Share

6. Mencuri Hati Adik Ipar

Dara merasa hidupnya sungguh mengenaskan, adiknya belum sembuh dari kanker, kini kanker Ayahnya kambuh lagi, pun dengan orang yang sangat dia hormati kini menghinanya. Mungkin bahasa Selin masih halus mengatakan kalau Revan harus menikah dengan sesama Dokter, tetapi itu sukses membuat Dara merasa rendah diri. 

“Hei, kamu belum menceritakan tentang hubunganmu dan Kakakku. Bagaimana awal mulanya kamu jadi suka sama dia? Bukankah kamu sering sinis sama dia? Apa yang membuatmu menyukainya?” tanya Risya bertubi-tubi sudah seperti wartawan saja. 

Saat ini Dara dan Risya berada di mall, Risya lah yang memaksa Dara ikut karena gadis itu ingin menghibur calon kakak iparnya yang kelihatan sedih. 

“Aku dengar kalian ke rumah orang tuaku. Bagaimana? Ibuku setuju kan?” tanya Risya. 

Dara hanya diam mendengar ucapan teman baiknya. Gadis itu di ambang kebingungan antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak. 

“Haiyah, pasti Ibuku setuju,” ucap Risya merangkul lebih erat pundak Dara sampai Dara mengaduh. 

“Kamu jangan kasar-kasar kayak Kakakmu dong!” keluh Dara yang badannya sakit semua karena dirangkul erat oleh Risya.

Risya yang awalnya semangat mengajak jalan teman baiknya langsung menghentikan langkahnya. “Kakakku kasar sama kamu?” tanya Risya membulatkan matanya. Dara yang menyadari salah bicara pun langsung menggeleng.

“Enggak, maksudku kalau dia lagi marah baru kasar,” bisik Dara.

“Bilang saja padaku kalau dia kasar, aku akan menghajarnya sampai babak belur,” ucap Risya. “Tapi kayaknya dia gak akan kasar sama kamu. Dia itu suka sama kamu, bahkan aku pernah lihat di kamarnya ada fotomu. Aaah … aku ingin ada laki-laki yang terobsesi padaku,” oceh Risya bertubi-tubi.

Dara hanya tersenyum tipis, sekarang Dara tidak percaya dengan ucapan Risya yang mengatakan kalau Revan menyukainya. Karena bagi Dara, Revan hanya ingin balas dendam dengannya karena Revan pernah dia tolak.

“Aku jamin hidupmu akan bahagia Dara. Punya suami kayak Kakaku yang suka sama kamu, mertua yang baik dan adik ipar sebaik aku,” ucap Risya penuh percaya diri.

“Mungkin di kehidupan sebelumnya aku pernah menyelamatkan galaksi, makanya sekarang sangat beruntung,” jawab Dara seraya tertawa geli.

Di sisi lain Revan tengah menentang dua kantong belanjaan yang berisi banyak makanan ringan. Pria itu masuk ke ruang rawat Kaivan. Baru juga masuk, dia sudah disuguhi oleh rekan Dokternya yang super caper.

“Lihat ini, robotnya jalan sendiri,” ucap Arhan menunjuk robot yang dia belikan untuk Kaivan.

“Wah, bagus banget. Dokter Arhan terhebat!” pekik Kaivan bertepuk tangan dengan senang.

“Ekhem.” Revan berdehem pelan membuat Arhan dan Kai menatap ke arahnya. Buru-buru Kai mengambil bantal dan menutupkan ke wajahnya seolah ketakutan.

Revan tidak terima melihat Kai yang selalu berlagak ketakutan melihatnya.

“Kai, jangan takut, itu Dokter Revan,” bisik Arhan.

“Takut,” rengek Kaivan.

“Kai, Kakak bawain kamu makanan enak,” ucap Revan mencoba mencuri hati Kaivan.

“Gak mau … gak mau … gak mau,” jawab Kai yang kini menghentak-hentakkan kakinya di ranjang.

“Kai, Kakak gak jahat sama kamu. Sini!” pinta Revan menarik bantal Kaivan.

”Aaaa … gak mau! Kak Dara, tolong!” pekik Kaivan seketika tantrum.

“Dokter, tolong jangan paksa Kaivan!” pinta Arhan.

“Saya yang lebih tau apa yang harus saya lakukan,” jawab Revan.

“Saya Dokter yang menanganinya,” ucap Arhan.

“Tapi sekarang saya yang menanganinya!” desis Revan.

“Saya tau kondisi psikisnya,” ujar Arhan tidak mau mengalah.

”Sekarang seluruh hidupnya tanggung jawab saya!” bentak Revan yang keras kepala. Kini dua dokter muda itu saling menatap tajam satu sama lain.

Dari mata Revan terlihat sorot permusuhan untuk Arhan, sedangkan Kaivan yang melihat dua orang bertengkar semakin menutup matanya.

“Keluar dari sini!” titah Revan dengan tajam.

“Aku gak mau Om Dokter keluar. Aku mau Om di sini … hiks hiks hiks.” Kaivan menarik tangan Arhan agar tidak pergi.

Revan yang kesal pun membanting dua kantung belanjaannya ke lantai hingga menimbulkan suara keras. Perasaan Revan sangat panas melihat calon adik iparnya lebih suka pada Arhan daripada dirinya.

“Ihhh ngerinya,” keluh Kaivan membuat Revan bertambah kesal. Tanpa sepatah kata Revan pergi meninggalkan Kaivan dan Arhan.

Revan keluar dari ruangan adik iparnya, sesampainya di luar pria itu menghubungi Dara. Sayangnya Dara susah dihubungi membuat Revan bertambah kesal.

Kesabaran Revan sangatlah sedikit, tetapi orang-orang seolah senang membuatnya kesal. Sejak kemarin tekanan darah Revan sudah tinggi karena Ibunya tidak merestui hubungannya dengan Dara, caper sama Kaivan malah dia ditakuti seolah setan, sekarang menghubungi Dara juga tidak bisa.

Hingga setelah beberapa saat panggilan pun terhubung.

“Ha---”

“Kenapa baru mengangkat sekarang?” tanya Revan membentak tatkala Dara masih membuka sepatah kata.

“Aku tidak mendengar panggilanmu, ini lagi di mall sama Risya,” jawab Dara dengan suara bergetar.

“Dalam lima belas menit tidak sampai rumahku, kamu akan tau akibatnya!” desis Revan mengancam.

”Tapi aku masih---”

“Nyawa adikmu taruhannya,” tambah Revan. Setelahnya laki-laki itu segera mematikan sambungan teleponnya.

Revan bergegas pergi dari rumah sakit karena jam kerjanya sudah habis. Di sisi lain Dara meninggalkan Risya seorang diri karena takut ancaman Revan benar-benar dilakukan oleh laki-laki itu.

“Dara, tunggu aku!” teriak Risya.

“Risya, maafkan aku. Aku ada kepentingan hidup dan mati!” teriak Dara berlari sangat cepat. Dara merasa sial karena Revan menelfonnya secara mendadak, untung saja ada tukang ojek yang bisa mengantar ke rumah Revan. 

Sepanjang jalan Dara sangat was-was, beberapa kali juga perempuan itu menatap ke jam tangannya untuk memastikan dia tidak terlambat. 

“Pak, bisa agak cepat, Pak?” tanya Dara memaksa. 

“Ini motor, bukan pesawat tempur,” jawab tukang ojek. 

“Saya tambahin deh, Pak, tarifnya. Yang penting cepat sampai,” ujar Dara panik. 

“Siap kalau begitu,” jawab tukang ojek yang kini menarik gasnya lebih cepat agar cepat sampai tujuan. Dara menatap ke jam tangannya, tinggal lima menit lagi dan perjalanan masih jauh. 

Hingga setelah beberapa saat akhirnya Dara sampai di depan rumah pribadi Revan, pun dengan Dara yang memberikan tambahan pada tukang ojek. 

Pintu rumah Revan tidak terkunci membuat Dara langsung nyelonong masuk. “Revan,” panggil Dara dengan napas tersengal-sengal. Dara tersentak saat melihat Revan berada di sofa tidak jauh darinya seraya bertelanjang dada. Tubuh Revan yang bagus sebenarnya tipe idaman Dara, tetapi karena sifat cowok itu yang jahat, Dara jadi biasa saja dengan laki-laki itu. 

“Buka semua bajumu dan merangkak kemari!” titah Revan dengan senyum menawan di bibirnya. 

Dara menggeleng tanda tidak mau, sedangkan Revan menaikkan alisnya tanda tidak suka dengan penolakan Dara. 

“Cepat kemari, anjing kecil! Telanjang dan merangkak!” titah Revan lagi. 

“Tolong jangan seperti ini!” pinta Dara. 

Revan yang tidak sabar pun segera berdiri, pria itu mendorong tubuh Dara hingga terjerembab di sofa. Belum juga bangun, leher belakang Dara sudah ditahan oleh Revan. 

“Akhh!” Dara mengaduh kesakitan karena cengkraman tangan Revan yang begitu kuat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status