dingin. Suaminya itu sama sekali tak menghiraukan rengekan Tari. Termasuk saat Tari meminta tas Hermes baru."Saya sibuk. Kamu bisa kan beli sendiri?" ucap Raja jengah."Tidak mau. Pokok aku maunya Mas yang beliin."Raja yang sudah mandi, dan sudah mengganti pakaiannya. Langsung mengistirahatkan tubuhnya ke kasur tanpa menjawab ucapan Tari.Biar saja istrinya itu mengomel. Biar saja Tari jengkel. Raja masa bodoh.Raj
"Dodik, tunda pertemuan malam ini. Saya ingin pulang cepat," tandas Raja pada Dodik.Sebelum sekretarisnya itu sempat menjawab, Raja sudah melesat pergi.Raja tak bisa menahan keinginannya lebih lama lagi untuk melihat pemandangan indah yang sudah menunggunya di rumah.Raja bisa membayangkan betapa erotisnya Aina dalam balutan lingerie yang dia belikan.Sepasang payudara yang ranum. Dan celah bersih di antara paha menantunya itu. Sungguh membuat Raja ingin cepat pulang.Raja dengan gesit melajukan mobilnya menyalip kendaraan lain di jalan. Selagi jalanan lumayan longgar, mobilnya jadi bisa bergerak lebih bebas.Awalnya Raja tidak memiliki niatan membelikan Aina lingerie. Tapi, di saat Raja berjalan di mall kemarin. Dia tak sengaja melihat patung manekin yang memakai lingerie seksi. Raja langsung membelinya tanpa pikir panjang.Tentu saja yang ada di dalam pikirannya saat itu Aina, dan bukan Tari.Sementara itu, Aina masih menatapi lingerie yang dia hamparkan di atas kasur dengan bim
Aina buru-buru mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Aina tadi terbuai dengan kenikmatan yang diberikan Raja pada kewanitaannya, sampai tak sadar mendesah pelan.Aina spontan menunduk saat Raja menatapnya tanpa berkedip.Rasanya sungguh memalukan mendesah di tengah heningnya sarapan mereka."Maaf. Tadi kakiku ada yang menginjak," ucap Aina cepat-cepat memberikan alasan. Berharap alasannya ini dapat diterima.Ilham, Della, dan Tari yang sebelumnya sempat menghentikan sarapan mereka karena mendengar desahan pelan dari mulut Aina, kembali melanjutkan aktivitas mereka itu dengan acuh tak acuh.Peduli apa mereka pada Aina? Mau Aina diinjak kakinya atau sakit sekali pun, mereka tak akan peduli. Hanya saja diam-diam Tari merasa kesal.Harusnya menantunya itu berkata "Aww" saja daripada mendesah seperti itu saat diinjak kakinya. Desahan Aina sungguh memancing. Tari takut Raja mendengar desahan Aina, dan jadi berpikiran yang aneh-aneh.Aina merapatkan kedua kakinya ketika tangan nakal Raja henda
"Aina!" panggil Ilham mengetuk pintu kamar Aina dengan keras. "Keluar kamu!"Aina segera memakai celana dalam dan roknya begitu mendengar suara Ilham. Aina melemparkan tatapannya sebentar ke tempat tidurnya yang masih berantakan sebelum membuka pintu. Entah kenapa melihat kasurnya itu, Aina jadi teringat mimpinya yang lain. Di mana Raja memuaskan Aina dengan memakai lidahnya.Aina buru-buru bergeleng mengenyahkan pikirannya. Mana mau ayah mertuanya yang suka kebersihan itu menjilati kewanitaannya? Dipikir sekali lagi rasanya sangat mustahil."Ada apa, Mas Ilham?" tanya Aina pada suaminya saat pintu kamarnya sudah dia buka.Ilham menyipitkan kedua mata curiga, lalu balas bertanya dengan nada menuduh. "Kamu ada hubungan apa dengan Dokter Anwar? Dokter Anwar itu dokter pribadi keluarga Baskoro. Dia tidak akan sudi menyentuh pasien sepertimu yang miskin dan tidak berguna kalau bukan karena sesuatu."Aina merasa kesal karena ucapan Ilham.Bukannya menanyakan keadaan Aina, suaminya itu m
Raja melirik jengah ponselnya yang dia letakkan di meja kerjanya. Sudah dua jam setelah Dodik kembali ke perusahaan. Tapi, belum ada pesan masuk dari Aina.Apa menantunya itu tidak tahu berterima kasih? Padahal Raja sudah membelikannya bubur ayam terenak di Jakarta.Raja sekali lagi mendengus kesal. Benda pipih di depannya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda adanya pesan masuk.Ketika tiba-tiba ponselnya berdering singkat, Raja dengan secepat kilat menyambarnya. Membuka layar. Berharap yang barusan mengirimkan pesan adalah Aina.Tapi, setelahnya pundak Raja merosot kecewa.Pesan itu bukan dari Aina. Tapi, dari salah satu koleganya.Dengan malas Raja mengembalikan ponselnya ke meja, lalu menggeser pandangannya dengan jengkel pada Dodik."Kamu yakin sudah memberikan nomor saya pada Aina?" tanya Raja dengan dingin, dan pandangan tajam menusuk. Tanda dia benar-benar kesal.Dodik menghentikan pekerjaannya yang sedang menyusun jadwal atasannya itu, dan balas nyengir. "Sudah, Pak Raja.







