แชร์

Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam
Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam
ผู้แต่ง: Mita Yoo

Bab 1

ผู้เขียน: Mita Yoo
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-10 10:13:34

Sepatu lusuh itu terasa seperti cermin dari hidupnya. Usang, penuh noda, dan selalu terinjak-injak. Laura menatapnya, mencoba mencari keberanian dari jahitan yang mulai copot di bagian sol. Jari-jarinya menggenggam ujung rok seragam abu-abunya yang sudah pudar. Kain kasar yang mengingatkannya pada tempatnya yang sesungguhnya di rumah megah itu.

“Kemarilah, Laura!”  

Suara lelaki tampan itu menggema di ruangan yang terlalu besar, terlalu mewah, terlalu dingin. Itu adalah suara tuannya. Reve, keras, berwibawa, penuh amarah yang tersembunyi.

Laura melangkah pelan, setiap langkah terasa seperti menembus lapisan es. Karpet tebal merah marun menelan suara langkahnya, membuatnya merasa seperti hantu yang melayang menuju takdirnya.

Reve duduk di belakang meja kerjanya yang besar, wajahnya diterangi lampu meja yang menyorot tajam garis-garis kemarahannya.

Laura baru saja sampai di depan meja kerja itu tetapi tiba-tiba—

Byur!

Cairan berwarna hitam itu seketika tumpah di atas kepalanya. Kopi hitam pekat mengalir dari rambutnya, menetes ke alis, membasahi bulu mata, mengalir seperti sungai hitam di pipinya yang pucat. Aroma pahit memenuhi hidungnya, membakar lebih dari sekadar kulit. Seragam kerjanya yang sederhana kini bernoda coklat tua, menempel di tubuhnya seperti luka yang terbuka.

Laura berdiri membeku, matanya terpejam menahan perih. Tetes-tetes kopi masih menetes dari ujung rambutnya, membentuk genangan kecil di lantai marmer yang berkilau.

Reve berdiri, tubuhnya menjulang seperti awan gelap sebelum badai. “Itu untuk pelajaran dan pengingatmu.” desisnya, suara rendahnya bergetar oleh kemarahan yang tak terbendung.

“Agar kau selalu ingat, aku tak suka kopi yang sudah dingin. Dan juga, agar kau selalu tahu siapa dirimu, dan siapa aku,” katanya.

Tangan Laura mengepal di samping tubuh, kukunya menancap di telapak tangan. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan piala perak di meja itu ke wajah tampan yang ternyata sikapnya begitu kejam. Namun, yang ia lakukan hanya membungkuk perlahan, suaranya bergetar tetapi cukup jelas didengat.

“Maafkan saya, Tuan. Saya akan membersihkannya dan membuatkan Anda kopi yang baru.”

Laura segera mengeluarkan serbetnya untuk membersihkan sisa kopi di lantai. Lalu dengan gemetar, ia meraih cangkir kopi kosong dari tangan Reve.

Ketika ia berbalik untuk pergi, air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan kopi pahit di wajahnya. Dan di sana, di ambang pintu, Argo berdiri dengan wajah pucat. Ia menyaksikan lagi satu bab dari tragedi yang ia tahu akan berakhir dengan air mata.

Namun yang paling menyakitkan bagi Laura bukanlah kopi yang telah dingin itu. Bukan penghinaannya. Namun kenyataan bahwa di balik kemegahan rumah itu, ia tetaplah hanya pelayan yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh tuannya.

Saat langkahnya mencapai pintu ruangan itu, suara bass milik Reve kembali terdengar.

“Siapa yang menyuruhmu meninggalkan ruang kerjaku?”

Laura membeku di tempat. Ia tak berani menoleh.  

Mata keabuan milik Reve menelusuri setiap lekuk tubuh Laura yang tersembunyi di balik seragam abu-abu yang sederhana itu. Di ruangan mewah yang tiba-tiba terasa sangat sempit itu, napasnya menjadi berat, dipenuhi oleh hasrat gelap yang tak lagi bisa dibendung.

“Buka bajumu!”

Kalimat itu menggantung di udara, tajam dan tak terbantahkan. Laura terdiam, jemarinya yang sedang memegang nampan bergetar halus.

“Y-ya? Ma-maaf Tuan, saya—”

“BUKA BAJUMU!”

Kali ini, suara Reve lebih keras, lebih kasar, tak meninggalkan celah untuk protes. Laura menunduk, bulu kuduknya berdiri. Perlahan, dengan jari-jari yang gemetar, ia mulai membuka kancing seragamnya satu per satu. Setiap kancing yang terbuka seperti membuka pintu bagi rasa malu dan kepasrahan dalam dirinya.

Reve tak bergerak, hanya menatap dengan tatapan yang membuat Laura merasa seperti ditelanjangi hingga ke tulang-tulangnya. Saat kancing terakhir baju seragamnya terbuka, Reve menarik napas dalam, matanya berbinar seolah memenangkan permainan besar.

Namun Laura sudah tak melihat ke arah tuannya lagi. Ia hanya menatap lantai, berusaha menjadi tak terlihat, berusaha melarikan diri ke dalam pikirannya sendiri, tempat terakhir di mana ia masih memiliki kendali.  

Reve melangkah mendekati Laura, mata keabuannya menyala dengan kepuasan yang gelap. Setiap langkahnya di karpet tebal seperti derap predator yang telah mendapatkan mangsanya. Laura berdiri tak bergerak, seragamnya yang terbuka memperlihatkan bahu dan kulit putih yang menggigil.

“Bagus!” kata Reve, suaranya dalam dan penuh kepuasan. “Aku suka dengan gadis penurut sepertimu.”

Tangannya yang besar terangkat, bukan untuk memukul atau mencubit, tetapi untuk mengusap pipi Laura yang pucat. Sentuhannya terasa seperti beludru yang dibalut duri, lembut tetapi penuh ancaman.

Laura menahan napas, matanya tertutup rapat. Di dalam kegelapan, ia mencoba mencari tempat yang aman, sebuah ruang di pikirannya di mana Reve tidak bisa menjangkaunya. Namun, suara Reve kembali memecah perlindungan rapuhnya.

“Kau berbeda dari mereka,” bisik Reve, jarinya sekarang menelusuri garis leher Laura. “Kau tidak melawan. Kau tidak menangis. Kau hanya ... menerima.”

Namun yang tak dilihat Reve adalah pertempuran di dalam diri Laura. Pertempuran antara harga diri yang hancur dan keinginan untuk bertahan hidup. Setiap sentuhan Reve adalah racun yang perlahan membunuhnya, tetapi setiap detik yang dilewatinya dengan bertahan adalah kemenangan kecil atas takdir yang mencoba menghancurkannya.

“Sekarang,” kata Reve tiba-tiba, suaranya kembali meninggi. “Kembali bekerja. Dan ingat—”

Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Laura, napasnya yang hangat membuat Laura bulu kuduk Laura meremang.  

“Peranmu di rumah ini adalah pelayanku. Lakukan apa pun yang aku perintahkan. Sekarang, pakai bajumu!”

Laura mengangguk pelan, tangannya yang gemetar mencoba mengancingkan kembali seragamnya. Saat ia berbalik untuk pergi meninggalkan ruang kerja Reve, air matanya akhirnya jatuh. Air mata yang tidak akan pernah dilihat oleh siapapun, terutama Reve.

‘Aku harus bertahan di sini. Ini belum seberapa dibandingkan harus hidup di bawah kemiskinan seperti selama ini. Ini semua demi Bi Inah, demi melunasi semua hutang kami,’ batin Laura.

“Kau baik-baik saja, Laura?” tanya Argo saat berpapasan dengannya.

Laura mengangguk. “Saya baik-baik saja,” katanya sebelum melewati Argo. Sopir sekaligus tukang kebun rumah itu bersikap baik pada Laura. Bahkan ia memperlakukan Laura seperti seorang teman. Selayaknya manusia biasa.

Laura tak ingin goyah lagi. Ia sudah meninggalkan kehidupan lamanya.

‘Hanya di sini tempat yang menerima pembantu tanpa melihat latar belakang pendidikan. Dan gaji di sini, cukup untuk biaya kebutuhanku selama tiga bulan,’ batinnya menguatkan.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
punya majikan sprt reve menakutkan
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 108

    Argo mencoba membuka pintu kamar itu. Namun, Laura masih tak bergeming. Pria itu khawatir, dan mendorong paksa pintu kamar Laura.Argo membeku di ambang pintu, jantungnya serasa berhenti berdetak. Pemandangan di depan matanya membuatnya hancur. Laura berdiri telanjang di depan cermin, tubuhnya gemetar, rambut cokelatnya yang indah terpotong tidak rata dan berantakan. Di tangannya, sebilah gunting masih tergenggam erat.“Laura!” teriak Argo, suaranya pecah oleh kepanikan dan rasa sakit.Dia bergerak cepat, meraih selimut dari tempat tidur dan langsung membungkus tubuh Laura dengan erat, menariknya menjauh dari cermin dan gunting itu. Laura tidak melawan, tubuhnya lemas dan terguncang, isak tangisnya akhirnya meledak.“Argo ... Aku ... Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku,” Laura merintih, bersembunyi di pelukan Argo. “Ada suara ... suara-suara itu terus bergema di kepalaku ... suara-suara itu menyiksaku ….”Argo

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 107

    Sejak proses penyembuhan Reve ditangani oleh dokter Caleb, Shara belum bertemu dengannya. Bahkan setelah jatuhnya kerajaan bisnis Thomas Dalton di pasar saham, Shara belum menemui suaminya itu.Hari itu, berbekal penasaran dan sedikit harapan, Shara memutuskan untuk mengunjungi Reve di rumah sakit Harapan Baru. Saat dua orang perawat membawanya ke ruangan Reve, Shara merasakan aira berbeda dari sosoknya.‘Sosok yang dingin itu kembali,’ pikirnya.Shara berdiri di sana, di depan Reve yang duduk dengan tenang, wajahnya terlihat lelah. Shara telah mempersiapkan dirinya untuk kemarahan, untuk penolakan, bahkan untuk kebencian dari Reve, tetapi bukan untuk hal itu. Bukan untuk sebuah kejujuran yang dingin dan tanpa emosi.“Maaf, Shara,” ucap Reve, suaranya datar, seperti pembaca berita melaporkan cuaca. “Aku tidak mencintaimu. Pernikahan kita adalah pernikahan bisnis.”“Kenapa, Reve?” Shara mencoba bertanya alasannya,

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 106

    Argo berdiri di kejauhan, menyaksikan adegan itu dari balik kerumunan. Dia tidak merasa senang. Sebaliknya, ada rasa hampa yang menyesakkan dalam hatinya.Langkah yang sudah dilewatinya adalah kemenangan untuk Ana, untuk Reve, untuk Laura, dan untuk keadilan. Namun kemenangan kecil itu adalah kemenangan yang dibayar dengan harga yang sangat mahal. Cinta seorang wanita, jiwa seorang pria, dan nyawa seorang wanita yang pernah dicintainya.Argo memutar tubuhnya dan berbalik pergi, meninggalkan keributan itu. Pekerjaannya di sana sudah selesai. Sekarang, saatnya untuk menghadapi konsekuensi dari kemenangan pahit itu dan mencoba memperbaiki apa yang masih bisa dia selamatkan. Setidaknya, dia harus berada di sisi Laura.***Di sebuah ruangan yang tenang di rumah sakit jiwa Harapan Baru, Reve duduk dengan postur sedikit membungkuk. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela, menerangi debu-debu yang menari pelan di udara. Suasana

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 105

    Irene menyatukan dokumen-dokumen itu dengan gerakan tegas, suaranya dingin dan profesional. “Thomas. Anda bisa menyangkal semuanya. Tapi semua bukti ini jelas," katanya, menatapnya tanpa emosi. “Rantai bukti ini sudah lengkap. Anda memiliki motif, kesempatan, kekuasaan. Dan bukti-bukti yang kami dapatkan ... semuanya mengarah pada Anda.”Argo melangkah lebih dekat ke arah Thomas. Dia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang penuh bara dari dendam yang selama ini dipendamnya. “Saya tidak bisa membiarkan Anda hidup tenang,” katanya, matanya membara dengan amarah yang tertahan selama bertahun-tahun, “sedangkan nama baik Ana masih tercoreng. Dia bukan pelacur rendahan. Dia adalah seorang wanita yang mencintai anak Anda, dan Anda merenggut nyawanya.”Argo berdiri tegak, menatap Thomas yang mulai goyah. “Saya bersumpah, pada jiwa Ana, bahwa saya akan selalu mengejar Anda. Di pengadilan, di penjara, bahkan sampai ke neraka sekalipun. Saya tidak akan berhe

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 104

    Reve membuka matanya perlahan. Dan kali ini, bukan dengan tatapan kosong. Sebuah api menyala di kedalaman pupilnya. Api kemarahan yang terlihat lebih besar dari apa yang ada di bayangannya. Dan dia merasakan hal itu sepenuhnya miliknya.“Aku marah …” ujarnya, suaranya rendah dan bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku marah karena ... karena aku merasa dikhianati.”Reve menatap tangannya yang masih mengepal, seolah bisa melihat batu kemarahan itu di telapak tangannya.“Oleh siapa, Reve? Siapa yang berkhianat?” tanya Caleb dengan lembut, membimbingnya.Reve menggeleng, frustrasi karena tidak bisa memberitahu nama seseorang atau hal apa yang membuatnya merasa dikhianati dan marah. “Aku tidak tahu! Tapi … rasanya seperti ... seperti ada yang mengambil sesuatu dariku. Sesuatu yang sangat berharga.” Dia menatap Caleb, matanya penuh penderitaan. “Seperti ada yang masuk ke kepalaku dan ... mencuri diriku.”

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 103

    Caleb menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Reve, menciptakan ruang yang lebih intim di dalam ruang interogasi yang steril dari orang selain Argo dan Irene. Suaranya lembut, seperti seorang teman yang siap menjadi pendengar untuk cerita Reve.“Baiklah, Reve. Mari kita tinggalkan foto ini untuk sementara,” ujarnya, dengan sengaja menggeser foto Ana ke samping. “Mari kita fokus pada Laura. Katakan padaku tentang dia. Apa hal pertama yang muncul di pikiranmu ketika mendengar namanya?”Reve menutup matanya, dahinya berkerut. Sebuah gambaran samar muncul. Sebuah senyuman, tawa yang berderai, perasaan hangat yang tiba-tiba menyergapnya, diikuti oleh rasa sakit yang tajam di kepalanya. Dia mengerang.“Itu ... rasanya kepalaku sakit,” gumamnya, tangannya menekan pelipisnya.“Sakit itu biasa, Reve,” Caleb membimbing dengan tenang. “Itu sering kali terjadi saat kau sedang dalam mode pertahanan. Otakmu sedang berusaha bertahan. Coba l

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status