Dara mengusap tangan Ayahnya dengan handuk basah, Ayahnya sudah sadar sejak operasi beberapa hari lalu. Kini Ayahnya juga sudah makan banyak seperti sebelumnya. “Dara, pacar kamu memang hebat. Dia yang bertugas cek kesehatan ayah setiap saat, dia juga pria yang lembut, tidak pernah marah sama pasien. Pasien-pasien lain juga memuji hal yang sama,” ujar Sahrul antusias. Dara hanya tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Ayahnya. Asal Ayahnya tau saja, Revan yang lembut hanyalah kedok semata, sebenarnya laki-laki itu banyak minusnya, salah satunya sering memaksa Dara berhubungan. “Kapan kamu akan menikah dengan dia? Laki-laki seperti dia tidak baik kalau dianggurin,” ujar Sahrul. “Aku akan menikah dengan dia. Aku juga mau minta restu sama Ayah,” jawab Dara. Sahrul membulatkan matanya mendengar ucapan Dara, “Kamu benar akan menikah dengannya?” tanya Sahrul senang. “Iya, Ayah. Revan sendiri sudah melamarku, mungkin sebentar lagi akan meminta restu sama Ayah,” jawab Dara. “Kalau beg
“Dara, ayo kita pergi dari sini!” ajak Sahrul membuat Dara membulatkan matanya. “Apa maksud Ayah?” tanya Dara tidak terima. “Kita di sini dibiayai oleh Revan. Kamu jangan menyusahkannya lagi! Ibunya tidak rela kalau kamu menikah dengan Revan, itu artinya dia juga keberatan dengan uang anaknya yang digunakan untuk biaya pengobatan Ayah,” jelas Sahrul. “Ayah, jangan anggap ucapan Bu Selin. Pernikahan aku dan Revan yang menjalani, bukan Bu Selin. Aku dan Revan saling mencintai, persetan dengan Bu Selin,” ujar Dara. “Tapi, Dara. Kamu akan semakin diinjak-injak kalau masuk dalam keluarga itu,” kata Sahrul. “Ayah tetap di sini, aku mau melihat adikku,” ucap Dara yang kini berlalu pergi. “Dara, tunggu dulu, Dara!” teriak Sahrul. “Jangan anggap Ayah kalau sampai kamu menikah dengan Revan!” teriak Sahrul lagi. Dara tercenung mendengar ucapan Ayahnya, perempuan itu kembali menemui Ayahnya. “Begini ucapan Ayah setelah apa yang aku lakukan?” tanya Dara. “Asal Ayah tau saja, awalnya aku m
Hari ini Dara sangat senang karena Ayahnya sudah boleh pulang dari rumah sakit karena keadaannya sudah membaik. Penyembuhan pasca operasi juga sangat cepat karena Revan memberikan banyak vitamin dan makanan bergizi untuk calon mertuanya. Revan membantu memasukkan baju-baju Sahrul ke tas besar, sedangkan Sahrul hanya menatap Revan dengan pandangan yang sulit diartikan. “Revan, biar aku saja yang membereskan. Kamu kan masih ada visit,” ujar Dara menahan tangan Revan. “Masih jam istirahat, aku bisa mengantar ayahmu juga untuk pulang,” jawab Revan. “Tidak perlu, aku bisa naik ojek,” sela Sahrul dengan cepat. “Tidak apa-apa biar aku antar saja,” jawab Revan kukuh. “Huh, Kak Revan gak temenan sama aku. Ayahku boleh pulang dari sini, tapi aku gak boleh,” keluh Kaivan yang kini berada di sudut ruangan sambil membawa buku gambar. “Aku bosan di sini, mau pulang, mau main sama teman-teman,” rengek Kaivan lagi. Dara menatap adiknya dan menghela napasnya sejenak, “Kaivan, kamu tunggu di sin
Revan, Dara, Sahrul dan Kaivan sampai di rumah sederhana Dara. Revan pernah ke sini sebelumnya, tetapi belum sempat masuk. “Kak Revan, ayo masuk dulu. Aku buatkan Kak Revan minuman yang enak,” ucap Kaivan yang sekarang sangat senang dengan Revan, padahal sebelumnya bocah itu sangat takut. “Kak Revan harus kembali ke rumah sakit, dia masih banyak pekerjaan,” sahut Dara. “Aku akan mampir sebentar,” jawab Revan membantu membawa barang-barang Kaivan, sedangkan Sahrul sudah lebih dahulu masuk ke rumahnya. “Ayah istirahat saja, langsung tidur biar aku nanti yang masak!” titah Dara membantu Ayahnya. “Itu Revan buatkan minuman dan makanan dulu!” titah Sahrul. “Iya,” jawab Dara sambil menyelimuti tubuh Ayahnya agar cepat istirahat karena di rumah sakit tidak jenak saat istirahat. Revan masuk ke kamar kecil milik Kaivan. Tidak banyak barang di sana, hanya mainan-mainan kecil. “Kakak, aku akan buatkan kakak minuman dulu,” ucap Kaivan. “Tidak perlu. Kamu langsung tidur saja di sini
“Sudah, Bu, aku tidak mau lagi sama Revan. Dia tidak menginginkanku, bahkan dia malah mempermalukanku,” seloroh Angel pada Selin. Perempuan itu datang ke rumah Selin hanya untuk uring-uringan. “Bu, aku sudah melakukan banyak cara untuk menunjukkan kalau aku tulus sama dia, tapi dia tetap memilih wanita dengan keluarga berpenyakitan itu,” tambah Angel. “Kamu jangan menyerah dong, Angel. Kamu lebih cantik, lebih baik, dan lebih segalanya dari Dara. Ibu yakin suatu saat Revan akan mau sama kamu,” ujar Selin. Angel menjatuhkan tubuhnya di sofa saking kesalnya, dia sudah menjatuhkan harga dirinya di depan Revan, tetapi Revan tetap tidak meliriknya. Angel sendiri merasa kalau dirinya jauh lebih cantik dari Dara, entah bagaimana mata Revan melihatnya sampai mengabaikannya. “Angel, Revan itu sebenarnya baik. Maka itu dia kasihan melihat Dara yang mengurus dua orang sakit, dia pikir dengan menikahinya bisa membantu Dara, sampai-sampai dia tidak peduli kalau menikah itu atas dasar cinta. Di
Nyatanya keapesan Devano belum berakhir setelah tadi mabuk-mabukan naik angkutan umum, kini cowok itu harus jalan kaki lumayan jauh. Devano melompati genangan air karena takut celananya kotor. “Risya, sebenarnya kamu mau kemana sih?” tanya Devano bersungut-sungut. “Membawamu ke neraka jahanam,” jawab Risya. “Jangan ngeri-ngeri, Risya. Kita belum menikah,” ujar Devano. Risya menghentikan langkahnya mendadak membuat Devano juga berhenti mendadak sampai menubruk tubuh Risya. Untung saja Risya bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Aku tidak mau menikah denganmu, dan kemana pun aku pergi tolong jangan ikuti aku!” pinta Risya. “Aku diam saja deh, yang penting bisa mengikutimu,” ujar Devano yang kukuh mau mengikuti Risya. Risya menghentakkan kakinya kesal, bagi Risya Ibunya sangat egois karena mengambil keputusan sepihak menjodohkannya dengan Devano padahal dia tidak suka dengan cowok itu. Devano terus mengikuti Risya meski dirinya memaki-maki dalam hati. Hingga mereka sampai di rumah
Revan sangat senang mendapat pesan dari Dara, hal yang membahagiakan bagi Revan adalah ketika rasa sukanya dibalas. Revan sudah mandi di rumah sakit, kini pria itu memakai kemeja barunya dan mematut dirinya di cermin, pun dengan dia yang menata rambutnya berkali-kali, padahal dalam keadaan apapun pria itu cukup tampan. “Ekhem.” Suara deheman membuat Revan menatap ke sumber suara. Arhan yang sejak tadi duduk tidak jauh darinya sudah tidak dianggap Revan, tetapi cowok itu malah caper. “Dokter Arhan sudah waktunya pulang?” tanya Revan yang akhirnya tanya. “Iya,” jawab Arhan. “Sekalian bareng saya pulang mau? Kayaknya kita searah, soalnya saya mau ke rumah Dara juga,” ujar Revan membuat Arhan segera berdiri. “Ke rumah Dara?” tanya Arhan. “Iya, ke rumah calon istri. Oh iya, saya lupa memberi undangan pada Dokter. Ini undangannya,” ucap Revan mengambil undangan di tasnya dan memberikan pada Arhan. Arhan menerima undangan itu dengan tangan yang bergetar, dia sudah lama menginginkan Dar
Malam ini Revan merenung di kamarnya yang ada di rumah ibunya, besok dirinya akan menikah dan ibunya memaksanya datang ke sini. Banyak pikiran yang berkecamuk di otak Revan. Perasaannya mendadak tidak enak karena takut pernikahan besok akan gagal mengingat ibunya tidak setuju dengan Dara. Revan sudah lama menyukai perempuan itu, andai Dara mudah diajak kerja sama sejak lama, Revan juga tidak akan melecehkan perempuan itu. Namun, Revan tidak peduli, mau bagaimana cara dia menikah dengan Dara, yang penting dia bersama perempuan itu. “Revan, keluar sebentar!” pinta Selin membuat Revan tersentak. Revan segera berdiri dan menuju pintu kamarnya, saat pria itu membukanya, ia melihat Selin yang menatapnya dengan lekat. “Ada apa?” tanya Revan. “Pikirkan sekali lagi pilihanmu!” titah Selin. “Apa yang membuat Ibu tidak yakin dengan Dara?” tanya Revan balik. “Sudah ibu bilang kalau kalian tidak setara, itu hanya membuat kamu susah nantinya, Revan. Latar pendidikan, latar keluarga sudah beda