Rasa kesepian dan hasrat yang ditekan selama hampir dua tahun terakhir menghantam Albert tanpa ampun. Lima belas tahun pernikahan, ia selalu menjaga kesetiaannya. Tidak sekali pun ia tergoda, meski banyak perempuan yang mendekat, menawarkan senyum menggoda dan peluang selingkuh yang begitu mudah untuk diambil. Namun malam ini… entah mengapa, suasananya berbeda.
Tatapan Albert dan Stefani saling bertemu, seolah ada arus listrik yang mengalir di udara. Jantung Albert berdegup lebih kencang daripada biasanya, menekan dadanya hingga terasa sesak. Ia menelan ludah, mencoba melawan godaan yang muncul begitu kuat saat matanya tertumbuk pada bibir Stefani yang berwarna merah muda, tampak lembut dan berkilau di bawah cahaya lampu kamar villa yang remang. Bibir itu terasa seperti mengajaknya mendekat, seperti berbisik tanpa suara. Albert mencondongkan tubuhnya perlahan, seolah tubuhnya bergerak tanpa perintah. Napasnya hangat, menguap di antara jarak yang kian menipis. Di hadapannya, Stefani tampak kaku, gugup, dan takut, namun juga tidak menolak. Ada rasa malu yang menyiksa, membuat gadis muda itu ingin berlari, tapi sekaligus ada sesuatu yang menahannya. Kata-kata orang-orang yang memandang rendahnya terngiang di telinganya: "Jangan sok polos, dunia ini keras. Belajar memanfaatkan kesempatan." Dan malam ini, kata-kata itu terasa nyata. Stefani menunduk sedikit, jari-jarinya menggenggam ujung roknya, napasnya mulai tak beraturan. Lalu, seakan gayung bersambut, ia pun ikut mencondongkan tubuhnya. Detak jantung keduanya saling bersahutan, seolah-olah ruangan itu hanya berisi suara napas mereka. Namun sejurus kemudian, kesadaran Albert seperti ditarik paksa kembali. Ada suara kecil di kepalanya yang berteriak lantang.. “Berhenti! Kau bukan laki-laki macam ini, Albert!” Albert tersentak. Nafasnya memburu, keringat dingin mengalir di pelipis. Ia buru-buru berdiri dengan gerakan canggung, seolah lantai villa itu membakar kakinya. Kursi di dekat ranjang bergeser keras, mengagetkan Stefani yang tertegun dan refleks menarik ujung roknya ke bawah. “Tu—Tuan Albert… Anda baik-baik saja?” suara Stefani gemetar, antara panik dan kecewa. Albert mengangguk cepat, tapi jelas kegelisahan menguasainya. Jemarinya menyisir rambutnya ke belakang, berulang kali, mencoba mengembalikan napasnya yang tidak teratur. “Aku… aku baik-baik saja,” ucapnya pelan namun tegang. “Hari sudah malam, aku harus pulang sekarang.” Stefani menggigit bibirnya, mencoba membaca raut wajah pria dewasa itu. Ada semacam kesedihan sekaligus rasa bersalah di sana, yang entah mengapa menusuk hatinya. “Saya… saya minta maaf kalau tadi saya lancang, Pak,” ujarnya lirih, menunduk dalam-dalam. Albert menatapnya sebentar, tatapan yang sulit ditebak. “Bukan salahmu, nona Stefani,” katanya datar namun suaranya berat, seolah ada sesuatu yang ia telan paksa. “Justru aku yang seharusnya minta maaf… karena memintamu datang malam-malam begini.” Ia berjalan cepat menuju pintu, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar, dan meninggalkan Stefani yang masih duduk mematung di tepi ranjang megah itu, dengan jantung yang berdetak tak kalah kencang. Albert membuka pintu villa tanpa menoleh lagi, melangkah ke luar dengan langkah lebar, seolah ingin menghindar dari dirinya sendiri. Di luar, udara malam yang dingin menyambutnya. Tapi dingin itu tak mampu meredam bara yang mendidih di dadanya. Ia masuk ke dalam mobil, menggenggam setir erat-erat. Matanya menatap kosong ke jalanan gelap di depan, sebelum akhirnya ia mengembuskan napas panjang, menepuk setir keras, seolah menghukum dirinya sendiri. “Bodoh… bodoh sekali kau, Albert,” gumamnya lirih. Sementara itu, di kamar villa, Stefani mengusap bibirnya dengan punggung tangan, bukan karena Albert sempat menyentuhnya, tetapi karena jantungnya tak kunjung tenang. Perasaannya campur aduk: gugup, malu, namun entah mengapa ada percikan kecil yang diam-diam ia nikmati. Di kejauhan, dua hati yang sama-sama kosong kini berdetak tak teratur. Namun keduanya mencoba meyakinkan diri masing-masing, bahwa malam ini hanyalah kesalahan kecil… sebuah “kecelakaan” yang tidak boleh terulang lagi. Albert menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam, suara mesin meraung di jalanan malam yang lengang. Hatinya kacau, dadanya terasa sesak. Jemarinya gemetar saat meraih ponsel di dashboard, menghubungi Andrew , sahabat lama yang sejak dulu dikenal sebagai sosok flamboyan, pecinta kehidupan malam. “Andrew, kau di mana?” suara Albert terdengar berat, nyaris serak menahan emosi. “Di klub, seperti biasa,” sahut Andrew santai, suara musik keras terdengar di latar. “Kenapa? Malam-malam begini biasanya kamu tidur di rumah sama Stelamu, bukan mencari aku.” “Aku datang ke sana,” jawab Albert cepat. Hening sejenak di ujung telepon, lalu Andrew tertawa kecil. “Hah! Ini menarik. Cepat ke sini, aku ada di ruang VIP. Aku tunggu.” Albert memutus sambungan telepon tanpa menjawab lagi. Mobilnya melesat ke arah pusat kota, lampu neon yang berkelip seperti berlari mundur di kaca depannya. Dalam hati, ia sendiri tidak paham apa yang ia lakukan. Klub malam jelas bukan dunianya. Lima belas tahun pernikahan, Albert selalu menghindari tempat-tempat seperti ini. Namun malam ini… semuanya terasa berantakan. Stela, penolakannya, sindirannya… semua membakar kesabarannya habis-habisan. Begitu memasuki klub, dentuman musik elektronik langsung menyambut, memukul-mukul dada Albert. Cahaya lampu berwarna-warni berkedip-kedip, tubuh-tubuh orang asing bergoyang tanpa peduli dunia di sekitar mereka. Albert menghela napas panjang. Jelas ia bukan bagian dari ini semua, jas formal dan wajah tegangnya tampak asing di tengah lautan anak muda yang tertawa, bersorak, dan mabuk kebebasan. Seorang pelayan klub segera menghampiri. “Tuan Albert? Anda mencari Tuan Andrew?” tanyanya sopan meski suara musik nyaris menenggelamkan kata-katanya. Albert hanya mengangguk singkat. Tanpa banyak bicara, pria itu menuntunnya melewati kerumunan hingga ke sebuah pintu dengan penjaga tinggi besar. Pintu itu terbuka, menyingkap ruang VIP yang jauh lebih tenang , tapi tidak kalah glamor. Sofa kulit, botol-botol minuman mahal, dan aroma parfum mahal bercampur menjadi satu. Di dalam, Andrew duduk santai, dikelilingi tiga wanita muda yang tertawa genit. Gelas di tangannya terangkat, dan senyum lebarnya langsung merekah melihat sahabatnya datang. “Hei, bro! Kemarilah!” seru Andrew sambil bangkit separuh tubuhnya. “Astaga, ini benar-benar kejutan. Albert yang paling lurus dan paling setia itu… datang ke klub malam di tengah malam!” Albert hanya berdecak pelan, wajahnya datar. Ia melangkah masuk, mengabaikan tatapan penasaran dari para wanita yang kini berbisik-bisik lirih. Duduk di sofa seberang Andrew, ia meraih napas panjang, mencoba menahan amarah yang masih menggelora. Andrew terkekeh, menuangkan minuman ke dalam gelas kristal lalu menyodorkannya pada Albert. “Minum dulu. Kau terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan segalanya.” Albert menatap gelas itu sejenak. Biasanya ia akan menolak, tapi malam ini berbeda. Tanpa pikir panjang, ia menerima gelas itu dan meneguk setengah isinya sekaligus. Rasa pahit dan panas segera mengalir di tenggorokannya, namun tak juga menghapus rasa perih di dadanya. Andrew menaikkan alisnya, duduk lebih dekat sambil menyingkirkan salah satu wanita yang mencoba merapat. “Oke, katakan padaku… apa yang terjadi? Jangan bilang Stelamu itu bikin masalah lagi.” Albert menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. “Andrew… aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya… aku hampir tidak mengenali dia.” Suaranya rendah, nyaris pecah. Andrew tersenyum miring, menyandarkan tubuh ke sofa. “Ah, aku sudah bilang sejak dulu. Stela itu wanita dingin. Kau terlalu sayang padanya, Al. Lima belas tahun menikah, kau tidak pernah melirik perempuan lain, sementara dia bahkan tidak mau memberimu anak.” Ucapan itu seperti menampar Albert. Jemarinya menggenggam gelas erat-erat. “Jangan bicara tentang dia seperti itu,” ucapnya datar, tapi nadanya menyimpan kemarahan. Andrew mengangkat tangan, pura-pura menyerah. “Baiklah, baiklah. Aku tidak akan menghinanya. Tapi aku tahu wajah seperti ini… wajah seorang pria yang lelah menahan diri.” Albert menatap sahabatnya tajam, namun tidak membantah. Matanya menerawang, bayangan wajah Stela yang penuh sindiran dan tatapan jijik kembali menghantam pikirannya. Lalu tanpa sengaja, terlintas wajah Stefani malam ini, bibir muda itu, mata gugupnya, tubuh mungilnya yang sempat begitu dekat dengannya. Albert menggeleng cepat, mencoba mengusir bayangan itu. Andrew tersenyum penuh arti, lalu melirik dua wanita yang duduk di sampingnya. “Bro… kau butuh hiburan. Setidaknya satu malam ini, berhenti jadi Albert yang suci itu. Hidup terlalu singkat untuk terus disakiti wanita dingin.” Albert menatap sahabatnya tajam. “Aku tidak datang ke sini untuk itu, Drew,” ucapnya keras. Andrew hanya tertawa, mengangkat gelasnya tinggi. “Ya, ya, aku tahu. Tapi percaya padaku… malam ini, kau butuh sesuatu untuk melupakan Stela.” Albert terdiam, matanya jatuh ke gelasnya yang tinggal setengah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa berada di persimpangan yang berbahaya.“A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h
“Apa kamu yakin rencana kita akan berhasil, sayang?” Suara wanita itu terdengar jelas dari rekaman yang diputar Bobby. Semua orang di ruangan—wartawan, Danil, bahkan Stela sendiri—membeku di tempatnya. Mikrofon yang tadi teracung kini perlahan diturunkan, sementara kamera masih terus menyala, mengabadikan momen yang jauh lebih besar dari sekadar dugaan perselingkuhan. Danil yang berdiri di dekat pintu kamar seketika pucat pasi. Tubuhnya kaku, matanya melebar tak percaya. Suara itu… terlalu familiar. Ia menoleh perlahan pada Stela, jantungnya berdetak tak beraturan, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. “Asal gadis itu bisa diandalkan, rencana kita pasti akan berhasil, Danil. Aku tahu Albert kesepian, dia nggak mungkin tahan kalau keadaannya sudah mendesak. Jadi buat perempuan itu melakukan perintahmu.” Suara Stela terdengar jelas, bening tanpa retakan. Tak ada yang bisa menyangkal lagi. Serentak ruangan bergemuruh. Para reporter yang tadi berteriak menuduh Albert kini
Bruakkk!! Pintu kamar utama terbuka dengan paksa, kayunya bergetar keras menimbulkan bunyi nyaring yang menggema di seluruh lorong. Wartawan yang sudah tak sabar langsung menyerbu masuk dengan kamera menyala, mikrofon teracung, bahkan ada yang langsung menyiarkan secara live ke ponsel mereka. “Ayo cepat! Rekam semua! Ini momen emas!” teriak salah satu reporter bersemangat. Kilatan lampu kamera membuat ruangan seketika terang-benderang, cahaya-cahaya putih memantul di dinding kamar mewah yang elegan. Semua orang berebut posisi, sebagian sampai saling dorong, berharap jadi yang pertama mengabadikan bukti skandal besar itu. Namun detik berikutnya, suara-suara riuh itu berubah jadi kekacauan. “Loh… tidak ada orang di sini!” seru salah satu reporter dengan nada heran. “Bagaimana bisa? Tadi jelas-jelas kita dengar suara perempuan mendesah, kan?” timpal yang lain. Para wartawan mulai celingukan, kamera menyorot setiap sudut kamar. Ada yang membuka pintu kamar mandi, ada yang menyingka
“Ini dia mobil Albert,” gumam Stela lirih, matanya menatap tajam ke arah sedan hitam mahal yang berhenti di halaman vila megah itu. Tangannya yang masih menggenggam clutch bag bergetar pelan. Dari balik kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya, sorot matanya berkilat penuh kepuasan ada perasaan cemas sekaligus lega yang bercampur menjadi satu. Danil yang turun dari mobilnya di belakang Stela segera mendekat, jas rapi yang ia kenakan tak bisa menutupi aura licik yang menguar dari dirinya. Ia sengaja berdiri sedikit menyamping agar tak menarik perhatian. “Ingat,” bisiknya tajam, suaranya rendah namun penuh tekanan, “kita harus pura-pura nggak saling kenal. Wartawan yang kupanggil sebentar lagi tiba. Semuanya harus berjalan sesuai rencana. Jangan sampai ada celah.” Stela menarik napas dalam, mencoba menahan degup jantung yang semakin kencang. Dua tahun penuh ia harus bersabar, merencanakan langkah demi langkah untuk sampai pada titik ini. Dua tahun menyimpan kebosanan, rasa muak,
Stefani duduk dengan gelisah di dalam taksi, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Nafasnya terasa sesak, seakan ruang kabin sempit itu menutup jalan keluar bagi semua kecemasan yang berdesakan dalam dadanya. Sejak pagi tadi perutnya mual, bukan karena sakit, melainkan karena pikiran-pikiran yang terus berkecamuk, seolah ada suara-suara yang berdebat tanpa henti di kepalanya. Jarum jam menunjuk ke angka dua belas lebih empat puluh lima. Lima belas menit lagi ia akan bertemu Albert, seseorang yang membuat hatinya bergetar sekaligus memunculkan rasa bersalah yang tak terkira. “Bagaimana kalau dia marah? Bagaimana kalau dia benar-benar menganggapku murahan?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia lalu menunduk, menatap tas kecil di pangkuannya. Dari sela resleting yang terbuka, botol kecil berisi obat itu tampak berkilau diterpa cahaya matahari. Tangannya bergetar ketika menyentuh benda itu. Stefani menggenggamnya, lalu buru-buru menarik kembali tangannya seakan bo
Stefani tiba di kantor dengan napas terengah, langkahnya cepat meski tubuhnya terasa lemah. Ia tahu dirinya sudah terlambat, beberapa pasang mata menatap sinis ke arahnya begitu ia melewati ruang kerja staf lain. Bisik-bisik kecil terdengar, seakan semua orang menilai dirinya hanya dari pandangan mata. Namun Stefani berusaha menutup telinganya. Ia hanya ingin segera sampai ke mejanya, membuka komputer, dan mengalihkan diri pada pekerjaan. Baru saja ia duduk, layar komputernya baru menyala setengah, suara ketukan sepatu di lantai dan panggilan seorang wanita langsung mencuri perhatiannya. “Stefani,” suara tegas itu datang dari asisten Daniel, wanita berpenampilan rapi dengan wajah tanpa ekspresi. “Pak Daniel menunggumu di ruangannya sekarang.” Stefani menahan napas panjang. Jantungnya langsung berdetak kencang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia memang harus menghadapi ini. Vila yang seharusnya sudah berpindah tangan semalam, justru menjadi awal malapetaka baginya. Dengan tangan ya