Mobil Mercedes hitam itu masih bergetar di pinggir jalan, mesin menyala seperti amarah Matteo yang belum mereda.
"Aku tidak akan melakukannya lagi!" Isabella membanting pintu mobil, berjalan cepat ke arah pintu utama rumah mereka yang lebih tepat disebut istana. Angin sore menerbangkan rambutnya yang terurai.
Isabella langsung berjalan cepat ke arah tangga. Kakinya masih gemetar sejak pertengkaran di rumah sakit, tapi kemarahannya yang membuatnya terus bergerak.
Matteo mengejarnya, menarik lengan Isabella dengan kasar. "Kau pikir ini pilihan?!"
"Ini BUKAN pernikahan, Matteo! Ini—ini transaksi prostitusi!" teriak Isabella, suaranya pecah. Beberapa orang di sekitar mulai menoleh.
Matteo menurunkan volume suaranya, tapi nadanya lebih berbahaya. "Kau mau hidup seperti apa? Miskin? Terbuang? Lupakan saja karier desainermu yang mentok itu!"
Isabella tersentak. Dia menggunakan impianku sebagai senjata.
"Aku lebih memilih miskin daripada jadi pelacur untuk suamiku sendiri!"
"Bella! Kita belum selesai bicara!" Matteo mengejar, menarik pergelangan tangan istrinya di depan pintu kamar tidur.
Isabella memutar badan, matanya menyala. "Apa lagi yang perlu dibicarakan? Kau sudah mendengar dokter—"
"Dokter itu idiot!" Matteo mendorong Isabella masuk ke kamar, menutup pintu dengan keras. "Keluarga Ruzzo tidak butuh alasan medis. Yang kita butuhkan adalah hasil. SEKARANG."
Tiba-tiba, sebuah motor Harley Davidson terdengar dari luar, halaman rumah mereka. Suara mesinnya menghentikan pertengkaran.
Suara langkah berat terdengar di lorong.
Leonardo muncul di ambang pintu, bersandar di bingkai kayu dengan sikap santai yang menipu. Dia memakai kaus hitam lengan panjang yang menempel di setiap otot tubuhnya, celana jeans yang mempertegas bentuk kakinya yang panjang.
"Ruang tamu lebih nyaman untuk berdebat," ujarnya, suaranya seperti velvet yang dibalur es.
Isabella tidak bisa mengalihkan pandangan. Leonardo hari ini memakai kaus hitam ketat yang memperlihatkan setiap otot di tubuhnya, celana jeans robek di lutut, dan sepatu boots kulit—seperti bintang rock yang baru turun dari panggung. Tidak menunjukkan sama sekali kalau dia seorang CEO sebuah perusahaan cyber internasional.
Tubuhnya bereaksi lagi.
Bahkan tanpa obat."Leo, tepat waktu," Matteo menyambut dengan dingin. "Aku sudah bicara pada Isabella. Dia butuh... persuasi."
Leonardo melangkah mendekat, setiap langkahnya seperti panther mengintai mangsa. Isabella mundur tanpa sadar, sampai punggungnya menabrak pohon.
"Mau kubujuk pakai kata-kata..." bisik Leonardo, tangannya menempel di batang pohon di samping kepala Isabella, "...atau dengan cara lain?"
Napas Isabella tersengal. Bau nya—kayu sandalwood dan sedikit asap—membuat pikirannya berkabut.
Tapi kemudian—
"TOLONG!" Isabella mendorong Leonardo dengan sekuat tenaga. "Kalian berdua gila! Ini tidak manusiawi!"
Leonardo tertawa pendek. "Manusiawi? Keluarga Ruzzo tidak mengenal kata itu, Bella."
Isabella berdiri di sebelah kursi makan marmer, tangannya mencengkeram sandaran kursi sampai buku-buku jarinya memutih.
"Aku tidak akan melakukannya lagi. Titik."
Matteo melemparkan gelas anggur ke dinding. Kristal pecah berhamburan seperti air matanya yang palsu. "Kau pikir ini soal pilihan? Ini tentang kelangsungan keluarga!"
Leonardo mengisi gelasnya sendiri, meminum anggur merah perlahan seolah menonton pertunjukan teater.
"Kalian berdua sakit!" Isabella menuding mereka bergantian. "Selama ini aku sudah menjadi istri yang setia selama tiga tahun! Dan ini yang kudapat? Disuruh jadi pelacur untuk menyelamatkan 'nama baik' keluarga?"
Leonardo tiba-tiba tertawa—suara pendek yang membuat bulu kuduk Isabella berdiri.
"Kau lucu, Bella," ujarnya sambil memutar gelas di tangannya. "Kau masih bicara tentang moralitas? Di keularga Ruzzo, yang kita hormati adalah hasil, bukan proses."
Matteo menatap kakak angkatnya dengan bingung.
Leonardo berdiri, perlahan mendekati Isabella. "Kau mau tetap jadi Nyonya Ruzzo? Mau anakmu mewarisi segalanya? Maka lakukan apa yang diperlukan." Dia membelakangi Matteo, menatap Isabella dengan intens. "Tapi kau harus memutuskan sekarang. Karena besok mungkin sudah terlambat."
Isabella menggigit bibir sampai berdarah. "Apa maksudmu?"
Leonardo mengeluarkan telepon, menunjukkan foto—Isabella dan Leonardo di kamar tidur seminggu lalu, diambil dari sudut tersembunyi.
“A-apa ini, Leo? Ini gila! Kamu gak seharusnya ambil ini!”
Leonardo menyeringai, “Kamu benar, aku hanya simpan ini sebagai dokumentasi, suamimu yang ambil. Dan aku yang memintanya. Karena aku ingin ini juga menjadi bukti kalau aku memiliki andil dalam kehamilanmu”
Leonardo meletakkan telepon di meja. "Pilihan ada padamu, Bella. Tapi ingat—" Matanya yang hijau itu berkilat licik. "—keluarga Ruzzo tidak pernah kalah."
Isabella melihat ke dua lelaki itu—suaminya yang tampak dingin dan tak peduli, dan saudara angkatnya yang dingin seperti ular namun memikat dalam waktu bersamaan..
Dengan gerakan cepat, ia mengambil vas bunga kristal dan menghancurkannya ke lantai.
"KALIAN MONSTER!"
Panggilan itu masih terngiang-ngiang di telinganya, menghantui setiap langkahnya. Suara Leonardo yang parau, sarat dengan kerinduan yang begitu dalam, seakan mencengkeram jiwanya. "Aku sangat merindukanmu, Isabella. Pulanglah." Kalimat itu yang membuatnya meninggalkan segalanya dan memacu mobilnya dengan cepat menuju Villa.Jantungnya berdebar penuh harap, membayangkan senyum lemahnya, pelukan hangatnya yang selama ini menjadi pelabuhan teramannya. Namun, saat dia membuka pintu Villa, sunyi yang menusuk menyambutnya. Rumah itu terasa kosong, hampa, dan dingin bagai kuburan."Leo?" panggilnya, suaranya gemetar menggema di lorong-lorong megah. "Leonardo?"Tidak ada jawaban. Hanya detak jam dinding yang berdetak keras bagai genderang peringatan di kepalanya. Rasa takut yang irasional mulai merayap, menyelimuti hatinya dengan es. Pikirannya langsung melesat ke skenario terburuk—kesehatannya yang masih rapuh, kecelakaan yang mungkin terjadi, atau... atau sesuatu yang lebih mengerikan.Tiba
Hari ini Isabella meninggalkan Leonardo di villa. Pertemuannya dengan Contessa, yang datang mewakili suaminya, terasa berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang mengambang di udara—sesuatu yang tidak sepenuhnya nyaman. Perempuan bangsawan itu kini tampak lebih sibuk, matanya lebih awas, seolah setiap gerak Isabella pantas dicermati. Mungkin karena Contessa tahu, diam-diam suaminya masih menyimpan perasaan pada Isabella. Dan jika orang cukup jeli, mereka akan melihat bahwa Contessa seperti berusaha meniru gaya Isabella, sedikit demi sedikit.Semua karena Damiano. Suaminya itu masih menyimpan gambar Isabella di tempat yang hanya dia sendiri yang tahu. Dan Leonardo, lelaki yang pernah dia cintai, ternyata juga tergila-gila pada Isabella. Contessa masih belum mengerti—mengapa kedua lelaki penting dalam hidupnya itu sama-sama terpikat olehnya? Apa istimewanya Isabella? Kalau dipikir-pikir, dia sendiri tidak kalah cantik. Tapi mungkin bukan soal cantik saja.Isabella datang dengan setelan hit
Udara pagi di Tuscany terasa berat bagi Isabella. Dinding-dinding rumah sakit dan bayangan Matteo yang masih berkeliaran terasa seperti sangkar. Setelah beberapa hari memastikan kondisi Leonardo stabil, ia mendesak dokter untuk mengizinkan mereka pulang. Argumennya logis: udara segar Danau Como akan lebih mempercepat penyembuhan Leonardo. Dokter akhirnya luluh, dan izin pun diberikan.Luca, yang setia mengawal, melaporkan bahwa persiapan jet pribadi dan dokumen kepulangan sudah lengkap. "Matteo masih menghilang bagai ditelan bumi," lapor Luca, "Tapi beberapa polisi yang disuapnya sudah kami amankan. Mereka akan menjadi saksi kunci."Leonardo, yang sudah mampu duduk tegak, menghela napas. "Dia akan terus bersembunyi. Dia tidak akan berani muncul selama ayahnya, Riccardo, masih terpojok. Ayah dan anak itu sama saja: pemberani hanya ketika berkuasa, pengecut ketika jatuh."Isabella menyimpan dokumen terakhir ke dalam koper dengan gerakan mantap. "Justru itulah keuntungan kita, Leo. Denga
Isabella membeku, darahnya seakan berhenti mengalir. Matteo, mantan suaminya yang seharusnya masih mendekam di penjara, sekarang berdiri di hadapannya dengan senyum getir dan mata penuh kebencian."Luar biasa, bukan?" Matteo melangkah mendekat, tangannya dengan lihai memainkan pisau yang berkilat di cahaya redup. "Uang dapat membeli banyak hal, Isabella—termasuk kebebasan diam-diam dan rekayasa berita yang meyakinkan semua orang bahwa aku masih berada di balik jeruji."Leonardo mendesis kesakitan saat mencoba bergerak melindungi Isabella. "Kau membayar sipir penjara," ujarnya dengan suara terengah, menyadari betapa liciknya musuhnya."Tepat sekali," sahut Matteo dengan bangga. "Dan sekarang, aku akan mengambil segala sesuatu yang telah kau curi dariku."Isabella masih tidak percaya. "Kami tidak mencuri apa pun darimu, Matteo! Hubungan kita telah berakhir—""Tambang marmer ini seharusnya menjadi milikku!" Matteo membentak, wajahnya memerah. "Villa, bisnis, dan kau—semuanya adalah milik
Andrea menatap Luca lagi, mencari konfirmasi. Luca mengangguk mantap. "Dia bisa dipercaya, Andrea. Leo sendiri yang akan memastikan itu jika dia ada di sini."Setelah beberapa detik merenung, Andrea akhirnya menghela napas. "Baiklah. Ikuti saya."Dia mengeluarkan kartu akses dari saku dalam jaketnya dan memimpin mereka menuju lift khusus di ujung koridor. Saat lift turun ke kedalaman tambang, Isabella bisa merasakan tekanan udara yang berubah. Dinginnya mulai merambat melalui lapisan pakaiannya."Gudang ini," jelas Andrea sambil menunjuk ke lorong yang terang benderang di depan mereka, "menyimpan marmer kualitas tertinggi dan beberapa... aset penting lainnya."Isabella memperhatikan kamera keamanan di setiap sudut dan sensor gerak di sepanjang langit-langit. "Sepertinya
Isabella menjalani hari-harinya dengan ketegaran yang membuat banyak orang terpana. Di balik senyum tenangnya, ada api yang terus menyala—keyakinan tak tergoyahkan bahwa Leonardo masih hidup.Suatu pagi, di apartemen mewahnya yang kini dijaga ketat, Isabella berbicara serius dengan Luca."Aku butuh bodyguard terlatih," ujarnya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja marmer.Luca menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Kalau begitu, izinkan aku yang menjagamu."Isabella mengerutkan kening. "Aku tidak enak hati. Kau sahabat Leonardo, bukan pengawal bayaran.""Keselamatanmu sekarang menjadi tanggung jawabku," jawab Luca tegas. "Jika Leo tahu aku tidak peduli, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri."