Kristal vas bunga masih berserakan di lantai marmer ketika Isabella menarik napas panjang. Matanya yang berkaca-kaca beralih dari Matteo yang dingin ke Leonardo yang menyimpan senyum kemenangan.
Dia merasa seperti wanita yang kini tak memiliki harga di hadapan mereka, hanya pion untuk mencapai tujuan. Isabella tersenyum miris sebelum akhirnya dia membuat keputusan yang bertentangan dengan hati kecilnya.
"Aku... akan melakukannya," bisiknya, suara serak oleh air mata yang ditahan. "Tapi tanpa obat. Aku ingin... sadar sepenuhnya."
Dengan membuat meminta syarat itu, Isabella berharap Matteo akan cemburu karena seolah Isabella juga menginginkan hubungan badan bersama Leonardo.
Harapannya tipis—bahwa Matteo akan tersentak, bahwa kecemburuan akhirnya akan muncul.
Tapi Matteo hanya mengangguk, wajahnya lega. "Bagus. Leonardo?"
Leonardo mengulurkan tangan pada Isabella, gerakannya elegan seperti penari. "Kamar kita sudah menunggu, Belle."
Kamar kita. Kata-kata itu menggantung di udara, lebih tajam dari pecahan kristal di kaki mereka.
Isabella benar-benar merasa menjadi tawanan di rumah ini, tawanan hasrat dua lelaki yang sebelumnya dia hormati.
Kamar tidur utama terasa asing malam ini. Lampu temaram menyorot tempat tidur king size dimana Isabella dan Matteo biasa berbagi kisah cinta—kini akan menjadi panggung pengkhianatan baginya. Dia ingin mengesampingkan perasaan lain, selain menikmati percintaannya dengan Leonardo, karena mungkin ini adalah cara balas dendam terbaik pada Matteo, satu-satunya lelaki yang dia cintai selama ini.
Leonardo menutup pintu perlahan. "Kau yakin?" maksud Leonardo adalah, apakah Isabella yakin akan melakukannya tanpa obat.
Isabella menggigit bibir. "Apa bedanya? Kau tetap akan melakukannya."
Dia duduk di tepi kasur, jemarinya mencengkeram sprei sutra. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena ketakutan. Karena kemarahan. Pada diri sendiri. Pada dunia.
Leonardo berlutut di hadapannya, tangan hangatnya menyentuh lutut Isabella yang dingin. "Aku tidak akan memaksamu."
"Lakukan saja!" Isabella mendongak, air mata akhirnya jatuh. "Kalian semua dapat apa yang kalian inginkan! Anak untuk Matteo, warisan untukmu, dan aku—"
Leonardo mengecupnya.
Bukan di bibir. Di pelipis, tempat air matanya mengalir. "Dan kau akan mendapatkan kebebasan setelah ini."
Isabella sedikit tersentak kaget dengan perlakuan lembut Leonardo, sisi lain dari Leonardo yang tak pernah dia ketahui. Sentuhan Leonardo berbeda malam ini.
Tanpa obat, tanpa paksaan—setiap jari yang menyusuri lekuk tubuh Isabella terasa seperti permohonan maaf.
"Jangan melawan," bisiknya saat Isabella mengencangkan otot. "Rasakan saja."
Dan Isabella... merasakan. Dia pejamkan matanya, benar-benar mencoba merasakan sensasi dari setiap sentuhan dari kakak angkat suaminya ini.
Betapa lidah Leonardo menggambar pola api di tulang selangkanya. Betapa jemarinya menyayat perlahan seperti penyair menulis puisi. Tubuhnya membakar, merespons setiap petunjuk dari lelaki ini—padahal pikiran dan hatinya menjerit menolak.
"Aku benci ini," erang Isabella dalam hati saat Leonardo menelusuri garis pinggangnya.
"Tubuhmu tidak berbohong, Belle," ucap Leonardo, suaranya parau oleh nafsu. “Aku suka dengan reaksi tubuhmu menyambut setiap sentuhanku”
Kasur berderit. Udara dipenuhi erangan dan desahan. Isabella menutup mata rapat-rapat—tapi tidak bisa menutup hati yang pecah saat orgasme menghantamnya, lebih kuat dari apapun yang pernah Matteo berikan.
Ketika nafas mereka kembali tenang, Leonardo menarik Isabella ke pelukannya.
"Matteo tidak pantas mendapatkanmu," bisiknya, mengecup kening Isabella yang berkeringat. Kini posisinya miring, dengan satu tangan sebagai tumpuan kepalanya, satu tangan yang lain membelai rambut Isabella yang basah oleh keringat dan menutupi sebagian wajahnya yang masih merah, sisah-sisah percintaan panas mereka.
Isabella ingin mendorongnya. Ingin memaki. Tapi tubuhnya yang lelah hanya bisa diam. Tak seharusnya Leonardo melakukan ini, setelah selesai seharusnya dia langsung pergi. Kenapa dia masih harus memperlakukannya lembut dan hangat seolah dia adalah pasangan sah-nya.
Jari telunjuk Leonardo menelusuri detail wajah Isabella, seolah ingin menghafal dan menyimpan di memorinya, sehingga dia tetap ingat walaupun menyentuhnya sambil memejamkan mata. Sementara itu, tatapan mata Isabella jauh.
“Bicaralah, Belle!” desak Leonardo.
“Aku kotor, aku hina!” Isabella memaki dirinya sendiri dengan tatapan yang masih jauh, kosong.
“Tidak, Belle sayang….hatimu suci. Aku menyukai setiap inchi tubuhmu, aku menyukai parasmu, hatimu, dirimu…” bisik Leonardo di cuping telinga Isabella.
Wajah Leonardo mendekat, dia sapukan ciuman di bibir Isabella yang beku itu, sedikit memaksanya walaupun tak ada sambutan. Leonardo tetap menikmatinya, setidaknya Isabella tidak menolak walau tak menyambut.
Leonardo kemudian berdiri, mengenakan pakaian dengan gerakan santai. Di ambang pintu, ia menoleh:
"Setelah ini, tidak ada yang bisa menghentikanku untuk menikmatimu, Belle."
Pintu tertutup.
Dan Isabella akhirnya menangis—untuk harga dirinya yang hancur, untuk pernikahan yang ternyata ilusi, dan untuk kenyataan bahwa bagian terkotor dari dirinya... menikmati setiap detiknya.
Pintu gudang berderit keras saat Matteo mendorongnya dengan kasar. Sorot matanya liar, mencari sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Dan di sana, persis di tengah ruangan yang diterangi cahaya bulan, Leonardo berdiri tegak. Tenang. Terlalu tenang."Leonardo!" sergah Matteo, suaranya parau. "Kau pikir kau bisa main hakim sendiri? Menculik Naomi? Kau sama brengseknya denganku!"Leonardo tak bergerak. Hanya matanya yang menyipit, mengamati setiap detail penampilan Matteo yang compang-camping."Kau tahu, Leonardo," Matteo melangkah mendekat, senyum sinis terukir di wajahnya yang dipenuhi janggut pirang tak terurus. "Dari dulu aku selalu jijik melihatmu. Berlagak suci, tapi ternyata sama bejatnya. Merebut istri orang—"Bug!Tidak ada peringatan. Tidak ada kata-kata balasan. Hanya sebuah pukulan keras yang menghunjam tepat di pipi Matteo. Begitu kuatnya sampai Matteo terhuyung mundur, menabrak tumpukan karang kosong."Dasar—!" Matteo mencoba membalas, tapi Leonardo sudah terlalu cepat.B
Serangan balik Isabella dan Leonardo bagaikan badai yang membelah langit. Opini publik pun terbelah, masing-masing dengan narasinya sendiri.Ini memang tujuan Isabella. Dia bukan mencari dukungan penuh tapi memecah. KUBUH SKEPTIS & CUEK:"Lagi, lagi. Orang kaya berantem." Komentar ini mewakili kelompok yang lelah dengan drama elite. Bagi mereka, ini sekadar sinetron berbiaya tinggi yang tak ada hubungannya dengan hidup mereka. Mereka membaca headline, menggeleng, lalu melanjutkan aktivitas. "Buat apa peduli? Yang penting harga sembako turun." Mereka adalah penonton pasif yang jumlahnya tak sedikit. PASUKAN PEMBELA ISABELLA: #KuatSepertiBelleKelompok inilah yang suaranya paling lantang. Terdiri dari para penyintas kekerasan, profesional muda yang menghargai kerja keras, dan masyarakat yang terinspirasi oleh ketangguhannya.Mereka adalah masyarakat yang selama ini mengikuti perkembangan kegiatan La Belle lama dalam kegiatan-kegiatan charity juga yang menerima manfaat dari donasi dan
Malam itu, kediaman Matteo yang mewah terasa seperti penjara berlapis marmer. Dia mondar-mandir di ruang kerjanya, gelas wiski di tangannya tak lagi membawa kehangatan, hanya menambah getar di ujung jarinya. Telepon di meksa berdering, memecah kesunyian yang mencekik.Suara orang kepercayaan Theodore Fia di seberang sana, berbisik tergesa-gesa, penuh tekanan. "Matteo... ada perkembangan buruk. Naomi... dia hilang."Gelas di tangan Matteo pecah berantakan di lantai, isinya membasahi karpet mahal. Wajahnya yang biasanya tampan, mendadak pucat bagai kain kafan. "Apa? Hilang? Apa maksudmu hilang?" desaknya, suaranya serak."Beberapa orang tak dikenal menyergapnya di parkiran bawah tanah, tepat setelah pertemuannya dengan Theodore. Mereka membawanya pergi. Cepat dan bersih.""Tidak mungkin..." Matteo terisak, tubuhnya limbung. Seluruh strategi, semua rencana licik yang telah mereka rajut berbulan-bulan, runtuh seketika. Naomi. Dia bukan sekadar sekutu. Dialah otak di balik setiap gerakan,
Sementara itu, di balik layar, Cassandra aktif. Dia dengan licik menyusun "bukti" untuk mendukung serangannya:Foto-Foto yang Dimanipulasi: Dia membocorkan foto lama Isabella saat sedang terlihat lesu atau sedih, dikirim ke media dengan caption yang menyudutkan, seperti "Isabella terlihat tidak stabil di sebuah acara amal, sebelum akhirnya pulang lebih cepat."Rekaman Suara Palsu: Sebuah rekaman suara samar yang di-edit diedarkan, di mana suara yang mirip Isabella terdengar berteriak histeris. Rekaman itu pendek dan tidak jelas konteksnya, tetapi cukup untuk menciptakan keraguan."Saksi Ahli" Bayaran: Naomi, melalui koneksi Theodore Fia, menyewa seorang psikolog yang tidak bermoral untuk memberikan pernyataan umum kepada media tentang "betapa umumnya pasien PTSD bisa memiliki memori palsu (false memory) yang terasa sangat nyata."Sebenarnya sangat mudah memecahkan bukti-bukti palsu seperti ini, namun jika langsung dilakukan pembalasan rasanya mereka tidak akan mendapatkan efek jerah.
"Dan aku," timpal Leonardo, "memilih untuk berdiri di sisi Isabella. Bukan sebagai 'pebinor', tapi sebagai pria yang telah menemukan belahan jiwanya dalam cara yang paling tidak terduga. Kami membangun hubungan kami dari puing-puing pengkhianatan, dan kami tidak malu akan itu."Video itu diakhiri dengan mereka berdua berpegangan tangan. "Kami menceritakan ini bukan untuk simpati," kata Isabella tegas. "Tapi sebagai peringatan untuk Matteo dan Naomi, juga siapa pun di belakang mereka. Kami tidak akan lari lagi. Kami akan melawan dengan kebenaran."Tak lama setelah video dirilis, gemparlah media sosial. Benar, ada yang mencibir, menyebut hubungan mereka tidak suci. Tapi jauh lebih banyak suara yang mendukung, terharu dengan kejujuran dan keteguhan mereka.Sementara itu, di sebuah apartemen mewah, Matteo membanting gelasnya ke dinding. "Berani sekali mereka! Mereka pamer!"Naomi yang berdiri di dekat jendela memandangnya dengan dingin. "Tenang, Matteo. Emosi tidak akan menyelesaikan masa
“Matteo!” teriak Isabella keras-keras, membuat Leonardo menoleh dengan cepat.“Ada apa? Kenapa kau sebut namanya?” tanya Leonardo mendekati istrinya.Isabella berdiri dan menarik tangan Leonardo, menuntunnya ke setumpuk dokumen yang membuktikan identitas asli Cassandra sebagai Suzan. Alamat rumah, agensi, hingga klinik operasi plastik—semuanya mengarah ke satu nama: Naomi.“Naomi?” ucap Leonardo, seolah mengais ingatan.“Naomi. Ingat, model teman sekolah kita yang dulu juga selingkuhan Matteo,” Isabella mengingatkan.“Ya… aku ingat, Belle,” gumam Leonardo sambil mengangguk.“Aku yakin dia bekerja sama dengan Matteo. Musuh kita tetaplah dia. Matteo. Dia pasti sangat marah, bukan hanya karena uangnya yang hilang, tapi juga harga dirinya yang tercabik,” jelas Isabella dengan semangat berapi-api.“Belle, Sayang… aku masih belum sepenuhnya paham.”“Suzan adalah sepupu Naomi. Dan kebetulan, Naomi juga sudah lama membenciku karena mengira aku selalu lebih beruntung darinya. Padahal…” Isabell