LOGIN"Bagaimana, sudah dapat villa yang kamu janjikan?"
Pertanyaan Stela menyambut kepulangan Albert sore itu dengan nada mendesak, memecah keheningan rumah yang mewah namun terasa dingin. Senyum Albert yang biasanya mampu mencairkan suasana kali ini tampak hambar. Ia melangkah perlahan mendekati istrinya, mencoba meredam ketegangan dengan gestur lembut, mendaratkan kecupan ringan di pelipis wanita yang hampir dua dekade ini menemaninya. "Aku akan mengeceknya besok," ujar Albert datar, berusaha menenangkan. Namun, belum sempat tangannya menyentuh bahu Stela, wanita itu tiba-tiba menghindar. Gerakan spontan yang seolah menjadi tamparan tak kasat mata bagi Albert. Stela menutup hidungnya rapat, langkahnya mundur menjauh. "Kenapa?" tanya Albert, keningnya berkerut, suara penasaran itu diselimuti nada terluka. "Kamu bau, Al. Aku mual dengan bau tubuhmu." Kalimat itu meluncur dari bibir Stela tanpa sedikit pun ragu. Sorot jijik jelas terpampang di matanya, seolah udara di sekitarnya terkontaminasi hanya oleh keberadaan sang suami. Albert terdiam sejenak. Nafasnya tercekat, namun ia tidak membalas kata-kata itu dengan kemarahan. Ia hanya menghela napas panjang, menanggalkan jas dengan gerakan lesu, membiarkannya tergeletak begitu saja di sofa. Tanpa berkata lagi, ia melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya, seolah berusaha membekukan bara emosi yang menggelora di dalam dada. Tak lama kemudian, dengan hanya handuk melilit pinggang, Albert keluar dari kamar mandi. Matanya menangkap Stela yang sedang tersenyum manis menatap layar ponselnya. Senyum yang sejak lama tidak pernah ditujukan kepadanya. Stela tampak cantik, seperti biasa, terlalu cantik, namun kini terlalu dingin padanya. Setiap hari ia tampil menggoda, dengan pakaian yang sengaja menguji kesabaran Albert, namun setiap kali hasrat itu muncul, selalu ada alasan untuk menolak. Dan entah sudah sejak kapan hubungan mereka jadi seperti ini. Albert kali ini mencoba cara berbeda. Dengan napas hangat yang teratur namun penuh dorongan, ia merangkak mendekati Stela, mengecup betis mulusnya perlahan hingga mencapai pangkal paha. Sentuhan yang seharusnya membangkitkan gairah pasangan suami-istri itu hanya dibalas Stela dengan gerakan menjauh. Seketika tubuhnya menegang, ia menarik kakinya cepat, meninggalkan Albert yang mematung, kecewa dan tersakiti. "Sampai kapan, Stela?" suara Albert pecah, memantul di ruang yang seketika terasa sempit. "Aku ini manusia, bukan patung. Aku punya hasrat yang juga perlu terpuaskan. Mengapa kamu selalu menolak?" Nada suaranya berat, campuran antara rindu, kesal, dan putus asa. Stela mendengus, matanya menatap tajam tanpa iba. "Apa hanya pikiran kotor yang melintas di kepalamu setiap waktu, Al? Aku lelah! Di usia empat puluhan seperti sekarang, kamu masih saja berperilaku seperti remaja puber! Ingat, kita ini sudah empat puluh tahun Albert!" Albert mengepalkan tangan kuat-kuat, berusaha menahan gejolak amarahnya. Namun, cinta yang terlalu dalam membuatnya tak mampu membalas ucapan istrinya. Dalam hati kecilnya, Albert selalu mengalah. Lima belas tahun pernikahan, dan ia selalu memutuskan untuk menutup telinga daripada memperpanjang pertengkaran. Dengan langkah berat, ia keluar kamar, meninggalkan Stela yang hanya mendengus sinis. "Menyedihkan," gumam Stela lirih, menatap punggung Albert yang menghilang di balik pintu. "Dia pikir masih gagah seperti dulu? Lihat tubuhnya sekarang, tidak sekekar dulu. Setiap hari berpakaian formal… membosankan." Di balkon rumah, asap rokok mengepul pelan di bibir Albert. Angin malam menampar wajahnya yang tegang, sementara lampu kota di kejauhan berkelip bagaikan saksi bisu kekecewaannya. Albert ingin memiliki anak, ingin membentuk keluarga harmonis, tapi Stela menolak tegas untuk mengandung. Demi cintanya, Albert mengalah, selalu mengalah. Meski orang tuanya tidak henti mendesak agar ia memiliki anak dari perempuan lain, apalagi usianya terus bertambah, namun untuk menghianati Setela, mana mungkin sanggup Albert lakukan. Tiba-tiba ponselnya berdering lirih. Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal: “Selamat malam, Tuan. Ini alamat villa yang bisa Anda kunjungi besok. Saya akan menunggu Anda di sana. Sampai jumpa.” Nama itu tertera jelas, Stefani. Albert mengetik balasan cepat, nadanya tajam namun berbalut penasaran: "Sepertinya besok aku tidak ada waktu. Bagaimana kalau kita lihat villa itu malam ini juga?" Denyut jantungnya tak teratur. Ada sesuatu yang mengalir deras dalam nadinya, campuran adrenalin, amarah, dan pelarian. Sementara itu di tempat lain, Stefani tertegun membaca pesan itu. Gadis pramuniaga muda itu tak menyangka Albert akan merespons secepat itu. "Ya Tuhan… ini serius?" bisiknya panik, namun ada semburat kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia bergegas mengganti pakaian, melangkah cepat ke jalan untuk mencari taksi. Albert melibas jalanan malam dengan mobilnya, lampu kota berganti cepat di kaca depan. Frustrasi terhadap Stela membuat pikirannya kacau. Di tengah jalan yang lengang, ia berhenti sebentar, menatap layar ponselnya yang tak kunjung mendapatkan balasan. Dengan hati berdebar, ia mengetik lagi. “Apa tidak bisa?” Pesan itu langsung memaksa Stefani merespons. “Bisa Pak, saya segera ke lokasi.” Tak lama, keduanya bertemu di kawasan villa megah. Stefani turun dari taksi dengan napas memburu, sementara Albert berdiri menyandar di mobil mewahnya, menghisap rokok. Siluet tubuhnya di bawah cahaya lampu jalan tampak misterius, menambah karisma laki-laki dewasa itu. "Maaf, Pak, membuat Anda menunggu," ucap Stefani sopan. Albert menatapnya lama, lalu bertanya datar, "Kenapa berpakaian formal malam-malam begini?" Pertanyaan yang membuat Stefani kikuk. "Ah… saya pikir ini urusan pekerjaan. Anda juga mengenakan pakaian formal, kan?" jawabnya terbata, menarik rok pendeknya ke bawah. Albert hanya tersenyum samar. "Aku memang selalu berpakaian seperti ini." Ia membuang rokoknya, lalu berkata singkat, "Ayo kita lihat villanya sekarang." Villa itu berdiri megah di kawasan elit. Lampu-lampu terang menyingkap keindahan interiornya saat Stefani menyalakan saklar. Albert menyapu pandangan ke sekeliling, mengamati setiap detail mewah yang dipamerkan. Namun, tatapannya berkali-kali terhenti pada wajah Stefani yang memancarkan kehangatan muda. "Istri Anda pasti bahagia mendapat kado spesial seperti ini," kata Stefani tersenyum. Albert hanya menggeleng pelan, wajahnya muram. "Entahlah… mungkin tidak sebahagia yang kamu kira." Kalimat itu membuat Stefani terdiam, hatinya tersentuh oleh kesedihan yang jelas terpancar dari mata Albert. Namun ia segera menepis, rasanya tak mungkin laki-laki sukses dan mapan sepertinya bisa sedih bukan? "Ada apa lagi yang bisa kamu tunjukkan padaku?" suara Albert terdengar berat. Stefani mengangguk, lalu membimbing Albert ke kamar utama. Ranjang besar terhampar, simbol kenyamanan dan kemewahan, namun bagi Albert justru menghadirkan pertanyaan, apakah tempat ini akan mengembalikan hangatnya cinta Stela? Seperti di awal mereka menikah dulu, lima tahun sudah Stela berubah seperti ini, Albert bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya membuat wanita itu berubah. "Anda dan keluarga pasti nyaman di sini… anak-anak bisa bermain sesuka hati," ucap Stefani. Namun Albert lirih berkata, "Aku belum punya anak, Stefani." Stefani terkejut, sorot matanya berubah iba. "Maafkan saya, Pak. Saya lancang," katanya tergesa, memalingkan wajah. Albert mengusap dahi lelahnya. Refleks, Stefani mendekat, menempelkan punggung tangannya di kening Albert. "Apa Anda sakit?" tanyanya panik. "Tidak apa-apa, hanya kurang tidur," jawab Albert cepat, tapi matanya tak sengaja menangkap bagian dada Stefani yang tampak jelas saat gadis itu membungkuk membantunya duduk. Situasi ini semakin panas ketika Stefani naik ke ranjang dan mulai memijat bahu Albert dengan jemari lembut. "Apa yang kamu lakukan, Stefani?" suara Albert serak, menahan lengan gadis itu. "Maaf, Pak. Saya hanya ingin membantu, sedikit pijatan bisa menghilangkan lelah Anda," balas Stefani dengan senyum kikuk, namun ada keberanian baru dalam dirinya. Kata-kata Daniel dan Gisel terngiang di telinganya. Albert terdiam. Jemari Stefani menekan bahunya perlahan, membebaskan ketegangan yang menumpuk. Ia memejamkan mata, membiarkan sensasi hangat itu meresap. Namun bayangan dada Stefani muncul jelas dalam benaknya, membuat napasnya memburu. "Bagaimana, nyaman?" bisik Stefani nyaris menggoda, nadanya lirih dan hangat. Albert menoleh spontan, tatapan mereka bertemu. Ruang di antara mereka terasa menyempit, udara di kamar itu berubah berat, setiap helaan napas seakan bersinggungan, mengundang api yang sulit dipadamkan.Tidur di kamar berukuran tiga kali empat meter persegi sebenarnya bukan hal baru bagi Stefani. Ia sudah terbiasa hidup sederhana, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, hanya dengan satu kasur tipis, kipas angin tua, dan meja kecil di sudut ruangan. Namun entah kenapa malam ini terasa berbeda. Udara seolah menyesakkan, dan matanya sama sekali tak mau terpejam. Gadis itu menggulingkan tubuhnya ke kanan, lalu ke kiri, berulang-ulang. Pikiran yang semestinya sudah ia tenangkan malah kembali berisik, penuh bayangan masa lalu yang enggan hilang. “Huh…” desahnya pelan. “Kadang aku mikir… aku bukan anak ibu.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tapi kemudian sunyi kembali menyelimuti kamar mungil itu. Stefani menatap langit-langit kamar hotel itu yang mulai kusam, matanya berkaca-kaca tanpa sadar. Ia mengingat wajah ibunya yang selalu datar, jarang menunjukkan kasih sayang bahkan saat dirinya sakit. Kadang justru ucapan-ucapan tajam sang ibu yang membuat hatinya semak
"Lebih baik aku menemui Stefani.." Albert berjalan turun seraya mengancingkan satu persatu kancing kemejanya. Pria itu masuk kedalam mobil dan menginjak pedal gasnya dengan kasar, nafasnya masih memburu. Pintu pagar terbuka setelah Albert menekan klakson. Tampak Stela masih duduk di depan pagar rumah mewah itu, matanya sembab, wajahnya penuh air mata. Saat melihat mobil Albert keluar dari garasi, wanita itu sontak berdiri dan berusaha mengejar, namun Albert sama sekali tak menoleh. Ia sudah kehilangan rasa peduli pada wanita itu. Mobil hitam milik Albert melaju cepat menembus jalanan malam. Lampu kota memantul di kaca depannya, sementara pikirannya terus melayang pada satu nama, Stefani. Entah kenapa, di saat seperti ini, hanya wajah gadis itu yang terlintas di pikirannya. Wajah lembut yang selalu mampu menenangkan hatinya di tengah badai amarah. Beberapa menit kemudian, mobil Albert masuk ke area basement apartemen. Ia mematikan mesin, keluar, dan menutup pintu dengan gerakan te
“Saya antar ke mana, Mbak?”Pertanyaan itu memecah lamunan panjang Stefani. Suara sopir taksi yang parau karena usia membuat gadis itu tersentak kecil. Ia menoleh, pandangannya masih kosong menatap keluar jendela. Malam sudah turun sepenuhnya; lampu-lampu kota berpendar redup di jalanan yang basah oleh sisa gerimis.“Emm…” bibirnya bergetar kecil. Ia menunduk, berpikir keras. Ia benar-benar bingung hendak ke mana malam ini. Tidak ada rumah untuk pulang, tidak ada tempat yang bisa ia sebut “aman”.Akhirnya, setelah beberapa detik hening, ia menjawab pelan, “Hotel Melati saja, Pak…”Sopir tua itu mengangguk tanpa banyak bicara. Mobil melaju menembus jalanan yang mulai sepi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan lain yang lewat. Stefani bersandar di jok belakang, menatap keluar jendela. Bayangan lampu jalan memantul di kaca, menyoroti wajahnya yang pucat dan mata yang mulai sayu.Sisa uangnya tidak banyak. Ia tahu, malam ini ia hanya bisa mencari penginapan murah untuk sekadar menenang
Pandangan semua orang di kantor tertuju pada Stefani ketika ia melangkah masuk melewati lobi utama. Bisik-bisik kecil terdengar di setiap sudut ruangan, beberapa bahkan terang-terangan menatapnya dari balik layar komputer. Beberapa karyawan pura-pura sibuk, namun pandangan mereka mengikuti setiap langkah Stefani yang tampak berusaha tetap tenang. Ia tahu alasan mereka menatap seperti itu. Berita tentang Pak Danil sudah tersebar luas. Semua orang pasti sudah menonton siaran langsung yang disebarkan para pemburu berita. Semua itu menjadi tontonan hangat siang ini. Dan sayangnya, nama Stefani ikut terseret. Meski hatinya berdebar, Stefani berusaha menegakkan punggungnya. Ia tak ingin terlihat rapuh. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, menciptakan ritme tegas yang justru menegaskan ketegarannya. Tanpa menoleh sedikit pun, ia berjalan lurus ke arah lift dan menekan tombol ke lantai delapan, lantai tempat ruang kerjanya berada. Begitu pintu lift menutup, Stefani menghembus
Sampai di dalam lift, suasana terasa sunyi. Hanya suara dengung mesin dan detik waktu yang seperti bergerak lebih lambat dari biasanya. Stefani yang sedari tadi digandeng Albert perlahan melepaskan genggaman tangannya. Telapak tangannya masih terasa hangat, tapi juga bergetar ringan karena gugup. Gerakannya itu begitu pelan, namun cukup untuk membuat Albert menoleh. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum sama-sama berpaling, seolah keduanya sadar ada batas tipis antara mereka yang tidak seharusnya dilanggar. Hening kembali mendominasi. Lampu di dalam lift berpendar lembut, memantulkan bayangan wajah mereka berdua di dinding logam mengilap. Dari pantulan itu, Stefani bisa melihat rahang Albert yang menegang, napasnya berat, dan pandangan matanya lurus menatap ke depan, kosong namun dalam. “Maaf, Stefani…” suara berat itu memecah kesunyian, tenang tapi sarat emosi yang sulit dijelaskan. Stefani menoleh cepat, keningnya berkerut heran. “Maaf… untuk apa, Pak?” tanyanya pelan, sua
“A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h







