Dara merasa hidupnya sungguh mengenaskan, adiknya belum sembuh dari kanker, kini kanker Ayahnya kambuh lagi, pun dengan orang yang sangat dia hormati kini menghinanya. Mungkin bahasa Selin masih halus mengatakan kalau Revan harus menikah dengan sesama Dokter, tetapi itu sukses membuat Dara merasa rendah diri.
“Hei, kamu belum menceritakan tentang hubunganmu dan Kakakku. Bagaimana awal mulanya kamu jadi suka sama dia? Bukankah kamu sering sinis sama dia? Apa yang membuatmu menyukainya?” tanya Risya bertubi-tubi sudah seperti wartawan saja.
Saat ini Dara dan Risya berada di mall, Risya lah yang memaksa Dara ikut karena gadis itu ingin menghibur calon kakak iparnya yang kelihatan sedih.“Aku dengar kalian ke rumah orang tuaku. Bagaimana? Ibuku setuju kan?” tanya Risya.
Dara hanya diam mendengar ucapan teman baiknya. Gadis itu di ambang kebingungan antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak.“Haiyah, pasti Ibuku setuju,” ucap Risya merangkul lebih erat pundak Dara sampai Dara mengaduh.
“Kamu jangan kasar-kasar kayak Kakakmu dong!” keluh Dara yang badannya sakit semua karena dirangkul erat oleh Risya.
Risya yang awalnya semangat mengajak jalan teman baiknya langsung menghentikan langkahnya. “Kakakku kasar sama kamu?” tanya Risya membulatkan matanya. Dara yang menyadari salah bicara pun langsung menggeleng.“Enggak, maksudku kalau dia lagi marah baru kasar,” bisik Dara.
“Bilang saja padaku kalau dia kasar, aku akan menghajarnya sampai babak belur,” ucap Risya. “Tapi kayaknya dia gak akan kasar sama kamu. Dia itu suka sama kamu, bahkan aku pernah lihat di kamarnya ada fotomu. Aaah … aku ingin ada laki-laki yang terobsesi padaku,” oceh Risya bertubi-tubi.
Dara hanya tersenyum tipis, sekarang Dara tidak percaya dengan ucapan Risya yang mengatakan kalau Revan menyukainya. Karena bagi Dara, Revan hanya ingin balas dendam dengannya karena Revan pernah dia tolak.
“Aku jamin hidupmu akan bahagia Dara. Punya suami kayak Kakaku yang suka sama kamu, mertua yang baik dan adik ipar sebaik aku,” ucap Risya penuh percaya diri.
“Mungkin di kehidupan sebelumnya aku pernah menyelamatkan galaksi, makanya sekarang sangat beruntung,” jawab Dara seraya tertawa geli.
Di sisi lain Revan tengah menentang dua kantong belanjaan yang berisi banyak makanan ringan. Pria itu masuk ke ruang rawat Kaivan. Baru juga masuk, dia sudah disuguhi oleh rekan Dokternya yang super caper.
“Lihat ini, robotnya jalan sendiri,” ucap Arhan menunjuk robot yang dia belikan untuk Kaivan.
“Wah, bagus banget. Dokter Arhan terhebat!” pekik Kaivan bertepuk tangan dengan senang.
“Ekhem.” Revan berdehem pelan membuat Arhan dan Kai menatap ke arahnya. Buru-buru Kai mengambil bantal dan menutupkan ke wajahnya seolah ketakutan.
Revan tidak terima melihat Kai yang selalu berlagak ketakutan melihatnya.
“Kai, jangan takut, itu Dokter Revan,” bisik Arhan.
“Takut,” rengek Kaivan.
“Kai, Kakak bawain kamu makanan enak,” ucap Revan mencoba mencuri hati Kaivan.
“Gak mau … gak mau … gak mau,” jawab Kai yang kini menghentak-hentakkan kakinya di ranjang.
“Kai, Kakak gak jahat sama kamu. Sini!” pinta Revan menarik bantal Kaivan.
”Aaaa … gak mau! Kak Dara, tolong!” pekik Kaivan seketika tantrum.“Dokter, tolong jangan paksa Kaivan!” pinta Arhan.
“Saya yang lebih tau apa yang harus saya lakukan,” jawab Revan.
“Saya Dokter yang menanganinya,” ucap Arhan.
“Tapi sekarang saya yang menanganinya!” desis Revan.
“Saya tau kondisi psikisnya,” ujar Arhan tidak mau mengalah.
”Sekarang seluruh hidupnya tanggung jawab saya!” bentak Revan yang keras kepala. Kini dua dokter muda itu saling menatap tajam satu sama lain.Dari mata Revan terlihat sorot permusuhan untuk Arhan, sedangkan Kaivan yang melihat dua orang bertengkar semakin menutup matanya.
“Keluar dari sini!” titah Revan dengan tajam.
“Aku gak mau Om Dokter keluar. Aku mau Om di sini … hiks hiks hiks.” Kaivan menarik tangan Arhan agar tidak pergi.
Revan yang kesal pun membanting dua kantung belanjaannya ke lantai hingga menimbulkan suara keras. Perasaan Revan sangat panas melihat calon adik iparnya lebih suka pada Arhan daripada dirinya.
“Ihhh ngerinya,” keluh Kaivan membuat Revan bertambah kesal. Tanpa sepatah kata Revan pergi meninggalkan Kaivan dan Arhan.
Revan keluar dari ruangan adik iparnya, sesampainya di luar pria itu menghubungi Dara. Sayangnya Dara susah dihubungi membuat Revan bertambah kesal.
Kesabaran Revan sangatlah sedikit, tetapi orang-orang seolah senang membuatnya kesal. Sejak kemarin tekanan darah Revan sudah tinggi karena Ibunya tidak merestui hubungannya dengan Dara, caper sama Kaivan malah dia ditakuti seolah setan, sekarang menghubungi Dara juga tidak bisa.
Hingga setelah beberapa saat panggilan pun terhubung.
“Ha---”
“Kenapa baru mengangkat sekarang?” tanya Revan membentak tatkala Dara masih membuka sepatah kata.
“Aku tidak mendengar panggilanmu, ini lagi di mall sama Risya,” jawab Dara dengan suara bergetar.
“Dalam lima belas menit tidak sampai rumahku, kamu akan tau akibatnya!” desis Revan mengancam.
”Tapi aku masih---”“Nyawa adikmu taruhannya,” tambah Revan. Setelahnya laki-laki itu segera mematikan sambungan teleponnya.
Revan bergegas pergi dari rumah sakit karena jam kerjanya sudah habis. Di sisi lain Dara meninggalkan Risya seorang diri karena takut ancaman Revan benar-benar dilakukan oleh laki-laki itu.
“Dara, tunggu aku!” teriak Risya.
“Risya, maafkan aku. Aku ada kepentingan hidup dan mati!” teriak Dara berlari sangat cepat. Dara merasa sial karena Revan menelfonnya secara mendadak, untung saja ada tukang ojek yang bisa mengantar ke rumah Revan.
Sepanjang jalan Dara sangat was-was, beberapa kali juga perempuan itu menatap ke jam tangannya untuk memastikan dia tidak terlambat.
“Pak, bisa agak cepat, Pak?” tanya Dara memaksa.
“Ini motor, bukan pesawat tempur,” jawab tukang ojek.
“Saya tambahin deh, Pak, tarifnya. Yang penting cepat sampai,” ujar Dara panik.
“Siap kalau begitu,” jawab tukang ojek yang kini menarik gasnya lebih cepat agar cepat sampai tujuan. Dara menatap ke jam tangannya, tinggal lima menit lagi dan perjalanan masih jauh.
Hingga setelah beberapa saat akhirnya Dara sampai di depan rumah pribadi Revan, pun dengan Dara yang memberikan tambahan pada tukang ojek.
Pintu rumah Revan tidak terkunci membuat Dara langsung nyelonong masuk. “Revan,” panggil Dara dengan napas tersengal-sengal. Dara tersentak saat melihat Revan berada di sofa tidak jauh darinya seraya bertelanjang dada. Tubuh Revan yang bagus sebenarnya tipe idaman Dara, tetapi karena sifat cowok itu yang jahat, Dara jadi biasa saja dengan laki-laki itu.
“Buka semua bajumu dan merangkak kemari!” titah Revan dengan senyum menawan di bibirnya.
Dara menggeleng tanda tidak mau, sedangkan Revan menaikkan alisnya tanda tidak suka dengan penolakan Dara.
“Cepat kemari, anjing kecil! Telanjang dan merangkak!” titah Revan lagi.
“Tolong jangan seperti ini!” pinta Dara.
Revan yang tidak sabar pun segera berdiri, pria itu mendorong tubuh Dara hingga terjerembab di sofa. Belum juga bangun, leher belakang Dara sudah ditahan oleh Revan.
“Akhh!” Dara mengaduh kesakitan karena cengkraman tangan Revan yang begitu kuat.
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud