"AXELL!"
Disaat semuanya sudah hampir terlambat. Terlihat, seorang gadis berparas cantik meneriakkan nama Axelio, membuat tiga pria yang tengah berdebat itu menoleh. Tentu saja hal itu membuat Axelio sedikit bernafas lega, karena akhirnya ada yang mengalihkan perhatian dua sahabatnya ini.
'Erika?' Axel mengernyit, melihat siluet yang sangat di kenalnya berjalan mendekat.
Dengan senyum lebar, tanpa permisi Erika bergelayut manja di lengan Axelio. Namun, sepertinya Axelio tidak menyambut baik sikap Erika itu, bahkan Axcel segera melepaskan pelukan gadis itu darinya.
Mendapat penolakan dari Axelio, tentu saja Erika merasa ada yang berbeda, "Ada apa, xel?"
"Pffftttttt. Pakek nanya, tentulah Axel risih sama lo!" sahut Aldy.
Risih? tidak mungkin. Tadi saja ketika berada di kolam renang dirinya sudah hampir berhasil, mana mungkin Axcel risih dengannya, "Bilang saja kalau lo iri dengan Axcel, heh."
"Iri? Gue tarik semua ucapan gue dulu yang sempat mengagumi cewek kayak lo," sahut Aldy. Memang benar jika dulu ia mengejar Erika, walaupun dirinya tahu jika Erika menyukai sahabatnya dan juga memiliki beberapa skandal dengan pria yang lebih tua, namun dengan bodohnya Aldy tidak memperdulikan itu. Tapi, setelah tidak sengaja melihat adik tiri Axcel tadi, sepertinya Aldy jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Syukur deh, kalau lo sadar diri!" sahut Erika dengan sombongnya.
"Dihhh," Aldy yang bergidik ngeri, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu bersama kedua sahabatnya. Bahkan, Aldy sampai melupakan rasa penasaran yang tadi membuat dirinya berdebat dengan Axcel dan Revan.
Setelah tertekan ketika menyaksikan perdebatan panjang itu, Akhirnya Adnessa bisa bernafas lega. Walaupun dirinya merasa sedikit kesal dengan gadis yang berusaha untuk mencari perhatian dengan kakak tirinya.
"Haishhhh, dasar cowok brengsek," umpat Adnessa kesal, melihat Axcel kembali masuk kedalam tempat itu.
Tiba-tiba saja Adnessa teringat akan sesuatu, dengan panik gadis itu mencari cermin, "ASTAGA, Bibir ku?" Adnessa terkejut, melihat bibirnya yang sedikit bengkak akibat kebrutalan Axcel tadi.
Adnessa melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dengan perasaan cemas Adnessa buru-buru melajukan mobilnya, "Aishhhh, apa yang akan aku katakan nanti? Semoga saja mama dan papa belum pulang."
***
"Lo, gak jadi ikut balap?" tanya Revan.
Axcel menggeleng dan justru memilih untuk pergi ke bar, "Next time aja, bro."
"Tumben, biasanya lo orangnya kalau udah niat dari awal selalu konsisten sampai akhir. Apa jangan-jangan gara-gara gadis di parkiran tadi?" goda Revan setengah menyelidik.
"Ahh, sial," umpat Aldy yang baru saja teringat sesuatu.
"Kenapa, lo?" tanya Revan.
"Tadi kan kita ada sepakat buat lihat siapa gadis yang ada di dalam mobil?!" sahut Aldy.
"Ckkk, gara-gara cewek lo sih, dy. Kita jadi lupa," sahut Revan terkekeh, menertawakan Aldy.
"Enak aja, cewek gue," sahut Aldy tidak terima.
"Xel, yang sama lo tadi, sebenarnya siapa? Adek lo? Soalnya gue lihat tadi lo keluar dari sini sama adek lo," sahut Revan.
Uhuk uhukk uhukkk.
'Sial, gimana gue jelasinnya?' pertanyaan Revan berhasil membuat Axcel panik bahkan sampai tersedak.
Melihat respon Axcel, Revan dan Aldy pun menjadi sedikit curiga. Apa mungkin tebakan kita selama ini memang benar?
"Nggak. Tadi gue cuma antar Adnessa dari depan, soalnya ada cowoknya yang jemput," bohong Axcel. Andai saja realitanya tadi seperti yang dia katakan, pasti Axcel juga tidak akan semudah itu menyerahkan Adnessa kepada pria lain, walaupun itu adalah kekasih Adnessa.
"APA?!" sahut Revan dan Aldy bersamaan.
"Jadi, adek lo sudah punya cowok?" tanya Aldy penasaran.
"Hummm," singkat Axcel seraya mengangguk.
"Astaga, baru saja gue mau minta tolong ke lo, buat kenalin ke adek lo itu. Ternyata malah sudah punya cowok?!" ucap Revan seraya memegang dadanya, seolah tengah sakit hati.
"Kenalin apanya? Gue nggak bakal ngerestuin kalian," sahut Revan.
"Pffftttttt, mampus," sahut Aldy menertawakan, padahal dirinya sendiri juga kecewa.
"Sudah, ah. Gue mau pulang," ucap Revan.
"Tumben. Kenapa, lo?" tanya Aldy.
"Besok gue ada kelas ngejar pagi!"
"Kirain gara-gara nggak dapat restu dari Axcel," ledek Aldy.
Revan tersenyum, "Itu sih, bisa kita bicarakan lagi, ya, bro!" sahut Revan seraya menepuk pelan pundak sahabatnya, Axcel.
"Apaan, lo? Enggak," sahut Axcel membuat Revan semakin di tertawakan oleh Aldy.
"Ckkkk, yaudahlah gue cabut dulu!" sahut Revan.
"Ayang mau kemana?"
Baru saja Revan berdiri, sudah tiba-tiba saja seorang gadis yang menurut revan sangat menjengkelkan itu menghampirinya, "Sial."
"Pfffttttt. Udah, lo sama Devita aja! Emang paling top kalau lo sama dia. Jadi, Adnessa buat gue aja!" sahut Aldy.
Apa-apaan mereka? Axcel tidak habis fikir kenapa dua sahabatnya bisa menyukai adik tirinya.
"Terimakasih, Aldy. BTW, Siapa itu Adnessa?" tanya Erika.
"Gadis yang lo katain saat di area kolam tadi."
"Ohhh, jalang itu?" sahut Erika.
"Hmmm, cari masalah," gumam Revan dengan tatapan tidak suka ke arah Erika.
"Siapa yang kamu bilang jalang, hmm?" tentu saja Axcel tidak terima mendengar nama Adnessa di jelekkan seperti itu.
***
Sore itu, Adnessa berdiri di teras kediaman Hansel, menatap mobil Revan yang kian menjauh, menelan kesepian yang tiba-tiba menyeruak setelah kepergian pria itu."Anak ini milik saya!"Adnessa terperagah, jantungnya mencelos mendengar suara berat yang tiba-tiba membisikkan kalimat itu tepat di belakangnya. Sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya, menariknya mendekat hingga punggungnya membentur dada bidang seorang pria."Axcel?!" lirih Adnessa, terkejut bukan kepalang. Spontan ia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, tangan Axcel justru mengerat, memeluknya seolah tak ingin melepaskan.Axcel menghela napas panjang, aroma maskulinnya menusuk indra penciuman Adnessa. "Apa saya seperti hantu? Kenapa kamu begitu ketakutan melihatku?" tanyanya datar, perlahan membalikkan tubuh Adnessa hingga tatapan mereka bertemu. "Jangan lagi menghindariku, jangan lagi mencari alasan untuk menjauh. Aku sudah mengetahui semuanya, Ness. Jika... ini adalah darah dagingku!" lanjutny
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit