Mag-log inStefani kembali merasakan pil pahit kekecewaan. Harapan yang baru saja ia bangun runtuh seketika, bagai istana pasir diterjang gelombang. Nama di kartu yang ia genggam erat kini hanya terasa seperti tinta mati di atas kertas, tak lebih.
“Maaf, Tuan Albert sedang tidak bisa diganggu.” Kalimat itu menggema di telinganya berulang kali, seperti tamparan dingin yang menyisakan perih berdenyut. Setiap kata menusuk, menyudutkannya ke pojok kecemasan yang kian menggelembung. Tak berdaya berbuat banyak, Stefani pulang ke kamar sempitnya, benteng terakhir dari segala kegagalan. Tasnya mendarat kasar di kasur tua yang menjadi saksi bisu perjuangan seorang gadis muda di tengah kerasnya kota. Dengan tubuh lemah, ia terbaring menatap langit-langit yang retak dan bolong di beberapa bagian, seolah berharap ada jawaban dari setiap celah yang menganga. “Ya Tuhan, sampai kapan kesulitan ini akan berakhir?” bisiknya lirih, bibirnya bergetar. Bayangan wajah Pak Daniel dan kata-kata tajamnya kembali menghantui. “Haruskah aku menyerah? Mencari peluang di luar sana?” Pertanyaan itu melayang di udara kamar yang sunyi, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Stefani hidup tertutup, tanpa seorang teman untuk berbagi beban, sementara keluarganya jauh di kampung hanya mengingatnya ketika mereka butuh uang. “Apa lagi yang bisa aku lakukan?” gumamnya getir. “Mencari kerja dengan ijazah SMA di kota ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.” Pandangannya nanar, menelusuri kamar kontrakan sederhana, satu-satunya sisa keberuntungan dari komisi penjualan villa beberapa bulan lalu. Berkat itu, ia masih bisa bertahan hidup setahun ke depan. Jika tidak, mungkin ia sudah tersungkur di trotoar, menjadi bagian dari keramaian kota yang tak peduli. “Tuhan, mengapa aku selalu dipilih untuk menghadapi kesusahan ini?” Tangis lirihnya pecah, mengguncang dinding kesendirian. Harapan kini tinggal serpihan. Stefani memohon mukjizat dari langit, tapi waktu berlalu tanpa belas kasihan. Tantangan Pak Daniel bagaikan teka-teki tanpa jawaban. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Albert, namun teleponnya selalu berujung nada mati. Pagi itu, langkah Stefani terasa berat ketika memasuki kantor. Sepatu tuanya yang sobek berbisik lirih tentang kepayahannya, namun terpaksa ia kenakan karena tak ada pilihan lain. Nafasnya memburu menapaki lorong, hingga tanpa sadar ia terjebak di dalam lift yang sama dengan Gisel, sales terbaik di kantor itu. Iri menjalari setiap sudut hati Stefani. Matanya menelusuri penampilan Gisel dari ujung rambut hingga sepatu berkilau. Dalam hati, Stefani merintih, merasa jauh tertinggal dalam perlombaan hidup yang tak pernah ia menangkan. “Mengapa aku tak bisa seperti Gisel?” bisiknya getir. Lift berhenti. Saat pintu terbuka, Stefani terpaku melihat Gisel mendekati seorang klien dengan langkah percaya diri dan senyum manis yang memikat. Kekaguman bercampur iri ketika Gisel meliukkan tubuhnya luwes bak model, membisikkan rayuan pada klien berambut putih itu. Lamunan Stefani buyar ketika sosok Daniel berdiri tegap di depannya. “Apa yang kamu pandangi?” suaranya tajam, membuat jari-jari Stefani saling mengunci, gugup tak bisa disembunyikan. “Kamu pasti iri melihat Gisel mendulang sukses,” tuduh Daniel, menusuk hatinya tanpa ampun. Stefani menunduk, menelan kekecewaan saat kembali memandang Gisel yang lihai memikat klien. Dalam diam, Stefani merasa pahit, mimpi yang ia dambakan tampak begitu mudah digenggam orang lain. “Kamu cantik, Stefani,” ujar Daniel tiba-tiba, membuat Stefani terkejut. Namun sindiran segera menyusul, “Lihat Gisel, betapa mudahnya dia menjual properti dengan pesona dan penampilan. Kamu harus berani, jangan hanya menunggu peluang. Rebut! Semua cara halal! Ubah penampilanmu. Tirulah Gisel.” Stefani memandang Gisel yang dengan mahir merangkul klien, mengenakan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh. Jantungnya berdebar. Setiap gerakan Gisel terasa asing dan terlalu berani bagi gadis muda yang polos dalam urusan cinta, bahkan belum pernah sekalipun mendekati pria seperti itu. Kini ia berada di persimpangan. Haruskah ia mengikut jejak Gisel atau bertahan pada prinsipnya? Dilema itu mengaduk-aduk perasaannya. “Jangan naif, Stefani! Cara jadulmu takkan berhasil,” sindir Daniel. “Sudah empat hari berlalu, adakah kamu sudah berbicara dengan Tuan Albert?” Stefani hanya menggeleng, wajahnya tertunduk. Waktu terus berlari, tapi tak ada kemajuan. “Cih! Seharusnya kamu sudah mengatur pertemuan! Waktumu tinggal sampai akhir bulan. Kalau gagal, bersiaplah keluar!” ancam Daniel, menunjuk-nunjuk kasar sebelum berbalik pergi. Sekilas, Stefani melirik ke arah Gisel yang sedang menggoda klien. Tarikan napasnya berat. Kata-kata Daniel barusan bagai cambuk yang membangkitkan tekadnya. Sesuatu harus berubah, dan itu harus dimulai dari dirinya. Saat jam makan siang tiba, Stefani memutuskan mendatangi kantor megah Williams Group. Langkahnya terderap di trotoar, matanya menatap gedung pencakar langit yang menjulang. Tangan mungilnya dingin, basah oleh peluh, sementara gelombang cemas menggulung hebat di dada. Nasihat Daniel tentang “strategi lama” terngiang, membagikan brosur, menjual via media sosial, terasa kian usang. Dengan napas panjang yang ditarik paksa, Stefani melangkah masuk melewati pintu kaca besar ke dalam arsitektur modern yang menakjubkan. Ia menghampiri meja resepsionis. “Selamat siang, Bu,” ucapnya ramah, berusaha menutupi gugup. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” jawab sang resepsionis dengan suara sejuk. “Saya Stefani, dari High Property. Saya ingin bertemu Tuan Albert. Apakah beliau ada?” tanyanya penuh harap. “Apakah Ibu sudah membuat janji?” Stefani menggeleng lirih. “Belum, Bu.” “Jika belum, kami tidak bisa memberikan izin. Silakan perusahaan Ibu membuat janji terlebih dahulu,” jawab resepsionis, tetap sopan namun tegas. Raut wajah Stefani meredup. Setiap kata resepsionis seperti pisau yang memupus mimpi yang baru ia bangun. “Kalau begitu, saya pamit. Maaf mengganggu,” ucapnya serak. Langkahnya menuju pintu keluar terasa berat, seperti membawa seluruh dunia di bahunya. Kekalahan hari itu terasa lebih menyakitkan dari yang pernah ia bayangkan. Di balik kabut kekecewaan, Stefani berjalan lunglai, tak fokus, hingga tak sengaja menabrak seseorang yang berdiri tegap di depannya. Berkas-berkasnya berserakan di lantai. “Ah, maaf… maaf sekali…” gumamnya tergesa sambil memunguti kertas. Seorang pria yang berdiri tak jauh menatap dengan sorot tajam. “Harap berhati-hati, Nona. Sikap ceroboh Anda menghalangi jalan Tuan Albert.” Suaranya dingin, meninggalkan getar ketidakpuasan. Stefani menelan ludah. Lelahnya sudah memuncak, tapi mendengar nama itu, Albert, jantungnya berdetak kencang. Seakan hujan deras yang membawa sekaligus badai harapan. Dengan napas tercekat, ia mendongak, menatap sosok pria yang baru saja ia ganggu. “Anda… Tuan Albert?” Suara Stefani terbata.Tidur di kamar berukuran tiga kali empat meter persegi sebenarnya bukan hal baru bagi Stefani. Ia sudah terbiasa hidup sederhana, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, hanya dengan satu kasur tipis, kipas angin tua, dan meja kecil di sudut ruangan. Namun entah kenapa malam ini terasa berbeda. Udara seolah menyesakkan, dan matanya sama sekali tak mau terpejam. Gadis itu menggulingkan tubuhnya ke kanan, lalu ke kiri, berulang-ulang. Pikiran yang semestinya sudah ia tenangkan malah kembali berisik, penuh bayangan masa lalu yang enggan hilang. “Huh…” desahnya pelan. “Kadang aku mikir… aku bukan anak ibu.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tapi kemudian sunyi kembali menyelimuti kamar mungil itu. Stefani menatap langit-langit kamar hotel itu yang mulai kusam, matanya berkaca-kaca tanpa sadar. Ia mengingat wajah ibunya yang selalu datar, jarang menunjukkan kasih sayang bahkan saat dirinya sakit. Kadang justru ucapan-ucapan tajam sang ibu yang membuat hatinya semak
"Lebih baik aku menemui Stefani.." Albert berjalan turun seraya mengancingkan satu persatu kancing kemejanya. Pria itu masuk kedalam mobil dan menginjak pedal gasnya dengan kasar, nafasnya masih memburu. Pintu pagar terbuka setelah Albert menekan klakson. Tampak Stela masih duduk di depan pagar rumah mewah itu, matanya sembab, wajahnya penuh air mata. Saat melihat mobil Albert keluar dari garasi, wanita itu sontak berdiri dan berusaha mengejar, namun Albert sama sekali tak menoleh. Ia sudah kehilangan rasa peduli pada wanita itu. Mobil hitam milik Albert melaju cepat menembus jalanan malam. Lampu kota memantul di kaca depannya, sementara pikirannya terus melayang pada satu nama, Stefani. Entah kenapa, di saat seperti ini, hanya wajah gadis itu yang terlintas di pikirannya. Wajah lembut yang selalu mampu menenangkan hatinya di tengah badai amarah. Beberapa menit kemudian, mobil Albert masuk ke area basement apartemen. Ia mematikan mesin, keluar, dan menutup pintu dengan gerakan te
“Saya antar ke mana, Mbak?”Pertanyaan itu memecah lamunan panjang Stefani. Suara sopir taksi yang parau karena usia membuat gadis itu tersentak kecil. Ia menoleh, pandangannya masih kosong menatap keluar jendela. Malam sudah turun sepenuhnya; lampu-lampu kota berpendar redup di jalanan yang basah oleh sisa gerimis.“Emm…” bibirnya bergetar kecil. Ia menunduk, berpikir keras. Ia benar-benar bingung hendak ke mana malam ini. Tidak ada rumah untuk pulang, tidak ada tempat yang bisa ia sebut “aman”.Akhirnya, setelah beberapa detik hening, ia menjawab pelan, “Hotel Melati saja, Pak…”Sopir tua itu mengangguk tanpa banyak bicara. Mobil melaju menembus jalanan yang mulai sepi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan lain yang lewat. Stefani bersandar di jok belakang, menatap keluar jendela. Bayangan lampu jalan memantul di kaca, menyoroti wajahnya yang pucat dan mata yang mulai sayu.Sisa uangnya tidak banyak. Ia tahu, malam ini ia hanya bisa mencari penginapan murah untuk sekadar menenang
Pandangan semua orang di kantor tertuju pada Stefani ketika ia melangkah masuk melewati lobi utama. Bisik-bisik kecil terdengar di setiap sudut ruangan, beberapa bahkan terang-terangan menatapnya dari balik layar komputer. Beberapa karyawan pura-pura sibuk, namun pandangan mereka mengikuti setiap langkah Stefani yang tampak berusaha tetap tenang. Ia tahu alasan mereka menatap seperti itu. Berita tentang Pak Danil sudah tersebar luas. Semua orang pasti sudah menonton siaran langsung yang disebarkan para pemburu berita. Semua itu menjadi tontonan hangat siang ini. Dan sayangnya, nama Stefani ikut terseret. Meski hatinya berdebar, Stefani berusaha menegakkan punggungnya. Ia tak ingin terlihat rapuh. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, menciptakan ritme tegas yang justru menegaskan ketegarannya. Tanpa menoleh sedikit pun, ia berjalan lurus ke arah lift dan menekan tombol ke lantai delapan, lantai tempat ruang kerjanya berada. Begitu pintu lift menutup, Stefani menghembus
Sampai di dalam lift, suasana terasa sunyi. Hanya suara dengung mesin dan detik waktu yang seperti bergerak lebih lambat dari biasanya. Stefani yang sedari tadi digandeng Albert perlahan melepaskan genggaman tangannya. Telapak tangannya masih terasa hangat, tapi juga bergetar ringan karena gugup. Gerakannya itu begitu pelan, namun cukup untuk membuat Albert menoleh. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum sama-sama berpaling, seolah keduanya sadar ada batas tipis antara mereka yang tidak seharusnya dilanggar. Hening kembali mendominasi. Lampu di dalam lift berpendar lembut, memantulkan bayangan wajah mereka berdua di dinding logam mengilap. Dari pantulan itu, Stefani bisa melihat rahang Albert yang menegang, napasnya berat, dan pandangan matanya lurus menatap ke depan, kosong namun dalam. “Maaf, Stefani…” suara berat itu memecah kesunyian, tenang tapi sarat emosi yang sulit dijelaskan. Stefani menoleh cepat, keningnya berkerut heran. “Maaf… untuk apa, Pak?” tanyanya pelan, sua
“A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h







