Share

Bab 2

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-08-10 11:30:58

Piring keramik putih itu nyaris terlepas dari genggamannya ketika suara bass Reve memecah kesunyian ruang makan. Laura menata sendok perak dengan gemetar, berusaha keras untuk tidak menatap langsung mata hijau keabuan yang menatapnya tajam dari seberang meja.

“Laura.”

Namanya diucapkan dengan tekanan yang membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajah, hanya untuk menemukan Reve sedang memandangnya seperti seekor kucing yang mengintai burung terluka.

“Siapkan air hangat untuk aku berendam.”

“Ba-baik, Tuan,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun Reve belum selesai. Jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni, menciptakan irama yang menegangkan.

“Jangan terlalu panas," ujarnya, setiap kata diucapkan dengan presisi yang kejam. “Tidak terlalu dingin. Cukup untuk berendam.”

Matanya menyipit, dan Laura bisa melihat kilatan sesuatu yang gelap di dalamnya. Sesuatu yang membuat bulu kuduk Laura berdiri.

“Jika tidak,” Reve melanjutkan, suaranya tiba-tiba menjadi sangat lunak, sangat berbahaya, “aku akan memberimu pelajaran.”

“Ba-baik, Tuan,” Laura mengulangi kalimatnya, seperti mantra yang sudah hafal di luar kepala.

Ketika ia berbalik untuk menuju kamar mandi, ia bisa merasakan tatapan Reve menembus punggungnya, membakar melalui seragam hitam yang tiba-tiba terasa terlalu ketat. Setiap langkahnya di koridor marmer yang dingin terasa seperti menuju tempat eksekusi.

Di kamar mandi mewah yang lebih besar dari kamar tidurnya, Laura membuka keran air dengan tangan yang masih gemetar. Uap hangat mulai naik, mengaburkan cermin-cermin besar yang memantulkan wajah pucatnya.

Ia mencelupkan siku ke air, mencoba mengukur suhunya seperti yang diajarkan Bi Inah dulu. Namun pikirannya kacau, dibayangi ancaman "pelajaran" yang samar.

Apakah akan seperti kemarin? Kopi panas yang ditumpahkan di kepalanya? Atau sesuatu yang lebih buruk?

Air terus mengalir, dan Laura tiba-tiba menyadari jika ia tidak bisa membedakan lagi antara yang terlalu panas dan yang cukup hangat. Tangannya sudah kebas, bukan oleh air tetapi oleh ketakutan yang terus menggerogotinya sejak hari pertama bekerja di rumah itu.

Tak lama berselang, di balik pintu, langkah kaki Reve terdengar mendekat. Laura menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun yang terbayang justru mata Reve, yang kadang memandangnya seperti harta berharga, kadang seperti sampah yang perlu dibuang segera.

Keringat di telapak tangan Laura seketika menjadi dingin ketika Reve dengan kasar melepas kemeja linennya, melemparkannya ke lantai marmer tanpa peduli keberadaan Laura. Otot-otot punggungnya yang terpahat sempurna terekspos di bawah lampu kamar mandi, sebuah mahakarya yang sekaligus menakutkan.

Laura menunduk cepat, pandangannya tertancap pada pola marmer yang berputar-putar seperti pikirannya saat itu.

“Ka-kalau begitu saya pamit, Tuan,” katanya dengan terbata-bata, berusaha melarikan diri sebelum pagi itu berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dikendalikan.

Namun Reve sudah bergerak lebih cepat. Tangannya yang besar menangkap pergelangan tangan Laura, menghentikan langkahnya yang goyah. Dengan gerakan kasar, ia memutar keran air dan meraih shower head yang mengkilap. Laura hampir tidak punya waktu untuk berkedip sebelum air dingin menyembur deras, membasahi rambutnya yang diikat rapi, menembus seragam hitamnya hingga membuatnya menggigil.

“Ternyata kau menarik,” bisik Reve, suaranya serak dan asing, sementara tangannya yang lain dengan bebas membuka kancing seragam Laura satu per satu dengan mahirnya.

Laura berdiri membeku, seperti rusa yang tertangkap dalam sorot lampu mobil. Napasnya terengah, dadanya naik turun cepat di balik kain basah bajunya yang mulai terbuka. Setiap sentuhan jari Reve terasa seperti sengatan listrik yang membakar, menggetarkan, dan mengerikan sekaligus.

“T-Tuan, tolong … hentikan.”

Namun kata-katanya terengah-engah, hilang dalam desisan air yang terus mengalir. Reve tidak mendengarkan, atau mungkin tidak peduli. Matanya gelap, dipenuhi oleh sesuatu yang liar dan tak terkendali. Sebuah badai yang sudah terlalu lama ditahan.

Dan di saat kancing terakhir terbuka, Laura menutup mata, merasakan bagaimana rasanya menjadi sekeping perahu kecil yang dihempas ombak besar. Tidak berdaya, tetapi entah mengapa, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada bagian kecil yang masih berharap jika itu adalah cara Reve mengatakan bahwa ia dibutuhkan. Diinginkan dalam arti lain. Arti khusus.

Meski itu berarti hanya untuk dimangsa.

Bibir Reve menyergap dengan keganasan yang memutus nafas, menggigit dan melumat tanpa ampun. Dunia Laura berputar, kabur oleh air yang masih menetes dari shower dan oleh sensasi yang membanjiri setiap sarafnya. Bau aftershave milik Reve yang mahal bercampur dengan aroma basah dari seragamnya yang terbuka, menciptakan wewangian memabukkan yang membuatnya limbung.

“Kau menarik. Dan aku sangat penasaran sejauh mana kau bisa menahan diri,” desis Reve di antara ciuman-ciumannya yang garang, seolah kata-kata itu sendiri adalah kutukan. Tangannya yang besar dan terlatih menyusuri gugus dada Laura, mencengkram dan meraba dengan posesif, seolah mengklaim setiap inci kulit yang gemetar di bawah sentuhannya.

Laura mencoba mengingatkan dirinya untuk melawan, untuk mendorongnya pergi, tetapi tangannya hanya bisa tergantung lemah di samping tubuh. Ada bagian dirinya yang membenci betapa tubuhnya merespons, betapa kulitnya terasa tersengat di setiap sentuhan lelaki itu, betapa napasnya menjadi pendek dan dangkal, bukan hanya karena takut. Namun karena ia seolah menginginkannya.

Reve mendorong tubuh Laura ke dinding yang dingin, tubuhnya yang keras menindihnya, menjadikannya tawanan antara marmer yang dingin dan kehangatan tubuhnya yang memanas. Di telinganya, Laura bisa mendengar suara air yang masih memercik, seperti melodi untuk kehancuran dirinya.

“T-Tuan ….” Laura mencoba protes meski suaranya lemah, suaranya tenggelam di antara ciuman itu.

Namun Reve hanya mendesah kasar, menggigit bahunya yang terbuka.

“Diam,” dia menggeram.

“Kau terlalu banyak bicara.”

Dan di saat itu, Laura menyadari jika sentuhan itu bukan tentang cinta, atau bahkan tentang hasrat murni.

Itu tentang kekuasaan. Tentang menghancurkan. Tentang mengingatkan siapa yang memegang kendali.

Air mata Laura akhirnya meleleh, menghilang dalam percikan air dan keringat. Di atasnya, Reve tersenyum, sebuah ekspresi kemenangan yang membuat Laura ingin menjerit. Namun yang keluar dari bibirnya hanya desahan lemah. Sebuah pengkhianatan terakhir dari tubuhnya sendiri yang memutuskan untuk menyerah pada takdir kehancuran yang sudah menunggu sejak awal.

Namun tiba-tiba saja, Reve melepaskan ciumannya. Ia menarik diri dari Laura.

“Keluarlah!”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 196

    Di kantornya yang sudah sepi. Hanya lampu meja Laura yang masih menyala, menerangi sketsa-sketsa digital di layar komputernya. Kyle muncul dari balik pintu ruang kerjanya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Dia mendekati meja Laura. “Laura,” suara Kyle memenuhi ruangan. Suaranya membuat Laura menoleh dari layar. “Ya?” Kyle berhenti di samping mejanya, tidak duduk. Ada ketegangan yang berbeda di udara, bukan seperti atasan dan bawahan, tapi seperti dua orang yang terhubung oleh masa lalu yang rumit. “Kau tahu status kita sebenarnya ‘kan?” Kyle berhenti, seolah menimbang kata-katanya. “Kenapa kau tidak ingin kembali?” Laura menutup tabletnya. Dia tahu pertanyaan ini akan datang, cepat atau lambat. Dia menarik napas. “Tidak.” Jawabannya tegas. “Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan keluargamu, Kyle.” Kyle mengerutkan kening. “Tapi kau juga keluarga kami. Selama bertahun-tahun, ibuku memperlakukanmu seperti anaknya sendiri.” Kenangan itu menyakitkan. Laura memandang l

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 195

    Suasana di klinik Dylan yang biasanya tenang dan steril, pagi itu pecah oleh kehadiran yang tak terduga. Reve berdiri di ruang konsultasi, memakai kemeja sederhana yang menyembunyikan sebagian besar luka-lukanya, meski balutan di kepala masih terlihat. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi sorot matanya sudah kembali tajam dan penuh kehidupan. Saat Dylan memasuki ruangan, secangkir kopi di tangannya hampir terjatuh. Matanya membelalak, seolah melihat hantu. Dia tertegun, tak mampu berkata-kata. Reve tersenyum, mengulurkan tangannya. “Hai, Bro. Sudah lama.” Dylan perlahan mendekat, masih tak percaya. Dia menjabat tangan Reve dengan kuat, seakan memastikan bahwa Reve di depannya adalah nyata. “Bro ... ini benar-benar kamu? Bukannya kamu .....” Suara Dylan tercekat. Selama ini, seperti semua orang, dia percaya Reve telah tiada. Reve tertawa pelan, ada sedikit keringanan di nadanya. “Kau k

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 194

    Reve mengangguk, air mata akhirnya mengalir. “Ya. Dan aku tahu, alasan apa pun tidak akan pernah cukup. Aku tidak memintamu untuk memaafkanku sekarang. Aku hanya ... ingin kau tahu kebenarannya.”Laura diam sejenak. Lalu, perlahan, dia melepaskan tangannya dari genggaman Reve, dan justru meraih wajah Reve, memaksanya menatap matanya.“Aku marah. Aku sangat terluka. Tapi …” kata Laura.Dia menarik napas dalam-dalam, “Aku juga mengerti. Dan aku masih mencintaimu, Reve. Mungkin itu yang paling menyakitkan dari semua ini.”Di sanalah, di ruangan yang dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan luka, sebuah awal yang baru mulai tumbuh. Bukan dari pengampunan yang terjadi begitu saja, tetapi dari kejujuran yang akhirnya terungkap.Dan cinta yang ternyata mampu bertahan bahkan di balik kepalsuan dan pengorbanan yang paling menyakitkan sekalipun.Reve tiba-tiba saja tersedu-sedu. “Aku menyesal karena kita harus keh

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 193

    Kain perban putih membalut rapi luka di kepala Reve, menjadi kontras yang mencolok dengan wajahnya yang masih dipenuhi debu dan noda darah kering. Laura tidak bisa mengalihkan pandangannya dari balutan itu, setiap helai kain putih mengingatkannya pada resiko yang baru saja diambil Reve untuknya.Dia menggenggam tangan Reve yang tidak terluka, mengangkatnya, dan meletakkan sebuah ciuman lembut di atas buku-buku jarinya. Air mata masih menggenang di matanya, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang sangat dalam.Laura berbicara dengan suara serak penuh emosi. “Terima kasih, Reve ... terima kasih.”Ucapan itu diulanginya berkali-kali, seolah-olah kata-kata lain sudah tidak cukup. Namun, di balik rasa syukur itu, sebuah pertanyaan besar dan menyakitkan akhirnya mencuat. Pertanyaan yang telah menggerogoti pikirannya sejak tahu Reve masih hidup.Laura menatap Reve, matanya memancarkan kebingungan dan k

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 192

    Reve menatap detonator itu, darahnya kembali membeku. Gerry sudah mempersiapkan segalanya, sampai ke skenario terburuk ini. Dia terjebak di dalam jebakan.Sekarang, pilihannya bukan lagi tentang pengakuan atau saham. Ini tentang hidup dan mati mereka semua.Waktu seakan melambat. Lampu merah detonator di tangan Alistair berkedip seperti mata iblis yang menantang. Percakapan, ancaman, teriakan, semuanya memudar menjadi desisan putih di telinga Reve. Hanya ada satu tujuan yang harus dilakukannya. Menyelamatkan Laura.Dengan lesatan tenaga yang memuncak, Reve melesat maju. Bukan ke arah Gerry, tetapi melintasi ruangan dengan kecepatan angin, langsung menuju kursi tempat Laura terikat. Tendangannya yang kuat dan terarah menghantam bahu salah seorang preman yang menjaga Laura, membuatnya terlempar.Gerry berteriak. “Jangan!”Namun sudah terlambat. Reve tidak peduli dengan detonator, tidak peduli dengan tembakan yang mu

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 191

    “Gerry …” bisik Reve.Gerry Crane. Mantan partner bisnisnya. Orang yang pernah dia anggap saudara, sebelum pengkhianatan itu. Wajah yang dulu selalu dihiasi senyum ramah itu sekarang dingin dan tajam seperti pisau. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini kosong dan penuh perhitungan.“Sudah lama, Reve. Atau harusnya aku memanggilmu ‘saudara’?” ucap Gerry dengan sarkasme yang menusuk. “Tapi, kita bukan saudara lagi, bukan? Bukan sejak kau memilih untuk menyelamatkan perusahaan itu dan membiarkanku jatuh.”“Itu bukan pilihan, Gerry. Kau yang menggelapkan dana, kau yang mengambil risiko gila! Aku menyelamatkan apa yang tersisa!” bantah Reve.Gerry mengangkat tangan, menghentikan sanggahan Reve. “Dan hasilnya? Aku kehilangan segalanya. Reputasi, kekayaan, bahkan keluargaku.” Tatapannya beralih ke Laura yang terduduk tak berdaya. “Sekarang, aku akan mengambil sesuatu yang paling berharga darimu. Seperti yang kau lakuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status