Mata bulan sabit itu tengah fokus pada layar ponsel yang ia genggam. Alisnya terangkat satu saat melihat sebuah foto yang baru saja muncul di media sosialnya. Tangan kokohnya meletakkan ponsel itu dan nampak menghembuskan nafasnya panjang. Ia beralih berdiri di jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Matanya memandang jauh ke seberang jalan. Di mana rumah bercat hijau tosca itu berada.
Tak lama penghuni rumah itu keluar. Dengan kaos putih tulang dan celana pendek, gadis itu sedang menyiram tanaman di depan rumahnya. Seperti sebuah kebetulan, gadis yang ia lihat di ponselnya membagikan fotonya dengan sang kekasih. Kini ada di depan sana.Bastian beralih turun ke lantai satu ia menuju jendela yang ada di dekat pintu.Sang nenek melihat cucunya itu menatap keluar jendela sudah paham. Siapa yang dilihat cucunya itu? Bastian melihat gadis itu yang tengah menyiram tanaman di halaman rumahnya. Bibirnya terangkat membentuk kurva. Binar matanya seolah mengatakan bahwa ia sangat menyukai pemandangan yang ia lihat."Katanya Tante Maura, Cilla akan tunangan sama Randi," kata sang nenek membuat Bastian membalikan badannya."Kapan Eyang?" tanya Bastian."Gak tau, mungkin setelah Randi dapat sertifikat profesi. Atau bahkan secepatnya. Eyang mana tau," jawab wanita dengan rambut putih yang disanggul itu.Ada gurat kekecewaan di wajah pemuda itu. Ia lantas keluar dari rumah. Di depan pintu ia bertemu dengan Bude Arum."Mau kemana, Bas?" tanya Arum dengan membawa piring berisi makanan di tangannya.Tak menjawab, Bastian menyeberangi jalan aspal yang persis di depan rumahnya. Pemuda itu menghampiri gadis yang menyiram tanaman itu."Eh, Kopi!" ujar Bastian sembari naik di pagar rumah bercat hijau tosca itu.Karena terkejut gadis yang disapa itu justru mengarahkan selang air tepat ke wajah Bastin."Ah sial, eh Kopi sialan. Kamu gak liat- aku bwuah- Kopi BERHENTI!" ujar Bastian mendapatkan semprotan air dari selang yang dipegang gadis itu."Eh, maaf. Habisnya kamu ngagetin!" katanya sambil dengan segera mematikan air."Kamu sengaja, kan? Lihat basah semua, anjir!""Dih, kamu juga sih ngagetin! Orang dimana-mana ke rumah tetangganya minimal salam! Ini, teriak kopi, kopi! Mau kopi bikin sendiri!" ketus gadis dengan mata bulat itu.Bastian menatap tajam gadis dengan rambut diikat satu tersebut. Kaos hitam yang ia kenakan basah kuyup. Wajahnya pun juga basah oleh air."Kopi kan kamu! Item! Jelek! Meskipun udah gak kribo lagi karena rajin menyisir rambut. Tapi tetap aja jelek!" ejek Bastian.Gadis itu sudah terlampau hafal ejekan Bastian padanya sehingga, ia hanya memutar bola matanya malas."Biarin, jelek gini juga banyak yang naksir kok. Buktinya juga aku punya pacar, kan?" kata gadis itu bangga."Pacar kribo juga bangga!""Mana ada! Randi gak kribo! Dia tampan calon dokter!" balas gadis itu, ya gadis itu adalah Cilla."Masih calon, belum tentu jadi juga sih!""Resek banget sih! Kenapa, kamu itu iri, kan? Ngaku aja!""Iri? Gak level!""Dih, kamu sebenarnya ngapain sih ke sini?"Ditanya demikian Bastian jadi bingung sendiri. Awalnya ia ingin menemukan jawaban perihal tunangan yang disinggung sang nenek tadi. Namun, mendapat guyuran air yang justru membuatnya kesal. Sehingga ia mengurungkan niatnya. Selalu seperti ini! Bastian kesal dengan situasi yang selalu tercipta tidak mendukung apa yang ingin ia tanyakan pada Cilla. Tak hari ini saja, setiap tujuannya pasti tidak akan sesuai. Selalu saja bertengkar sebagai akhir dari interaksi mereka."Gak jadi!" ujar Bastian ketus.Pemuda itu lekas pergi dari sana. Kaki panjangnya segera membawanya pulang ke rumah. Sedang Cilla, memandang punggung pemuda itu menjauh sambil bertanya-tanya."Biang kerok! Selalu aneh," gerutu Cilla sambil melanjutkan pekerjaannya menyiram tanaman.Bastian masuk rumah dengan kesal. Bajunya yang basah, rambut yang meneteskan air ke lantai membuat Arum dan Adjeng tersenyum melihat keponakan dan cucu mereka itu. Bastian tak peduli, pemuda dengan tubuh tinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter itu menaiki anak tangga menuju kamarnya. Sedang Adjeng, sang nenek melanjutkan mengobrol dengan Arum putrinya di ruang tamu."Tian selalu saja apes, Bu," kata Arum sambil membuka kue dengan bungkus daun itu."Hahaha, iya benar, Rum. Tian memang bodoh untuk mendekati Cilla. Harusnya tumbuh bersama dari mereka anak-anak membuat Tian lebih memahami gadis itu. Akan tetapi, Tian selalu berbuat di luar tujuannya.""Memang tadi dia mau apa, Bu ke rumah Cilla?""Tadi, Ibu bilang kalau Cilla mau tunangan sama pacarnya. Dia mungkin mau menanyakan hal itu. Justru kena guyuran air. Hehehe," cerita Adjeng.Arum tersenyum lebar mendengarkan penuturan sang ibu. Sehari-hari mereka selalu menantikan cerita apa yang terjadi antara Tian dan Cilla. Mereka berdua semacam kucing dan tikus bila bertemu, sehingga cerita yang tercipta menjadi topik pembahasan yang menggelikan. Sehingga baik Arum maupun ibunya ini begitu terhibur."Bu, apakah mereka akan bersatu?" tanya Arum pada sang ibu.Mata Adjeng menyorot jauh ke depan. Wanita berambut putih itu terdiam sesaat."Ibu akan mempersatukan mereka, Rum. Bagaimanapun, Bastian berhak bahagia. Dan Cilla adalah sumber bahagia buat Tian," kata Adjeng yakin."Apa Cilla mau, Bu? Dia punya pacar, kan?" tanya Arum ragu.Adjeng memandang Arum dengan sorot mata yang sulit untuk didefinisikan. Wanita itu selalu memiliki pemikiran yang tak bisa diartikan bila sudah terdiam seperti ini.Sedang di kamar, Tian menggerutu kesal dengan keadaannya yang memilukan. Tak hanya hari ini ia mengalami nasib kurang baik saat berusaha mendekati Cilla. Tian menarik handuk bersih di lemari lantas mengusap rambutnya yang basah. Ia melepas bajunya satu persatu dan segera mengganti dengan baju kering. Pemuda dengan mata bulan sabit itu menggerutu."Dasar kopi, kamu selalu saja membuatku sial! Entah bagaimana aku bisa mendapat kutukan menyukai gadis bar-bar seperti kamu!"Ya, Bastian seperti dikutuk tak bisa melupakan perasaannya sejak kecil. Ia sangat menyukai Cilla, gadis kecil yang sampai kini tinggi badannya masih juga kecil baginya. Bagaimana dengan Cilla? Apakah dia mengetahui perasaan Tian?***"Ibu, Randi minta waktu untuk tunangan. Dia ingin setelah koas dan mendapat pekerjaan setelahnya dia ingin langsung menikah saja dengan Cilla," kata Cilla.Gadis itu duduk di ruang makan bersama kedua orangtuanya. Mereka sedang membahas perihal hubungan Cilla dan kekasihnya."Ibu sih gak masalah, Cilla. Cuman kalian ini pacarannya sudah lama sekali. Dari SMA kan? Bahkan orangtuanya Randi sudah sering sekali bertemu dengan kamu. Ibu sama bapak khawatir sama hubungan kalian," ungkap sang ibu.Orangtua mana yang tidak khawatir melihat sang putri memiliki hubungan yang begitu lama. Namun, belum ada kepastian yang bisa menjamin mereka tidak putus di tengah jalan. Belum lagi omongan tetangga. Hidup di desa selalu saja menjadi sorotan bila tidak sesuai dengan adat budaya yang seirama dengan kebiasaan mereka."Cilla, bapak percaya sama Cilla. Bapak yakin Cilla paham maksud yang tersirat dari kalimat ibu barusan, kan Nduk?" tanya sang ayah.Gadis itu menunduk sedikit. Ia paham kalimat sang ibu yang mengkhawatirkan dirinya."Iya, Pak. Cilla tau maksudnya ibu. Insyaallah, Cilla akan menjaga diri. Dan jika perlu Cilla akan memutuskan hubungan Cilla dengan Randi terlebih dulu sampai dia mendapat apa yang dia ingin, sehingga Randi melamar Cilla," kata Cilla menenangkan kedua orangtuanya."Lebih baik seperti itu, Cilla," tukas sang ibu.Mereka melanjutkan makan bersama. Apakah benar, Cilla akan memutuskan hubungannya dengan Randi?Di bahu jalan, mobil Bastian yang kosong menjadi tempat Danilo dan Vika berbicara. Mereka datang bersamaan. Vika mencari bapaknya untuk melakukan upaya penyelamatan. Sang ibu, Arum sudah lebih dulu pergi. Namun, Vika justru datang sendiri sebab Ali dari kota segera ke Polsek untuk melapor dan akan membawa polisi datang.“Jadi ibu udah ke dalam Dek?” tanya Danilo.“Iya, Mas. Tadi aku coba telpon mas Bastian. Tapi gak diangkat. Gak taunya udah ke sini.” kata Vika dengan tangan terus bergerak gelisah.Tentu Vika merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Sang ibu sedang menolong Cilla dan ibunya di sana. Sedang dirinya hanya bisa menunggu atas perintah ibunya. “Kamu gak usah khawatir, bentar lagi bapak datang.”Tak lama berselang, mobil polisi beserta Ali datang. Mereka segera menghampiri Vika. Kemudian bersama-sama menuju tempat yang sudah diinformasikan Arum sebelumnya.Sebelumnya, Arum sampai di lokasi Cilla disekap. Dia menghubungi Elka sebelumnya. Mengapa Arum bisa mendapatkan titik
Pov Bastian“Aku menyukaimu saat pertama kali kita berciuman gak sengaja. Itu first kiss yang sangat membekas, Tian. Sampai membuatku ragu untuk melanjutkan hubunganku saat itu. Dari situlah, pada akhirnya aku bisa menerima lamaran kamu.”“Jadi, kalau tidak ada acara ciuman waktu itu. Kamu gak akan terima lamaranku?”Wanita yang sejak kecil menempati ruang di hatiku itu menggelengkan kepala. Wanita itu merubah posisinya untuk menatap diriku yang tak lepas memperhatikan ekspresinya. Kami sedang berbicara sebelum tidur. Biasanya orang menyebutnya pillow talk.“Bisa iya, bisa tidak.” jawabnya sambil tersenyum.“Terus, misal eyang saat itu gak dateng di warung bakso, jawaban kamu menolak aku gitu?” balasku bertanya lagi.“Hemm, tidak juga. Sebenarnya aku mengajak kamu untuk berpacaran terlebih dahulu. Tapi….” Jawaban menggantung wanita bermata bulat itu membuatku penasaran.“Justru, Eyang menyuruh kita menikah.” sambungnya.“Terus nyesel yah?” sahutku.“Justru bikin aku seneng karena kit
“Apa yang Mbak bilang tadi?”Wanita cantik dengan wajah yang tampak muram terlonjak saat mendengar pengakuan sang kakak. Hasti, adik Elka datang setelah acara tiga hari sang ibu, Ratri. Wanita itu menatap sang kakak dengan tatapan tajam.“Iya, ibu marah karena aku masih memiliki perasaan sama Bastian.” kata Elka mengaku pada sang adik. Wanita itu duduk menatap ke arah jendela. “Astaga, Mbak. Kamu itu udah punya suami yang tampan, punya segalanya. Pikiranmu kemana Mbak, ha?” “Semuanya karena Cilla,” imbuh Elka.Tanpa mereka sadari, pertengkaran ini didengarkan dengan seksama oleh seseorang. “Jadi ibumu meninggal karena bertengkar sama kamu, Elka?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari pintu utama. Suami Elka dengan wajah muram berjalan mendekat pada posisi mereka. Aura kesedihan yang sudah ada sedari tadi kini seakan bertambah tebal. “Selesaikan masalah kalian, aku tunggu di luar.” kata Hasti hendak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Namun, kakinya berhenti mendenga
“Bude, gimana kabarnya?” tanya Vika sesaat datang. Gadis itu segera datang sesaat mendapatkan kabar. Maura mempersilahkan anak kandung mantan suaminya itu untuk duduk.“Alhamdulillah, sehat Vika. Kamu gimana, Nak?” Maura memang sudah terbiasa dengan Vika. Sejak permasalahan yang datang terus membuka tabir keburukan sang mantan suami, wanita itu tidak sekalipun marah pada Vika. Mereka mengobrol alakadarnya sambil menunggu Danilo mengeluarkan mobil dari garasi. Setelahnya mereka bersama menuju rumah Elka untuk melayat.*Cilla menumpu motor dengan posisi berdiri. Dia melempar helmnya secara reflek. Teriakan dan bunyi helm yang jatuh membuat Bastian segera berbalik badan dan membantu sang istri.“Maaf, Sayang.” ucap Bastian sambil menarik standar motor menggunakan kakinya.“Iya aku gak apa-apa kok, motor kamu gak apa-apa juga. Gak jatuh!” ujar Cilla kesal dengan memungut helmnya di bawah .Bastian lupa menarik standar motor. Sehingga, motor nyaris jatuh. Pria itu tampak diam dengan waj
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba