Share

Bab 5. Memendam Hasrat

Penulis: Aries grils
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-14 10:56:16

"Bagaimana, sudah dapat villa yang kamu janjikan?"

Pertanyaan Stela menyambut kepulangan Albert sore itu dengan nada mendesak, memecah keheningan rumah yang mewah namun terasa dingin. Senyum Albert yang biasanya mampu mencairkan suasana kali ini tampak hambar. Ia melangkah perlahan mendekati istrinya, mencoba meredam ketegangan dengan gestur lembut, mendaratkan kecupan ringan di pelipis wanita yang hampir dua dekade ini menemaninya.

"Aku akan mengeceknya besok," ujar Albert datar, berusaha menenangkan. Namun, belum sempat tangannya menyentuh bahu Stela, wanita itu tiba-tiba menghindar. Gerakan spontan yang seolah menjadi tamparan tak kasat mata bagi Albert. Stela menutup hidungnya rapat, langkahnya mundur menjauh.

"Kenapa?" tanya Albert, keningnya berkerut, suara penasaran itu diselimuti nada terluka.

"Kamu bau, Al. Aku mual dengan bau tubuhmu."

Kalimat itu meluncur dari bibir Stela tanpa sedikit pun ragu. Sorot jijik jelas terpampang di matanya, seolah udara di sekitarnya terkontaminasi hanya oleh keberadaan sang suami.

Albert terdiam sejenak. Nafasnya tercekat, namun ia tidak membalas kata-kata itu dengan kemarahan. Ia hanya menghela napas panjang, menanggalkan jas dengan gerakan lesu, membiarkannya tergeletak begitu saja di sofa. Tanpa berkata lagi, ia melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya, seolah berusaha membekukan bara emosi yang menggelora di dalam dada.

Tak lama kemudian, dengan hanya handuk melilit pinggang, Albert keluar dari kamar mandi. Matanya menangkap Stela yang sedang tersenyum manis menatap layar ponselnya. Senyum yang sejak lama tidak pernah ditujukan kepadanya. Stela tampak cantik, seperti biasa, terlalu cantik, namun kini terlalu dingin padanya. Setiap hari ia tampil menggoda, dengan pakaian yang sengaja menguji kesabaran Albert, namun setiap kali hasrat itu muncul, selalu ada alasan untuk menolak. Dan entah sudah sejak kapan hubungan mereka jadi seperti ini.

Albert kali ini mencoba cara berbeda. Dengan napas hangat yang teratur namun penuh dorongan, ia merangkak mendekati Stela, mengecup betis mulusnya perlahan hingga mencapai pangkal paha. Sentuhan yang seharusnya membangkitkan gairah pasangan suami-istri itu hanya dibalas Stela dengan gerakan menjauh. Seketika tubuhnya menegang, ia menarik kakinya cepat, meninggalkan Albert yang mematung, kecewa dan tersakiti.

"Sampai kapan, Stela?" suara Albert pecah, memantul di ruang yang seketika terasa sempit. "Aku ini manusia, bukan patung. Aku punya hasrat yang juga perlu terpuaskan. Mengapa kamu selalu menolak?" Nada suaranya berat, campuran antara rindu, kesal, dan putus asa.

Stela mendengus, matanya menatap tajam tanpa iba. "Apa hanya pikiran kotor yang melintas di kepalamu setiap waktu, Al? Aku lelah! Di usia empat puluhan seperti sekarang, kamu masih saja berperilaku seperti remaja puber! Ingat, kita ini sudah empat puluh tahun Albert!"

Albert mengepalkan tangan kuat-kuat, berusaha menahan gejolak amarahnya. Namun, cinta yang terlalu dalam membuatnya tak mampu membalas ucapan istrinya. Dalam hati kecilnya, Albert selalu mengalah. Lima belas tahun pernikahan, dan ia selalu memutuskan untuk menutup telinga daripada memperpanjang pertengkaran. Dengan langkah berat, ia keluar kamar, meninggalkan Stela yang hanya mendengus sinis.

"Menyedihkan," gumam Stela lirih, menatap punggung Albert yang menghilang di balik pintu. "Dia pikir masih gagah seperti dulu? Lihat tubuhnya sekarang, tidak sekekar dulu. Setiap hari berpakaian formal… membosankan."

Di balkon rumah, asap rokok mengepul pelan di bibir Albert. Angin malam menampar wajahnya yang tegang, sementara lampu kota di kejauhan berkelip bagaikan saksi bisu kekecewaannya. Albert ingin memiliki anak, ingin membentuk keluarga harmonis, tapi Stela menolak tegas untuk mengandung. Demi cintanya, Albert mengalah, selalu mengalah. Meski orang tuanya tidak henti mendesak agar ia memiliki anak dari perempuan lain, apalagi usianya terus bertambah, namun untuk menghianati Setela, mana mungkin sanggup Albert lakukan.

Tiba-tiba ponselnya berdering lirih. Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal:

“Selamat malam, Tuan. Ini alamat villa yang bisa Anda kunjungi besok. Saya akan menunggu Anda di sana. Sampai jumpa.”

Nama itu tertera jelas, Stefani.

Albert mengetik balasan cepat, nadanya tajam namun berbalut penasaran:

"Sepertinya besok aku tidak ada waktu. Bagaimana kalau kita lihat villa itu malam ini juga?"

Denyut jantungnya tak teratur. Ada sesuatu yang mengalir deras dalam nadinya, campuran adrenalin, amarah, dan pelarian. Sementara itu di tempat lain, Stefani tertegun membaca pesan itu. Gadis pramuniaga muda itu tak menyangka Albert akan merespons secepat itu.

"Ya Tuhan… ini serius?" bisiknya panik, namun ada semburat kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia bergegas mengganti pakaian, melangkah cepat ke jalan untuk mencari taksi.

Albert melibas jalanan malam dengan mobilnya, lampu kota berganti cepat di kaca depan. Frustrasi terhadap Stela membuat pikirannya kacau. Di tengah jalan yang lengang, ia berhenti sebentar, menatap layar ponselnya yang tak kunjung mendapatkan balasan. Dengan hati berdebar, ia mengetik lagi. “Apa tidak bisa?”

Pesan itu langsung memaksa Stefani merespons. “Bisa Pak, saya segera ke lokasi.”

Tak lama, keduanya bertemu di kawasan villa megah. Stefani turun dari taksi dengan napas memburu, sementara Albert berdiri menyandar di mobil mewahnya, menghisap rokok. Siluet tubuhnya di bawah cahaya lampu jalan tampak misterius, menambah karisma laki-laki dewasa itu.

"Maaf, Pak, membuat Anda menunggu," ucap Stefani sopan.

Albert menatapnya lama, lalu bertanya datar, "Kenapa berpakaian formal malam-malam begini?"

Pertanyaan yang membuat Stefani kikuk. "Ah… saya pikir ini urusan pekerjaan. Anda juga mengenakan pakaian formal, kan?" jawabnya terbata, menarik rok pendeknya ke bawah.

Albert hanya tersenyum samar. "Aku memang selalu berpakaian seperti ini." Ia membuang rokoknya, lalu berkata singkat, "Ayo kita lihat villanya sekarang."

Villa itu berdiri megah di kawasan elit. Lampu-lampu terang menyingkap keindahan interiornya saat Stefani menyalakan saklar. Albert menyapu pandangan ke sekeliling, mengamati setiap detail mewah yang dipamerkan. Namun, tatapannya berkali-kali terhenti pada wajah Stefani yang memancarkan kehangatan muda.

"Istri Anda pasti bahagia mendapat kado spesial seperti ini," kata Stefani tersenyum.

Albert hanya menggeleng pelan, wajahnya muram. "Entahlah… mungkin tidak sebahagia yang kamu kira." Kalimat itu membuat Stefani terdiam, hatinya tersentuh oleh kesedihan yang jelas terpancar dari mata Albert. Namun ia segera menepis, rasanya tak mungkin laki-laki sukses dan mapan sepertinya bisa sedih bukan?

"Ada apa lagi yang bisa kamu tunjukkan padaku?" suara Albert terdengar berat.

Stefani mengangguk, lalu membimbing Albert ke kamar utama. Ranjang besar terhampar, simbol kenyamanan dan kemewahan, namun bagi Albert justru menghadirkan pertanyaan, apakah tempat ini akan mengembalikan hangatnya cinta Stela? Seperti di awal mereka menikah dulu, lima tahun sudah Stela berubah seperti ini, Albert bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya membuat wanita itu berubah.

"Anda dan keluarga pasti nyaman di sini… anak-anak bisa bermain sesuka hati," ucap Stefani.

Namun Albert lirih berkata, "Aku belum punya anak, Stefani."

Stefani terkejut, sorot matanya berubah iba. "Maafkan saya, Pak. Saya lancang," katanya tergesa, memalingkan wajah.

Albert mengusap dahi lelahnya. Refleks, Stefani mendekat, menempelkan punggung tangannya di kening Albert. "Apa Anda sakit?" tanyanya panik.

"Tidak apa-apa, hanya kurang tidur," jawab Albert cepat, tapi matanya tak sengaja menangkap bagian dada Stefani yang tampak jelas saat gadis itu membungkuk membantunya duduk. Situasi ini semakin panas ketika Stefani naik ke ranjang dan mulai memijat bahu Albert dengan jemari lembut.

"Apa yang kamu lakukan, Stefani?" suara Albert serak, menahan lengan gadis itu.

"Maaf, Pak. Saya hanya ingin membantu, sedikit pijatan bisa menghilangkan lelah Anda," balas Stefani dengan senyum kikuk, namun ada keberanian baru dalam dirinya. Kata-kata Daniel dan Gisel terngiang di telinganya.

Albert terdiam. Jemari Stefani menekan bahunya perlahan, membebaskan ketegangan yang menumpuk. Ia memejamkan mata, membiarkan sensasi hangat itu meresap. Namun bayangan dada Stefani muncul jelas dalam benaknya, membuat napasnya memburu.

"Bagaimana, nyaman?" bisik Stefani nyaris menggoda, nadanya lirih dan hangat.

Albert menoleh spontan, tatapan mereka bertemu. Ruang di antara mereka terasa menyempit, udara di kamar itu berubah berat, setiap helaan napas seakan bersinggungan, mengundang api yang sulit dipadamkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sriyati Sri
keknya akn terjadi sesuatu nih......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 40 Flashback

    “A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 39 Mari Bercerai

    “Apa kamu yakin rencana kita akan berhasil, sayang?” Suara wanita itu terdengar jelas dari rekaman yang diputar Bobby. Semua orang di ruangan—wartawan, Danil, bahkan Stela sendiri—membeku di tempatnya. Mikrofon yang tadi teracung kini perlahan diturunkan, sementara kamera masih terus menyala, mengabadikan momen yang jauh lebih besar dari sekadar dugaan perselingkuhan. Danil yang berdiri di dekat pintu kamar seketika pucat pasi. Tubuhnya kaku, matanya melebar tak percaya. Suara itu… terlalu familiar. Ia menoleh perlahan pada Stela, jantungnya berdetak tak beraturan, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. “Asal gadis itu bisa diandalkan, rencana kita pasti akan berhasil, Danil. Aku tahu Albert kesepian, dia nggak mungkin tahan kalau keadaannya sudah mendesak. Jadi buat perempuan itu melakukan perintahmu.” Suara Stela terdengar jelas, bening tanpa retakan. Tak ada yang bisa menyangkal lagi. Serentak ruangan bergemuruh. Para reporter yang tadi berteriak menuduh Albert kini

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 38 Panik

    Bruakkk!! Pintu kamar utama terbuka dengan paksa, kayunya bergetar keras menimbulkan bunyi nyaring yang menggema di seluruh lorong. Wartawan yang sudah tak sabar langsung menyerbu masuk dengan kamera menyala, mikrofon teracung, bahkan ada yang langsung menyiarkan secara live ke ponsel mereka. “Ayo cepat! Rekam semua! Ini momen emas!” teriak salah satu reporter bersemangat. Kilatan lampu kamera membuat ruangan seketika terang-benderang, cahaya-cahaya putih memantul di dinding kamar mewah yang elegan. Semua orang berebut posisi, sebagian sampai saling dorong, berharap jadi yang pertama mengabadikan bukti skandal besar itu. Namun detik berikutnya, suara-suara riuh itu berubah jadi kekacauan. “Loh… tidak ada orang di sini!” seru salah satu reporter dengan nada heran. “Bagaimana bisa? Tadi jelas-jelas kita dengar suara perempuan mendesah, kan?” timpal yang lain. Para wartawan mulai celingukan, kamera menyorot setiap sudut kamar. Ada yang membuka pintu kamar mandi, ada yang menyingka

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 37 Sekandal Panas

    “Ini dia mobil Albert,” gumam Stela lirih, matanya menatap tajam ke arah sedan hitam mahal yang berhenti di halaman vila megah itu. Tangannya yang masih menggenggam clutch bag bergetar pelan. Dari balik kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya, sorot matanya berkilat penuh kepuasan ada perasaan cemas sekaligus lega yang bercampur menjadi satu. Danil yang turun dari mobilnya di belakang Stela segera mendekat, jas rapi yang ia kenakan tak bisa menutupi aura licik yang menguar dari dirinya. Ia sengaja berdiri sedikit menyamping agar tak menarik perhatian. “Ingat,” bisiknya tajam, suaranya rendah namun penuh tekanan, “kita harus pura-pura nggak saling kenal. Wartawan yang kupanggil sebentar lagi tiba. Semuanya harus berjalan sesuai rencana. Jangan sampai ada celah.” Stela menarik napas dalam, mencoba menahan degup jantung yang semakin kencang. Dua tahun penuh ia harus bersabar, merencanakan langkah demi langkah untuk sampai pada titik ini. Dua tahun menyimpan kebosanan, rasa muak,

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 36 Diambang Dilema

    Stefani duduk dengan gelisah di dalam taksi, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Nafasnya terasa sesak, seakan ruang kabin sempit itu menutup jalan keluar bagi semua kecemasan yang berdesakan dalam dadanya. Sejak pagi tadi perutnya mual, bukan karena sakit, melainkan karena pikiran-pikiran yang terus berkecamuk, seolah ada suara-suara yang berdebat tanpa henti di kepalanya. Jarum jam menunjuk ke angka dua belas lebih empat puluh lima. Lima belas menit lagi ia akan bertemu Albert, seseorang yang membuat hatinya bergetar sekaligus memunculkan rasa bersalah yang tak terkira. “Bagaimana kalau dia marah? Bagaimana kalau dia benar-benar menganggapku murahan?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia lalu menunduk, menatap tas kecil di pangkuannya. Dari sela resleting yang terbuka, botol kecil berisi obat itu tampak berkilau diterpa cahaya matahari. Tangannya bergetar ketika menyentuh benda itu. Stefani menggenggamnya, lalu buru-buru menarik kembali tangannya seakan bo

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 35 Sebotol Obat

    Stefani tiba di kantor dengan napas terengah, langkahnya cepat meski tubuhnya terasa lemah. Ia tahu dirinya sudah terlambat, beberapa pasang mata menatap sinis ke arahnya begitu ia melewati ruang kerja staf lain. Bisik-bisik kecil terdengar, seakan semua orang menilai dirinya hanya dari pandangan mata. Namun Stefani berusaha menutup telinganya. Ia hanya ingin segera sampai ke mejanya, membuka komputer, dan mengalihkan diri pada pekerjaan. Baru saja ia duduk, layar komputernya baru menyala setengah, suara ketukan sepatu di lantai dan panggilan seorang wanita langsung mencuri perhatiannya. “Stefani,” suara tegas itu datang dari asisten Daniel, wanita berpenampilan rapi dengan wajah tanpa ekspresi. “Pak Daniel menunggumu di ruangannya sekarang.” Stefani menahan napas panjang. Jantungnya langsung berdetak kencang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia memang harus menghadapi ini. Vila yang seharusnya sudah berpindah tangan semalam, justru menjadi awal malapetaka baginya. Dengan tangan ya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status