Reve menyelipkan diri dari keramaian persiapan pesta, matanya mencari Argo yang sedang mengatur dekorasi di taman. Dengan gerakan halus, ia menarik sopir setianya itu ke balik pepohonan yang rindang.
“Argo, dengarkan baik-baik,” bisik Reve, suaranya darurat dan rendah. “Bawa Laura pergi dari sini. Sembunyikan dia di tempat yang aman sampai acara pertunangan selesai.”Argo mengerutkan kening, tetapi wajahnya tetap profesional. “Tuan, apa yang—”“Tidak ada waktu untuk menjelaskan,” potong Reve, matanya sesekali melirik ke arah Shara yang sedang tertawa dengan para perias wajah. “Ada foto yang bocor ke media. Jika mereka menemukan Laura .…”Argo mengangguk pelan, cepat memahami situasi yang terjadi. “Di mana Laura sekarang?”“Aku melihatnya ditugaskan di dapur. Cepatlah, sebelum wartawan menerobos masuk.” Reve meraih lengan Argo. “Lindungi dia, Argo. Ini untuk keselamatannya juga.”“Baik, Tuan.” ArgoReve baru saja pulang dari suatu tempat yang ia kenali sebagai sekolah. Saat melangkah masuk ke rumahnya, ia melihat ayahnya sedang berdiri memegang cambuk. Tak ingin penasaran dengan apa yang terjadi, Reve meneruskan langkah namun dia melihat sang ibu sudah bersimbah darah di lantai. Reve berlari ke arah wanita itu sambil berteriak.“Ibu!”Dan dia lalu membuka matanya, tersadar dari mimpi buruk. Mimpi yang selama dua puluh tahun menghantuinya. Reve terbangun dengan teriakan yang tercekik di kerongkongannya. Keringat dingin membasahi tubuhnya, jantungnya berdebar kencang seperti baru saja menyelesaikan lari maraton. Bayangan ayahnya yang kejam dengan cambuk di tangan, dan ibunya yang terbaring bersimbah darah di lantai, masih terpaku di pelupuk matanya.“Ibu!” erangnya lagi, suara parau dan penuh rasa sakit yang tertahan selama dua puluh tahun.Dia duduk di tempat tidur, tangannya gemetar. Kamar megahnya tiba-tiba terasa sepert
Reve memandangi Laura yang tertidur pulas di kamar yang terletak tak jauh dari rumah kaca, wajahnya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui atap yang terbuat dari kaca. Dengan berat hati, Reve mengecup kening Laura. Sebuah kecupan yang berisi seribu janji dan permintaan maaf untuk wanitanya.“Aku akan kembali untukmu, Sayang,” bisiknya, dengan suara serak. “Dengan cara yang benar.”Dia berbalik kepada Argo yang berdiri menjaga di pintu. “Jaga kekasihku, Argo,” perintahnya, mata abu-abunya menatap tajam dalam kegelapan. “Pastikan dia baik-baik saja sampai rencanaku berhasil. Aku tidak ingin orang-orang Ayah atau Shara mengusiknya lagi.”Argo mengangguk. “Baik, Tuan. Saya akan menjaganya sampai darah terakhir saya, Tuan.”Reve menghela napas, lalu wajahnya berubah menjadi ekspresi dingin yang biasa ia tunjukkan pada dunia. “Aku dengar, hari ini Daniel datang?”“Ya, Tuan. Tuan Daniel sudah menunggu di perpustakaan
Sebuah ketukan di pintu terdengar, memecah kesunyian malam di kamar kecil Laura. Ia terkesiap, lalu membuka pintu. Dan Reve langsung menerobos masuk melewatinya. Dengan gerakan cepat, ia mengunci pintu dengan gerakan cepat. Sebelum Laura bisa bereaksi, tubuhnya sudah terdesak ke balik pintu, tangan Reve mengungkungnya dengan kuat.“Reve—” Laura ingin protes, tetapi suaranya tenggelam dalam ciuman Reve yang menggila dari Reve.Sebuah ciuman yang penuh kehausan, keputusasaan, dan kerinduan yang tertahan terlalu lama.“Aku tidak tahan lagi,” kata Reve di antara ciumannya, napasnya berat dan tak teratur.“Beberapa hari aku harus memaksa diriku agar tak mendekatimu, melihatmu dari kejauhan, tidak bisa menyentuh wajah ini.” Tangannya meraba wajah Laura, lalu turun ke leher, bahu, seolah ingin memastikan bahwa pertemuan itu nyata.Laura mencoba melawan, tetapi tubuhnya menyerah pada kenangan di pikirannya. Kenangan bagai
Cahaya lampu sorot dari mobil pengawal menerangi Laura yang digiring paksa keluar gerbang utama. Wajahnya pucat, tapi matanya kering. Air mata sudah terlalu mahal untuk ditumpahkan lagi.Reve berdiri kaku di bawah lampu taman, pipanya masih merah oleh tamparan ayahnya. Namun yang lebih sakit adalah melihat Laura dijauhkan darinya, ditendang dari rumah yang seharusnya menjadi tempatnya merasa aman. “Kau puas, Ayah?” suara Reve tiba-tiba pecah, memecah kesunyian yang tegang.Thomas Dalton memandangnya dengan mata menyala, dipenuhi kemarahan. “Jangan lancang, Reve! Kau sudah mempermalukan kita semua!”Namun Reve tidak mundur. Langkahnya mendekat, suaranya tiba-tiba jadi sangat tenang. Suara tenang yang mengandung maksud lain. “Aku akan menikahi Shara. Tapi dengan dua syarat.”Thomas tertawa sinis. “Kau pikir kau bisa menawar?”“Aku tidak bercanda, Ayah. Ayah tahu ’kan kalau aku menyuruh Daniel untuk me
Laura memutuskan untuk pergi. Dia mengemasi barang-barangnya dalam tas. Perlahan dia lalu berjalan melewati halaman belakang, menuju pintu keluar.Tas kecil itu terasa berat di genggaman Laura, karena beban yang harus ia tinggalkan. Langkahnya cepat dan pasti saat melewati halaman belakang, melewati taman-taman yang dulu menjadi saksi bisu cintanya dengan Reve. Cinta terlarang mereka. Setiap langkah terasa seperti menginjak pecahan kaca, tetapi hatinya sudah terlalu kebal untuk merasakan sakit.Dan takdir ternyata belum selesai bermain-main dengannya.Dari paviliun taman, asap rokok mengepul dalam kesunyian malam. Reve yang tengah duduk merenung tiba-tiba menangkap gerakan samar di kejauhan. Matanya menyipit, lalu tubuhnya kaku saat mengenali sosok itu. Laura, dengan tas di tangan, berjalan menuju pintu keluar.“Laura!” teriaknya, tetapi angin malam mencuri suaranya.Dia melemparkan rokoknya, berlari seperti orang
Reve membuka mata tepat pukul tiga. Dia menyambar kimono tidurnya, lalu melangkah tanpa alas kaki ke kamar Laura. Laura yang hanya terlelap sesaat segera membuka pintu begitu mendengar suara ketukan di pintu.“Tuan?” katanya.Reve menerobos masuk ke kamarnya. “Tutup pintunya.”Laura mengangguk. Dia memutar kunci pintu kamarnya yang sempit itu.Reve duduk di tempat tidurnya, tangannya melambai pelan pada Laura. “Kemarilah.”Laura berjalan dengan takut-takut, duduk mendekati Reve. Tangan kekar itu segera merangkul pinggangnya hingga dia duduk di pangkuan Reve.“Seberapa parah luka di bibirmu?” tanya Reve.“Saya baik-baik saja. Ini tidak terlalu buruk, Tuan,” jawabnya.“Reve! Panggil aku Reve!” Suara Reve meninggi.Laura mendesah pelan. “Sejujurnya aku ingin mengakhiri ini, Reve.Reve membeku. “Apa maksudmu?”“Kau mencintainya 'kan? K