LOGINTeriakan Sherine bergema begitu nyaring, membuat Dewa langsung tersentak dari lamunannya. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah pintu kamar mandi dan membuka pintunya dengan cemas.
“Sherine?!” serunya panik.
Begitu pintu terbuka, tubuh mungil itu langsung melesak ke dalam pelukannya. Tangannya melingkar di pinggangnya, wajahnya terbenam di dada bidang Dewa yang masih berdetak kencang sejak awal malam.
Tubuhnya bergetar. Nafasnya tak teratur. Matanya ketakutan.
Dewa mematung. Ia benar-benar tak siap untuk ini. Tubuh Sherine yang hanya terbalut handuk putih pendek nyaris tak menutupi pahanya membuat debar di dadanya melonjak tak beraturan.
Wewangian dari kulit basah Sherine menyeruak, menciptakan badai kecil dalam pikirannya yang biasanya tenang.
“Tenang… Sherine, ada apa?” gumam Dewa pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan dalam suaranya.
“A… ada kecoa…” jawab Sherine tergagap, masih menempel di tubuhnya.
Dewa sempat menahan napas. “Kecoa?”
“Coba saya lihat,” ucapnya, sambil perlahan melepaskan pelukan lembut Sherine.
Dengan langkah cepat, Dewa masuk ke dalam kamar mandi. Ia menyisir seluruh area dengan pandangan tajam, mencari makhluk kecil yang bisa menimbulkan kepanikan sebesar ini.
“Di mana?” tanyanya sambil memindai sudut-sudut ruangan.
“Di dekat bathtub… saya lihat hitam, besar…” sahut Sherine dari luar, masih terdengar takut.
Dewa menghela napas lega begitu matanya menangkap benda yang dimaksud. Ia mengangkatnya sebuah penutup saluran air berbahan karet, berwarna cokelat gelap dan bentuknya… memang cukup menyerupai kecoa dari kejauhan.
Ia keluar sambil menahan tawa yang nyaris pecah. Di tangannya, benda yang tadi membuat Sherine histeris itu kini terlihat sangat tidak berbahaya.
“Ini pelakunya.” Dewa menunjukkan karet tersebut.
Sherine menatapnya. Seketika wajahnya memerah, antara malu dan kesal pada dirinya sendiri. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu memalingkan badan.
“Ya ampun… aku… aku malu banget,” gumamnya pelan.
Dewa hanya tersenyum simpul. Dalam hati, ia justru merasa momen ini... hangat.
“Gak apa-apa. Kalau saya jadi kamu, saya juga mungkin panik,” katanya menenangkan, meski jelas itu hanya bentuk sopan santun dari seorang pria yang hampir saja kehilangan kendali karena pelukan spontan itu.
Sherine buru-buru masuk kembali ke kamar mandi dan menutup pintu. Ia bersandar di baliknya, menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Apa yang barusan kulakukan?!”
Air hangat mulai mengisi bathtub, tapi wajah Sherine masih bersemu merah. Bayangan dada bidang Dewa, aroma tubuhnya yang maskulin, cara lelaki itu memeluknya dengan tangan kuat semuanya terputar ulang dalam pikirannya.
Ia menghela napas dalam-dalam dan mencelupkan tubuhnya ke dalam air. Butiran busa menyelimuti kulitnya. Hangat. Menenangkan. Tapi pikirannya... tetap kacau.
“Aduh, kenapa aku bisa selebay itu… dan peluk dia lagi...” bisiknya pada diri sendiri, semakin membuat pipinya memanas sambil memukul-mukul air.
Di luar, Dewa terduduk di sisi ranjang, menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Iamengusap rambutnya yang sedikit lembap, lalu menunduk.
“Aku bisa gila kalau seperti ini terus” keluhnya.
Tubuhnya lembut. Keharumannya menusuk. Matanya saat ketakutan… begitu jujur.
Perasaan aneh mulai memenuhi dadanya. Bukan sekadar hasrat... tapi juga rasa ingin melindungi.Ia mencoba menepisnya. “Sadar Dewa, sadar.. ingat janjimu padanya bahwa pernikahan ini tanpa cinta hanya perjanjian dan formalitas. Ingat itu!” ucapnya prustasi.
Selesai mandi, Sherine keluar dengan balutan jubah sutra putih yang menjuntai lembut di tubuhnya.
Rambut panjangnya masih basah, menjuntai di bahu, menambah kesan feminin yang begitu menggoda. Dewa menoleh sekilas, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Udah selesai,” ucap Sherine canggung.
“Bagus,” jawab Dewa cepat, terlalu cepat, terlalu gugup.
Sherine duduk di sisi tempat tidur. Suasana jadi kikuk. Jantungnya masih belum tenang. Mereka kini benar-benar berdua. Di kamar pengantin yang indah.
Dengan cahaya remang, tirai melambai lembut, dan aroma mawar yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan.
“Mau mandi sekarang?” tanya Sherine mencoba mencairkan suasana.
“Iya… saya mandi dulu,” jawab Dewa tanpa berani menatapnya lama.
Setelah Dewa masuk ke kamar mandi, Sherine mulai mengeringkan rambutnya. Jemarinya menari di sela-sela helaian rambut yang masih lembap, sesekali menatap bayangannya di cermin kamar.
Sinar lampu remang membuat kulitnya terlihat semakin bercahaya, seperti porselen hangat yang memancarkan kelembutan alami.
Ia lalu meraih botol skincare di meja rias. Dengan gerakan pelan dan penuh perhatian, ia mengoleskan krim ke wajahnya, lalu ke leher, hingga ke seluruh tubuhnya.
Kulitnya yang sudah halus kini makin bersinar lembut. Setelahnya, ia menyemprotkan body mist ke bagian pergelangan tangan, tengkuk, dan dada.
Aroma mawar dan musk yang elegan perlahan memenuhi ruang, menyatu sempurna dengan hawa malam yang tenang.
Mini dress satin yang ia kenakan membungkus tubuhnya seperti aliran air. Lembut, licin, dan menggoda. Paha mulusnya terpapar sebagian, dan bahunya yang telanjang memantulkan cahaya samar dari lampu tidur.
“Aku harap Pak Dewa gak ilfil sama aku atau berpikir aku sedang menggodanya” ucapnya sambil mendenguskan nafas gusar.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Uap hangat mengiringi langkah Dewa yang keluar dengan tubuh setengah telanjang, hanya berbalut handuk putih di pinggang.
Tetes air masih mengalir dari rahangnya, melewati bahu, dan jatuh di dada bidang yang berotot. Tubuhnya seperti patung maskulin yang hidup.
Sherine menoleh dan langsung bertatapan dengan suaminya. Seketika, Dewa membeku.
Sherine berdiri di dekat meja rias, kulitnya yang basah aroma, pakaiannya yang licin, dan tatapannya yang... terlalu tenang.
“Eh, aku... pakai baju dulu,” ucap Dewa terbata, memalingkan wajah secepat mungkin sambil meraih pakaian.
Sherine hanya tersenyum tipis, menatap punggung Dewa yang terburu-buru mengenakan kaus tipis dan celana pendek. Tubuhnya yang maskulin masih terlihat jelas dari balik kain.
Dewa berjalan ke arah ranjang, tapi langkahnya terhenti ketika Sherine tiba-tiba menoleh.
“Pak Dewa…” panggil Sherine pelan.
Dewa menoleh. “Iya?”
“Kasurnya nggak twin,” ucap Sherine sambil mendekat, menunjuk ranjang king size mereka dengan pandangan canggung.
Dewa terdiam.
Untuk sesaat, semua suara di sekelilingnya lenyap. Detak jantungnya mendadak menggema lebih keras, seperti lonceng yang berdentang dalam dada.
Di hadapannya berdiri seorang wanita, istrinya dengan balutan mini dress satin yang menyatu dengan tubuhnya, seolah kain itu adalah kulit keduanya.
Aroma tubuh Sherine menguar, perpaduan mawar Turki yang hangat, sentuhan vanilla Madagaskar, dan musk yang misterius. Lembut, dalam, dan memikat.Pikiran Dewa melayang jauh.
Dalam bayangannya, Sherine mendekat. Jemarinya yang ramping menyentuh dada Dewa dengan sentuhan ringan yang menyulut percikan. Bibir mereka bersatu bukan karena kewajiban, tapi karena naluri.
Satu per satu jarak diluruhkan. Sentuhan menjadi bisikan. Desah menjadi bahasa. Dan tubuh mereka menari dalam ritme yang tak pernah mereka rancang namun terasa begitu alami.Seolah malam menyambut mereka, menyelimuti dua tubuh yang tak lagi berseberangan, tapi saling mencari tempat untuk pulang.Namun...
“Pak Dewa?” panggil Sherine lagi, kali ini dengan nada khawatir.
Dewa kembali tersadar. Ia mengerjap cepat dan menarik napas dalam.
“Eh... nggak apa-apa. Kita bisa tidur di ranjang yang sama. Ini luas kok,” jawabnya gugup, suaranya terdengar serak. “Kita bisa... jaga jarak. Nggak akan bersentuhan.”
Sherine mengangguk kecil. “Baiklah,” ucapnya lembut.
Ia berjalan melewati Dewa. Semilir aroma tubuhnya menyerempet udara, meninggalkan jejak yang tak bisa dilawan. Dewa menahan napas, seolah sedang menahan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar gairah.
Sherine menaiki tempat tidur, menarik selimut hingga ke dada, dan memejamkan mata. Gerakannya tenang, tapi entah mengapa, bagi Dewa itu seperti tantangan yang dibiarkan menggantung di udara.
Dewa berdiri di tempat untuk waktu yang terasa terlalu lama. Akhirnya, ia ikut naik ke ranjang. Tubuhnya direbahkan sejauh mungkin di sisi luar, seolah jarak itu bisa melindunginya dari godaan yang begitu nyata.
Namun nyatanya, yang paling menusuk bukan hanya fisik Sherine, melainkan kehadirannya.
Kehadirannya yang tak bersuara, tapi mengisi setiap ruang dan yang paling sulit diabaikan adalah aroma tubuh itu…
Aroma yang seperti doa malam menghangatkan, menyentuh hati, namun juga mengusik naluri terdalam seorang pria.
Dewa memejamkan mata. Tapi pikirannya berlarian ke mana-mana.
Setiap kali ia mencoba menarik napas panjang, yang terhirup hanyalah sisa wangi Sherine yang melekat di udara.Lembut, manis, dan berbahaya.
Ini malam pertama… tapi juga ujian terberat.Tiba-tiba,dering ponsel memecah sunyi. Dewa membuka mata, lalu meraih ponsel di nakas. Layar menyala, dan satu nama muncul di sana.
Veneza.
Sherine pun sama terkejutnya. Kakinya mendadak lemas, jari-jarinya yang digenggam Dewa sedikit bergetar. Tatapannya beradu dengan Jeeh, dan dalam sekejap seluruh masa lalu yang ia kubur rapi menyeruak ke permukaan.Ada luka. Ada penyesalan. Ada cinta yang belum benar-benar mati.Bibir Jeeh terbuka, seolah ingin mengucap nama yang selama ini ia rindukan. Tapi lidahnya kelu, suaranya tak mampu keluar. Ia hanya bisa menatap… menatap wanita yang dulu ia pikir akan ia perjuangkan seumur hidupnya, kini menjadi milik orang lain—lebih parahnya, milik sepupunya sendiri.Di matanya ada air yang berkilat, tapi ia menahan mati-matian agar tidak jatuh.“Sherine…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Sherine mengalihkan pandangannya dengan cepat, menunduk, berusaha menghindari tatapan itu. Ia tahu jika ia terus menatap, seluruh benteng pertahanannya akan runtuh.Sementara Dewa tersenyum lebar, tak menyadari badai emosional yang tengah mengguncang dua hati di hadapannya. Ia masih menggenggam tangan
Keheningan itu seolah membungkus mereka dalam ruang yang tak ingin diganggu siapa pun. Dewa masih menatap dalam wajah Sherine, seakan tak ingin melewatkan satu detik pun tanpa meneguk pesona istrinya. Bibirnya baru saja menyentuh kening Sherine lagi ketika tiba-tiba getar dan dering ponsel di nakas memecah suasana.Sherine spontan menegang, menatap Dewa dengan tatapan penuh tanya. Dewa menghela napas kesal, meraih ponselnya, dan di layar jelas terpampang: Mama.Keromantisan yang baru saja mereka rajut runtuh seketika. Dewa menutup mata, sementara Sherine menarik selimutnya lebih rapat, hatinya mendadak dingin lagi. “Kenapa harus sekarang…” gumam Dewa pelan, menekan tombol hijau.Suara Thamara terdengar cerah dari seberang, “Nak, cepat turun. Jeeh sudah datang, dia menunggumu di bawah.”Dewa terdiam, menatap Sherine yang kini membelakanginya. Dewa menatap layar ponselnya dengan wajah campur aduk. Bahagia, kaget, tapi juga ada rasa tak siap. “Anak itu datang ke sini? Sekarang?” suaran
Pagi itu, mentari sudah tinggi, menebarkan sinar keemasan ke seluruh sudut rumah besar itu. Namun, belum juga tampak Dewa dan Sherine turun ke bawah. Thamara, yang sudah rapi dengan dress rumahnya yang terlihat tetap elegan. Saat ia sedang sibuk menata bunga di meja, suara riang seorang pria yang tak asing baginya terdengar dari arah pintu.“Tanteee!!”Thamara menoleh, sontak ia langsung memanggil keponakan kesayangannya itu. “Jeeh!” seru Thamara, terkejut sekaligus girang.Mereka segera berpelukan erat. Jeeh, keponakannya yang tampan bahkan semua mengakui bahwa ketampanan Jeeh melebihi sepupunya Dewa. “Kamu ini, pas nikahan Dewa malah nggak hadir. Tante kecewa banget,” ucap Thamara sambil menepuk pelan bahunya.Jeeh cengar-cengir, “Maaf, Tante. Waktu itu kerjaan lagi gila banget, susah ambil cuti. Tapi sekarang aku langsung ke sini, kan? Mama sama Papa bilang Dewa udah tinggal di sini sama istrinya.”“Iya, begitu lah. Tante seneng kamu bisa mampir. Duduk dulu, biar Tante minta Bi Li
Kesadaran langsung menghantam Dewa. Tangannya bergetar, matanya membelalak ngeri pada apa yang baru saja ia lakukan. “Sherine… sayang… maafkan aku,” suaranya parau, penuh penyesalan. Ia meraih wajah istrinya, namun Sherine menepis kasar, semakin tersedu.Dewa jatuh terduduk di sisi ranjang, kedua tangannya menutup wajahnya sendiri. “Apa yang sudah kulakukan… Tuhan…” gumamnya, suaranya bergetar. Hatinya sesak, seakan seribu duri menusuk sekaligus.Ia menoleh lagi, memandang Sherine yang kini meringkuk di ujung ranjang, memeluk dirinya sendiri, seolah berusaha melindungi dari pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Rasa bersalah merambat di dada Dewa, lebih menyakitkan daripada tamparan manapun.Dewa meraih tangan Sherine perlahan, takut ditolak lagi. Jemarinya bergetar saat menyentuh kulit halus istrinya. “Maafkan aku, Sherine… aku kehilangan kendali. Aku tidak seharusnya menyakitimu… aku…” suaranya tercekat, hampir tak terdengar.Namun Sherine tetap menangis, tubuhnya bergetar m
Sherine menatap layar ponselnya yang masih penuh dengan pesan Johan, Luna, dan Yummi. Air matanya belum kering, tapi gengsi menahannya untuk terlihat lemah. Ia menarik napas panjang, lalu mengetik perlahan.Sherine:“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Itu cuma urusan kantor, mungkin kebetulan.”Pesan terkirim.Beberapa detik kemudian Johan membalas:“Sher… kamu gak harus pura-pura kuat di depan kita. Kalau mau cerita, kami siap dengerin.”Luna menimpali cepat:“Iya, Sher. Gak usah sok tabah. Aku aja yang cuma temen ikut sakit lihat gosip itu. Apalagi kalian baru satu bulan menikah”Yummi menambahkan:“Kamu berhak marah, kamu berhak cemburu. Jangan pendam sendiri.”Sherine menutup ponselnya erat-erat, air matanya kembali tumpah. Pikiranya terus berputar diantara:Berhak marah? Berhak cemburu? Aku hanya istri yang di bayar untuk menunggu, aku hanya istri kontraknya?Di luar, malam semakin larut. Tapi hati Sherine tak kunjung tenang, seakan tersiksa oleh bayangan suaminya yang mungkin
Rama menutup pintu ruangan rapat pelan. Wajahnya tegang, ia menunduk sebelum akhirnya membuka suara. “Pak… ada hal yang harus saya sampaikan,” ucapnya hati-hati.Dewa mendongak dari balik meja kerjanya. “Apa?” suaranya berat, penuh tekanan.“Gosip tentang Bapak… dan Mbak Veneza. Seluruh kantor sudah tahu beliau datang dan masuk ke ruangan Bapak. Mereka bilang… Bapak masih menjalin hubungan dengannya.”Suara kursi berdecit saat Dewa berdiri dengan kasar. “Sialan!” bentaknya sambil menghantam meja dengan telapak tangan. “Padahal aku sudah menjelaskan padanya, kenapa dia harus muncul seenaknya di sini!”Rama menunduk semakin dalam, tak berani menatap. “Saya khawatir gosip ini bisa keluar, Pak. Semua orang di kantor sudah mengetahui tentang gosip ini. Mereka turut prihatin pada Bu Sherine”Nama istrinya disebut, dada Dewa makin sesak. Ia meraih ponselnya, menekan nama Veneza dengan jari bergetar karena amarah.Di apartemennya, Veneza terduduk dengan mata sembab. Marry berusaha menenangka







