Hari itu, matahari masih bergelantung malas di langit barat, seolah enggan turun meski jarum jam telah menunjukkan waktu sore. Di dalam ruang kerja kepala keluarga Hoffa, dua sosok duduk saling berhadapan dalam keheningan yang terasa berat. Tempat yang lebih sering digunakan untuk urusan penting daripada kebersamaan keluarga.
"Bagaimana hasilnya? Apa Alexander mendengarkanmu?" tanya Reagan akhirnya memecah sunyi.Alice menghela napas, malas membahas persoalan yang tak kunjung selesai. "Tidak. Dia bahkan tak menggubris sepatah kata pun dariku.""Coba lagi. Gunakan pilihan kata yang lebih tepat, atau kalau perlu, berikan ancaman. Buat dia tunduk.""Alexander tidak akan takut pada apa pun, apalagi hanya kepadaku. Dan ayah tahu itu.""Jika tidak segera di desak, pernikahannya tidak akan pernah berlangsung.""Kalau begitu kenapa tidak dibatalkan saja? Maksudku, mungkin Alexander memang tidak menyukai tunangannya. Siapa tahu, dia sudahLangit Milan malam itu bagaikan kain hitam yang tengah dihiasi titik-titik cahaya redup dari lampu kota. Suara klakson sayup terdengar, menyatu dengan gemuruh mesin dan semilir angin malam yang menelusup di sela-sela jendela mobil yang melaju."Kamu ingin ke mana?" tanya Alexander akhirnya, memecah hening yang sejak tadi menekan suasana dalam mobil. Ia mengemudi tanpa arah, hanya mengikuti Chloe yang tiba-tiba saja menyeretnya keluar dari mansion Ayahnya. Tatapannya sempat mencuri-curi pandang ke arah wanita itu. Wajahnya pucat, gelisah, seakan menyembunyikan badai di dalam dadanya. Namun, Alexander tidak berniat bertanya lebih dalam."Kita ke mansionmu saja," jawabnya dengan nada sedikit bergetar. "Kamu juga belum pernah mengajakku ke sana.""Sudah kubilang tempat itu tidak nyaman. Kamu tidak akan suka.""Aku bahkan belum pernah ke sana, tapi kamu malah sudah mengambil kesimpulan. Biarkan diriku sendiri yang menilai.""Nanti saja."
"Alice," panggil seseorang. Suara berat nan dalam itu menelusup masuk ke telinga Chloe. Walau milik seorang pria dan terdengar tidak asing, tapi itu bukan suara Alexander. Langkah-langkah tenangnya terdengar mendekat, hingga sosoknya kini berdiri di sisi Chloe. Pria itu berbincang sebentar dengan Alice, sebelum akhirnya menoleh dan menatap dirinya."Hai, kita bertemu lagi ... Rose," sapa pria tersebut. Mata Chloe membesar. Napasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar sesaat saat mengenali pria itu. Francesco Itu namanya, Chloe masih ingat dengan jelas. Seseorang yang pernah berbagi malam liar dengannya di ranjang yang sama. "Kalian saling mengenal?" tanya Alice sedikit terkejut, sebab setahunya selama pertemuan dengan keluarga Landtsov, Ayah hanya memperkenalkan Alexander dan dirinya sebagai anaknya. Tapi mungkin saja, Ayah memberitahu mengenai putra sulungnya itu yang sempat tidak diakui."Ya, kami s
Hari itu, matahari masih bergelantung malas di langit barat, seolah enggan turun meski jarum jam telah menunjukkan waktu sore. Di dalam ruang kerja kepala keluarga Hoffa, dua sosok duduk saling berhadapan dalam keheningan yang terasa berat. Tempat yang lebih sering digunakan untuk urusan penting daripada kebersamaan keluarga."Bagaimana hasilnya? Apa Alexander mendengarkanmu?" tanya Reagan akhirnya memecah sunyi.Alice menghela napas, malas membahas persoalan yang tak kunjung selesai. "Tidak. Dia bahkan tak menggubris sepatah kata pun dariku.""Coba lagi. Gunakan pilihan kata yang lebih tepat, atau kalau perlu, berikan ancaman. Buat dia tunduk.""Alexander tidak akan takut pada apa pun, apalagi hanya kepadaku. Dan ayah tahu itu.""Jika tidak segera di desak, pernikahannya tidak akan pernah berlangsung.""Kalau begitu kenapa tidak dibatalkan saja? Maksudku, mungkin Alexander memang tidak menyukai tunangannya. Siapa tahu, dia sudah
"Hai," sapa Alexander sambil tersenyum lebar."Kenapa kau ke sini, hah?" tanya Ella."Apa kalian saling mengenal?" tanya Ryan-Ayah Ella. "Tentu, kami sudah mengenal lumayan lama," jawab Alexander."Dad, kenapa membawa makhluk ini?" tanya Ella dengan tatapan sini ke Alexander."Sebut namaku saja," lontar Alexander.Tanpa aba-aba, Ella merebut kantong belanja dari tangan Alexander. "Dad, ayo cepat masuk," ajaknya, menyentuh pundak Ryan dan menariknya masuk ke dalam. Pintu ditutup begitu saja, membiarkan Alexander berdiri sendirian di luar, bersama angin sore yang kini terasa kikuk."Kenapa kamu meninggalkannya seperti itu?" ujar Ryan."Biarkan. Memang itu yang harus dilakukan," ketus Ella."Tapi kenapa kamu membawa kantong belanja itu?""Tidak apa-apa, biar aku saja yang membawa.""Bukan begitu, tapi kantong belanja itu ... milik temanmu.""APA?" Mulut dan mata Ella t
Ella membeku. Tatapannya tertuju pada Alice, bukan dalam perlawanan, melainkan keterkejutan yang belum luruh. Ia sudah pernah bertemu Alice sebelumnya, dan kali ini pun, ucapannya tetaplah tajam dan tidak pantas. "Maaf, Anda salah tangkap. Aku bukan-" "Aku bukan jalang, aku hanyalah gadis polos," sela Alice, diikuti cekikikan kecil penuh remehan dan ledekan. Lalu ia mendudukkan diri di sofa, samping Ella. "Aku ini adik kandung Alexander. Satu-satunya! Dan aku berhak tahu, kenapa kau bisa berada di sini. Selain karena ... jadi wanita simpanan, tentu saja." Ella membuang napas malas. "Kakakmu yang menyuruhku." "Jangan mengarang cerita. Alexander tidak mungkin sembarangan membiarkan orang tak penting untuk tinggal di tempatnya." "Kalau tidak percaya, silakan tanya langsung padanya." Keheningan mengalir di antara mereka. Alice menatap Ella dari ujung kepala sampai kaki, dengan sorot
"Alice? Mengapa kau di sini?" tanya Alexander sambil melangkah mendekat. Sorot matanya dingin, menyiratkan ketidaksenangan pada sang adik."Hei jangan mendekat. Pakai handukmu dulu yang benar," cegah Alice jijik dan malu."Jawab saja pertanya-"Srak ...!Suara kain handuk di pinggang Alexander meluncur turun ke lantai, tanpa diduga. "HAAAA," teriakan serempak para wanita meledak.Teriakan terkejut bercampur tawa gugup, tangan-tangan buru-buru menutupi mata, meski beberapa jemari menyisakan celah mungil. Alice membalikkan badan secepat kilat, wajahnya merah padam. Ella juga menutup wajah, tapi tawa kecil lolos dari bibirnya.Sedangkan para pria, mereka lebih tahu diri. Ada yang menunduk, ada yang tiba-tiba sibuk mengecek lantai, dan satu-dua pura-pura terbatuk.Alexander? Sudah menjadi patung pahlawan tragis, berdiri tanpa perlindungan dan harga diri."DASAR BODOH. PAKAI HANDUKNYA DENGAN BENAR DONG!" om