Kebaya putih rancangan desainer ternama itu membalut tubuhnya dengan sempurna fit, presisi, mengikuti setiap lekuk tubuhnya yang ideal, membentuk siluet feminin yang begitu menawan.
Di depan cermin raksasa, Sherine berdiri dalam diam. Sorot matanya kosong. Untuk sesaat, ia seperti tidak mengenali pantulan dirinya sendiri. Wajah yang selama ini tampil sempurna di layar gawai jutaan orang, kini justru tampak asing.Mata hazel kehijauannya berkilau dalam balutan riasan sempurna. Kulitnya bersih dan bercahaya, seolah tak pernah disentuh kesedihan. Namun jauh di balik penampilan nyaris surgawi itu, hatinya tak ubahnya ruang kosong yang tak bersuara.
Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Hari ini bukan tentang cinta.
Bukan pula tentang impian pernikahan dalam dongeng masa kecil.Hari ini tentang... reputasi.Tentang rahasia yang harus dikubur dalam, dan hanya diketahui oleh dirinya, Dewa, dan Tuhan.
Suara ijab kabul menggema dari balik dinding ballroom.
"Saya terima nikahnya Sherine Souad Ahlam binti Mustafa Ahlam dengan mas kawin tersebut, tunai."
Suara Bramastha Sadewa Tharaindra Hadisetyo, pria dingin yang kini menjadi suaminya, terdengar tegas, dalam, dan mantap.
Meski nada suaranya tak menyiratkan emosi, gemanya justru menusuk hingga ke jantung Sherine. Satu kata dari para saksi mengunci takdirnya "Sah!"
Seakan dibangunkan dari mimpi yang dipaksakan, Sherine tersentak pelan.
Ilona Elianoor Meer, sang Umma, masuk dengan langkah terburu dan mata basah. Ia langsung memeluk Sherine, menumpahkan haru yang sejak tadi ditahan.
“Sherine… selamat, Nak. Kini kamu telah sah menjadi seorang istri. Semoga rumah tanggamu selalu dalam lindungan-Nya,” bisiknya lembut.Sherine membalas pelukan itu dengan senyum tipis. Tapi jauh di balik senyum dan kebaya mewahnya, hatinya seperti baru saja retak dalam diam.
Ia kini tak lagi sekadar beauty vlogger dengan jutaan pengikut, atau supervisor berpenghasilan dua digit di perusahaan skincare elit milik Dewa. Kini, ia adalah seorang istri. Dari pria yang tidak mencintainya dan yang tidak ia cintai.
Didampingi Zoya, adik perempuannya, dan Farah, sepupu seumuran yang selalu ceria, Sherine melangkah keluar ruangan.
Mata-mata para tamu langsung mengarah padanya, takjub akan kecantikannya yang nyaris tak masuk akal. Namun hanya Sherine yang tahu, di balik pancaran pesona itu, luka sedang tumbuh diam-diam.
Di ujung ballroom, Dewa terpaku memandang istrinya. Ada yang aneh dalam dadanya. Sherine begitu... memesona. Bahkan terlalu memesona.
Ia yang selama ini percaya bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas, kini mulai merasakan sesuatu bergerak dalam dirinya. Sesuatu yang tak ia undang. Tak ia rencanakan.
“Pak Dewa, sampai bengong lihat istri sendiri ya?” seloroh sang MC, disambut gelak tawa para tamu.
Dewa tersadar. Ia mengangguk kaku, menyeka lehernya yang tiba-tiba terasa panas. Sherine melirik sekilas. Ada geli yang nyaris muncul di wajahnya, kalau saja hatinya tak sedang bergumul dengan ribuan kegelisahan.
Acara dilanjutkan dengan doa. Dewa duduk di samping Sherine. Tangannya yang besar menyentuh ubun-ubun istrinya. “Allāhumma inni as’aluka min khairihā...”
Doanya lirih, namun penuh makna. Tangannya sedikit gemetar, dan Sherine bisa merasakannya. Dewa terkejut dan gugup.
Lelaki yang biasanya tegas, tenang, dan percaya diri saat memimpin rapat bersama client dengan ratusan miliaran rupiah, kini bergetar di hadapan seorang wanita yang kini menjadi istrinya.Usai doa, tamu-tamu mulai berdatangan. Ruangan mewah itu menjadi panggung megah penuh senyum dan sorotan kamera.
Di antara mereka, hadir pasangan elegan seorang pria dengan setelan abu muda dan wanita anggun berhijab. Mereka adalah keluarganya sendiri yaitu Om Arya Wisnu Hadisetyo dan istrinya yaitu Tante Jahanara.
“Maaf, Om, Tante, merepotkan harus datang jauh-jauh,” ucap Dewa sambil menyalami mereka.
“Tentu tidak, ini hari bahagiamu, Nak,” jawab Om Arya, menepuk bahunya.
Tante Jahanara tersenyum manis. “Tante minta maaf, sayang. Sepupu kamu itu belum bisa hadir. Dia masih sibuk di London, katanya pekerjaannya tak bisa ditinggal sama sekali.”
Dewa tertawa ringan. “Anak bodoh itu memang keras kepala. Bahkan di hari sepenting ini, dia tetap menolak cuti.”
“Setiap hari Tante telepon, jawabannya cuma satu, sibuk,” sambung Jahanara sambil menggeleng pelan.
“Ya tapi... kamu juga panutannya. Kamu seorang pekerja keras, dia itu meniru kamu,” timpal Om Arya sambil tertawa.
Sherine hanya mengangguk sopan. Ia belum mengenal keluarga itu dengan baik. Namun sorot mata Tante Jahanara, meski ramah, terasa... menilai. Seolah sedang mengukur siapa Sherine sesungguhnya.
MC kembali memanggil keluarga untuk sesi foto bersama pengantin.
“Pak Dewa, saya juga hampir gagal fokus lihat istri Bapak. Luar biasa,” canda MC, yang lagi-lagi membuat seisi ruangan tertawa.Sherine hanya tersenyum tipis.Sementara Dewa gelagapan. Ia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan degup jantung yang semakin liar.
Langkah awal telah dimulai. Dua orang asing, berdiri di altar kehidupan, saling menyembunyikan kebenaran yang tak bisa diungkap.
Malam menjelang. Hotel tempat mereka menikah telah menyiapkan kamar penganti secara khusus. Ranjang didekorasi dengan kelopak mawar dan lampu remang romantis.
Tirai putih melambai lembut di tiupan angin malam yang masuk dari balkon ber-view kota.
Sherine masuk ke kamar pengantin mereka, menyeret gaunnya yang menjuntai. Matanya berbinar penuh kekaguman.
“Wow… ini indah sekali. Terlalu indah dan... mahal,” ujarnya dengan senyum kagum. Ia menelusuri dinding kamar, jemarinya menyentuh ornamen klasik dan cahaya lilin yang memantul di kaca.
Dewa berdiri di belakangnya. “Kamar ini memang dirancang khusus,” jawabnya singkat, mencoba tetap tenang.
Sherine tertawa kecil. “Ini seperti adegan film. Romantis banget.”
Dewa hanya menatap. Ia mengedip pelan, lalu membuang pandangan ke arah lain. Tapi sesungguhnya, pikirannya tak lagi bisa dikendalikan.
Kecantikan Sherine... tubuhnya... caranya tersenyum... semuanya mengusik sisi maskulinnya.
Bayangan liar mulai bermain di kepala Dewa. Ia membayangkan Sherine mendekat, ia memeluk pinggang ramping itu, lalu membenamkan ciuman di bibir manis yang sejak tadi menantang pikirannya.
“Pak Dewa?” suara lembut itu menyadarkannya.
“Hm? Apa?”
“Saya mandi dulu, ya.”
“I—iya. Tentu,” ucapnya gugup.
Sherine tersenyum manis. Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi, lalu dengan tenang mulai membuka kancing belakang gaunnya. Dewa sempat menangkap punggung mulus yang tersingkap.
Ia buru-buru membalik badan, wajahnya memanas. Pintu kamar mandi tertutup, dan suara air mengalir mulai terdengar. Dewa menelan ludah. “Ya Tuhan... kenapa jantungku berdetak dua kali lebih cepat?”
Tiba-tiba...
“Aaaa!!! Pak Dewa!!!”
Suara teriakan Sherine menggema dari dalam kamar mandi.Dewa langsung menoleh panik. “Sherine?!”
Cinta tak selalu datang dengan ketukan keras. Kadang ia hadir dalam diam, saat kau mencoba mengabaikannya. Dan itulah yang sedang di alami oleh sepasang suami istri yang telah berkomitmen untuk tidak saling jatuh cinta. Sherine melangkah keluar dari ruang VIP dengan dagu terangkat, namun hatinya terasa rapuh seperti kaca retak yang sewaktu-waktu bisa hancur hanya karena satu getaran. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer dingin restoran, menciptakan gema yang seirama dengan denyut di dadanya yang mulai tak menentu. Ia tak ingin menunggu Dewa menyelesaikan telepon itu. Ia tak ingin mendengar suara wanita lain yang mungkin masih menguasai ruang terdalam hati suaminya. Dan ia... tak ingin terlihat cemburu. Namun nyatanya, dadanya nyeri. Dewa masih di dalam, berdiri bersandar di dinding ruangan VIP dengan ponsel menempel di telinga. Suara Veneza di seberang terasa seperti badai kecil yang berusaha menenggelamkan apa yang selama ini ia coba jaga tetap tenang. "Ada apa, Ven?" Suara
"Tidak apa-apa, Jeeh. Kapan kamu akan pulang ke Indonesia?"Suara Dewa terdengar santai tapi hangat di ujung telepon.Dari seberang lautan, suara pria muda menjawab dengan nada rendah dan berkarisma, "Minggu depan aku akan pulang."Dewa tertawa pelan. “Baiklah, anak bodoh. Mampir ke rumahku, oke?”“Baik.”“Aku pikir kau menikah dengan Veneza,” lanjut Jeeh tanpa ragu.“Tidak. Sudah, lupakan.”“Baiklah…”“Kalau begitu, sampai jumpa.”“Sampai jumpa.”Jutaan mil jauhnya di pusat kota London, seorang pria tengah bersandar santai di balik kursi hitam kulit ergonomis. Ruangannya luas, dengan dinding kaca setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk. Interior ruang kerjanya modern, bernuansa charcoal dan krem, lengkap dengan rak buku, meja marmer gelap, dan tanaman hijau tropis di sudut ruangan.Itulah Jeehangir Sagara Aurangzeb Hadisetyo.Pria berdarah India-Inggris dari ibunya dan Indonesia dari ayahnya. Tinggi, tegap, dengan rahang tegas, mata tajam warna cokelat pek
Pagi belum sepenuhnya hangat, tapi dapur rumah besar itu sudah ramai oleh suara sayup-sayup.Bi Lilis, Una, dan Adji duduk di meja makan kecil di ujung dapur sambil menyeruput teh manis. Tapi bukan teh yang mereka nikmati, melainkan obrolan penuh tanda tanya yang menggantung sejak malam pertama sang majikan membawa istrinya ke rumah ini."Mas Dewa itu... sungguh beda ya. Masa pengantin baru tidurnya pisah kamar?” bisik Una sambil memotong buah.Bi Lilis mengangguk cepat. “Iya, padahal Mbak Sherine itu cantiknya... aduhai. Luar dalam.”Adji menyahut, “Saya aja yang cuma supir, kagum lihat Bu Sherine. Tapi kok bisa Mas Dewa gak tergoda?”“Kalau saya punya wajah secantik itu, pasti suami saya tidak akan keluar rumah 7 hari 7 malam” ujar Bi Lilis.“Mantanya Mas Dewa dulu, Mbak Veneza yang katanya super model itu. Perasaan gak secantik Mbak Sherine ya” timpal Una.“Jangan-jangan...” Tapi bisikan mereka terpotong suara langkah kaki.Sherine muncul dari arah tangga, mengenakan blouse putih
Langit malam menggantung kelabu, dan suara detak jam dinding terdengar makin nyaring di antara sunyi kamar. Dewa membuka mata perlahan.Cahaya remang dari lampu tidur membiaskan siluet Sherine yang tertidur di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Dewa.Tanpa suara, Dewa bangkit. Kakinya menjejak lantai dengan hati-hati. Ia mengambil ponsel dari meja nakas, lalu melangkah ke balkon, membuka pintu kaca pelan agar tak menimbulkan suara.“Halo, Ven?” suaranya rendah, terdengar sedikit lelah.“Dewa! Dari mana saja kamu? Nomormu gak aktif dari tadi sore.”Nada suara wanita itu terdengar menuntut, namun terselip kecemasan di baliknya.Dewa menarik napas panjang. Kepalanya menunduk, tangan kirinya menggenggam pagar balkon yang dingin.“Maafkan aku… kamu tahu kan, hari ini... hari pernikahanku.”Ada hening beberapa detik.Lalu suara Veneza terdengar lebih tajam. “Dan kamu juga tahu bahwa itu hanya formalitas dua tahun. Itu janji kamu padaku. Kau ingat, kan, kenapa kau menikahi wanita itu?”D
Teriakan Sherine bergema begitu nyaring, membuat Dewa langsung tersentak dari lamunannya. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah pintu kamar mandi dan membuka pintunya dengan cemas.“Sherine?!” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh mungil itu langsung melesak ke dalam pelukannya. Tangannya melingkar di pinggangnya, wajahnya terbenam di dada bidang Dewa yang masih berdetak kencang sejak awal malam. Tubuhnya bergetar. Nafasnya tak teratur. Matanya ketakutan.Dewa mematung. Ia benar-benar tak siap untuk ini. Tubuh Sherine yang hanya terbalut handuk putih pendek nyaris tak menutupi pahanya membuat debar di dadanya melonjak tak beraturan.Wewangian dari kulit basah Sherine menyeruak, menciptakan badai kecil dalam pikirannya yang biasanya tenang.“Tenang… Sherine, ada apa?” gumam Dewa pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan dalam suaranya.“A… ada kecoa…” jawab Sherine tergagap, masih menempel di tubuhnya.Dewa sempat menahan napas. “Kecoa?”“Coba saya lihat,” ucapnya, sambil perlaha
Kebaya putih rancangan desainer ternama itu membalut tubuhnya dengan sempurna fit, presisi, mengikuti setiap lekuk tubuhnya yang ideal, membentuk siluet feminin yang begitu menawan.Di depan cermin raksasa, Sherine berdiri dalam diam. Sorot matanya kosong. Untuk sesaat, ia seperti tidak mengenali pantulan dirinya sendiri. Wajah yang selama ini tampil sempurna di layar gawai jutaan orang, kini justru tampak asing.Mata hazel kehijauannya berkilau dalam balutan riasan sempurna. Kulitnya bersih dan bercahaya, seolah tak pernah disentuh kesedihan. Namun jauh di balik penampilan nyaris surgawi itu, hatinya tak ubahnya ruang kosong yang tak bersuara.Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Hari ini bukan tentang cinta.Bukan pula tentang impian pernikahan dalam dongeng masa kecil.Hari ini tentang... reputasi. Tentang rahasia yang harus dikubur dalam, dan hanya diketahui oleh dirinya, Dewa, dan Tuhan.Suara ijab kabul menggema dari balik dinding ballroom."Saya terima nika