Compartilhar

Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan
Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan
Autor: Dualismdiary

1 – Menuntaskan yang Tertunda

last update Última atualização: 2025-08-09 12:19:56

Kartu kunci berkilat di antara jari Meira. Dentingan elektronik pintu terdengar, lalu aroma wangi kayu manis bercampur karpet baru langsung menyergapnya. Lampu hangat dari sudut ruangan membuat bayangan lembut di dinding, memantulkan cahaya di seprai putih yang tertata rapi di atas ranjang king size.

Ia melangkah masuk, meletakkan koper di tepi ranjang, lalu menoleh untuk berterima kasih pada Hastan.

Dari jauh, sosoknya saja sudah cukup membuat orang otomatis meluruskan punggung. Letnan Kolonel Hastan Maheswara—usia masih di awal tiga puluhan—memiliki postur yang nyaris sempurna bagi seorang perwira militer: tinggi menjulang, bahu lebar yang mengisi penuh potongan seragam hijau militer, dan garis punggung yang tak pernah terlihat merunduk. Langkahnya tenang, presisi, seolah setiap derap sepatu botnya sudah diatur oleh komando tak kasat mata.

Wajahnya bersih, namun tegas—rahang kokoh, hidung lurus tegas, dan alis tebal yang menaungi sepasang mata hitam dingin. Ada sesuatu pada sorotnya yang tak bisa diabaikan: tatapan tajam yang seolah bisa membaca lebih dari yang seseorang ucapkan. Rambutnya dipotong pendek rapi dengan fade tipis di sisi, gaya khas militer, namun sedikit ikal di bagian atas membuatnya tak sepenuhnya kaku.

Suara baritonnya rendah, tidak perlu meninggikan nada untuk memerintah, namun cukup untuk membuat siapapun menoleh dan mematuhi. Aroma aftershave segar bercampur samar dengan wangi kulit dari sarung senjata yang menggantung di pinggangnya. Tangannya besar, kuat, dengan urat yang menonjol di punggungnya—tangan yang jelas terbiasa memegang senjata sekaligus mengetik cepat di depan layar komputer divisi sibernya.

Dan di balik segala ketegasan itu, ada satu hal yang membuatnya berbahaya bagi hati siapa pun: tatapan sekilas yang hanya bertahan kurang dari satu detik, namun mampu meninggalkan sisa panas di kulit.

Hastan berdiri di ambang pintu. Seragam dinasnya sudah terganti dengan kemeja hitam, lengannya digulung hingga siku, ototnya tertarik setiap kali jemarinya meremas gagang pintu. Ada tegang halus di rahangnya, dan tatapannya… seolah sedang menimbang apakah ia akan melangkah atau tidak.

“Terima kasih sudah merekomendasikan hotel ini,” ucap Meira, berusaha terdengar santai. Ia menunduk, sibuk mengeluarkan pakaian. Jemarinya mengatur lipatan baju, mencoba mengabaikan rasa bahwa sepasang mata itu tak berhenti mengikutinya.

Begitu koper kosong, ia menutupnya. Dan di sanalah Hastan—masih di tempat yang sama, tapi kini bahunya lebih tegap, dadanya naik-turun pelan, napasnya berat namun terkendali.

“Kenapa kamu masih di sini?” tanyanya, kening berkerut.

Tidak ada jawaban. Hanya langkah yang semakin mendekat—perlahan, nyaris tanpa suara—sampai Meira bisa melihat kilat gelap di matanya.

“Hastan, jangan—”

Terlambat. Lengan kokoh itu melingkari pinggangnya, menariknya ke dalam dada yang keras. Tubuh Meira terlonjak, tangannya refleks mendorong, namun genggaman itu bagaikan borgol yang hidup.

“Apa yang kamu lakukan?!”

Suaranya pecah di udara. Dan kemudian, suara itu—dalam, berat, dingin—mendarat di telinganya.

“Menuntaskan perbuatanmu padaku… waktu kita sekolah dulu.”

Napas Meira memburu. “A-apa? Itu sudah lama… cuma cinta monyet.” Tangannya berusaha memisahkan diri dari lingkaran besi di pinggangnya. “Bukankah aku sudah minta maaf?”

Senyum menyeringai muncul di bibir Hastan, tapi matanya… penuh bara yang tak padam. “Tidak semudah itu, kakak kelasku.”

Jemarinya terangkat, membelai pipinya. Kulit Meira bergetar di bawah sentuhan itu, napasnya tersengal tanpa ia inginkan. Sentuhan itu turun perlahan ke lehernya, memancing reaksi yang ingin ia bunuh sebelum terlihat.

“Meski bibirmu menolak,” suaranya nyaris berdesah, “aku tahu persis di mana titik lemahnya.”

“Hastan… jangan,” suaranya melemah—setengah peringatan, setengah permohonan yang bahkan ia sendiri benci mendengarnya. Dalam benaknya, wajah Octavian berkelebat, membuat dadanya semakin sesak.

Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, bibir Hastan menutup bibirnya—keras, memaksa—dan seolah mengenang sesuatu yang pernah hilang. Jemari di pinggangnya mencengkeram lebih erat, seakan takut ia menghilang jika dilepaskan.

Meira membeku. Otaknya memerintah untuk melawan, tapi tubuhnya… tubuhnya justru mengkhianatinya.

Dan di sela desah napas itu, ia tahu satu hal:

Hastan tidak akan pergi sebelum ia mendapatkan yang ia mau.

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan    155 — Di Antara Diam dan Amarah

    Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   154 - Pelarian yang Tertahan

    Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   153 - Rencana di Balik Senja

    Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   152 — Sisa Api di Dalam Diam

    “Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   151 — Denting Rahasia di Antara Napas

    Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   150 - Terkurung di Pangkuan Gelapnya

    Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status