Sepatu lusuh itu terasa seperti cermin dari hidupnya. Usang, penuh noda, dan selalu terinjak-injak. Laura menatapnya, mencoba mencari keberanian dari jahitan yang mulai copot di bagian sol. Jari-jarinya menggenggam ujung rok seragam abu-abunya yang sudah pudar. Kain kasar yang mengingatkannya pada tempatnya yang sesungguhnya di rumah megah itu.
“Kemarilah, Laura!” Suara lelaki tampan itu menggema di ruangan yang terlalu besar, terlalu mewah, terlalu dingin. Itu adalah suara tuannya. Reve, keras, berwibawa, penuh amarah yang tersembunyi. Laura melangkah pelan, setiap langkah terasa seperti menembus lapisan es. Karpet tebal merah marun menelan suara langkahnya, membuatnya merasa seperti hantu yang melayang menuju takdirnya. Reve duduk di belakang meja kerjanya yang besar, wajahnya diterangi lampu meja yang menyorot tajam garis-garis kemarahannya. Laura baru saja sampai di depan meja kerja itu tetapi tiba-tiba— Byur! Cairan berwarna hitam itu seketika tumpah di atas kepalanya. Kopi hitam pekat mengalir dari rambutnya, menetes ke alis, membasahi bulu mata, mengalir seperti sungai hitam di pipinya yang pucat. Aroma pahit memenuhi hidungnya, membakar lebih dari sekadar kulit. Seragam kerjanya yang sederhana kini bernoda coklat tua, menempel di tubuhnya seperti luka yang terbuka. Laura berdiri membeku, matanya terpejam menahan perih. Tetes-tetes kopi masih menetes dari ujung rambutnya, membentuk genangan kecil di lantai marmer yang berkilau. Reve berdiri, tubuhnya menjulang seperti awan gelap sebelum badai. “Itu untuk pelajaran dan pengingatmu.” desisnya, suara rendahnya bergetar oleh kemarahan yang tak terbendung. “Agar kau selalu ingat, aku tak suka kopi yang sudah dingin. Dan juga, agar kau selalu tahu siapa dirimu, dan siapa aku,” katanya. Tangan Laura mengepal di samping tubuh, kukunya menancap di telapak tangan. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan piala perak di meja itu ke wajah tampan yang ternyata sikapnya begitu kejam. Namun, yang ia lakukan hanya membungkuk perlahan, suaranya bergetar tetapi cukup jelas didengat. “Maafkan saya, Tuan. Saya akan membersihkannya dan membuatkan Anda kopi yang baru.” Laura segera mengeluarkan serbetnya untuk membersihkan sisa kopi di lantai. Lalu dengan gemetar, ia meraih cangkir kopi kosong dari tangan Reve. Ketika ia berbalik untuk pergi, air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan kopi pahit di wajahnya. Dan di sana, di ambang pintu, Argo berdiri dengan wajah pucat. Ia menyaksikan lagi satu bab dari tragedi yang ia tahu akan berakhir dengan air mata. Namun yang paling menyakitkan bagi Laura bukanlah kopi yang telah dingin itu. Bukan penghinaannya. Namun kenyataan bahwa di balik kemegahan rumah itu, ia tetaplah hanya pelayan yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh tuannya. Saat langkahnya mencapai pintu ruangan itu, suara bass milik Reve kembali terdengar. “Siapa yang menyuruhmu meninggalkan ruang kerjaku?” Laura membeku di tempat. Ia tak berani menoleh. Mata keabuan milik Reve menelusuri setiap lekuk tubuh Laura yang tersembunyi di balik seragam abu-abu yang sederhana itu. Di ruangan mewah yang tiba-tiba terasa sangat sempit itu, napasnya menjadi berat, dipenuhi oleh hasrat gelap yang tak lagi bisa dibendung. “Buka bajumu!” Kalimat itu menggantung di udara, tajam dan tak terbantahkan. Laura terdiam, jemarinya yang sedang memegang nampan bergetar halus. “Y-ya? Ma-maaf Tuan, saya—” “BUKA BAJUMU!” Kali ini, suara Reve lebih keras, lebih kasar, tak meninggalkan celah untuk protes. Laura menunduk, bulu kuduknya berdiri. Perlahan, dengan jari-jari yang gemetar, ia mulai membuka kancing seragamnya satu per satu. Setiap kancing yang terbuka seperti membuka pintu bagi rasa malu dan kepasrahan dalam dirinya. Reve tak bergerak, hanya menatap dengan tatapan yang membuat Laura merasa seperti ditelanjangi hingga ke tulang-tulangnya. Saat kancing terakhir baju seragamnya terbuka, Reve menarik napas dalam, matanya berbinar seolah memenangkan permainan besar. Namun Laura sudah tak melihat ke arah tuannya lagi. Ia hanya menatap lantai, berusaha menjadi tak terlihat, berusaha melarikan diri ke dalam pikirannya sendiri, tempat terakhir di mana ia masih memiliki kendali. Reve melangkah mendekati Laura, mata keabuannya menyala dengan kepuasan yang gelap. Setiap langkahnya di karpet tebal seperti derap predator yang telah mendapatkan mangsanya. Laura berdiri tak bergerak, seragamnya yang terbuka memperlihatkan bahu dan kulit putih yang menggigil. “Bagus!” kata Reve, suaranya dalam dan penuh kepuasan. “Aku suka dengan gadis penurut sepertimu.” Tangannya yang besar terangkat, bukan untuk memukul atau mencubit, tetapi untuk mengusap pipi Laura yang pucat. Sentuhannya terasa seperti beludru yang dibalut duri, lembut tetapi penuh ancaman. Laura menahan napas, matanya tertutup rapat. Di dalam kegelapan, ia mencoba mencari tempat yang aman, sebuah ruang di pikirannya di mana Reve tidak bisa menjangkaunya. Namun, suara Reve kembali memecah perlindungan rapuhnya. “Kau berbeda dari mereka,” bisik Reve, jarinya sekarang menelusuri garis leher Laura. “Kau tidak melawan. Kau tidak menangis. Kau hanya ... menerima.” Namun yang tak dilihat Reve adalah pertempuran di dalam diri Laura. Pertempuran antara harga diri yang hancur dan keinginan untuk bertahan hidup. Setiap sentuhan Reve adalah racun yang perlahan membunuhnya, tetapi setiap detik yang dilewatinya dengan bertahan adalah kemenangan kecil atas takdir yang mencoba menghancurkannya. “Sekarang,” kata Reve tiba-tiba, suaranya kembali meninggi. “Kembali bekerja. Dan ingat—” Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Laura, napasnya yang hangat membuat Laura bulu kuduk Laura meremang. “Peranmu di rumah ini adalah pelayanku. Lakukan apa pun yang aku perintahkan. Sekarang, pakai bajumu!” Laura mengangguk pelan, tangannya yang gemetar mencoba mengancingkan kembali seragamnya. Saat ia berbalik untuk pergi meninggalkan ruang kerja Reve, air matanya akhirnya jatuh. Air mata yang tidak akan pernah dilihat oleh siapapun, terutama Reve. ‘Aku harus bertahan di sini. Ini belum seberapa dibandingkan harus hidup di bawah kemiskinan seperti selama ini. Ini semua demi Bi Inah, demi melunasi semua hutang kami,’ batin Laura. “Kau baik-baik saja, Laura?” tanya Argo saat berpapasan dengannya. Laura mengangguk. “Saya baik-baik saja,” katanya sebelum melewati Argo. Sopir sekaligus tukang kebun rumah itu bersikap baik pada Laura. Bahkan ia memperlakukan Laura seperti seorang teman. Selayaknya manusia biasa. Laura tak ingin goyah lagi. Ia sudah meninggalkan kehidupan lamanya. ‘Hanya di sini tempat yang menerima pembantu tanpa melihat latar belakang pendidikan. Dan gaji di sini, cukup untuk biaya kebutuhanku selama tiga bulan,’ batinnya menguatkan. ***Usai makan siang bersama itu, Shara mengajak Reve menuju butik untuk memilih gaun pernikahan mereka. Butik pernikahan yang eksklusif terasa sunyi meski dipenuhi gaun-gaun mewah yang berkilauan di bawah lampu kristal. Shara dengan semangat memilih-milih koleksi gaun pengantin, sementara Reve berdiri di dekat pintu, tangannya berada di saku celana.“Reve, Sayang, lihat yang ini!” seru Shara sambil mengangkat gaun berenda payet yang memantulkan cahaya. “Desainer gaun ini khusus terbang dari Paris kemarin. Apa menurutmu ini cocok untukku?”Reve mengangguk tanpa antusiasme, matanya kosong. “Ya, bagus. Pakai itu saja.” Shara mengerutkan kening, meletakkan gaun itu dengan sedikit kesal. “Kau bahkan tidak melihatnya, Reve. Ini penting bagiku. Bagi kita. Karena ini untuk pernikahan kita.”Dia mendekati Reve, tangannya yang halus meraih lengan Reve. Shara mencoba menenangkan dengan bertanya dalam nada lembut. “Ada apa? Kau sudah aneh se
Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan
Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura
Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s
“Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut.
Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj