Pagi belum sepenuhnya hangat, tapi dapur rumah besar itu sudah ramai oleh suara sayup-sayup.
Bi Lilis, Una, dan Adji duduk di meja makan kecil di ujung dapur sambil menyeruput teh manis. Tapi bukan teh yang mereka nikmati, melainkan obrolan penuh tanda tanya yang menggantung sejak malam pertama sang majikan membawa istrinya ke rumah ini."Mas Dewa itu... sungguh beda ya. Masa pengantin baru tidurnya pisah kamar?” bisik Una sambil memotong buah.
Bi Lilis mengangguk cepat. “Iya, padahal Mbak Sherine itu cantiknya... aduhai. Luar dalam.”
Adji menyahut, “Saya aja yang cuma supir, kagum lihat Bu Sherine. Tapi kok bisa Mas Dewa gak tergoda?”
“Kalau saya punya wajah secantik itu, pasti suami saya tidak akan keluar rumah 7 hari 7 malam” ujar Bi Lilis.
“Mantanya Mas Dewa dulu, Mbak Veneza yang katanya super model itu. Perasaan gak secantik Mbak Sherine ya” timpal Una.
“Jangan-jangan...”
Tapi bisikan mereka terpotong suara langkah kaki.Sherine muncul dari arah tangga, mengenakan blouse putih bersih dan celana bahan coklat susu. Wajahnya cerah, rambutnya dikuncir sederhana, tapi aura kelasnya tetap memancar lembut.
“Selamat pagi semuanya,” sapa Sherine dengan senyum ramah.
Mereka bertiga sontak berdiri dan gelagapan.
“Pagi, Mbak Sher… eh… Bu Sher…” jawab mereka bersamaan, wajah mereka memerah.
Sherine melangkah mendekat. “Ngomong-ngomong, makanan kesukaan Pak Dewa apa, ya?”
Una saling pandang dengan Bi Lilis. “Mas Dewa hampir gak pernah makan di rumah, Mbak…”
“Iya, paling cuma beberapa kali. Itu pun buru-buru,” tambah Bi Lilis.
“Biasanya makan di luar, Bu Sher,” timpal Adji pelan.
Sherine mengangguk pelan. Senyumnya tetap terjaga, tapi matanya sedikit meredup. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya ia berkata, “Kalau begitu, aku akan buatkan sesuatu yang sederhana saja. Siapa tahu dia suka.”
Mereka bertiga langsung mengangguk cepat. “Silakan, Mbak, kami bantuin yaa!”
Sherine melangkah ke area dapur, menggulung lengan blousenya, dan mulai menyiapkan bahan-bahan. Roti panggang, omelet lembut, dan jus jeruk segar.
Tangannya lincah. Ia menata piring-piring dengan penuh perhatian, seperti menyusun harapannya sendiri di atas meja.
Langkah kaki terdengar dari arah tangga.
Dewa turun dari kamarnya. Tubuhnya masih mengenakan kemeja putih tipis dan celana linen gelap. Wajahnya sedikit kusut, dan sorot matanya tampak lelah… dan kosong.
Sherine menghampirinya, tersenyum lembut.
“Pak Dewa… mau sarapan?” tanyanya, suaranya pelan dan tulus.
Dewa berhenti. Tatapannya jatuh pada meja makan, lalu beralih ke wajah istrinya yang bercahaya.
Untuk sesaat… ia ingin berkata “ya”. Ingin duduk dan menikmati kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupnya. Tapi pikirannya bergejolak.
Tubuh itu. Wangi itu. Senyum itu. Semua terlalu indah, terlalu nyata tapi tetap tak bisa ia sentuh. Ia sudah berjanji pada wanita lain.
“Tidak,” jawabnya dingin.
Sherine menahan napas. “Saya sudah buatkan sarapan khusus untuk Pak Dewa. Roti, omelet…”
“Buang saja. Atau kasih siapa pun. Aku gak mau makan,” potong Dewa tanpa menatapnya.
“Tapi Pak…”
Dewa memutar tubuh, membelakangi Sherine. Suaranya meninggi, tak tertahan.
“Bisakah kau… tidak menggangguku sekarang? Aku mau pergi.”
Suara itu tak seperti api, tapi lebih seperti pisau. Dingin. Menusuk.
Sherine tertunduk. “Baiklah,” ucapnya, lalu berbalik dan melangkah perlahan menaiki tangga. Wajahnya tetap tegak. Tapi matanya mulai berkabut.
Dewa berdiri di tempatnya. Tangannya menutupi wajah.
“Bodoh…” desisnya. “Aku yang bodoh… bukan dia.”
Di balik pintu dapur, Bi Lilis, Una, dan Adji hanya bisa memandang prihatin.
Begitu Dewa melirik ke arah dapur, ketiganya langsung bubar dengan ekspresi canggung.
Dewa mengganti bajunya, lalu berjalan ke halaman belakang. Ia menjatuhkan tubuhnya ke air kolam renang yang jernih, membiarkan suhu dingin menetralkan amarah yang tak ia mengerti.
Air menenggelamkan tubuhnya, tapi tak bisa memadamkan keinginan yang berkecamuk.
Ia mendongak. Jendela kamar Sherine terlihat dari kolam. Tirainya tertutup rapat.
Di dalam, Sherine duduk di tepi ranjang. Matanya sembap. Jemarinya menggenggam tisu yang basah oleh air mata.
“Seharusnya aku gak seperti tadi,” bisiknya. “Seharusnya aku sadar…”
Wajahnya tertunduk.
“Dia mencintai orang lain. Dia sendiri yang bilang, dia sangat mencintainya. Dan aku? Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri.”
Ia menengadah, menatap pantulan dirinya di kaca.
“Jangan jatuh cinta, Sherine. Ingat ini semua cuma formalitas. Dua tahun. Lalu selesai…”
Sherine berdiri, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan ke cermin.” Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan peduli padanya, bukankah ini semua hanya formalitas? Baiklah, kita lakukan!”
Ia menyentuh wajahnya pelan. Di balik mata hazel yang menawan itu… tersembunyi luka yang belum sempat sembuh.
Tapi kali ini, ia memilih menjadi dingin. Bukan karena benci. Tapi karena ingin bertahan.
Sherine memutuskan untuk melangkah pelan ke dapur. Daripada makanannya dibuang, lebih baik ia yang menghabiskannya. Perutnya kosong, hatinya juga. Tapi saat baru saja membuka pintu, langkahnya terhenti.
Dewa berdiri di depan kamarnya. Tubuhnya setengah basah, hanya mengenakan celana pendek yang masih basah dari kolam renang. Air masih menetes dari ujung rambutnya ke dada bidang yang setengah terbuka, dan kulitnya tampak kontras dengan cahaya hangat lorong.Tatapannya mengarah langsung padanya.
“Sherine, aku—”
Belum sempat kalimat itu selesai, Sherine memalingkan wajah. “Permisi, Pak.”
Suara itu datar. Dingin. Tanpa nada.
Ia berjalan melewati Dewa tanpa sedikit pun memperlambat langkah. Dewa menatap punggungnya, dan menghela napas berat.
“Aku pantas dapat ini…” gumamnya. “Tapi kenapa sakit juga ya.”
Di dapur, Sherine mencari-cari piring berisi roti panggang dan omelet yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Tapi kosong. Tidak ada di meja. Tidak di kulkas. Tidak di tempat cuci.
“Masakanku tadi ke mana?” tanyanya pelan saat Una muncul dari pintu belakang.
“Lho? Gak ada, Mbak?” Una tampak bingung.
“Iya, hilang. Aku gak lihat di mana pun.”
Una menggeleng cepat. “Aku gak makan, Bi Lilis juga enggak. Mas Adji pasti nunggu izin dulu kalau mau makan. Waduh…”
Sherine mendesah. Bibirnya mengerucut kecil. Dalam hati ia tahu pasti makanan itu pasti dibuang oleh Dewa.
“Yasudah… gak apa-apa.”
“Mau saya masakin sesuatu aja?” tawar Una cepat.
“Gak usah. Aku bisa masak sendiri.”
“Baik, Mbak. Kalau butuh bantuan, panggil Una aja ya?”
Sherine mengangguk. Langkahnya kembali mengarah ke tangga. Namun di tengah jalan, ia kembali berpapasan dengan Dewa, kali ini lelaki itu sudah berganti pakaian.
Kemeja linen abu muda yang digulung di lengan, celana hitam potongan rapi, dan jam tangan kulit di pergelangan tangannya membuat Dewa tampak sangat effortlessly masculine. Rambutnya disisir santai ke belakang, dan sisa air kolam hanya mempertegas ketampanannya.
Sherine ingin berbalik. Tapi tangan Dewa menahan pergelangan tangannya.
“Kenapa, Pak?” tanyanya, mata tak berpaling.
“Aku tahu kamu marah.”
“Tidak.” Jawab Sherine singkat, tanpa emosi.
“Kita makan di luar, yuk.” ucap Dewa, suaranya sedikit ragu.
“Saya bisa masak sendiri.”
“Sherine, please...” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Ada jeda. Tapi akhirnya Sherine mengangguk. “Baiklah. Tapi saya ganti baju dulu.”
“Oke.”
Mobil melaju pelan membelah jalanan kota. Sunyi. Tak ada obrolan. Hanya musik instrumental dari dashboard yang mengisi ruang kosong antara mereka.
Setelah 20 menit, mobil berhenti di depan sebuah restoran Jepang yang estetik. Dinding kayu, pintu geser khas, dan taman batu kecil di sisi pintu masuk.
“Kamu pernah ke sini?” tanya Dewa pelan.
“Iya. Pernah.”
“Katanya ramennya enak. Aku belum pernah coba.”
“Iya, memang enak.” balas Sherine tanpa senyum.
Dewa keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya. Tapi ekspresi wajahnya tetap dingin, seperti hujan yang turun pelan-pelan tapi tak pernah reda.
Baru beberapa langkah masuk ke dalam, seorang wanita muda menyapa penuh semangat.
“Sherine?! Oh my God! Aku ngefans banget sama kamu!”
Wanita itu langsung mendekat, matanya membesar. “Boleh minta foto gak? Aku follow YouTube kamu, TikTok kamu, semuanya! Kamu glowing parah aslinya juga, kayak nggak nyata!”
Sherine tersenyum sopan. “Tentu. Boleh.”
Mereka berfoto sebentar. Dewa hanya berdiri di belakang, menyaksikan pemandangan itu dalam diam. Pandangan para pria di ruangan itu juga mulai tertuju ke arah Sherine.
Itu yang membuat Dewa tak tahan.
“Kita pindah ke ruang VIP. Sekarang.” ucapnya tegas pada staf.
Sherine mengerutkan dahi. “Kenapa? Ini tempatnya nyaman kok.”
“Aku gak suka jadi pusat perhatian.”
Padahal hatinya tahu, ia tak tahan melihat istrinya dipuja-puja orang lain, padahal ia sendiri bahkan belum menyentuhnya.
Ruang VIP itu hening. Lampu gantung kayu bergaya Jepang menerangi ruang kecil yang hangat dan tertutup.
Pelayan menyajikan ramen, sushi, dan matcha hangat.Sherine menyendok kuah dengan pelan. Dewa memperhatikannya. Mulutnya ingin berkata sesuatu. Tapi sebelum sempat bicara, ponselnya berdering.
Ia melihat layar.
Jeeh.
Tanpa ragu, ia angkat.
“Halo, Jeeh?”
Sherine menghentikan sendoknya. Matanya membulat pelan. Mulutnya terbuka sedikit.
Jeeh...?
Nama itu menyentak hatinya. Matanya terarah pada bibir Dewa yang kini mulai tersenyum samar saat berbicara.Bukan hanya kenal. Tapi suara itu. Nama itu. Pasti…
Sherine meneguk ludahnya. Tubuhnya terasa panas. Tapi bukan karena makanan.
Itu nama yang tak asing.Itu nama dari masa lalu.Dari seseorang… yang tak seharusnya muncul di cerita ini.Cinta tak selalu datang dengan ketukan keras. Kadang ia hadir dalam diam, saat kau mencoba mengabaikannya. Dan itulah yang sedang di alami oleh sepasang suami istri yang telah berkomitmen untuk tidak saling jatuh cinta. Sherine melangkah keluar dari ruang VIP dengan dagu terangkat, namun hatinya terasa rapuh seperti kaca retak yang sewaktu-waktu bisa hancur hanya karena satu getaran. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer dingin restoran, menciptakan gema yang seirama dengan denyut di dadanya yang mulai tak menentu. Ia tak ingin menunggu Dewa menyelesaikan telepon itu. Ia tak ingin mendengar suara wanita lain yang mungkin masih menguasai ruang terdalam hati suaminya. Dan ia... tak ingin terlihat cemburu. Namun nyatanya, dadanya nyeri. Dewa masih di dalam, berdiri bersandar di dinding ruangan VIP dengan ponsel menempel di telinga. Suara Veneza di seberang terasa seperti badai kecil yang berusaha menenggelamkan apa yang selama ini ia coba jaga tetap tenang. "Ada apa, Ven?" Suara
"Tidak apa-apa, Jeeh. Kapan kamu akan pulang ke Indonesia?"Suara Dewa terdengar santai tapi hangat di ujung telepon.Dari seberang lautan, suara pria muda menjawab dengan nada rendah dan berkarisma, "Minggu depan aku akan pulang."Dewa tertawa pelan. “Baiklah, anak bodoh. Mampir ke rumahku, oke?”“Baik.”“Aku pikir kau menikah dengan Veneza,” lanjut Jeeh tanpa ragu.“Tidak. Sudah, lupakan.”“Baiklah…”“Kalau begitu, sampai jumpa.”“Sampai jumpa.”Jutaan mil jauhnya di pusat kota London, seorang pria tengah bersandar santai di balik kursi hitam kulit ergonomis. Ruangannya luas, dengan dinding kaca setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk. Interior ruang kerjanya modern, bernuansa charcoal dan krem, lengkap dengan rak buku, meja marmer gelap, dan tanaman hijau tropis di sudut ruangan.Itulah Jeehangir Sagara Aurangzeb Hadisetyo.Pria berdarah India-Inggris dari ibunya dan Indonesia dari ayahnya. Tinggi, tegap, dengan rahang tegas, mata tajam warna cokelat pek
Pagi belum sepenuhnya hangat, tapi dapur rumah besar itu sudah ramai oleh suara sayup-sayup.Bi Lilis, Una, dan Adji duduk di meja makan kecil di ujung dapur sambil menyeruput teh manis. Tapi bukan teh yang mereka nikmati, melainkan obrolan penuh tanda tanya yang menggantung sejak malam pertama sang majikan membawa istrinya ke rumah ini."Mas Dewa itu... sungguh beda ya. Masa pengantin baru tidurnya pisah kamar?” bisik Una sambil memotong buah.Bi Lilis mengangguk cepat. “Iya, padahal Mbak Sherine itu cantiknya... aduhai. Luar dalam.”Adji menyahut, “Saya aja yang cuma supir, kagum lihat Bu Sherine. Tapi kok bisa Mas Dewa gak tergoda?”“Kalau saya punya wajah secantik itu, pasti suami saya tidak akan keluar rumah 7 hari 7 malam” ujar Bi Lilis.“Mantanya Mas Dewa dulu, Mbak Veneza yang katanya super model itu. Perasaan gak secantik Mbak Sherine ya” timpal Una.“Jangan-jangan...” Tapi bisikan mereka terpotong suara langkah kaki.Sherine muncul dari arah tangga, mengenakan blouse putih
Langit malam menggantung kelabu, dan suara detak jam dinding terdengar makin nyaring di antara sunyi kamar. Dewa membuka mata perlahan.Cahaya remang dari lampu tidur membiaskan siluet Sherine yang tertidur di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Dewa.Tanpa suara, Dewa bangkit. Kakinya menjejak lantai dengan hati-hati. Ia mengambil ponsel dari meja nakas, lalu melangkah ke balkon, membuka pintu kaca pelan agar tak menimbulkan suara.“Halo, Ven?” suaranya rendah, terdengar sedikit lelah.“Dewa! Dari mana saja kamu? Nomormu gak aktif dari tadi sore.”Nada suara wanita itu terdengar menuntut, namun terselip kecemasan di baliknya.Dewa menarik napas panjang. Kepalanya menunduk, tangan kirinya menggenggam pagar balkon yang dingin.“Maafkan aku… kamu tahu kan, hari ini... hari pernikahanku.”Ada hening beberapa detik.Lalu suara Veneza terdengar lebih tajam. “Dan kamu juga tahu bahwa itu hanya formalitas dua tahun. Itu janji kamu padaku. Kau ingat, kan, kenapa kau menikahi wanita itu?”D
Teriakan Sherine bergema begitu nyaring, membuat Dewa langsung tersentak dari lamunannya. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah pintu kamar mandi dan membuka pintunya dengan cemas.“Sherine?!” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh mungil itu langsung melesak ke dalam pelukannya. Tangannya melingkar di pinggangnya, wajahnya terbenam di dada bidang Dewa yang masih berdetak kencang sejak awal malam. Tubuhnya bergetar. Nafasnya tak teratur. Matanya ketakutan.Dewa mematung. Ia benar-benar tak siap untuk ini. Tubuh Sherine yang hanya terbalut handuk putih pendek nyaris tak menutupi pahanya membuat debar di dadanya melonjak tak beraturan.Wewangian dari kulit basah Sherine menyeruak, menciptakan badai kecil dalam pikirannya yang biasanya tenang.“Tenang… Sherine, ada apa?” gumam Dewa pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan dalam suaranya.“A… ada kecoa…” jawab Sherine tergagap, masih menempel di tubuhnya.Dewa sempat menahan napas. “Kecoa?”“Coba saya lihat,” ucapnya, sambil perlaha
Kebaya putih rancangan desainer ternama itu membalut tubuhnya dengan sempurna fit, presisi, mengikuti setiap lekuk tubuhnya yang ideal, membentuk siluet feminin yang begitu menawan.Di depan cermin raksasa, Sherine berdiri dalam diam. Sorot matanya kosong. Untuk sesaat, ia seperti tidak mengenali pantulan dirinya sendiri. Wajah yang selama ini tampil sempurna di layar gawai jutaan orang, kini justru tampak asing.Mata hazel kehijauannya berkilau dalam balutan riasan sempurna. Kulitnya bersih dan bercahaya, seolah tak pernah disentuh kesedihan. Namun jauh di balik penampilan nyaris surgawi itu, hatinya tak ubahnya ruang kosong yang tak bersuara.Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Hari ini bukan tentang cinta.Bukan pula tentang impian pernikahan dalam dongeng masa kecil.Hari ini tentang... reputasi. Tentang rahasia yang harus dikubur dalam, dan hanya diketahui oleh dirinya, Dewa, dan Tuhan.Suara ijab kabul menggema dari balik dinding ballroom."Saya terima nika