Piring keramik putih itu nyaris terlepas dari genggamannya ketika suara bass Reve memecah kesunyian ruang makan. Laura menata sendok perak dengan gemetar, berusaha keras untuk tidak menatap langsung mata hijau keabuan yang menatapnya tajam dari seberang meja.
“Laura.” Namanya diucapkan dengan tekanan yang membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajah, hanya untuk menemukan Reve sedang memandangnya seperti seekor kucing yang mengintai burung terluka. “Siapkan air hangat untuk aku berendam.” “Ba-baik, Tuan,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. Namun Reve belum selesai. Jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni, menciptakan irama yang menegangkan. “Jangan terlalu panas," ujarnya, setiap kata diucapkan dengan presisi yang kejam. “Tidak terlalu dingin. Cukup untuk berendam.” Matanya menyipit, dan Laura bisa melihat kilatan sesuatu yang gelap di dalamnya. Sesuatu yang membuat bulu kuduk Laura berdiri. “Jika tidak,” Reve melanjutkan, suaranya tiba-tiba menjadi sangat lunak, sangat berbahaya, “aku akan memberimu pelajaran.” “Ba-baik, Tuan,” Laura mengulangi kalimatnya, seperti mantra yang sudah hafal di luar kepala. Ketika ia berbalik untuk menuju kamar mandi, ia bisa merasakan tatapan Reve menembus punggungnya, membakar melalui seragam hitam yang tiba-tiba terasa terlalu ketat. Setiap langkahnya di koridor marmer yang dingin terasa seperti menuju tempat eksekusi. Di kamar mandi mewah yang lebih besar dari kamar tidurnya, Laura membuka keran air dengan tangan yang masih gemetar. Uap hangat mulai naik, mengaburkan cermin-cermin besar yang memantulkan wajah pucatnya. Ia mencelupkan siku ke air, mencoba mengukur suhunya seperti yang diajarkan Bi Inah dulu. Namun pikirannya kacau, dibayangi ancaman "pelajaran" yang samar. Apakah akan seperti kemarin? Kopi panas yang ditumpahkan di kepalanya? Atau sesuatu yang lebih buruk? Air terus mengalir, dan Laura tiba-tiba menyadari jika ia tidak bisa membedakan lagi antara yang terlalu panas dan yang cukup hangat. Tangannya sudah kebas, bukan oleh air tetapi oleh ketakutan yang terus menggerogotinya sejak hari pertama bekerja di rumah itu. Tak lama berselang, di balik pintu, langkah kaki Reve terdengar mendekat. Laura menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun yang terbayang justru mata Reve, yang kadang memandangnya seperti harta berharga, kadang seperti sampah yang perlu dibuang segera. Keringat di telapak tangan Laura seketika menjadi dingin ketika Reve dengan kasar melepas kemeja linennya, melemparkannya ke lantai marmer tanpa peduli keberadaan Laura. Otot-otot punggungnya yang terpahat sempurna terekspos di bawah lampu kamar mandi, sebuah mahakarya yang sekaligus menakutkan. Laura menunduk cepat, pandangannya tertancap pada pola marmer yang berputar-putar seperti pikirannya saat itu. “Ka-kalau begitu saya pamit, Tuan,” katanya dengan terbata-bata, berusaha melarikan diri sebelum pagi itu berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Namun Reve sudah bergerak lebih cepat. Tangannya yang besar menangkap pergelangan tangan Laura, menghentikan langkahnya yang goyah. Dengan gerakan kasar, ia memutar keran air dan meraih shower head yang mengkilap. Laura hampir tidak punya waktu untuk berkedip sebelum air dingin menyembur deras, membasahi rambutnya yang diikat rapi, menembus seragam hitamnya hingga membuatnya menggigil. “Ternyata kau menarik,” bisik Reve, suaranya serak dan asing, sementara tangannya yang lain dengan bebas membuka kancing seragam Laura satu per satu dengan mahirnya. Laura berdiri membeku, seperti rusa yang tertangkap dalam sorot lampu mobil. Napasnya terengah, dadanya naik turun cepat di balik kain basah bajunya yang mulai terbuka. Setiap sentuhan jari Reve terasa seperti sengatan listrik yang membakar, menggetarkan, dan mengerikan sekaligus. “T-Tuan, tolong … hentikan.” Namun kata-katanya terengah-engah, hilang dalam desisan air yang terus mengalir. Reve tidak mendengarkan, atau mungkin tidak peduli. Matanya gelap, dipenuhi oleh sesuatu yang liar dan tak terkendali. Sebuah badai yang sudah terlalu lama ditahan. Dan di saat kancing terakhir terbuka, Laura menutup mata, merasakan bagaimana rasanya menjadi sekeping perahu kecil yang dihempas ombak besar. Tidak berdaya, tetapi entah mengapa, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada bagian kecil yang masih berharap jika itu adalah cara Reve mengatakan bahwa ia dibutuhkan. Diinginkan dalam arti lain. Arti khusus. Meski itu berarti hanya untuk dimangsa. Bibir Reve menyergap dengan keganasan yang memutus nafas, menggigit dan melumat tanpa ampun. Dunia Laura berputar, kabur oleh air yang masih menetes dari shower dan oleh sensasi yang membanjiri setiap sarafnya. Bau aftershave milik Reve yang mahal bercampur dengan aroma basah dari seragamnya yang terbuka, menciptakan wewangian memabukkan yang membuatnya limbung. “Kau menarik. Dan aku sangat penasaran sejauh mana kau bisa menahan diri,” desis Reve di antara ciuman-ciumannya yang garang, seolah kata-kata itu sendiri adalah kutukan. Tangannya yang besar dan terlatih menyusuri gugus dada Laura, mencengkram dan meraba dengan posesif, seolah mengklaim setiap inci kulit yang gemetar di bawah sentuhannya. Laura mencoba mengingatkan dirinya untuk melawan, untuk mendorongnya pergi, tetapi tangannya hanya bisa tergantung lemah di samping tubuh. Ada bagian dirinya yang membenci betapa tubuhnya merespons, betapa kulitnya terasa tersengat di setiap sentuhan lelaki itu, betapa napasnya menjadi pendek dan dangkal, bukan hanya karena takut. Namun karena ia seolah menginginkannya. Reve mendorong tubuh Laura ke dinding yang dingin, tubuhnya yang keras menindihnya, menjadikannya tawanan antara marmer yang dingin dan kehangatan tubuhnya yang memanas. Di telinganya, Laura bisa mendengar suara air yang masih memercik, seperti melodi untuk kehancuran dirinya. “T-Tuan ….” Laura mencoba protes meski suaranya lemah, suaranya tenggelam di antara ciuman itu. Namun Reve hanya mendesah kasar, menggigit bahunya yang terbuka. “Diam,” dia menggeram. “Kau terlalu banyak bicara.” Dan di saat itu, Laura menyadari jika sentuhan itu bukan tentang cinta, atau bahkan tentang hasrat murni. Itu tentang kekuasaan. Tentang menghancurkan. Tentang mengingatkan siapa yang memegang kendali. Air mata Laura akhirnya meleleh, menghilang dalam percikan air dan keringat. Di atasnya, Reve tersenyum, sebuah ekspresi kemenangan yang membuat Laura ingin menjerit. Namun yang keluar dari bibirnya hanya desahan lemah. Sebuah pengkhianatan terakhir dari tubuhnya sendiri yang memutuskan untuk menyerah pada takdir kehancuran yang sudah menunggu sejak awal. Namun tiba-tiba saja, Reve melepaskan ciumannya. Ia menarik diri dari Laura. “Keluarlah!” ***Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan
Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura
Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s
“Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut.
Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj
Argo membuka pintu mobil dengan sikap hormat, kepalanya tertunduk rendah saat Shara melangkah keluar dengan anggun. Gaun sutra warna lavender yang dikenakannya berkilauan lembut di bawah sinar matahari, menciptakan siluet yang sempurna dari seorang wanita dari kalangan elit. Dengan senyum tipis yang dipraktikkan ribuan kali, Argo memandu Shara menuju ruang tamu utama, di mana Reve sudah menunggu dengan pose yang penuh wibawa.Reve berdiri begitu Shara masuk, wajahnya yang biasanya dingin mencair menjadi senyum yang telah dilatih untuk kesempurnaan. Ia mengambil tangan Shara, menekankan kecupan ringan di atasnya. Sebuah gestur klasik yang penuh dengan nuansa kepemilikan dan kesopanan yang dingin.“Senang sekali bisa bertemu dengan calon istriku di hari ini,” ujar Reve, suara bass-nya terdengar halus dan memesona, seolah tidak ada jejak kekacauan dan kegelapan yang baru saja terjadi di antara ruang kerjanya dan Laura. Shara tersipu