"Tidak! Dasar mesum!" tolak Ella cepat. Seketika wajahnya memerah, mengingat malem itu. Memalukan, menyakitkan, dan menyenangkan. "Sepertinya kau sering tidur dengan jalang," ujar Ella tiba-tiba.
"Siapa yang bilang?" "Aku. Buktinya barusan wanita yang kau bilang bernama Alice itu mengatakan aku jalang dan kemarin, wanita yang kamu bunuh adalah wanita panggilan, bukan?" "Pertama, aku tidur dengan mereka hanya jika ingin. Tapi kamu tidak bisa menganggapku pria brengsek hanya karena sering meniduri jalang. Aku membantu mereka mendapatkan uang. Kedua, aku tidak membunuh wanita itu. Sayangnya ikan Piranha hanya melukai beberapa bagian tubuhnya." "Itu sama saja, kau melakukan tindakan kriminal. Apa kau tidak takut pada hukum?" "Tidak, jika hukum berlaku padaku, pasti aku sudah di dalam penjara sejak lama." "Kau benar-benar pria mengerikan. Apa kau seorang buronan? Seperti ... mafia?" "Terserah padamu menganggapku seperti apa. Yang pasti pekerjaanku membuat diriku kaya raya." "Jangan-jangan kau sering menculik wanita lain sebelum aku?" "Tidak. Hanya dirimu," kata Alexander melangkah ke luar ruang gym. "Kau tidak bisa seenaknya sendiri, Alexander!" geram Ella mengikuti Alexander dari belakang. "Tentu saja bisa." "Kau pikir yang mempunyai urusan penting dalam hidup, hanya kau sendiri? Aku juga punya urusan penting dalam hidupku." "Urusan penting apa? Berkuliah? Tenang saja, aku sudah menyelesaikan soal itu." "Satu-satunya cara untuk menyelesaikannya adalah membiarkan diriku pergi." "Tidak juga." "Aku mohon, Alexander." Ella meraih tangan Alexander. Namun, Alexander segera menepis tangan Ella tanpa menghentikan langkahnya. "AKU BERJANJI AKAN MELAKUKAN APA PUN," teriak Ella penuh frustasi. Alexander menghentikan langkahnya, ia membalikan tubuhnya melihat ke arah Ella. "Sungguh?" "Iya. Lagi pula kau sudah melakukan semuanya padaku." Alexander berjalan mendekati Ella, jarinya mengangkat dagu Ella membuat wajah mereka bertemu. "Tapi karena kau sudah memberikan semuanya padaku, jadi tidak ada lagi yang ingin aku dapatkan darimu. Penawarannya tidak menarik." "Lalu kau akan mengurungku di sini selamanya?" "Kenapa tidak? Aku suka wanita bodoh." Ella menepis tangan Alexander dari dagunya. "Kau brengsek." Ia berjalan menjauhi Alexander. Alexander melihat punggung Ella yang semakin menjauh masuk ke dalam kamar. Ia tidak berniat mengejar karena wanita itu tidak akan pergi dari pengawasannya. Kunci pintu kamar Ella juga ada pada dirinya, jadi biarkan bocah itu mengurung diri. "Sir," panggil Lionello menghampiri Alexander. "Ya?" "Tuan Reagan ingin bertemu Anda." "Aku tidak ada urusan dengan pria tua itu." "Keluarga Landtsov akan ke kediaman Hoffa dan Tuan Reagan ingin Anda pergi ke sana juga." "Baiklah. Aku akan pergi," jawabnya setelah diam sejenak. Pria itu mulai bersiap-siap untuk menemui Ayahnya dan para tamu yang berasal dari Rusia. Sebenarnya ia tidak tertarik dengan pembicaraan yang akan dibahas di sana. Alexander datang hanya untuk mempertahankan kerjasama antar keluarga Hoffa dan Landtsov. Ia memakai setelan jas yang rapi lalu pergi ke tempat tujuan, yaitu mansion utama keluarganya. Mobil yang ditumpangi Alexander perlahan memasuki gerbang yang menjulang tinggi. Mansion ini lebih besar dari mansion miliknya tapi Alexander tidak berminat tinggal di sini, jadi mansion hanya dihuni Ayah dan Adiknya saja. Kaki panjang Alexander melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Ia melihat Reagan dan ada dua orang dari keluarga Landtsov. Sebuah senyum tipis terbentuk di wajah Alexander, ia berjalan ke arah dua tamunya sambil menunjukkan wajah ramah. "Selamat datang Tuan Boris dan Nyonya Ivanna. Sudah lama tidak berjumpa," sambut Alexander mengulurkan tangannya ke arah dua orang tersebut. "Kebanggan keluarga Hoffa akhirnya datang juga," ucap Boris memeluk Alexander. "Aku terus mendengar berita membanggakan tentangmu. Tuan Reagan beruntung memiliki putra seperti Alexander." "Putraku memang sangat hebat, dia mirip denganku saat masih muda." Alexander duduk di samping ayahnya dan di depannya ada dua tamu. "Jika aku lemah, bisnis ini tidak akan berlangsung lama." "Benar, diantara dua saudaramu itu, kamu yang paling berpotensi," puji Boris. "Kudengar kamu mensponsori beberapa pertunjukan Ballet," sahut Ivanna. "Iya, Ballet adalah seni yang sangat luar biasa, aku ingin memberikan dukungan pada mereka," jawab Alexander. "Itu alasan Chloe menerima pertunangan ini. Dia bilang kamu tampan, seksi dan pria baik. Putriku sangat menyukaimu," ungkap Ivanna. "Aku senang mendengarnya." "Jika kau ingin menemui tunanganmu, pergilah, dia bilang ingin bermain biliard denganmu. Pembicaraan orang tua akan terasa membosankan," perintah Reagan. "Baik, Ayah. Nikmati waktu kalian Tuan dan Nyonya Landtsov," pamit Alexander, keluar dari ruang tamu. Alexander berjalan ke ruang biliard. Tidak langsung masuk, ia berdiri di depan pintu sambil menghela napas berat dan pikirannya terasa kacau. "Tidak, semuanya harus berjalan dengan lancar," batin Alexander, menggelengkan kepala. Tangan Alexander membuka pintu ruang biliard. Terlihatlah seorang wanita sedang bermain biliard sendirian. Namanya adalah Chloe Landtsov. "Oh, kamu sudah datang," ujar Chloe sambil tersenyum manis menatap ke arah tunangannya, Alexander."Apa kau pegawai baru di sini?" tanya seorang pria, matanya mengikuti setiap gerak Ella."Iya," jawab Ella, meletakkan bir di atas meja yang dihuni empat pria. "Selamat menikmati." Ia berniat pergi setelah tugasnya selesai."Hei, tunggu dulu," cegat salah satu dari mereka. Tangannya menggenggam tangan Ella. Jari-jari itu menyentuh lembut namun menyebalkan bagi yang menerima sentuhan. "Duduklah di sini, kita akan memberimu tip banyak.""Tidak perlu, Tuan," jawab Ella dengan suara bergetar, mencoba melepaskan cengkraman itu. Ketakutan mulai merayap, tatapan mereka membuat tubuhnya membeku. "Aku harus kembali bekerja.""Melayani kami juga tugasmu, bukan? Jadi tinggallah di sini.""Tidak! Tolong lepaskan!"Tiba-tiba, pria lain menarik pinggangnya, membuat tubuh Ella mendarat di paha orang asing itu. Tawa kasar mereka mulai bergema, mengejek. "Kau seksi sekali, Nona. Bermainlah sebentar dengan kami.""Tidak!" Ella memberontak, akan tetapi, tangan pria tak sopan itu mengunci tubuhnya. Pani
Casino Royale adalah simbol kemewahan, keserakahan, dan rahasia gelap yang dimiliki keluarga Hoffa. Malam ini, putra kedua Reagan hadir, setelan jas tuxedo melengkapi penampilannya dengan sempurna.Setiap langkah Alexander penuh percaya diri, tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Mata panjangnya menelisik setiap sudut, menangkap para pengunjung yang larut dalam kesenangan mereka, serta klien-klien yang berlebihan dalam memamerkan kekayaan. Ia tidak tergoda, meski tindakan beberapa pria menjijikkan itu memaksa alisnya sedikit terangkat.Lift membawanya ke lantai paling atas, ke dunia manusia-manusia yang haus kekuasaan, tempat yang bahkan tidak layak disebut manusia. Di sana, wanita-wanita berpakaian minim menghibur enam pria tua dan gemuk yang tertawa lepas di meja poker."Tuan kecil, akhirnya sampai juga," ledek Bartolomei, seorang pria tua berambut putih, suaranya dipenuhi ejekan, disertai tawa kasar teman-temannya."Tuan kecil? Dia bahkan berani mempermalukan Ayahnya karena melangga
"Argh, apa-apaan kau ini," desis Chloe, menyingkirkan tangan Francesco dari wajahnya.Sejenak, rahang Francesco menegang. Tangannya yang ditolak mengepal, namun ia cepat menguasai diri. Senyuman samar segera muncul di bibirnya. "Aku hanya ingin membantumu.""Mengajakku minum memang membantu. Tapi barusan itu tidak. Kau bukan berniat menolong, kau ... menyukaiku.""Iya," jawabnya tenang. "Apa itu salah?"Chloe terdiam, lalu terkekeh kecil. "Tentu saja salah. Aku ini masih tunangan adikmu. Apa kau benar-benar ingin mengkhianatinya? Kau ingin menyalakan api drama keluarga? Ugh, terlalu merepotkan.""Pertunangan kalian sudah di ujung tanduk. Jadi apa lagi yang perlu dipertahankan?""Ujung tanduk bukan berarti mati!" Chloe menekankan kata-katanya. "Dengar, aku memang cantik. Tapi itu bukan alasanmu untuk menaruh perasaan padaku. Jangan memperumit keadaan. Kita ... hanya main-main."Francesco menyipitkan mata. "Aku punya rencana. Kita bisa mengembalikan keadaan, dan-""Mengembalikan? Lalu a
"Kau serius, Alexander?" tanya Reagan lagi."Ya. Dia hanya seorang wanita. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan besar hanya karena dirinya.""Dan jika suatu hari kau masih menemuinya?""Aku akan menjauhinya. Tidak ada alasan bagiku untuk kembali pada sesuatu yang hanya akan melemahkanku."Reagan mengisap rokoknya dalam-dalam, bara merahnya memercik singkat. "Tidak ada salahnya berjaga-jaga. Maka dengar ini, nyawanya akan berada di tanganku saja, karena kau berbuat bodoh untuk kedua kalinya."Alexander menegang. "Apa maksudmu?""Aku akan melenyapkannya," kata Reagan datar, seolah kalimat itu tak lebih dari keputusan bisnis biasa. "Setuju?"Alexander terdiam. Suara detak jantungnya sendiri terasa memekakkan telinga, sementara pikirannya dipenuhi riuh akan kesepakatan mendadak ini."Apa lagi yang harus kau pikirkan?" Reagan menekan suaranya, melihat putranya tampak ragu-ragu untuk pertanyaan mudah. "Nikahi tunanganmu, dan jauhi wanita yang tidak memberi keuntungan. Masalah cinta,
"Tidak. Aku tidak pernah menggunakan perasaan padamu."Ucapan itu sederhana, namun bagi Ella rasanya seperti pisau yang menusuk jantungnya berkali-kali. "Jadi ... kamu sadar perasaanmu ada pada Chloe?""Chloe?" Alexander tersenyum tipis, penuh keremehan. "Aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya."Alis Ella berkerut. "Lalu sebenarnya apa yang kamu inginkan, Alexander?""Aku hanya menginginkan kekuasaan. Bukankah sudah kukatakan itu?"Ella terdiam. Telinganya panas, kepalanya berdenyut. Ternyata orang-orang yang gila akan kekuasaan bukan hanya tokoh dalam drama yang biasa dirinya tonton. Tapi kini, ia berhadapan langsung dengan wujudnya. "Jadi kenapa kau menarik aku dan Chloe ke dalam permainanmu?""Seru. Ini menyenangkan hidupku."Wajah Ella berubah pucat. "Kau ... kau bajingan sampah! Memanfaatkan wanita, apa kau pikir itu membuatmu terlihat hebat?"Alexander mendekat, jemarinya mengelus lembut pipi Ella, kontras dengan kata-katanya yang dingin. "Tidak. Tapi hidup ini ... selalu d
"Kau tidak berhak!""Kenapa tidak?!" balas Chloe dengan mata berkilat marah. "Aku adalah putri keluarga Landtsov. Aku bisa singkirkan jalang itu dengan mudah. Jangan remehkan diriku, Alexander!"Alexander tersenyum tipis. "Baiklah," ucapnya tenang. "Coba lakukan semampumu." Pria itu pun berbalik, melangkah keluar kamar tanpa menoleh sedikitpun."Alexander! Kau mau ke mana?" Chloe menyusul, tumit sepatunya menghantam lantai marmer dengan nada tak sabar.Tak ada jawaban."Alexander! BERHENTI!" Suaranya semakin meninggi, pecah bersama amarah yang menelan habis akalnya. "Katakan padaku apa kekuranganku! Apa yang kulakukan salah?!"Langkah Alexander tetap tak goyah. Tubuhnya kaku, dingin, tegap, seolah Chloe hanyalah bisikan samar yang tertiup angin malam. Hingga akhirnya, pintu lift terbuka. Alexander masuk ke dalamnya, dengan wajah tetap datar serta membisu.Kaki Chloe terhenti tanpa bisa melangkah lagi. Air matanya bergetar di pelupuk, jemarinya mengepal hingga pucat. "Alexander, kembal