Share

Bab 4. Sikap Waspada

Penulis: Aries grils
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-14 10:56:12

Matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, memantulkan cahaya yang seolah ingin membakar kulit Stefani. Namun, panas mentari itu tak ada artinya dibandingkan bara harapan yang berkobar di dalam dadanya. Hari ini bukan hari biasa, ini adalah hari penentuan, hari di mana ia akan membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada dirinya sendiri, bahwa ia layak mendapatkan sesuatu yang lebih besar.

Dengan uang pinjaman dari Pak Daniel, Stefani telah menjelma menjadi pribadi baru. Sepasang sepatu mengilap menghiasi kakinya, sementara busana elegan membalut tubuhnya, persis seperti yang disarankan Pak Daniel. Tiap helai kain terasa seperti menambah kepercayaan dirinya, melindungi, sekaligus menegaskan tekadnya.

Di depan cermin kecil yang menempel di dinding rumah kontrakannya yang suram, Stefani memeriksa dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jemarinya sempat bergetar saat merapikan ujung roknya, namun senyum tipis segera terbit di bibirnya. “Semoga ini awal dari sesuatu yang baru… sesuatu yang besar,” gumamnya lirih, seolah doa itu akan menyusup ke udara dan diaminkan oleh alam semesta.

Dengan langkah yang penuh keyakinan, Stefani meninggalkan kontrakannya yang sempit dan lembap. Gang kecil yang biasa terasa suram kini seperti koridor kemenangan yang membawanya menuju dunia lain. Ia menaiki angkutan umum yang ramah kantong, duduk sambil merenungkan strategi untuk menarik perhatian calon konsumen. Waktu masih di pihaknya; sisa pagi ini ia gunakan untuk mempersiapkan diri, mental, fisik, bahkan senyumnya ia latih berulang kali di balik kaca jendela yang berdebu.

Perjalanan menuju pusat kota tak pernah mudah. Lalu lintas padat membuat kendaraan merayap pelan, namun Stefani sudah terbiasa. Di balik kaca, gedung-gedung tinggi tampak seperti raksasa yang menatap sinis. Tapi kali ini, ia tak merasa kecil, ia merasa siap menantang dunia.

Begitu tiba di kantor, penampilan Stefani langsung mencuri perhatian. Sejumlah pasang mata rekan kerja beralih menatapnya, tatapan yang tadinya tak pernah peduli kini mendadak panas, menusuk penuh rasa ingin tahu.

“Wah, Stef, kelihatannya kamu baru saja menandatangani kontrak properti besar, ya?” celetuk seseorang dengan nada sinis, pura-pura memuji tapi jelas ingin meremehkan.

Stefani hanya membalas dengan senyuman pahit. Tatapan tak bersahabat itu membuatnya enggan membalas kata-kata mereka. Ia memilih diam, karena diam lebih anggun daripada menjawab tudingan yang tak perlu.

Di dalam lift yang bergerak pelan, suara bisik-bisik terdengar dari belakang. Stefani tak perlu mendengar jelas kata-katanya untuk tahu bahwa ia sedang menjadi bahan pembicaraan. Namun, ia tegak berdiri, fokus menatap pintu lift, menunggu momen ketika pintu itu terbuka agar ia bisa melangkah keluar, meninggalkan kebisingan yang tak diinginkan, seolah semua kata sinis itu tertinggal di lantai lift yang dingin.

Saat pintu terbuka, suara tepuk tangan Daniel menyambutnya. “Wow, Stefani…” serunya dengan mata berbinar, menyapu penampilan Stefani dari kepala hingga kaki. Sorot matanya membuat semua staf di lantai itu ikut memperhatikan. Termasuk Gisel.

“Beginilah seharusnya, jauh lebih memukau,” puji Daniel dengan senyum mengembang, sinarnya seakan datang dari wajahnya sendiri.

Stefani tertunduk, jemari tangannya gemetar ketika menarik ujung roknya. Rok itu sebenarnya tak lebih pendek daripada rok Gisel, namun tatapan Daniel terasa seperti lilitan ular yang membuat jantung Stefani berdegup kencang ingin melepaskan diri.

“Aku sempat terkesima melihatmu hari ini, Stef,” suara Gisel terdengar lembut namun menyimpan semburat iri. Dengan langkah penuh percaya diri, ia mendekat, menyandarkan tubuh seolah berbagi rahasia. Bisikannya lirih, namun tajam menusuk, “Jangan naif. Lakukan apa saja kalau ingin berhasil di sini. Kita harus tampak kuat di permukaan. Jangan sok jual mahal kalau butuh uang.”

Bau parfum mahal Gisel menyeruak di udara, menambah intensitas pertemuan singkat itu. Stefani merasa gugup, bahkan tercekam. Ada semacam keintiman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, keintiman yang justru membuatnya cemas.

“Aku kembali bekerja dulu, Bos,” ucap Gisel, melambaikan tangan ringan sebelum menjauh, meninggalkan Stefani dan Daniel yang masih terpaku di tempat.

Daniel menatap punggung Gisel yang semakin menjauh, tatapannya penuh perhitungan. “Perhatikan dia baik-baik,” ujarnya sambil menepuk bahu Stefani. Nada suaranya tegas, penuh tekanan. “Kalau kamu ingin sukses seperti dia, kamu harus siap melakukan apa saja. Ingat, ini kesempatan terakhirmu.”

Kata-kata itu membekas dalam hati Stefani, mencampuradukkan rasa gelisah dan determinasi yang makin kuat.

Di sisi lain kota, Albert baru saja tiba di kantor. Biasanya ia datang dengan aura semangat, tapi hari ini berbeda. Ada kelesuan yang sulit disembunyikan, meski ia ahli berpura-pura. Tak seorang pun tahu masalah rumah tangga yang diam-diam menggerogoti hidupnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa sikap Stela, istrinya, masih wajar dan tak perlu dikhawatirkan.

“Agenda saya hari ini, Bob?” tanya Albert datar, sambil menatap layar iPad.

Boby, asistennya, membacakan daftar agenda satu per satu. Pagi hingga petang penuh rapat dan pertemuan. “Dan untuk makan siang, saya sudah atur pertemuan Anda dengan sales itu di sebuah restoran, Tuan,” katanya serius.

Albert hanya mengangguk singkat. Saat jam makan siang tiba, ia beranjak dari meja, ditemani Boby menuju lokasi pertemuan.

Di kejauhan, siluet Stefani tampak menunggu. Penampilannya mencuri perhatian, jauh lebih menawan dari terakhir kali mereka bertemu. Ada semburat rahasia di balik sorot matanya yang cantik, sesuatu yang membuat Boby mengerutkan kening.

Albert tampak acuh, tetapi Boby tidak. Dengan insting tajamnya, ia mencium ada sesuatu yang tak beres.

“Selamat datang, Tuan Albert. Terima kasih sudah meluangkan waktu,” sapa Stefani dengan senyum manis, sambil mengulurkan tangan. Senyumnya menawan, tapi bagi Boby ada kilau licik di matanya, atau mungkin hanya kekhawatirannya sendiri yang berlebihan.

Albert duduk berhadapan dengan Stefani. Ketegangan tipis menyelimuti udara. Di meja tersaji tiga gelas minuman dan tumpukan brosur properti. Stefani mulai memaparkan villa-villa mewah dari High Property.

“Saya yakin ini cocok untuk istri Anda, Tuan,” ujar Stefani penuh semangat. “Villa ini punya pemandangan paling memukau dan ruang yang paling luas. Saya percaya keluarga Anda akan sangat bahagia di sini. Ada taman dan kolam renang luas, sempurna untuk anak-anak Anda.”

Kata-kata itu, yang dimaksudkan sebagai pujian, justru terasa seperti pukulan berat di dada Albert. Sekilas, matanya meredup. Boby menangkap perubahan itu dan nyaris ingin menegur Stefani, tetapi Albert menahannya dengan isyarat halus.

Stefani, tanpa menyadari kecerobohannya, terus berbicara penuh antusias. “Banyak selebriti dan pengusaha ternama menetap di sini, Tuan,” tambahnya sambil melirik Albert dan cepat-cepat mengalihkan pandangan dengan gugup.

“Dasar gadis penggoda,” gumam Boby dalam hati, semakin curiga.

Namun Albert justru tampak fokus memperhatikan detail villa yang ditunjukkan. Dalam diam, ia membayangkan momen indah bersama istrinya di tempat itu. Bagi Albert, membeli villa bukan sekadar investasi, ini usaha untuk memperbaiki pernikahan yang mulai retak.

“Baiklah,” ucap Albert dengan nada mantap. “Apa yang kamu sampaikan menarik. Besok aku akan menghubungimu untuk melihat langsung villa ini. Hari ini waktuku sudah habis, mari kita atur pertemuan untuk besok.”

Hati Stefani melonjak kegirangan, meski wajahnya tetap tenang. Jantungnya berdetak kencang, rasa euforia hampir tak terbendung. Ini hampir pasti keberhasilan, kesempatan untuk membuktikan dirinya pada Pak Daniel.

Albert bangkit, mengulurkan tangan hangat. Stefani menyambutnya, genggaman itu terasa berarti, seolah janji diam-diam terjalin di antara mereka.

“Sampai jumpa lagi, Nona Stefani,” kata Albert dengan senyum tipis.

Senyum itu terpatri di hati Stefani, menjadi bahan bakar semangatnya, sekaligus awal dari badai baru yang diam-diam mendekat.

"Terima kasih atas waktunya Pak, sampai jumpa kembali.."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sriyati Sri
knp si Boby begitu sinis dg semua sales"apa setiap wanita dia pikir penggoda,semoga berhasil ya Stefani
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 40 Flashback

    “A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 39 Mari Bercerai

    “Apa kamu yakin rencana kita akan berhasil, sayang?” Suara wanita itu terdengar jelas dari rekaman yang diputar Bobby. Semua orang di ruangan—wartawan, Danil, bahkan Stela sendiri—membeku di tempatnya. Mikrofon yang tadi teracung kini perlahan diturunkan, sementara kamera masih terus menyala, mengabadikan momen yang jauh lebih besar dari sekadar dugaan perselingkuhan. Danil yang berdiri di dekat pintu kamar seketika pucat pasi. Tubuhnya kaku, matanya melebar tak percaya. Suara itu… terlalu familiar. Ia menoleh perlahan pada Stela, jantungnya berdetak tak beraturan, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. “Asal gadis itu bisa diandalkan, rencana kita pasti akan berhasil, Danil. Aku tahu Albert kesepian, dia nggak mungkin tahan kalau keadaannya sudah mendesak. Jadi buat perempuan itu melakukan perintahmu.” Suara Stela terdengar jelas, bening tanpa retakan. Tak ada yang bisa menyangkal lagi. Serentak ruangan bergemuruh. Para reporter yang tadi berteriak menuduh Albert kini

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 38 Panik

    Bruakkk!! Pintu kamar utama terbuka dengan paksa, kayunya bergetar keras menimbulkan bunyi nyaring yang menggema di seluruh lorong. Wartawan yang sudah tak sabar langsung menyerbu masuk dengan kamera menyala, mikrofon teracung, bahkan ada yang langsung menyiarkan secara live ke ponsel mereka. “Ayo cepat! Rekam semua! Ini momen emas!” teriak salah satu reporter bersemangat. Kilatan lampu kamera membuat ruangan seketika terang-benderang, cahaya-cahaya putih memantul di dinding kamar mewah yang elegan. Semua orang berebut posisi, sebagian sampai saling dorong, berharap jadi yang pertama mengabadikan bukti skandal besar itu. Namun detik berikutnya, suara-suara riuh itu berubah jadi kekacauan. “Loh… tidak ada orang di sini!” seru salah satu reporter dengan nada heran. “Bagaimana bisa? Tadi jelas-jelas kita dengar suara perempuan mendesah, kan?” timpal yang lain. Para wartawan mulai celingukan, kamera menyorot setiap sudut kamar. Ada yang membuka pintu kamar mandi, ada yang menyingka

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 37 Sekandal Panas

    “Ini dia mobil Albert,” gumam Stela lirih, matanya menatap tajam ke arah sedan hitam mahal yang berhenti di halaman vila megah itu. Tangannya yang masih menggenggam clutch bag bergetar pelan. Dari balik kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya, sorot matanya berkilat penuh kepuasan ada perasaan cemas sekaligus lega yang bercampur menjadi satu. Danil yang turun dari mobilnya di belakang Stela segera mendekat, jas rapi yang ia kenakan tak bisa menutupi aura licik yang menguar dari dirinya. Ia sengaja berdiri sedikit menyamping agar tak menarik perhatian. “Ingat,” bisiknya tajam, suaranya rendah namun penuh tekanan, “kita harus pura-pura nggak saling kenal. Wartawan yang kupanggil sebentar lagi tiba. Semuanya harus berjalan sesuai rencana. Jangan sampai ada celah.” Stela menarik napas dalam, mencoba menahan degup jantung yang semakin kencang. Dua tahun penuh ia harus bersabar, merencanakan langkah demi langkah untuk sampai pada titik ini. Dua tahun menyimpan kebosanan, rasa muak,

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 36 Diambang Dilema

    Stefani duduk dengan gelisah di dalam taksi, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Nafasnya terasa sesak, seakan ruang kabin sempit itu menutup jalan keluar bagi semua kecemasan yang berdesakan dalam dadanya. Sejak pagi tadi perutnya mual, bukan karena sakit, melainkan karena pikiran-pikiran yang terus berkecamuk, seolah ada suara-suara yang berdebat tanpa henti di kepalanya. Jarum jam menunjuk ke angka dua belas lebih empat puluh lima. Lima belas menit lagi ia akan bertemu Albert, seseorang yang membuat hatinya bergetar sekaligus memunculkan rasa bersalah yang tak terkira. “Bagaimana kalau dia marah? Bagaimana kalau dia benar-benar menganggapku murahan?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia lalu menunduk, menatap tas kecil di pangkuannya. Dari sela resleting yang terbuka, botol kecil berisi obat itu tampak berkilau diterpa cahaya matahari. Tangannya bergetar ketika menyentuh benda itu. Stefani menggenggamnya, lalu buru-buru menarik kembali tangannya seakan bo

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 35 Sebotol Obat

    Stefani tiba di kantor dengan napas terengah, langkahnya cepat meski tubuhnya terasa lemah. Ia tahu dirinya sudah terlambat, beberapa pasang mata menatap sinis ke arahnya begitu ia melewati ruang kerja staf lain. Bisik-bisik kecil terdengar, seakan semua orang menilai dirinya hanya dari pandangan mata. Namun Stefani berusaha menutup telinganya. Ia hanya ingin segera sampai ke mejanya, membuka komputer, dan mengalihkan diri pada pekerjaan. Baru saja ia duduk, layar komputernya baru menyala setengah, suara ketukan sepatu di lantai dan panggilan seorang wanita langsung mencuri perhatiannya. “Stefani,” suara tegas itu datang dari asisten Daniel, wanita berpenampilan rapi dengan wajah tanpa ekspresi. “Pak Daniel menunggumu di ruangannya sekarang.” Stefani menahan napas panjang. Jantungnya langsung berdetak kencang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia memang harus menghadapi ini. Vila yang seharusnya sudah berpindah tangan semalam, justru menjadi awal malapetaka baginya. Dengan tangan ya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status