Share

Bab 6 Bibir Itu...

Author: Aries grils
last update Last Updated: 2025-08-20 12:53:56

Rasa kesepian dan hasrat yang ditekan selama hampir dua tahun terakhir menghantam Albert tanpa ampun. Lima belas tahun pernikahan, ia selalu menjaga kesetiaannya. Tidak sekali pun ia tergoda, meski banyak perempuan yang mendekat, menawarkan senyum menggoda dan peluang selingkuh yang begitu mudah untuk diambil. Namun malam ini… entah mengapa, suasananya berbeda.

Tatapan Albert dan Stefani saling bertemu, seolah ada arus listrik yang mengalir di udara. Jantung Albert berdegup lebih kencang daripada biasanya, menekan dadanya hingga terasa sesak. Ia menelan ludah, mencoba melawan godaan yang muncul begitu kuat saat matanya tertumbuk pada bibir Stefani yang berwarna merah muda, tampak lembut dan berkilau di bawah cahaya lampu kamar villa yang remang. Bibir itu terasa seperti mengajaknya mendekat, seperti berbisik tanpa suara.

Albert mencondongkan tubuhnya perlahan, seolah tubuhnya bergerak tanpa perintah. Napasnya hangat, menguap di antara jarak yang kian menipis. Di hadapannya, Stefani tampak kaku, gugup, dan takut, namun juga tidak menolak. Ada rasa malu yang menyiksa, membuat gadis muda itu ingin berlari, tapi sekaligus ada sesuatu yang menahannya. Kata-kata orang-orang yang memandang rendahnya terngiang di telinganya: "Jangan sok polos, dunia ini keras. Belajar memanfaatkan kesempatan."

Dan malam ini, kata-kata itu terasa nyata.

Stefani menunduk sedikit, jari-jarinya menggenggam ujung roknya, napasnya mulai tak beraturan. Lalu, seakan gayung bersambut, ia pun ikut mencondongkan tubuhnya. Detak jantung keduanya saling bersahutan, seolah-olah ruangan itu hanya berisi suara napas mereka.

Namun sejurus kemudian, kesadaran Albert seperti ditarik paksa kembali. Ada suara kecil di kepalanya yang berteriak lantang.. “Berhenti! Kau bukan laki-laki macam ini, Albert!”

Albert tersentak. Nafasnya memburu, keringat dingin mengalir di pelipis. Ia buru-buru berdiri dengan gerakan canggung, seolah lantai villa itu membakar kakinya. Kursi di dekat ranjang bergeser keras, mengagetkan Stefani yang tertegun dan refleks menarik ujung roknya ke bawah.

“Tu—Tuan Albert… Anda baik-baik saja?” suara Stefani gemetar, antara panik dan kecewa.

Albert mengangguk cepat, tapi jelas kegelisahan menguasainya. Jemarinya menyisir rambutnya ke belakang, berulang kali, mencoba mengembalikan napasnya yang tidak teratur. “Aku… aku baik-baik saja,” ucapnya pelan namun tegang. “Hari sudah malam, aku harus pulang sekarang.”

Stefani menggigit bibirnya, mencoba membaca raut wajah pria dewasa itu. Ada semacam kesedihan sekaligus rasa bersalah di sana, yang entah mengapa menusuk hatinya. “Saya… saya minta maaf kalau tadi saya lancang, Pak,” ujarnya lirih, menunduk dalam-dalam.

Albert menatapnya sebentar, tatapan yang sulit ditebak. “Bukan salahmu, nona Stefani,” katanya datar namun suaranya berat, seolah ada sesuatu yang ia telan paksa. “Justru aku yang seharusnya minta maaf… karena memintamu datang malam-malam begini.”

Ia berjalan cepat menuju pintu, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar, dan meninggalkan Stefani yang masih duduk mematung di tepi ranjang megah itu, dengan jantung yang berdetak tak kalah kencang. Albert membuka pintu villa tanpa menoleh lagi, melangkah ke luar dengan langkah lebar, seolah ingin menghindar dari dirinya sendiri.

Di luar, udara malam yang dingin menyambutnya. Tapi dingin itu tak mampu meredam bara yang mendidih di dadanya. Ia masuk ke dalam mobil, menggenggam setir erat-erat. Matanya menatap kosong ke jalanan gelap di depan, sebelum akhirnya ia mengembuskan napas panjang, menepuk setir keras, seolah menghukum dirinya sendiri.

“Bodoh… bodoh sekali kau, Albert,” gumamnya lirih.

Sementara itu, di kamar villa, Stefani mengusap bibirnya dengan punggung tangan, bukan karena Albert sempat menyentuhnya, tetapi karena jantungnya tak kunjung tenang. Perasaannya campur aduk: gugup, malu, namun entah mengapa ada percikan kecil yang diam-diam ia nikmati.

Di kejauhan, dua hati yang sama-sama kosong kini berdetak tak teratur. Namun keduanya mencoba meyakinkan diri masing-masing, bahwa malam ini hanyalah kesalahan kecil… sebuah “kecelakaan” yang tidak boleh terulang lagi.

Albert menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam, suara mesin meraung di jalanan malam yang lengang. Hatinya kacau, dadanya terasa sesak. Jemarinya gemetar saat meraih ponsel di dashboard, menghubungi Andrew , sahabat lama yang sejak dulu dikenal sebagai sosok flamboyan, pecinta kehidupan malam.

“Andrew, kau di mana?” suara Albert terdengar berat, nyaris serak menahan emosi.

“Di klub, seperti biasa,” sahut Andrew santai, suara musik keras terdengar di latar. “Kenapa? Malam-malam begini biasanya kamu tidur di rumah sama Stelamu, bukan mencari aku.”

“Aku datang ke sana,” jawab Albert cepat.

Hening sejenak di ujung telepon, lalu Andrew tertawa kecil. “Hah! Ini menarik. Cepat ke sini, aku ada di ruang VIP. Aku tunggu.”

Albert memutus sambungan telepon tanpa menjawab lagi. Mobilnya melesat ke arah pusat kota, lampu neon yang berkelip seperti berlari mundur di kaca depannya.

Dalam hati, ia sendiri tidak paham apa yang ia lakukan. Klub malam jelas bukan dunianya. Lima belas tahun pernikahan, Albert selalu menghindari tempat-tempat seperti ini. Namun malam ini… semuanya terasa berantakan. Stela, penolakannya, sindirannya… semua membakar kesabarannya habis-habisan.

Begitu memasuki klub, dentuman musik elektronik langsung menyambut, memukul-mukul dada Albert. Cahaya lampu berwarna-warni berkedip-kedip, tubuh-tubuh orang asing bergoyang tanpa peduli dunia di sekitar mereka. Albert menghela napas panjang. Jelas ia bukan bagian dari ini semua, jas formal dan wajah tegangnya tampak asing di tengah lautan anak muda yang tertawa, bersorak, dan mabuk kebebasan.

Seorang pelayan klub segera menghampiri. “Tuan Albert? Anda mencari Tuan Andrew?” tanyanya sopan meski suara musik nyaris menenggelamkan kata-katanya.

Albert hanya mengangguk singkat. Tanpa banyak bicara, pria itu menuntunnya melewati kerumunan hingga ke sebuah pintu dengan penjaga tinggi besar. Pintu itu terbuka, menyingkap ruang VIP yang jauh lebih tenang , tapi tidak kalah glamor. Sofa kulit, botol-botol minuman mahal, dan aroma parfum mahal bercampur menjadi satu.

Di dalam, Andrew duduk santai, dikelilingi tiga wanita muda yang tertawa genit. Gelas di tangannya terangkat, dan senyum lebarnya langsung merekah melihat sahabatnya datang.

“Hei, bro! Kemarilah!” seru Andrew sambil bangkit separuh tubuhnya. “Astaga, ini benar-benar kejutan. Albert yang paling lurus dan paling setia itu… datang ke klub malam di tengah malam!”

Albert hanya berdecak pelan, wajahnya datar. Ia melangkah masuk, mengabaikan tatapan penasaran dari para wanita yang kini berbisik-bisik lirih. Duduk di sofa seberang Andrew, ia meraih napas panjang, mencoba menahan amarah yang masih menggelora.

Andrew terkekeh, menuangkan minuman ke dalam gelas kristal lalu menyodorkannya pada Albert. “Minum dulu. Kau terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan segalanya.”

Albert menatap gelas itu sejenak. Biasanya ia akan menolak, tapi malam ini berbeda. Tanpa pikir panjang, ia menerima gelas itu dan meneguk setengah isinya sekaligus. Rasa pahit dan panas segera mengalir di tenggorokannya, namun tak juga menghapus rasa perih di dadanya.

Andrew menaikkan alisnya, duduk lebih dekat sambil menyingkirkan salah satu wanita yang mencoba merapat. “Oke, katakan padaku… apa yang terjadi? Jangan bilang Stelamu itu bikin masalah lagi.”

Albert menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. “Andrew… aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya… aku hampir tidak mengenali dia.” Suaranya rendah, nyaris pecah.

Andrew tersenyum miring, menyandarkan tubuh ke sofa. “Ah, aku sudah bilang sejak dulu. Stela itu wanita dingin. Kau terlalu sayang padanya, Al. Lima belas tahun menikah, kau tidak pernah melirik perempuan lain, sementara dia bahkan tidak mau memberimu anak.”

Ucapan itu seperti menampar Albert. Jemarinya menggenggam gelas erat-erat. “Jangan bicara tentang dia seperti itu,” ucapnya datar, tapi nadanya menyimpan kemarahan.

Andrew mengangkat tangan, pura-pura menyerah. “Baiklah, baiklah. Aku tidak akan menghinanya. Tapi aku tahu wajah seperti ini… wajah seorang pria yang lelah menahan diri.”

Albert menatap sahabatnya tajam, namun tidak membantah. Matanya menerawang, bayangan wajah Stela yang penuh sindiran dan tatapan jijik kembali menghantam pikirannya. Lalu tanpa sengaja, terlintas wajah Stefani malam ini, bibir muda itu, mata gugupnya, tubuh mungilnya yang sempat begitu dekat dengannya. Albert menggeleng cepat, mencoba mengusir bayangan itu.

Andrew tersenyum penuh arti, lalu melirik dua wanita yang duduk di sampingnya. “Bro… kau butuh hiburan. Setidaknya satu malam ini, berhenti jadi Albert yang suci itu. Hidup terlalu singkat untuk terus disakiti wanita dingin.”

Albert menatap sahabatnya tajam. “Aku tidak datang ke sini untuk itu, Drew,” ucapnya keras.

Andrew hanya tertawa, mengangkat gelasnya tinggi. “Ya, ya, aku tahu. Tapi percaya padaku… malam ini, kau butuh sesuatu untuk melupakan Stela.”

Albert terdiam, matanya jatuh ke gelasnya yang tinggal setengah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa berada di persimpangan yang berbahaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 7 CEO Kesepian

    Albert menarik napas dalam, memutar gelas di tangannya sebelum akhirnya menatap Andrew.“Stela semakin menuntut banyak hal,” gumamnya lirih. “Kali ini dia mendesak soal villa. Seolah semua yang kulakukan tidak pernah cukup.”Andrew terkekeh kecil, menyandarkan tubuh di sofa empuk. “Kamu yang memilih menikah dengannya, bro. Jangan mengeluh kalau sekarang kamu terjebak dalam drama ratu kecil itu.”Albert hanya mendengus, menenggak minuman yang dituangkan Andrew tanpa berpikir panjang. Rasanya membakar tenggorokannya, cocok dengan amarah yang mendidih di dadanya.“Kenapa kamu bisa tahan hidup begitu, Al? Selalu main aman, selalu menuruti semu maunya istrimu,” Andrew mengangkat gelasnya dengan senyum sinis. “Kadang kamu perlu keluar jalur sedikit, rasakan dunia luar. Tidak semua hal harus lurus dan rapi.”Albert menoleh tajam. "Aku bukan kamu, Andrew!”Andrew hanya mengedikkan bahu. “Santai saja, bro. Hidup ini terlalu pendek untuk dihabiskan dengan wajah masam. Lepaskan sedikit bebanmu m

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 6 Bibir Itu...

    Rasa kesepian dan hasrat yang ditekan selama hampir dua tahun terakhir menghantam Albert tanpa ampun. Lima belas tahun pernikahan, ia selalu menjaga kesetiaannya. Tidak sekali pun ia tergoda, meski banyak perempuan yang mendekat, menawarkan senyum menggoda dan peluang selingkuh yang begitu mudah untuk diambil. Namun malam ini… entah mengapa, suasananya berbeda. Tatapan Albert dan Stefani saling bertemu, seolah ada arus listrik yang mengalir di udara. Jantung Albert berdegup lebih kencang daripada biasanya, menekan dadanya hingga terasa sesak. Ia menelan ludah, mencoba melawan godaan yang muncul begitu kuat saat matanya tertumbuk pada bibir Stefani yang berwarna merah muda, tampak lembut dan berkilau di bawah cahaya lampu kamar villa yang remang. Bibir itu terasa seperti mengajaknya mendekat, seperti berbisik tanpa suara. Albert mencondongkan tubuhnya perlahan, seolah tubuhnya bergerak tanpa perintah. Napasnya hangat, menguap di antara jarak yang kian menipis. Di hadapannya, Stefan

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 5. Memendam Hasrat

    "Bagaimana, sudah dapat villa yang kamu janjikan?"Pertanyaan Stela menyambut kepulangan Albert sore itu dengan nada mendesak, memecah keheningan rumah yang mewah namun terasa dingin. Senyum Albert yang biasanya mampu mencairkan suasana kali ini tampak hambar. Ia melangkah perlahan mendekati istrinya, mencoba meredam ketegangan dengan gestur lembut, mendaratkan kecupan ringan di pelipis wanita yang hampir dua dekade ini menemaninya."Aku akan mengeceknya besok," ujar Albert datar, berusaha menenangkan. Namun, belum sempat tangannya menyentuh bahu Stela, wanita itu tiba-tiba menghindar. Gerakan spontan yang seolah menjadi tamparan tak kasat mata bagi Albert. Stela menutup hidungnya rapat, langkahnya mundur menjauh."Kenapa?" tanya Albert, keningnya berkerut, suara penasaran itu diselimuti nada terluka."Kamu bau, Al. Aku mual dengan bau tubuhmu."Kalimat itu meluncur dari bibir Stela tanpa sedikit pun ragu. Sorot jijik jelas terpampang di matanya, seolah udara di sekitarnya terkontamin

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 4. Sikap Waspada

    Matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, memantulkan cahaya yang seolah ingin membakar kulit Stefani. Namun, panas mentari itu tak ada artinya dibandingkan bara harapan yang berkobar di dalam dadanya. Hari ini bukan hari biasa, ini adalah hari penentuan, hari di mana ia akan membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada dirinya sendiri, bahwa ia layak mendapatkan sesuatu yang lebih besar.Dengan uang pinjaman dari Pak Daniel, Stefani telah menjelma menjadi pribadi baru. Sepasang sepatu mengilap menghiasi kakinya, sementara busana elegan membalut tubuhnya, persis seperti yang disarankan Pak Daniel. Tiap helai kain terasa seperti menambah kepercayaan dirinya, melindungi, sekaligus menegaskan tekadnya.Di depan cermin kecil yang menempel di dinding rumah kontrakannya yang suram, Stefani memeriksa dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jemarinya sempat bergetar saat merapikan ujung roknya, namun senyum tipis segera terbit di bibirnya. “Semoga ini awal dari sesuatu yang baru… sesua

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 3. Prahara Rumah Tangga

    "Anda Tuan Albert?" Suara itu terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam riuh rendah lobby gedung perkantoran mewah. Stefani, dengan gerakan penuh harap, bangkit perlahan setelah memungut berkasnya. Jantungnya berdentam kencang seakan hendak meledak, jemarinya mencengkeram erat berkas-berkas dan brosur villa yang telah ia persiapkan dengan begitu hati-hati. Nama yang baru saja terlontar dari bibirnya membuat dahi Albert berkerut halus. Lelaki itu, tegap dengan setelan jas kelabu yang sempurna, menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang tajam dan berwibawa kini menelusuri sosok gadis muda yang berdiri gugup di hadapannya. Satu alis tebalnya terangkat, mengukir tanda tanya yang jelas di wajah maskulinnya. "Maaf mengganggu, Tuan Albert," ucap Stefani, suaranya bergetar tapi penuh tekad. "Saya Stefani, perwakilan dari High Property. Saya mendengar Anda sedang mencari villa untuk kado pernikahan." Matanya berkilau, penuh permohonan, seolah seluruh hidupnya bergantung pada jawaban pria

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 2. Pertemuan Tak Terduga

    Stefani kembali merasakan pil pahit kekecewaan. Harapan yang baru saja ia bangun runtuh seketika, bagai istana pasir diterjang gelombang. Nama di kartu yang ia genggam erat kini hanya terasa seperti tinta mati di atas kertas, tak lebih. “Maaf, Tuan Albert sedang tidak bisa diganggu.” Kalimat itu menggema di telinganya berulang kali, seperti tamparan dingin yang menyisakan perih berdenyut. Setiap kata menusuk, menyudutkannya ke pojok kecemasan yang kian menggelembung. Tak berdaya berbuat banyak, Stefani pulang ke kamar sempitnya, benteng terakhir dari segala kegagalan. Tasnya mendarat kasar di kasur tua yang menjadi saksi bisu perjuangan seorang gadis muda di tengah kerasnya kota. Dengan tubuh lemah, ia terbaring menatap langit-langit yang retak dan bolong di beberapa bagian, seolah berharap ada jawaban dari setiap celah yang menganga. “Ya Tuhan, sampai kapan kesulitan ini akan berakhir?” bisiknya lirih, bibirnya bergetar. Bayangan wajah Pak Daniel dan kata-kata tajamnya kembal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status