Masuk"Tidak apa-apa, Jeeh. Kapan kamu akan pulang ke Indonesia?"
Dari seberang lautan, suara pria muda menjawab dengan nada rendah dan berkarisma, "Minggu depan aku akan pulang."
Dewa tertawa pelan. “Baiklah, anak bodoh. Mampir ke rumahku, oke?”
“Baik.”
“Aku pikir kau menikah dengan Veneza,” lanjut Jeeh tanpa ragu.
“Tidak. Sudah, lupakan.”
“Baiklah…”
“Kalau begitu, sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Jutaan mil jauhnya di pusat kota London, seorang pria tengah bersandar santai di balik kursi hitam kulit ergonomis. Ruangannya luas, dengan dinding kaca setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk. Interior ruang kerjanya modern, bernuansa charcoal dan krem, lengkap dengan rak buku, meja marmer gelap, dan tanaman hijau tropis di sudut ruangan.
Itulah Jeehangir Sagara Aurangzeb Hadisetyo.
Pria berdarah India-Inggris dari ibunya dan Indonesia dari ayahnya. Tinggi, tegap, dengan rahang tegas, mata tajam warna cokelat pekat, kulit bersih dan eksotis, serta tubuh proporsional hasil dari rajin nge-gym. Penampilannya memadukan aura aristokrat Eropa dan panasnya pesona Asia Selatan, visualnya bahkan melebihi sang sepupu, Dewa.
Di layar monitornya, satu jendela browser terbuka. Menampilkan halaman I*******m milik Sherine.
Tangannya menggulir mouse perlahan, menatap foto-foto Sherine yang terlihat seperti bidadari dunia nyata. Sekali-sekali ia menghela napas, seolah setiap gambar yang ditatapnya membawa sesal yang makin berat.
Ia terdiam, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Kamu tetap seindah dulu, bahkan lebih dari yang kuingat.”
Kenangan menyeruak. London, empat tahun lalu.
Mereka bertemu pertama kali di acara kampus. Sherine mengenakan blouse biru dan celana bahan putih, rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Saat itu ia duduk sendiri di taman belakang fakultas, membaca catatan. Jeeh mendekat dengan alasan meminjam stabilo.
Sejak itu, mereka bersama. Tiga tahun hubungan kampus, penuh tawa, malam panjang, dan rencana-rencana masa depan.
Setelah Jeeh lulus, ia melanjutkan S2 di Inggris. Sherine menyelesaikan karier awalnya di Indonesia. Mereka menjalani LDR setahun penuh, saling kirim video call, voice note, dan paket kejutan. Tapi hubungan itu mulai retak. Waktu yang tak sinkron, zona waktu, dan ego masing-masing mulai merenggangkan jarak.
Sherine ingin kepastian.
“Menikahlah denganku, Jeeh. Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Aku siap untuk menjadi istrimu.”
Tapi Jeeh... malah menarik diri.
“Aku gak mau menikah cuma karena waktu. Aku belum selesai mengejar diriku sendiri.”
Sherine menangis saat itu. Tapi tetap bertahan.
Namun ketika pertengkaran jadi rutinitas dan komunikasi makin hambar, Jeeh melontarkan kalimat yang memutus segalanya.
“Mungkin kita butuh waktu sendiri. Mungkin ini udah cukup. Kita akhiri saja hubungan ini.”
Seminggu kemudian, foto dirinya dengan seorang perempuan bule muncul di I*******m-nya. Mereka berdiri begitu dekat dan akrab dengan latar salju, dan caption yang berbunyi:
“Tak perlu mencari jika sudah ada yang membuat tenang.”
Itu membuat Sherine hancur. Ia memblokir semua kontak, menghapus semua foto, dan menghilang dari hidup Jeeh.
Di London, Jeeh menyesali semuanya.
Foto itu bukan tentang cinta, melainkan hanya pelarian.
Setelah kepergian Sherine, tak ada lagi kehangatan yang sama. Gadis lain datang dan pergi, tapi tidak ada yang menggantikan Sherine di ruang itu, di ruang hatinya.
Setahun setelah putus, ia pulang ke Jakarta.
Ia berdiri di depan rumah keluarga Ahlam, mengenakan jas hitam dan bunga mawar putih di tangan. Tapi ia tak pernah diberi akses masuk. Ia hanya disambut dingin oleh asisten rumah tangga mereka.
Setiap tahun, setiap kesempatan, Jeeh terus mencoba mengejar cintanya. Namun Sherine tak bergeming. Jangankan untuk menjalin kembali hubungan, sekadar menatapnya pun ia tak diberi kesempatan.
Suasana ruang VIP itu hangat dan hening. Dinding kayu berpadu dengan aroma teh hijau yang mengepul di antara mereka. Sherine duduk dengan tegak, menyuap potongan salmon sashimi pelan-pelan, tanpa benar-benar merasakan rasanya.
Dewa meletakkan ponsel di atas meja setelah menutup panggilan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, memandang Sherine sambil menuangkan air putih.
“Itu Jeeh.” ucapnya tenang.
Sherine menghentikan sendok. Jari-jarinya menegang di atas mangkuk ramen. “Jeeh...?”
Suaranya lirih, tapi cukup terdengar.
Dewa mengangguk. “Iya, sepupu saya. Anak Om Arya.”
Wajah Sherine memucat sepersekian detik. Ia berusaha menelan keterkejutan itu secepat mungkin, menyeka keningnya yang tiba-tiba terasa dingin.
“Oh... begitu.” jawabnya, mencoba menjaga nada suaranya tetap netral.
Dewa tak mencurigai. “Minggu depan dia akan mampir ke rumah. Lagi ambil cuti dari kantornya.”
Sherine mengangguk pelan. Jemarinya kembali bergerak, tapi tak menyentuh apapun.
“Kamu bisa kenalan sama dia. Anak itu memang agak selengekan, tapi cerdas. Dulu bareng saya waktu kecil, dia sudah seperti adik sendiri.”
“Iya... boleh.”
Suaranya seperti bisikan. Senyumnya dipaksakan.
Namun di balik wajah tenangnya, Sherine berusaha menahan detak jantung yang mulai berpacu.
“Pasti banyak nama Jeeh di dunia ini. Pasti bukan dia. Pasti bukan… Jeehangir Sagara yang dulu menyakitiku begitu dalam…”
Tapi tubuhnya tahu lebih dulu daripada pikirannya. Nafasnya sedikit memburu. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka duduk di meja itu, Sherine tak berani menatap suaminya.
Dewa menyadari perubahan kecil itu. Dahinya mengernyit pelan.
“Kamu kenapa?”
“Enggak... nggak apa-apa. Tadi mungkin kepanasan. Tehnya agak kuat.” jawab Sherine cepat, meneguk air putih sambil menarik napas panjang.
Dewa mengangguk, walau sorot matanya belum benar-benar lepas dari kecurigaan.
Sherine menunduk. Mangkuk di hadapannya sudah dingin. Tapi pikirannya lebih dingin dari apapun yang tersaji.
"Kalau kamu sudah selesai, kita bisa pulang sekarang?”
“Ten– tentu.”
Mereka bangkit dari kursi. Dewa membuka pintu VIP dengan satu tangan.
Namun langkahnya terhenti.
Ponsel Dewa kembali berdering.
Layar menampilkan nama yang biasanya membuat hatinya bergetar, tapi kini justru mulai terasa seperti beban. Veneza.
Dewa menarik napas dalam. Tangannya sempat ragu sebelum menyentuh layar hijau itu.
Sherine melirik sekilas, tapi cepat-cepat menunduk lagi. Hatinya menegang tanpa alasan yang jelas.
“Halo?” ucap Dewa dengan suara yang diusahakan tenang.
“Kamu tega sama aku, Dewa!!”
Dewa mengepalkan rahang. Bahunya menegang. Satu tangan masuk ke saku celana, mencoba menjaga kendali.
Sherine diam. Tapi dalam diam itu, ia tahu…
Dan detik itu juga, satu kalimat kembali terngiang.
“Pernikahan mereka hanya formalitas.”
Sherine pun sama terkejutnya. Kakinya mendadak lemas, jari-jarinya yang digenggam Dewa sedikit bergetar. Tatapannya beradu dengan Jeeh, dan dalam sekejap seluruh masa lalu yang ia kubur rapi menyeruak ke permukaan.Ada luka. Ada penyesalan. Ada cinta yang belum benar-benar mati.Bibir Jeeh terbuka, seolah ingin mengucap nama yang selama ini ia rindukan. Tapi lidahnya kelu, suaranya tak mampu keluar. Ia hanya bisa menatap… menatap wanita yang dulu ia pikir akan ia perjuangkan seumur hidupnya, kini menjadi milik orang lain—lebih parahnya, milik sepupunya sendiri.Di matanya ada air yang berkilat, tapi ia menahan mati-matian agar tidak jatuh.“Sherine…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Sherine mengalihkan pandangannya dengan cepat, menunduk, berusaha menghindari tatapan itu. Ia tahu jika ia terus menatap, seluruh benteng pertahanannya akan runtuh.Sementara Dewa tersenyum lebar, tak menyadari badai emosional yang tengah mengguncang dua hati di hadapannya. Ia masih menggenggam tangan
Keheningan itu seolah membungkus mereka dalam ruang yang tak ingin diganggu siapa pun. Dewa masih menatap dalam wajah Sherine, seakan tak ingin melewatkan satu detik pun tanpa meneguk pesona istrinya. Bibirnya baru saja menyentuh kening Sherine lagi ketika tiba-tiba getar dan dering ponsel di nakas memecah suasana.Sherine spontan menegang, menatap Dewa dengan tatapan penuh tanya. Dewa menghela napas kesal, meraih ponselnya, dan di layar jelas terpampang: Mama.Keromantisan yang baru saja mereka rajut runtuh seketika. Dewa menutup mata, sementara Sherine menarik selimutnya lebih rapat, hatinya mendadak dingin lagi. “Kenapa harus sekarang…” gumam Dewa pelan, menekan tombol hijau.Suara Thamara terdengar cerah dari seberang, “Nak, cepat turun. Jeeh sudah datang, dia menunggumu di bawah.”Dewa terdiam, menatap Sherine yang kini membelakanginya. Dewa menatap layar ponselnya dengan wajah campur aduk. Bahagia, kaget, tapi juga ada rasa tak siap. “Anak itu datang ke sini? Sekarang?” suaran
Pagi itu, mentari sudah tinggi, menebarkan sinar keemasan ke seluruh sudut rumah besar itu. Namun, belum juga tampak Dewa dan Sherine turun ke bawah. Thamara, yang sudah rapi dengan dress rumahnya yang terlihat tetap elegan. Saat ia sedang sibuk menata bunga di meja, suara riang seorang pria yang tak asing baginya terdengar dari arah pintu.“Tanteee!!”Thamara menoleh, sontak ia langsung memanggil keponakan kesayangannya itu. “Jeeh!” seru Thamara, terkejut sekaligus girang.Mereka segera berpelukan erat. Jeeh, keponakannya yang tampan bahkan semua mengakui bahwa ketampanan Jeeh melebihi sepupunya Dewa. “Kamu ini, pas nikahan Dewa malah nggak hadir. Tante kecewa banget,” ucap Thamara sambil menepuk pelan bahunya.Jeeh cengar-cengir, “Maaf, Tante. Waktu itu kerjaan lagi gila banget, susah ambil cuti. Tapi sekarang aku langsung ke sini, kan? Mama sama Papa bilang Dewa udah tinggal di sini sama istrinya.”“Iya, begitu lah. Tante seneng kamu bisa mampir. Duduk dulu, biar Tante minta Bi Li
Kesadaran langsung menghantam Dewa. Tangannya bergetar, matanya membelalak ngeri pada apa yang baru saja ia lakukan. “Sherine… sayang… maafkan aku,” suaranya parau, penuh penyesalan. Ia meraih wajah istrinya, namun Sherine menepis kasar, semakin tersedu.Dewa jatuh terduduk di sisi ranjang, kedua tangannya menutup wajahnya sendiri. “Apa yang sudah kulakukan… Tuhan…” gumamnya, suaranya bergetar. Hatinya sesak, seakan seribu duri menusuk sekaligus.Ia menoleh lagi, memandang Sherine yang kini meringkuk di ujung ranjang, memeluk dirinya sendiri, seolah berusaha melindungi dari pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Rasa bersalah merambat di dada Dewa, lebih menyakitkan daripada tamparan manapun.Dewa meraih tangan Sherine perlahan, takut ditolak lagi. Jemarinya bergetar saat menyentuh kulit halus istrinya. “Maafkan aku, Sherine… aku kehilangan kendali. Aku tidak seharusnya menyakitimu… aku…” suaranya tercekat, hampir tak terdengar.Namun Sherine tetap menangis, tubuhnya bergetar m
Sherine menatap layar ponselnya yang masih penuh dengan pesan Johan, Luna, dan Yummi. Air matanya belum kering, tapi gengsi menahannya untuk terlihat lemah. Ia menarik napas panjang, lalu mengetik perlahan.Sherine:“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Itu cuma urusan kantor, mungkin kebetulan.”Pesan terkirim.Beberapa detik kemudian Johan membalas:“Sher… kamu gak harus pura-pura kuat di depan kita. Kalau mau cerita, kami siap dengerin.”Luna menimpali cepat:“Iya, Sher. Gak usah sok tabah. Aku aja yang cuma temen ikut sakit lihat gosip itu. Apalagi kalian baru satu bulan menikah”Yummi menambahkan:“Kamu berhak marah, kamu berhak cemburu. Jangan pendam sendiri.”Sherine menutup ponselnya erat-erat, air matanya kembali tumpah. Pikiranya terus berputar diantara:Berhak marah? Berhak cemburu? Aku hanya istri yang di bayar untuk menunggu, aku hanya istri kontraknya?Di luar, malam semakin larut. Tapi hati Sherine tak kunjung tenang, seakan tersiksa oleh bayangan suaminya yang mungkin
Rama menutup pintu ruangan rapat pelan. Wajahnya tegang, ia menunduk sebelum akhirnya membuka suara. “Pak… ada hal yang harus saya sampaikan,” ucapnya hati-hati.Dewa mendongak dari balik meja kerjanya. “Apa?” suaranya berat, penuh tekanan.“Gosip tentang Bapak… dan Mbak Veneza. Seluruh kantor sudah tahu beliau datang dan masuk ke ruangan Bapak. Mereka bilang… Bapak masih menjalin hubungan dengannya.”Suara kursi berdecit saat Dewa berdiri dengan kasar. “Sialan!” bentaknya sambil menghantam meja dengan telapak tangan. “Padahal aku sudah menjelaskan padanya, kenapa dia harus muncul seenaknya di sini!”Rama menunduk semakin dalam, tak berani menatap. “Saya khawatir gosip ini bisa keluar, Pak. Semua orang di kantor sudah mengetahui tentang gosip ini. Mereka turut prihatin pada Bu Sherine”Nama istrinya disebut, dada Dewa makin sesak. Ia meraih ponselnya, menekan nama Veneza dengan jari bergetar karena amarah.Di apartemennya, Veneza terduduk dengan mata sembab. Marry berusaha menenangka







