Matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, memantulkan cahaya yang seolah ingin membakar kulit Stefani. Namun, panas mentari itu tak ada artinya dibandingkan bara harapan yang berkobar di dalam dadanya. Hari ini bukan hari biasa, ini adalah hari penentuan, hari di mana ia akan membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada dirinya sendiri, bahwa ia layak mendapatkan sesuatu yang lebih besar.
Dengan uang pinjaman dari Pak Daniel, Stefani telah menjelma menjadi pribadi baru. Sepasang sepatu mengilap menghiasi kakinya, sementara busana elegan membalut tubuhnya, persis seperti yang disarankan Pak Daniel. Tiap helai kain terasa seperti menambah kepercayaan dirinya, melindungi, sekaligus menegaskan tekadnya. Di depan cermin kecil yang menempel di dinding rumah kontrakannya yang suram, Stefani memeriksa dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jemarinya sempat bergetar saat merapikan ujung roknya, namun senyum tipis segera terbit di bibirnya. “Semoga ini awal dari sesuatu yang baru… sesuatu yang besar,” gumamnya lirih, seolah doa itu akan menyusup ke udara dan diaminkan oleh alam semesta. Dengan langkah yang penuh keyakinan, Stefani meninggalkan kontrakannya yang sempit dan lembap. Gang kecil yang biasa terasa suram kini seperti koridor kemenangan yang membawanya menuju dunia lain. Ia menaiki angkutan umum yang ramah kantong, duduk sambil merenungkan strategi untuk menarik perhatian calon konsumen. Waktu masih di pihaknya; sisa pagi ini ia gunakan untuk mempersiapkan diri, mental, fisik, bahkan senyumnya ia latih berulang kali di balik kaca jendela yang berdebu. Perjalanan menuju pusat kota tak pernah mudah. Lalu lintas padat membuat kendaraan merayap pelan, namun Stefani sudah terbiasa. Di balik kaca, gedung-gedung tinggi tampak seperti raksasa yang menatap sinis. Tapi kali ini, ia tak merasa kecil, ia merasa siap menantang dunia. Begitu tiba di kantor, penampilan Stefani langsung mencuri perhatian. Sejumlah pasang mata rekan kerja beralih menatapnya, tatapan yang tadinya tak pernah peduli kini mendadak panas, menusuk penuh rasa ingin tahu. “Wah, Stef, kelihatannya kamu baru saja menandatangani kontrak properti besar, ya?” celetuk seseorang dengan nada sinis, pura-pura memuji tapi jelas ingin meremehkan. Stefani hanya membalas dengan senyuman pahit. Tatapan tak bersahabat itu membuatnya enggan membalas kata-kata mereka. Ia memilih diam, karena diam lebih anggun daripada menjawab tudingan yang tak perlu. Di dalam lift yang bergerak pelan, suara bisik-bisik terdengar dari belakang. Stefani tak perlu mendengar jelas kata-katanya untuk tahu bahwa ia sedang menjadi bahan pembicaraan. Namun, ia tegak berdiri, fokus menatap pintu lift, menunggu momen ketika pintu itu terbuka agar ia bisa melangkah keluar, meninggalkan kebisingan yang tak diinginkan, seolah semua kata sinis itu tertinggal di lantai lift yang dingin. Saat pintu terbuka, suara tepuk tangan Daniel menyambutnya. “Wow, Stefani…” serunya dengan mata berbinar, menyapu penampilan Stefani dari kepala hingga kaki. Sorot matanya membuat semua staf di lantai itu ikut memperhatikan. Termasuk Gisel. “Beginilah seharusnya, jauh lebih memukau,” puji Daniel dengan senyum mengembang, sinarnya seakan datang dari wajahnya sendiri. Stefani tertunduk, jemari tangannya gemetar ketika menarik ujung roknya. Rok itu sebenarnya tak lebih pendek daripada rok Gisel, namun tatapan Daniel terasa seperti lilitan ular yang membuat jantung Stefani berdegup kencang ingin melepaskan diri. “Aku sempat terkesima melihatmu hari ini, Stef,” suara Gisel terdengar lembut namun menyimpan semburat iri. Dengan langkah penuh percaya diri, ia mendekat, menyandarkan tubuh seolah berbagi rahasia. Bisikannya lirih, namun tajam menusuk, “Jangan naif. Lakukan apa saja kalau ingin berhasil di sini. Kita harus tampak kuat di permukaan. Jangan sok jual mahal kalau butuh uang.” Bau parfum mahal Gisel menyeruak di udara, menambah intensitas pertemuan singkat itu. Stefani merasa gugup, bahkan tercekam. Ada semacam keintiman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, keintiman yang justru membuatnya cemas. “Aku kembali bekerja dulu, Bos,” ucap Gisel, melambaikan tangan ringan sebelum menjauh, meninggalkan Stefani dan Daniel yang masih terpaku di tempat. Daniel menatap punggung Gisel yang semakin menjauh, tatapannya penuh perhitungan. “Perhatikan dia baik-baik,” ujarnya sambil menepuk bahu Stefani. Nada suaranya tegas, penuh tekanan. “Kalau kamu ingin sukses seperti dia, kamu harus siap melakukan apa saja. Ingat, ini kesempatan terakhirmu.” Kata-kata itu membekas dalam hati Stefani, mencampuradukkan rasa gelisah dan determinasi yang makin kuat. Di sisi lain kota, Albert baru saja tiba di kantor. Biasanya ia datang dengan aura semangat, tapi hari ini berbeda. Ada kelesuan yang sulit disembunyikan, meski ia ahli berpura-pura. Tak seorang pun tahu masalah rumah tangga yang diam-diam menggerogoti hidupnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa sikap Stela, istrinya, masih wajar dan tak perlu dikhawatirkan. “Agenda saya hari ini, Bob?” tanya Albert datar, sambil menatap layar iPad. Boby, asistennya, membacakan daftar agenda satu per satu. Pagi hingga petang penuh rapat dan pertemuan. “Dan untuk makan siang, saya sudah atur pertemuan Anda dengan sales itu di sebuah restoran, Tuan,” katanya serius. Albert hanya mengangguk singkat. Saat jam makan siang tiba, ia beranjak dari meja, ditemani Boby menuju lokasi pertemuan. Di kejauhan, siluet Stefani tampak menunggu. Penampilannya mencuri perhatian, jauh lebih menawan dari terakhir kali mereka bertemu. Ada semburat rahasia di balik sorot matanya yang cantik, sesuatu yang membuat Boby mengerutkan kening. Albert tampak acuh, tetapi Boby tidak. Dengan insting tajamnya, ia mencium ada sesuatu yang tak beres. “Selamat datang, Tuan Albert. Terima kasih sudah meluangkan waktu,” sapa Stefani dengan senyum manis, sambil mengulurkan tangan. Senyumnya menawan, tapi bagi Boby ada kilau licik di matanya, atau mungkin hanya kekhawatirannya sendiri yang berlebihan. Albert duduk berhadapan dengan Stefani. Ketegangan tipis menyelimuti udara. Di meja tersaji tiga gelas minuman dan tumpukan brosur properti. Stefani mulai memaparkan villa-villa mewah dari High Property. “Saya yakin ini cocok untuk istri Anda, Tuan,” ujar Stefani penuh semangat. “Villa ini punya pemandangan paling memukau dan ruang yang paling luas. Saya percaya keluarga Anda akan sangat bahagia di sini. Ada taman dan kolam renang luas, sempurna untuk anak-anak Anda.” Kata-kata itu, yang dimaksudkan sebagai pujian, justru terasa seperti pukulan berat di dada Albert. Sekilas, matanya meredup. Boby menangkap perubahan itu dan nyaris ingin menegur Stefani, tetapi Albert menahannya dengan isyarat halus. Stefani, tanpa menyadari kecerobohannya, terus berbicara penuh antusias. “Banyak selebriti dan pengusaha ternama menetap di sini, Tuan,” tambahnya sambil melirik Albert dan cepat-cepat mengalihkan pandangan dengan gugup. “Dasar gadis penggoda,” gumam Boby dalam hati, semakin curiga. Namun Albert justru tampak fokus memperhatikan detail villa yang ditunjukkan. Dalam diam, ia membayangkan momen indah bersama istrinya di tempat itu. Bagi Albert, membeli villa bukan sekadar investasi, ini usaha untuk memperbaiki pernikahan yang mulai retak. “Baiklah,” ucap Albert dengan nada mantap. “Apa yang kamu sampaikan menarik. Besok aku akan menghubungimu untuk melihat langsung villa ini. Hari ini waktuku sudah habis, mari kita atur pertemuan untuk besok.” Hati Stefani melonjak kegirangan, meski wajahnya tetap tenang. Jantungnya berdetak kencang, rasa euforia hampir tak terbendung. Ini hampir pasti keberhasilan, kesempatan untuk membuktikan dirinya pada Pak Daniel. Albert bangkit, mengulurkan tangan hangat. Stefani menyambutnya, genggaman itu terasa berarti, seolah janji diam-diam terjalin di antara mereka. “Sampai jumpa lagi, Nona Stefani,” kata Albert dengan senyum tipis. Senyum itu terpatri di hati Stefani, menjadi bahan bakar semangatnya, sekaligus awal dari badai baru yang diam-diam mendekat. "Terima kasih atas waktunya Pak, sampai jumpa kembali.."Rasa kesepian dan hasrat yang ditekan selama hampir dua tahun terakhir menghantam Albert tanpa ampun. Lima belas tahun pernikahan, ia selalu menjaga kesetiaannya. Tidak sekali pun ia tergoda, meski banyak perempuan yang mendekat, menawarkan senyum menggoda dan peluang selingkuh yang begitu mudah untuk diambil. Namun malam ini… entah mengapa, suasananya berbeda. Tatapan Albert dan Stefani saling bertemu, seolah ada arus listrik yang mengalir di udara. Jantung Albert berdegup lebih kencang daripada biasanya, menekan dadanya hingga terasa sesak. Ia menelan ludah, mencoba melawan godaan yang muncul begitu kuat saat matanya tertumbuk pada bibir Stefani yang berwarna merah muda, tampak lembut dan berkilau di bawah cahaya lampu kamar villa yang remang. Bibir itu terasa seperti mengajaknya mendekat, seperti berbisik tanpa suara. Albert mencondongkan tubuhnya perlahan, seolah tubuhnya bergerak tanpa perintah. Napasnya hangat, menguap di antara jarak yang kian menipis. Di hadapannya, Stefan
"Bagaimana, sudah dapat villa yang kamu janjikan?"Pertanyaan Stela menyambut kepulangan Albert sore itu dengan nada mendesak, memecah keheningan rumah yang mewah namun terasa dingin. Senyum Albert yang biasanya mampu mencairkan suasana kali ini tampak hambar. Ia melangkah perlahan mendekati istrinya, mencoba meredam ketegangan dengan gestur lembut, mendaratkan kecupan ringan di pelipis wanita yang hampir dua dekade ini menemaninya."Aku akan mengeceknya besok," ujar Albert datar, berusaha menenangkan. Namun, belum sempat tangannya menyentuh bahu Stela, wanita itu tiba-tiba menghindar. Gerakan spontan yang seolah menjadi tamparan tak kasat mata bagi Albert. Stela menutup hidungnya rapat, langkahnya mundur menjauh."Kenapa?" tanya Albert, keningnya berkerut, suara penasaran itu diselimuti nada terluka."Kamu bau, Al. Aku mual dengan bau tubuhmu."Kalimat itu meluncur dari bibir Stela tanpa sedikit pun ragu. Sorot jijik jelas terpampang di matanya, seolah udara di sekitarnya terkontamin
Matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, memantulkan cahaya yang seolah ingin membakar kulit Stefani. Namun, panas mentari itu tak ada artinya dibandingkan bara harapan yang berkobar di dalam dadanya. Hari ini bukan hari biasa, ini adalah hari penentuan, hari di mana ia akan membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada dirinya sendiri, bahwa ia layak mendapatkan sesuatu yang lebih besar.Dengan uang pinjaman dari Pak Daniel, Stefani telah menjelma menjadi pribadi baru. Sepasang sepatu mengilap menghiasi kakinya, sementara busana elegan membalut tubuhnya, persis seperti yang disarankan Pak Daniel. Tiap helai kain terasa seperti menambah kepercayaan dirinya, melindungi, sekaligus menegaskan tekadnya.Di depan cermin kecil yang menempel di dinding rumah kontrakannya yang suram, Stefani memeriksa dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jemarinya sempat bergetar saat merapikan ujung roknya, namun senyum tipis segera terbit di bibirnya. “Semoga ini awal dari sesuatu yang baru… sesua
"Anda Tuan Albert?" Suara itu terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam riuh rendah lobby gedung perkantoran mewah. Stefani, dengan gerakan penuh harap, bangkit perlahan setelah memungut berkasnya. Jantungnya berdentam kencang seakan hendak meledak, jemarinya mencengkeram erat berkas-berkas dan brosur villa yang telah ia persiapkan dengan begitu hati-hati. Nama yang baru saja terlontar dari bibirnya membuat dahi Albert berkerut halus. Lelaki itu, tegap dengan setelan jas kelabu yang sempurna, menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang tajam dan berwibawa kini menelusuri sosok gadis muda yang berdiri gugup di hadapannya. Satu alis tebalnya terangkat, mengukir tanda tanya yang jelas di wajah maskulinnya. "Maaf mengganggu, Tuan Albert," ucap Stefani, suaranya bergetar tapi penuh tekad. "Saya Stefani, perwakilan dari High Property. Saya mendengar Anda sedang mencari villa untuk kado pernikahan." Matanya berkilau, penuh permohonan, seolah seluruh hidupnya bergantung pada jawaban pria
Stefani kembali merasakan pil pahit kekecewaan. Harapan yang baru saja ia bangun runtuh seketika, bagai istana pasir diterjang gelombang. Nama di kartu yang ia genggam erat kini hanya terasa seperti tinta mati di atas kertas, tak lebih. “Maaf, Tuan Albert sedang tidak bisa diganggu.” Kalimat itu menggema di telinganya berulang kali, seperti tamparan dingin yang menyisakan perih berdenyut. Setiap kata menusuk, menyudutkannya ke pojok kecemasan yang kian menggelembung. Tak berdaya berbuat banyak, Stefani pulang ke kamar sempitnya, benteng terakhir dari segala kegagalan. Tasnya mendarat kasar di kasur tua yang menjadi saksi bisu perjuangan seorang gadis muda di tengah kerasnya kota. Dengan tubuh lemah, ia terbaring menatap langit-langit yang retak dan bolong di beberapa bagian, seolah berharap ada jawaban dari setiap celah yang menganga. “Ya Tuhan, sampai kapan kesulitan ini akan berakhir?” bisiknya lirih, bibirnya bergetar. Bayangan wajah Pak Daniel dan kata-kata tajamnya kembal
Cuaca pagi itu memang cerah, tetapi tak ada sinar yang mampu menembus mendung yang menyelimuti hati Stefani, gadis berambut panjang yang bekerja sebagai sales villa mewah. Langkahnya gontai, seakan tiap tapak menghitung mundur detik-detik keputusasaan yang menari dalam benaknya. Stefani memasuki gedung megah tempat ia bekerja, sebuah konstruksi batu yang terasa seperti penjara bagi ambisinya yang layu. Bibirnya masih dapat menyunggingkan senyum, semburat merah muda yang dipaksakan sebagai topeng profesionalisme. Dengan kepala tertunduk, ia memberikan sapaan hormat kepada para senior, yang hanya membalasnya dengan lirikan sepi, seperti ombak yang enggan menyapa pantai. "Selamat pagi, Bu," gumamnya lembut, suara yang tenggelam dalam hiruk pikuk pagi. Stefani menarik napas dalam, merasa tercekik oleh label "hanya seorang sales" yang terasa makin menggenggam erat statusnya. Tangannya yang halus menekan tombol lift, sebuah simbol lain dari naik turunnya harapan yang makin lama ma