Home / Romansa / Terjerat Pesona Istriku / 4 - Rumah yang Tak Bertuan

Share

4 - Rumah yang Tak Bertuan

Author: Sofia Saarah
last update Last Updated: 2025-06-18 18:36:44

Pagi belum sepenuhnya hangat, tapi dapur rumah besar itu sudah ramai oleh suara sayup-sayup.

Bi Lilis, Una, dan Adji duduk di meja makan kecil di ujung dapur sambil menyeruput teh manis. Tapi bukan teh yang mereka nikmati, melainkan obrolan penuh tanda tanya yang menggantung sejak malam pertama sang majikan membawa istrinya ke rumah ini.

"Pak Dewa itu... sungguh beda ya. Masa pengantin baru tidurnya pisah kamar?” bisik Una sambil memotong buah.

Bi Lilis mengangguk cepat. “Iya, padahal Bu Sherine itu cantiknya... aduhai. Luar dalam.”

Adji menyahut, “Saya aja yang cuma supir, kagum lihat Bu Sherine. Tapi kok bisa Pak Dewa gak tergoda?”

“Kalau saya punya wajah secantik itu, pasti suami saya tidak akan keluar rumah 7 hari 7 malam” ujar Bi Lilis.

“Mantanya Pak Dewa dulu, Mbak Veneza yang katanya super model itu. Perasaan gak secantik Bu Sherine ya” timpal Una.

“Jangan-jangan...”

Tapi bisikan mereka terpotong suara langkah kaki.

Sherine muncul dari arah tangga, mengenakan blouse putih bersih dan celana bahan coklat susu. Wajahnya cerah, rambutnya dikuncir sederhana, tapi aura kelasnya tetap memancar lembut.

“Selamat pagi semuanya,” sapa Sherine dengan senyum ramah.

Mereka bertiga sontak berdiri dan gelagapan.

“Pagi, Bu Sher… eh… Bu Sher…” jawab mereka bersamaan, wajah mereka memerah.

Sherine melangkah mendekat. “Ngomong-ngomong, makanan kesukaan Pak Dewa apa, ya?”

Una saling pandang dengan Bi Lilis. “Pak Dewa hampir gak pernah makan di rumah, Mbak…”

“Iya, paling cuma beberapa kali. Itu pun buru-buru,” tambah Bi Lilis.

“Biasanya makan di luar, Bu Sher,” timpal Adji pelan.

Sherine mengangguk pelan. Senyumnya tetap terjaga, tapi matanya sedikit meredup. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya ia berkata, “Kalau begitu, aku akan buatkan sesuatu yang sederhana saja. Siapa tahu dia suka.”

Mereka bertiga langsung mengangguk cepat. “Silakan, Mbak, kami bantuin yaa!”

Sherine melangkah ke area dapur, menggulung lengan blousenya, dan mulai menyiapkan bahan-bahan. Roti panggang, omelet lembut, dan jus jeruk segar.

Tangannya lincah. Ia menata piring-piring dengan penuh perhatian, seperti menyusun harapannya sendiri di atas meja.

Langkah kaki terdengar dari arah tangga.

Dewa turun dari kamarnya. Tubuhnya masih mengenakan kemeja putih tipis dan celana linen gelap. Wajahnya sedikit kusut, dan sorot matanya tampak lelah… dan kosong.

Sherine menghampirinya, tersenyum lembut.

“Pak Dewa… mau sarapan?” tanyanya, suaranya pelan dan tulus.

Dewa berhenti. Tatapannya jatuh pada meja makan, lalu beralih ke wajah istrinya yang bercahaya.

Untuk sesaat… ia ingin berkata “ya”. Ingin duduk dan menikmati kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupnya. Tapi pikirannya bergejolak.

Tubuh itu. Wangi itu. Senyum itu. Semua terlalu indah, terlalu nyata tapi tetap tak bisa ia sentuh. Ia sudah berjanji pada wanita lain.

“Tidak,” jawabnya dingin.

Sherine menahan napas. “Saya sudah buatkan sarapan khusus untuk Pak Dewa. Roti, omelet…”

“Buang saja. Atau kasih siapa pun. Aku gak mau makan,” potong Dewa tanpa menatapnya.

“Tapi Pak…”

Dewa memutar tubuh, membelakangi Sherine. Suaranya meninggi, tak tertahan.

“Bisakah kau… tidak menggangguku sekarang? Aku mau pergi.”

Suara itu tak seperti api, tapi lebih seperti pisau. Dingin. Menusuk.

Sherine tertunduk. “Baiklah,” ucapnya, lalu berbalik dan melangkah perlahan menaiki tangga. Wajahnya tetap tegak. Tapi matanya mulai berkabut.

Dewa berdiri di tempatnya. Tangannya menutupi wajah.

“Bodoh…” desisnya. “Aku yang bodoh… bukan dia.”

Di balik pintu dapur, Bi Lilis, Una, dan Adji hanya bisa memandang prihatin.

Begitu Dewa melirik ke arah dapur, ketiganya langsung bubar dengan ekspresi canggung.

Dewa mengganti bajunya, lalu berjalan ke halaman belakang. Ia menjatuhkan tubuhnya ke air kolam renang yang jernih, membiarkan suhu dingin menetralkan amarah yang tak ia mengerti.

Air menenggelamkan tubuhnya, tapi tak bisa memadamkan keinginan yang berkecamuk.

Ia mendongak. Jendela kamar Sherine terlihat dari kolam. Tirainya tertutup rapat.

Di dalam, Sherine duduk di tepi ranjang. Matanya sembap. Jemarinya menggenggam tisu yang basah oleh air mata.

“Seharusnya aku gak seperti tadi,” bisiknya. “Seharusnya aku sadar…”

Wajahnya tertunduk.

“Dia mencintai orang lain. Dia sendiri yang bilang, dia sangat mencintainya. Dan aku? Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri.”

Ia menengadah, menatap pantulan dirinya di kaca.

“Jangan jatuh cinta, Sherine. Ingat ini semua cuma formalitas. Dua tahun. Lalu selesai…”

Sherine berdiri, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan ke cermin.” Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan peduli padanya, bukankah ini semua hanya formalitas? Baiklah, kita lakukan!”

Ia menyentuh wajahnya pelan. Di balik mata hazel yang menawan itu… tersembunyi luka yang belum sempat sembuh.

Tapi kali ini, ia memilih menjadi dingin. Bukan karena benci. Tapi karena ingin bertahan.

Sherine memutuskan untuk melangkah pelan ke dapur. Daripada makanannya dibuang, lebih baik ia yang menghabiskannya. Perutnya kosong, hatinya juga. Tapi saat baru saja membuka pintu, langkahnya terhenti.

Dewa berdiri di depan kamarnya. Tubuhnya setengah basah, hanya mengenakan celana pendek yang masih basah dari kolam renang. Air masih menetes dari ujung rambutnya ke dada bidang yang setengah terbuka, dan kulitnya tampak kontras dengan cahaya hangat lorong.Tatapannya mengarah langsung padanya.

“Sherine, aku—”

Belum sempat kalimat itu selesai, Sherine memalingkan wajah. “Permisi, Pak.”

Suara itu datar. Dingin. Tanpa nada.

Ia berjalan melewati Dewa tanpa sedikit pun memperlambat langkah. Dewa menatap punggungnya, dan menghela napas berat.

“Aku pantas dapat ini…” gumamnya. “Tapi kenapa sakit juga ya.”

Di dapur, Sherine mencari-cari piring berisi roti panggang dan omelet yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Tapi kosong. Tidak ada di meja. Tidak di kulkas. Tidak di tempat cuci.

“Masakanku tadi ke mana?” tanyanya pelan saat Una muncul dari pintu belakang.

“Lho? Gak ada, Mbak?” Una tampak bingung.

“Iya, hilang. Aku gak lihat di mana pun.”

Una menggeleng cepat. “Aku gak makan, Bi Lilis juga enggak. Mas Adji pasti nunggu izin dulu kalau mau makan. Waduh…”

Sherine mendesah. Bibirnya mengerucut kecil.  Dalam hati ia tahu pasti makanan itu pasti dibuang oleh Dewa.

“Yasudah… gak apa-apa.”

“Mau saya masakin sesuatu aja?” tawar Una cepat.

“Gak usah. Aku bisa masak sendiri.”

“Baik, Mbak. Kalau butuh bantuan, panggil Una aja ya?”

Sherine mengangguk. Langkahnya kembali mengarah ke tangga. Namun di tengah jalan, ia kembali berpapasan dengan Dewa, kali ini lelaki itu sudah berganti pakaian.

Kemeja linen abu muda yang digulung di lengan, celana hitam potongan rapi, dan jam tangan kulit di pergelangan tangannya membuat Dewa tampak sangat effortlessly masculine. Rambutnya disisir santai ke belakang, dan sisa air kolam hanya mempertegas ketampanannya.

Sherine ingin berbalik. Tapi tangan Dewa menahan pergelangan tangannya.

“Kenapa, Pak?” tanyanya, mata tak berpaling.

“Aku tahu kamu marah.”

“Tidak.” Jawab Sherine singkat, tanpa emosi.

“Kita makan di luar, yuk.” ucap Dewa, suaranya sedikit ragu.

“Saya bisa masak sendiri.”

“Sherine, please...” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

Ada jeda. Tapi akhirnya Sherine mengangguk. “Baiklah. Tapi saya ganti baju dulu.”

“Oke.”

Mobil melaju pelan membelah jalanan kota. Sunyi. Tak ada obrolan. Hanya musik instrumental dari dashboard yang mengisi ruang kosong antara mereka.

Setelah 20 menit, mobil berhenti di depan sebuah restoran Jepang yang estetik. Dinding kayu, pintu geser khas, dan taman batu kecil di sisi pintu masuk.

“Kamu pernah ke sini?” tanya Dewa pelan.

“Iya. Pernah.”

“Katanya ramennya enak. Aku belum pernah coba.”

“Iya, memang enak.” balas Sherine tanpa senyum.

Dewa keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya. Tapi ekspresi wajahnya tetap dingin, seperti hujan yang turun pelan-pelan tapi tak pernah reda.

Baru beberapa langkah masuk ke dalam, seorang wanita muda menyapa penuh semangat.

“Sherine?! Oh my God! Aku ngefans banget sama kamu!”

Wanita itu langsung mendekat, matanya membesar. “Boleh minta foto gak? Aku follow YouTube kamu, TikTok kamu, semuanya! Kamu glowing parah aslinya juga, kayak nggak nyata!”

Sherine tersenyum sopan. “Tentu. Boleh.”

Mereka berfoto sebentar. Dewa hanya berdiri di belakang, menyaksikan pemandangan itu dalam diam. Pandangan para pria di ruangan itu juga mulai tertuju ke arah Sherine.

Itu yang membuat Dewa tak tahan.

“Kita pindah ke ruang VIP. Sekarang.” ucapnya tegas pada staf.

Sherine mengerutkan dahi. “Kenapa? Ini tempatnya nyaman kok.”

“Aku gak suka jadi pusat perhatian.”

Padahal hatinya tahu, ia tak tahan melihat istrinya dipuja-puja orang lain, padahal ia sendiri bahkan belum menyentuhnya.

Ruang VIP itu hening. Lampu gantung kayu bergaya Jepang menerangi ruang kecil yang hangat dan tertutup.

Pelayan menyajikan ramen, sushi, dan matcha hangat.

Sherine menyendok kuah dengan pelan. Dewa memperhatikannya. Mulutnya ingin berkata sesuatu. Tapi sebelum sempat bicara, ponselnya berdering.

Ia melihat layar.

Jeeh.

Tanpa ragu, ia angkat.

“Halo, Jeeh?”

Sherine menghentikan sendoknya. Matanya membulat pelan. Mulutnya terbuka sedikit.

Jeeh...?

Nama itu menyentak hatinya. Matanya terarah pada bibir Dewa yang kini mulai tersenyum samar saat berbicara.

Bukan hanya kenal. Tapi suara itu. Nama itu. Pasti…

Sherine meneguk ludahnya. Tubuhnya terasa panas. Tapi bukan karena makanan.

Itu nama yang tak asing.

Itu nama dari masa lalu.

Dari seseorang… yang tak seharusnya muncul di cerita ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Istriku   18. Tanpa Cinta

    Setelah makan siang bersama, suasana meja makan terasa hangat, namun Dewa belum sepenuhnya lepas dari kekakuan. Sherine masih terlihat menjaga jarak dengannya, sedangkan Thamara tampak sangat menikmati kebersamaan mereka.Selesai membereskan piring, Thamara memanggil putranya. “Dewa, Mama mau bicara sebentar sama kamu di ruang tamu.” Nada suaranya tegas, tapi lembut.Dewa menurut. Ia berjalan di belakang ibunya, melirik sekilas ke arah Sherine yang sibuk bersama Una di dapur. Begitu tiba di ruang tamu, Thamara duduk di sofa elegan berlapis kain beludru, menyilangkan kaki dengan anggun, lalu memandang putranya lekat-lekat.“Mama tahu, kalian nggak lama pacaran, bahkan hampir nggak ada waktu untuk benar-benar saling mengenal sebelum menikah,” Thamara membuka pembicaraan. “Tapi Mama bisa lihat satu hal… kalian saling mencintai.”Dewa terdiam. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi menghunjam. Entah mengapa ia merasa sulit mengelak. Namun hingga saat ini ia masih belum bisa mengakui per

  • Terjerat Pesona Istriku   17. Saatnya Punya Momongan

    Sherine dan Thamara tampak sibuk menata hidangan di meja makan. Aroma masakan yang baru matang memenuhi udara, menciptakan suasana hangat di ruang makan megah itu. Piring demi piring ditata rapi, gelas kristal berkilau terkena pantulan cahaya lampu gantung.Dewa yang baru saja masuk ke ruang makan menghentikan langkahnya sejenak. Ada rasa asing tapi nyaman di dadanya melihat dua wanita itu—istrinya dan ibunya—tertawa kecil sambil berdebat manis soal letak piring dan hiasan salad."Aku bantu, ya?" ucap Dewa sambil tersenyum, lalu mengambil salah satu piring hidangan untuk ia letakkan di meja.Sherine sempat menatapnya sekilas, tatapan yang singkat namun sarat makna. Namun, sebelum Dewa sempat membalas dengan senyum, Sherine sudah mengalihkan pandangan, kembali sibuk mengatur sendok dan garpu. Masih ada sisa jarak di antara mereka, jarak yang mungkin lahir dari peristiwa semalam.Rama ikut masuk, langsung menawarkan bantuan. Dengan cepat ia mengatur gelas-gelas dan memindahkan beberapa

  • Terjerat Pesona Istriku   16. Masak Bareng

    Mobil hitam berlogo elegan itu berhenti mulus di depan halaman rumah mewah keluarga Hadisetyo. Pintu belakang dibuka oleh Rama, dan Dewa melangkah keluar dengan jas masih dikenakan setengah bahu dan dasi sedikit longgar—tanda bahwa pikirannya belum juga tenang.Langkahnya cepat, nyaris seperti terburu. Matanya menyapu halaman depan, lalu ke teras—tak ada tanda-tanda kehadiran Sherine di sana. Rasa cemas yang selama perjalanan tadi ia coba tahan mulai merayap kembali."Di rumah nggak ada siapa-siapa, Pak?" tanya Rama ragu dari belakang.Dewa menggeleng kecil. “Entahlah...”Tanpa menjawab lebih lanjut, ia melangkah ke dalam rumah. Baru saja menapakkan kaki di area ruang tengah, Bi Lilis muncul dari arah dapur sambil membawa seikat daun seledri."Bi Lilis," panggil Dewa cepat.Perempuan paruh baya itu sedikit tersentak, namun segera tersenyum sopan. "Eh, Pak Dewa. Sudah pulang, Nak.""Bu Sherine di mana?" tanyanya langsung."Oh, Nyonya besar sama Bu Sherine sedang masak di dapur, Pak."

  • Terjerat Pesona Istriku   15. Honeymoon?

    Sherine turun dengan langkah tenang, menyembunyikan kecamuk hati yang sejak pagi tak kunjung reda. Saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir, ia mendapati sosok anggun duduk dengan sikap santai namun elegan. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul Prancis, coat krem berpotongan ramping membalut tubuh semampainya, dan kalung mutiara melingkar manis di leher jenjangnya. Aura sosialita tak hanya tampak dari pakaian, tapi dari caranya duduk, tersenyum, dan bahkan sekadar memutar cangkir teh.Thamara Paramitha Soedono, ibunda Dewa. Sosok yang disegani di kalangan sosialita, pemilik butik high-end dan donatur tetap di berbagai acara amal besar.Sherine segera menghampirinya dan membungkuk sopan sebelum memeluknya."Mama, kok nggak bilang mau ke sini? Saya bisa siapkan masakan dulu atau sesuatu untuk Mama," ucap Sherine lembut, matanya tulus dan penuh hormat."Ahhh, sayang… Mama sengaja bikin kejutan buat kamu dan Dewa. Tapi kata Una, Dewa hari ini malah pergi bekerja," sahut Thamara sambil me

  • Terjerat Pesona Istriku   14 - Ibu Mertua

    Di apartemennya yang mewah di New York, langit malam mulai berganti dengan warna tembaga matahari terbit. Veneza berdiri di depan jendela besar, mengenakan kimono sutra berwarna ivory, menatap langit dengan tatapan gelisah.Tangannya menggenggam ponsel, namun layar itu tetap gelap—Dewa tak kunjung membalas.“Sudah tiga hari… dan dia belum menjawab satupun pesanku,” gumamnya, suara pelan namun tajam. Ia mengusap wajahnya, frustasi.Ponsel itu dilemparkannya ke atas sofa. Pikiran cemburu mulai membakar hatinya, apalagi sejak berita pernikahan Dewa dan Sherine muncul di media.“Dia terlalu cantik…” lirih Veneza, saat melihat salah satu foto Sherine yang terpampang di layar tablet. Mengenakan kebaya pastel, senyumnya tenang… dan itu membuat hatinya semakin tidak tenang.Ia tak bisa menahannya lagi. Dengan nada tegas, ia memanggil asistennya, “Marry, carikan penerbangan paling awal ke Jakarta. Aku akan ke sana hari ini juga.”Marry terkejut. “Miss, Anda yakin ingin pergi tanpa memberitahu M

  • Terjerat Pesona Istriku   13 - Penyesalan

    Cahaya pagi menembus tirai kamar dengan lembut, membiaskan siluet dua tubuh yang terbungkus selimut putih. Sherine duduk membelakangi Dewa, punggungnya tegak tapi matanya sayu. Di sampingnya, Dewa baru saja membuka mata. Sorotnya kosong sejenak sebelum menyadari kenyataan di hadapannya.Tubuh Sherine.Hangatnya masih terasa di sisi ranjang.Dewa bangkit perlahan. Jemarinya, entah karena naluri atau penyesalan, menyentuh pelan punggung Sherine—hangat dan gemetar. Sherine tersentak, langsung menarik tubuhnya menjauh.“Pak Dewa!” serunya pelan, panik, tak siap menghadapi pagi ini.“Good morning...” ucap Dewa dengan suara serak, mencoba tenang meski jantungnya berdegup kencang.Sherine hanya diam. Napasnya tak stabil. Ia menarik selimut lebih tinggi, seolah ingin menyembunyikan luka yang lebih dalam dari sekadar tubuh yang tak tertutup.Dewa duduk di sisi tempat tidur, memandang wanita itu yang kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri—hancur, diam, tapi tegar.“Aku minta maaf... unt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status