Share

Jangan Dekati Dia!

Sebenarnya Rey emosi jika perusahaan terjadi masalah, sekalipun masalah kecil. Perusahaan dibawah pimpinan Haikal itu juga tidak lepas pengaruhnya dari Rey. Singkatnya, mereka berdua yang telah sama-sama membangun perusahaan properti raksasa itu dari nol.

Haikal menghirup nafas dalam-dalam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rey. Isi kepala CEO itu tak karuan karena Hera. Bayangan malam itu terus terlintas dikepalanya. Entah mengapa, hasrat Haikal untuk terus mengukung Hera dalam genggamannya begitu kuat.

Padahal, lelaki itu sebelumnya tidak pernah merajut hubungan dengan wanita manapun. Jangankan bermesraan, berinteraksi dengan wanita lain manapun, membuat Haikal malas melakukannya. Ia memang terkenal lelaki yang sulit ditaklukkan hatinya karena sikapnya yang dingin dan malas mengenal sosok wanita. 

'Akh, sialan sekali wanita itu! Kenapa juga dia harus memberikan kenikmatan senikmat itu padaku!' rutuk Haikal dalam hatinya.

"Hei, sepertinya ada yang salah padamu. Betul?" tanya Rey meninggikan suaranya.

Haikal tidak mau menjawabnya. Ia memilih bangkit dari kursinya. Lalu menepuk pelan bahu karyawan sekaligus sahabatnya itu.

"Sudahlah, Rey. Aku rasa semuanya akan baik-baik saja. Tidak perlu terlalu risau dengan permasalahan perusahaan kita. Investor lainnya siap maju," ucap Haikal lalu berlalu pergi meinggalkan Rey yang masih berdiam diri.

***

Saat Haikal berjalan di lobi kantor, ia malah berpapasan dengan Hera. Wanita itu seketika menghentikan langkahnya saat Haikal yang terlebih dahulu menyapanya dengan suara deheman kecil.

“Pak Haikal,” sapa Hera sopan sambil menundukkan kepala.

“Mau kemana?”

“Mau ke ruangan Rey, Pak,”

Hera berniat melanjutkan langkahnya. Namun lelaki itu malah menghadang langkahnya. Hera lalu berjalan ke samping kanan, Haikal pun juga berjalan ke samping kanan menghadang jalannya.

“Untuk apa kamu ke ruangannya?” tanya Haikal sinis

‘Apa sih? Kenapa pak Haikal dari tadi aneh sekali!’ gumam Hera sambil menarik nafas panjang.

Harusnya Haikal tidak mempertanyakan hal itu. Hera dan Rey satu devisi dibagian keuangan. Jelas saja pastinya karena urusan pekerjaan. Sungguh pertanyaan konyol yang ia dengar dari mulut Haikal.

“Mau kasih berkas ini ke Rey, Pak. Sekalian saya meminta kepada Rey untuk mengajarkan saya segala hal sesuai yang bapak katakan tadi pagi,” 

Haikal terlihat menggeleng dan berdecak lidah mendengar Hera.

‘Ya Tuhan, apa lagi ini?’ gumam Hera tak berani menatap Haikal.

Laki-laki itu langsung menarik dagu Hera agar menatapnya. Manik mata mereka saling bertemu. Hera langsung merasakan lidahnya kelu seketika.

“Saya percuma menerima karyawan jika tidak bisa mandiri! Mulai detik ini kamu fokus mengerjakan urusan pekerjaaan tanpa bantuan ataupun diajar oleh orang lain. Tidak usah sok manja untuk diajar,” desis Haikal membuat Hera menelan salivanya dengan kuat.

Hera menunduk ketakutan. Jangan sampai Haikal marah-marah padanya dan tiba-tiba memecatnya begitu saja. Jika itu terjadi, betapa konyolnya hidup Hera. Baru saja mau ia bisa sekantor dengan Rey, mendadak sirna dalam sehari saja.

"Ba-ba... Eh! Ma-mau kemana, Pak?" ucap Hera tiba-tiba berteriak histeris. 

Haikal tidak memberi kesempatan disana. Ia secepat kilat menarik tangan Hera dengan kuat. Belum sempat mencerna rentetan peristwa, Haikal langsung menutup pintu dan itu Hera panik bukan main karena tiba-tiba diseret ke toilet pria. Lebih tepatnya, mereka berdua kini berada tepat di depan wastafel.

Hera mengusap wajahnya ketakutan. Ia melihat Haikal dibalik cermin.

"Pak Haikal! Kenapa saya dibawa kesini? Dan kenapa pintunya ditutup?” cicit Hera membentak.

“Kamu ini dari tadi bertanya terus. Capek saya dengarnya,” keluh Haikal.

Haikal menyugar rambutnya. Ia ikut mematut dirinya di depan cermin. Matanya fokus menatap wajah Hera yang juga berdiri menghadap ke cermin. Entah mengapa, semakin melihat Hera, degup jantung Haikal selalu saja tidak karuan.

Ia sebenarnya ingin berbicara empat mata dengan wanita itu. Ada dorongan yang membuatnya ingin mengenal lebih jauh segala hal tentang Hera.

“Kamu ini perempuan yang suka mabuk?” tanya Haikal serius.

Hera mengangga sesaat. Kali ini ia bisa pastikan jika Haikal tidak melupakan kejadian itu.

“Jawab!” kata Haikal tegas.

“Semua diluar kendali saya, Pak. Saya minta maaf karena sudah—”

“Hah, bisa-bisanya kamu minta maaf pada orang lain. Apa kamu tidak merasa bersalah pada dirimu sendiri karena keteledoranmu?” sela Haikal.

JLEB!

Pertanyaan Haikal terlalu frontal baginya. Yang membuat wanita itu makin malu saat ini karena Haikal menyindir persoalan harta berharganya yang terenggut untuk pertama kalinya. Ah, jelas saja. Haikal pasti tau akan hal itu.

“Ini juga karena keteledoran anda yang tidak bisa menahan! Sudahlah, saya harap pak Haikal tidak usah mengungkit-ungkitnya lagi. Cukup hanya sekali saja kesalahan ini terjadi dan kita bisa sama-sama melupakannya,” balas Hera seketika emosi.

“Ya. Ini pun kesalahan saya untuk pertama kalinya. Tapi bagaimana…” Haikal terdiam sejenak. Ia menaikkan sebelah alisnya, membuat Hera ikut terdiam menunggu kalimatnya.

“Bagaimana jika ternyata saya tidak bisa melupakannya?”

Hera termangu. Otaknya berusaha berpikir berat akan isi kepala lelaki itu. Belum sempat diberikan kesempatan berpikir, wanita itu kembali tertegun karena tingkah Haikal.

Disana, Haikal malah melepas jasnya. Itu membuat Hera terpana sesaat. Matanya terlalu menikmati pemandangan otot tubuh lelaki itu dibalik kemeja press body berwarna navy. Hera malah kembali mengingat malam panas itu.

‘Shit! Otak lu kotor banget, Hera! Lupakan-lupakan-lupakan!’ batin Hera sambil memejamkan mata.

“Kenapa kamu memejamkan mata? Sengaja, hm? " tegur Haikal.

Hera menganga dan terkaget. Kepalanya menunduk dan mengigit jari telunjuk kanannya sendiri, saking salah tingkahnya.

“Cepat pijit punggung saya. Hari ini saya tidak fokus bekerja karena kelelahan,” ucap Haikal santai. 

Hera melipat kedua tangannya. Persetan otak Haikal mulai terkontaminasi atau apapun itu, Hera tidak peduli. Ia paling tidak suka diperlakukan rendahan secara sadar.

Haikal memasang wajah dingin. Tapi tidak sedingin sorot matanya yang menatap nyalang penuh emosi. Namun tidak membuat Hera bergidik ketakutan untuk persoalan ini.

“Pak Haikal yang terhormat, saya disini bekerja untuk perusahaan. Demi kemajuan perusahaan. Jangan memberikan pekerjaan rendahan seperti ini. Saya bukan—”

“Saya atasanmu. Atau kamu mau saya pecat detik ini juga?”

“Ih! Saya gak bisa pijit! Lagian ini di toilet. Saya tidak bisa berlama-lama disini. Cepat buka pintunya, ” balas Hera sedikit membentak.

“Ya sudah, kamu pijitnya di ruangan saya saja,” balas Haikal tenang. 

Hera menggeleng cepat. Ia buru-buru menarik tangan Haikal agar tak keluar begitu saja. Ia mau memberikan penjelasan kepada Haikal jika dirinya tidak mau memijit.

“Pak Haikal jangan mencoba macam-macam dengan saya!” bentak Hera menolak permintaan gila Haikal. 

“Kamu bisa berpikiran seperti itu jika saya melakukannya. Saya ‘kan hanya meminta tolong untuk dipijit! Jadi lepaskan tanganmu!” desis Haikal sembari matanya ke arah tangannya yang sedang dicengkram erat oleh Hera.

Disaat yang bersamaan, pintu terdorong begitu saja. Haikal dan Hera saling berpandangan sesaat. Lalu mata mereka kompak melihat ke arah pintu.

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status