LOGIN"Anda Tuan Albert?" Suara itu terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam riuh rendah lobby gedung perkantoran mewah. Stefani, dengan gerakan penuh harap, bangkit perlahan setelah memungut berkasnya. Jantungnya berdentam kencang seakan hendak meledak, jemarinya mencengkeram erat berkas-berkas dan brosur villa yang telah ia persiapkan dengan begitu hati-hati.
Nama yang baru saja terlontar dari bibirnya membuat dahi Albert berkerut halus. Lelaki itu, tegap dengan setelan jas kelabu yang sempurna, menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang tajam dan berwibawa kini menelusuri sosok gadis muda yang berdiri gugup di hadapannya. Satu alis tebalnya terangkat, mengukir tanda tanya yang jelas di wajah maskulinnya. "Maaf mengganggu, Tuan Albert," ucap Stefani, suaranya bergetar tapi penuh tekad. "Saya Stefani, perwakilan dari High Property. Saya mendengar Anda sedang mencari villa untuk kado pernikahan." Matanya berkilau, penuh permohonan, seolah seluruh hidupnya bergantung pada jawaban pria itu. Boby, asisten Albert yang selalu siaga, melangkah maju dengan wajah keras. "Kurang ajar! Tuan Albert tidak punya waktu untuk omong kosongmu!" sergahnya dengan nada tinggi, matanya menyala hendak mengusir Stefani. Namun, dengan satu gerakan halus, Albert mengangkat tangannya. Isyarat sederhana itu cukup untuk menghentikan Boby di tempat. Tatapan Albert beralih kembali kepada Stefani, menembus kegelisahan yang membungkus gadis itu. "Kamu ingin menawarkan villa?" ucapnya akhirnya. Suaranya lembut tapi berkarakter, dalam dan mantap, suara seorang pria yang terbiasa memberi perintah, bukan menerima. Stefani mengangguk cepat, wajahnya tegang namun tatapannya tak goyah. Ia tahu, ini adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Albert menghela napas, sekilas melirik ke arloji mewah di pergelangan tangannya. Waktu adalah kemewahan baginya, terlalu berharga untuk dibuang sia-sia. "Hari ini waktu saya sangat terbatas," katanya, suaranya tegas namun tidak dingin, "tapi jika kamu bisa mengatur pertemuan esok hari, itu akan sempurna. Saya memang sedang mencari villa terbaik untuk istri saya." Seolah mendengar pintu surga terbuka, wajah Stefani yang semula pucat mendadak berseri. Senyum lebar merekah di bibirnya, sinar harapan melompat keluar dari matanya yang berbinar. "Terima kasih banyak, Tuan Albert," ucapnya penuh antusias. "Saya akan siapkan semuanya dan kembali besok!" Albert memberi anggukan singkat, namun penuh arti, lalu melangkah pergi dengan langkah lebar yang memancarkan wibawa. Suara pintu lift yang menutup seperti menyegel janji pertemuan esok hari. Stefani melangkah keluar dari gedung megah itu dengan langkah ringan. Kegembiraan yang membuncah dalam dadanya membuat dunia terasa lebih terang. Terima kasih, Tuhan, bisiknya dalam hati, akhirnya nasib membawaku bertemu Tuan Albert. Sebuah semangat baru mengalir dalam darahnya, membakar tekadnya untuk sukses di dunia properti yang keras ini. Sementara itu, di sisi lain, Boby tak bisa menyembunyikan keraguannya. "Anda yakin ingin mempercayakan pencarian villa pada gadis semuda itu, Tuan?" tanyanya hati-hati. Boby sudah lama menjadi tangan kanan Albert, setia, tajam, dan penuh pengertian. Ia tahu betul, banyak gadis muda yang mencoba mendekati majikannya dengan niat tersembunyi. "Jika Tuan memang menginginkan yang terbaik, biarkan saya yang mengurusnya untuk Nyonya Stela," Boby menawarkan dengan nada rendah, hampir seperti memohon. Albert menjatuhkan tubuhnya di kursi empuk di ruang kantornya. Kursi itu bagaikan takhta yang melambangkan kejayaan Williams Corp, perusahaan otomotif raksasa yang ia pimpin hingga merajai pasar. Nama Albert Williams dikenal luas, menjadi ikon kesuksesan dan kekuasaan yang sulit ditandingi. Di usianya yang menginjak 40 tahun, ia punya segalanya, kekayaan melimpah, reputasi yang tak ternoda, dan seorang istri cantik, Stela, mantan model ternama yang kini telah pensiun. "Tidak usah, Bob. Kali ini biar aku yang urus sendiri. Ini hari spesial untukku dan Stela. Mungkin bantuan gadis itu bisa mengurangi kebingunganku," ucap Albert, nada suaranya halus namun tak bisa dibantah. Boby menarik napas panjang. "Ta... tapi, Tuan—" Albert memotong dengan tatapan teduh namun tegas. "Aku tahu kekhawatiranmu, Bob. Tapi aku sudah terbiasa menghadapi wanita yang mencoba menggoda. Percayalah, aku tak semudah itu terjebak." Sebuah tawa ringan lolos dari bibirnya, meski wajahnya tetap serius. Boby hanya bisa mengangguk, menyembunyikan keresahan di dadanya. "Segera aturkan pertemuan dengan gadis itu. Waktu kita tidak banyak, peringatan pernikahan sebentar lagi," tegas Albert. --- Sore itu, jarum jam menunjuk angka lima ketika Albert tiba di rumah megahnya. Para asisten rumah tangga menyambutnya dengan senyum sopan, namun kemewahan di sekelilingnya tak mampu mengusir rasa sepi yang menggelayut. Albert menatap sekeliling ruangan, hiasan kristal, lantai marmer berkilau, lampu gantung mewah, namun semua itu terasa hampa tanpa suara tawa dan kehangatan keluarga yang ia impikan. "Di mana Nyonya?" tanyanya sambil menyerahkan tas kerja. "Nyonya baru saja naik, Tuan. Baru selesai berolahraga," jawab salah satu asisten dengan hormat. Albert menaiki tangga dengan langkah cepat, simpul dasi dilepaskannya dengan gerakan kasar, napasnya berat. Pintu kamar dibuka perlahan, dan di sanalah Stela, anggun dengan piyama tipis yang memeluk lekuk tubuhnya. Kecantikannya tetap memukau, meskipun tatapannya tampak lelah dan dingin. Ia sibuk dengan ponselnya, namun segera menyembunyikannya di balik selimut saat mendengar suara pintu. Tanpa peringatan, Albert mengunci pintu dengan bunyi keras, membuat Stela terlonjak kaget. "Kamu mengejutkan aku, Al," ucapnya dengan nada jenuh. Albert tak menjawab. Dorongan rindu yang ia pendam selama bertahun-tahun membuatnya mendekat dengan langkah mantap. Ia meraih istrinya, mencium bibirnya dengan penuh gairah, seolah hendak menghapus jarak yang terus di ciptakan oleh istrinya itu. Napasnya memburu, dadanya berdebar kencang, kerinduan bercampur frustrasi. Namun Stela terkejut, matanya melebar. Dengan refleks, ia mendorong Albert dengan tangan gemetar. "Kamu gila, Al? Apa kamu mau membunuhku?" suaranya melengking, memecah kesunyian kamar. Albert terdiam, wajahnya terperangah. "Aku suamimu, Stela. Aku merindukanmu. Apa salahku menginginkan hakku?" suaranya parau, penuh kesedihan yang ia sembunyikan di balik nada frustrasi. Stela mendecak kesal, menghela napas berat. "Kita bukan lagi remaja, Albert. Kamu cuma memikirkan hasratmu sendiri. Tidak tahu diri!" ucapnya tajam. Dengan langkah cepat ia turun dari ranjang, meninggalkan kamar tanpa menoleh sedikit pun. Albert terduduk di pinggir ranjang, wajahnya muram, pandangannya terpaku pada foto pernikahan yang tergantung di dinding. Senyum bahagia dalam foto itu terasa seperti bayang-bayang masa lalu yang jauh. Mengapa semua terasa dingin sekarang? batinnya lirih. Napas panjang terlepas dari bibirnya, mencerminkan kesepian yang menyesakkan dada. Cinta Albert pada Stela tak pernah luntur, tapi kehangatan itu terasa kian sulit dijangkau. Di tengah segala kemewahan, ia merasa semakin kesepian, seolah rumah megah itu hanyalah istana kosong.Tidur di kamar berukuran tiga kali empat meter persegi sebenarnya bukan hal baru bagi Stefani. Ia sudah terbiasa hidup sederhana, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, hanya dengan satu kasur tipis, kipas angin tua, dan meja kecil di sudut ruangan. Namun entah kenapa malam ini terasa berbeda. Udara seolah menyesakkan, dan matanya sama sekali tak mau terpejam. Gadis itu menggulingkan tubuhnya ke kanan, lalu ke kiri, berulang-ulang. Pikiran yang semestinya sudah ia tenangkan malah kembali berisik, penuh bayangan masa lalu yang enggan hilang. “Huh…” desahnya pelan. “Kadang aku mikir… aku bukan anak ibu.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tapi kemudian sunyi kembali menyelimuti kamar mungil itu. Stefani menatap langit-langit kamar hotel itu yang mulai kusam, matanya berkaca-kaca tanpa sadar. Ia mengingat wajah ibunya yang selalu datar, jarang menunjukkan kasih sayang bahkan saat dirinya sakit. Kadang justru ucapan-ucapan tajam sang ibu yang membuat hatinya semak
"Lebih baik aku menemui Stefani.." Albert berjalan turun seraya mengancingkan satu persatu kancing kemejanya. Pria itu masuk kedalam mobil dan menginjak pedal gasnya dengan kasar, nafasnya masih memburu. Pintu pagar terbuka setelah Albert menekan klakson. Tampak Stela masih duduk di depan pagar rumah mewah itu, matanya sembab, wajahnya penuh air mata. Saat melihat mobil Albert keluar dari garasi, wanita itu sontak berdiri dan berusaha mengejar, namun Albert sama sekali tak menoleh. Ia sudah kehilangan rasa peduli pada wanita itu. Mobil hitam milik Albert melaju cepat menembus jalanan malam. Lampu kota memantul di kaca depannya, sementara pikirannya terus melayang pada satu nama, Stefani. Entah kenapa, di saat seperti ini, hanya wajah gadis itu yang terlintas di pikirannya. Wajah lembut yang selalu mampu menenangkan hatinya di tengah badai amarah. Beberapa menit kemudian, mobil Albert masuk ke area basement apartemen. Ia mematikan mesin, keluar, dan menutup pintu dengan gerakan te
“Saya antar ke mana, Mbak?”Pertanyaan itu memecah lamunan panjang Stefani. Suara sopir taksi yang parau karena usia membuat gadis itu tersentak kecil. Ia menoleh, pandangannya masih kosong menatap keluar jendela. Malam sudah turun sepenuhnya; lampu-lampu kota berpendar redup di jalanan yang basah oleh sisa gerimis.“Emm…” bibirnya bergetar kecil. Ia menunduk, berpikir keras. Ia benar-benar bingung hendak ke mana malam ini. Tidak ada rumah untuk pulang, tidak ada tempat yang bisa ia sebut “aman”.Akhirnya, setelah beberapa detik hening, ia menjawab pelan, “Hotel Melati saja, Pak…”Sopir tua itu mengangguk tanpa banyak bicara. Mobil melaju menembus jalanan yang mulai sepi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan lain yang lewat. Stefani bersandar di jok belakang, menatap keluar jendela. Bayangan lampu jalan memantul di kaca, menyoroti wajahnya yang pucat dan mata yang mulai sayu.Sisa uangnya tidak banyak. Ia tahu, malam ini ia hanya bisa mencari penginapan murah untuk sekadar menenang
Pandangan semua orang di kantor tertuju pada Stefani ketika ia melangkah masuk melewati lobi utama. Bisik-bisik kecil terdengar di setiap sudut ruangan, beberapa bahkan terang-terangan menatapnya dari balik layar komputer. Beberapa karyawan pura-pura sibuk, namun pandangan mereka mengikuti setiap langkah Stefani yang tampak berusaha tetap tenang. Ia tahu alasan mereka menatap seperti itu. Berita tentang Pak Danil sudah tersebar luas. Semua orang pasti sudah menonton siaran langsung yang disebarkan para pemburu berita. Semua itu menjadi tontonan hangat siang ini. Dan sayangnya, nama Stefani ikut terseret. Meski hatinya berdebar, Stefani berusaha menegakkan punggungnya. Ia tak ingin terlihat rapuh. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, menciptakan ritme tegas yang justru menegaskan ketegarannya. Tanpa menoleh sedikit pun, ia berjalan lurus ke arah lift dan menekan tombol ke lantai delapan, lantai tempat ruang kerjanya berada. Begitu pintu lift menutup, Stefani menghembus
Sampai di dalam lift, suasana terasa sunyi. Hanya suara dengung mesin dan detik waktu yang seperti bergerak lebih lambat dari biasanya. Stefani yang sedari tadi digandeng Albert perlahan melepaskan genggaman tangannya. Telapak tangannya masih terasa hangat, tapi juga bergetar ringan karena gugup. Gerakannya itu begitu pelan, namun cukup untuk membuat Albert menoleh. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum sama-sama berpaling, seolah keduanya sadar ada batas tipis antara mereka yang tidak seharusnya dilanggar. Hening kembali mendominasi. Lampu di dalam lift berpendar lembut, memantulkan bayangan wajah mereka berdua di dinding logam mengilap. Dari pantulan itu, Stefani bisa melihat rahang Albert yang menegang, napasnya berat, dan pandangan matanya lurus menatap ke depan, kosong namun dalam. “Maaf, Stefani…” suara berat itu memecah kesunyian, tenang tapi sarat emosi yang sulit dijelaskan. Stefani menoleh cepat, keningnya berkerut heran. “Maaf… untuk apa, Pak?” tanyanya pelan, sua
“A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h







