Maya mondar-mandir di ruang tamu apartemen Elera, wajahnya penuh kekhawatiran dan frustrasi. Ponselnya tergenggam erat di tangan, siap menelepon polisi kapan saja.
Seharusnya mereka sudah berada di Pattaya sekarang, menikmati liburan yang telah direncanakan berbulan-bulan. Tapi nyatanya? Sahabatnya malah menghilang tanpa kabar.
Klik!
Suara kunci berputar.
Maya langsung menoleh ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, sosok yang sejak tadi ia tunggu akhirnya muncul.
"ELERA!"
Ia langsung berlari dan memeluk sahabatnya erat, hampir membuat Elera kehilangan keseimbangan.
"Ya Tuhan, kau ke mana saja?! Aku sudah hampir gila!"
Elera tersenyum tipis, membalas pelukan itu dengan tepukan pelan di punggung Maya. "Aku baik-baik saja, Ma."
Namun, Maya langsung menarik diri dan menatapnya penuh selidik.
"Tidak! Kau tidak baik-baik saja! Kau menghilang semalaman, tidak menjawab telepon, lalu tiba-tiba kembali seperti ini?"
Elera membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Maya melihat sesuatu di belakangnya.
Matanya membesar, rahangnya menganga, dan ekspresinya berubah dari lega menjadi syok.
"ASTAGA… SIAPA MEREKA?!"
Elera menegang. Ia tahu siapa yang sedang dilihat Maya.
Leon dan Dante.
Dua pria itu berdiri di ambang pintu, mengamati mereka dengan tatapan tenang tetapi tajam.
Maya langsung melangkah mundur, memandang Elera dengan ekspresi tidak percaya. "Elera… siapa mereka? Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Elera menelan ludah. Sial.
Leon melangkah masuk, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan santai. Suaranya rendah, dalam, tetapi penuh otoritas.
"Cepat kemasi barangmu."
Maya mendelik. "Apa maksudnya ini?! KAU PERGI DENGAN MEREKA?!"
Elera menghela napas panjang. Ia tahu ini akan jadi sulit.
"Aku… akan menjelaskan nanti, Maya."
Maya mengangkat tangan, menghentikan kalimat Elera.
"Tidak! Jelaskan sekarang juga! Siapa pria ini?! Kenapa dia masuk ke APARTEMENMU?!"
Sial.
Elera berpikir cepat. Maya tidak bisa tahu yang sebenarnya. Dia tidak boleh tahu bahwa Leon adalah mafia yang sedang berperang dengan musuhnya dan bahwa Elera secara tidak sengaja terjebak di tengah-tengahnya.
Jadi, tanpa berpikir panjang, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah—
"Dia… orang yang dijodohkan denganku oleh Om dan Tante."
Hening.
Maya berkedip, wajahnya berubah dari penuh kecurigaan menjadi kebingungan total.
"APA?!"
Dante yang tadinya bersandar santai di pintu langsung membeku, menatap Elera seolah baru saja mendengar lelucon terbaik dalam hidupnya.
Leon, sementara itu, tetap memasang ekspresi datarnya. Namun, tatapannya ke arah Elera jelas mengatakan "Apa-apaan ini?"
Maya, yang tidak bisa diam lama-lama, langsung meledak.
"KAU DIJODOHKAN?! SEJAK KAPAN?! DENGAN DIA?!" Maya menunjuk ke arah Leon dengan dramatis."YA AMPUN, KENAPA KAU TIDAK MENGATAKAN APA-APA?! APA AKU INI BUKAN SAHABATMU?!"
Elera hampir jatuh ke lantai karena Maya mengguncang tubuhnya keras-keras.
"Ma-Maya, tenang! Aku bisa jelaskan!"
Namun, Maya tidak berhenti sampai di situ. Dia malah melihat lebih dekat ke arah Leon dan Dante, lalu mengerjapkan matanya berulang kali.
"Oke, tunggu sebentar. Stop. Aku harus memproses ini."
Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah meminta semua orang diam sebentar, lalu menatap Leon dan Dante lagi dengan ekspresi penuh penilaian.
"Astaga. Aku harus mengatakannya."
Elera menutup mata, sudah bisa menebak apa yang akan keluar dari mulut Maya.
Dan benar saja—
"KALIAN BERDUA TAMPAN DAN SEKSI BANGET! YA TUHAN, ELERA, KENAPA KAU TIDAK MEMBERITAHUKU KALAU PERJODOHANMU SEBEGINI HOT-NYA?!"
Dante langsung tertawa terbahak-bahak.
Leon hanya mengerutkan kening, sementara Elera menutup wajahnya dengan kedua tangan, ingin menghilang dari dunia ini sekarang juga.
"Maya, AKU MEMOHON, JANGAN SEPERTI INI!"
Namun, tentu saja, Maya tidak peduli. Dia melangkah mendekati Leon dan Dante, menatap mereka dari atas ke bawah seperti sedang menilai barang koleksi mahal.
"Serius, El. Kalau aku tahu kau dijodohkan dengan pria sekeren ini, aku pasti sudah merestuinya sejak awal!"
Dante bertepuk tangan dengan gembira. "Akhirnya! Seseorang yang bisa mengapresiasi keberadaan kami!"
Leon mendengus pelan. "Ini tidak perlu dibesar-besarkan."
Maya langsung menunjuknya dengan mata menyipit curiga. "Oh, oh, oh, tidak. Kau tidak bisa menghancurkan momen ini, Tuan Santiago! Karena aku masih punya pertanyaan!"
Elera mengerang dalam hati. "Tolong hentikan, Maya."
Maya mengabaikannya, malah mendekatkan wajahnya ke Leon dengan ekspresi menyelidik.
"Seberapa banyak kau tahu tentang calon istrimu ini?"
Leon menatap Maya dengan malas, tetapi ia tetap menjawab dengan suara tenang.
"Aku tahu dia keras kepala, terlalu mandiri untuk ukuran seorang wanita, dan tidak mudah tunduk pada siapa pun."
Dante tertawa lebih keras lagi, sementara Maya terdiam sesaat sebelum akhirnya…
"ASTAGA! DIA BENAR-BENAR TAHU KAU, EL!"
Elera ingin menjerit. "Maya, DIAM!"
Namun, Maya tidak mendengarkan. Dia malah melompat kegirangan dan menepuk pundak Elera keras-keras.
"Kau harus segera menikah dengannya, El! Serius, pria ini tipe suami ideal!"
Leon menaikkan satu alis. "Oh?"
Elera menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh ancaman. "JANGAN DENGAN SENANG HATI MENERIMA INI!"
Dante benar-benar tidak bisa berhenti tertawa sekarang.
Tetapi sesuatu dalam ekspresinya berubah sedikit saat matanya kembali ke Maya.
Wanita itu tidak takut sedikit pun.
Dan itu… menarik perhatiannya.
Elera menghela napas panjang. Ini sudah cukup buruk.
Tapi ia tahu, ini baru awal dari kekacauan yang lebih besar.
~~~~~
Suasana apartemen masih riuh dengan suara perdebatan. Maya terus saja mengomel pada Dante, sementara Elera sibuk mengatur napasnya, berusaha mengendalikan situasi yang semakin absurd.
Namun, di tengah kekacauan itu, pintu apartemen tiba-tiba terbuka lagi.
Suara langkah kaki berat bergema di dalam ruangan.
Seolah udara langsung berubah lebih dingin.
Tanpa perlu melihat, Elera bisa merasakan aura mendominasi yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
Ia menoleh—dan seketika tubuhnya menegang.
Seorang pria melangkah masuk dengan tenang, matanya tajam seperti pemangsa yang menilai keadaan, posturnya tegap, dan ekspresinya begitu sulit ditebak.
Leon, yang sejak tadi santai, langsung duduk lebih tegak.
Dante juga langsung diam, sesuatu yang jarang terjadi.
Namun, yang paling mengejutkan adalah Maya, yang semula masih sibuk mengomel, tiba-tiba membatu di tempatnya.
Matanya membesar, seakan ia baru saja melihat sesuatu yang tidak ia duga sama sekali.
"Ayah?" suara Maya nyaris tercekat di tenggorokannya.
Elera membelalak, jantungnya seperti jatuh ke perutnya.
"Om Alvarez?"
Diego Alvarez berdiri di tengah ruangan, matanya menyapu seluruh orang di sana sebelum akhirnya berhenti pada Leon.
Tatapan itu tajam, penuh tekanan, dan jelas membawa sesuatu yang besar.
Hening.
Semua orang menunggu apa yang akan dikatakannya.
Akhirnya, suara beratnya terdengar, terucap dengan nada yang tenang tetapi memiliki kekuatan luar biasa di dalamnya.
"Kita perlu bicara. Sekarang."
Elera menelan ludah, sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa pembicaraan ini tidak akan sederhana.
Leon mengeraskan rahangnya, tetapi tidak menolak.
Maya masih terpaku di tempatnya, matanya beralih dari ayahnya ke Leon dan kembali lagi.
Namun satu hal yang pasti—pertemuan ini akan mengubah segalanya.
Malam itu turun perlahan di atas mansion Santiago. Langit berwarna ungu tua dengan semburat jingga terakhir tergantung di ujung cakrawala. Di salah satu kamar yang tenang, Elera duduk bersandar di headboard tempat tidur, mengenakan daster hangat sambil menyusui salah satu bayi mereka yang mulai mengantuk. Bayi satunya sudah tertidur di ranjang kecil di sebelah tempat tidur mereka, napasnya teratur dan tenang.Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk dengan langkah berat, seakan beban dunia tergantung di pundaknya. Matanya sembab meski ia mencoba menyembunyikannya, rambutnya sedikit acak-acakan, dan ia masih mengenakan kemeja tanpa dikancingkan penuh, seolah bergegas keluar beberapa jam lalu dan tak sempat merapikan diri.Elera menatapnya pelan. “Sayang… sudah pulang?”Leon tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju ranjang, duduk di tepi, dan menunduk—bahunya turun naik menahan napas yang berat.Elera segera memindahkan si kecil yang sudah mengantuk ke boks, lalu meraih Leon. Ia menggengga
Suasana di kamar Kai masih tenang seperti biasanya, hanya ditemani suara detak alat pemantau dan bisikan lembut angin dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah waktu sendiri tengah menanti.Di sisi ranjang, Rachele duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, dagunya bertumpu pada tangan yang disilangkan di atas lutut. Rambutnya diikat asal, jaket medis dilipat rapi di kursi belakangnya. Sudah berapa lama dia duduk di sana? Entahlah. Tapi setiap kali ada waktu luang—dan kadang bahkan saat seharusnya dia tidak punya waktu—Rachele akan kembali ke ruangan ini.Memandangi Kai."Sudah cukup tidur, Dokter Sok Jenius…" gumamnya pelan. “Kalau kau terus begini, aku yang akan jadi gila.”Jari-jarinya menggenggam ringan tangan Kai yang dingin. Rachele menghela napas dan memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir rasa letih dan… takut. Tapi saat ia hampir menarik tangannya kembali, tiba-tiba jari Kai bergerak.Sedikit. Hampir tak kentara
Pagi itu di mansion Santiago, udara terasa lebih tenang. Tidak ada lagi suara tangis yang menyesakkan, tak ada langkah tergesa yang menggema di lorong. Namun di balik ketenangan itu, dua pria yang pernah hampir kehilangan segalanya tengah menyusun langkah balasan.Leon duduk tegak di ruang kendali, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan kulitnya yang belum sepenuhnya pulih. Meski tubuhnya masih menyimpan bekas luka, sorot matanya kembali tajam—penuh kendali, penuh rencana.Dante berdiri di sebelahnya, dikelilingi layar-layar besar yang menampilkan data, peta digital, rekaman tersembunyi, dan catatan lama yang telah dibongkar kembali. Tangannya lincah mengetik di atas keyboard, sementara matanya menyisir jejak yang tertinggal dari pergerakan Sergio.“Tiga jalur pengiriman terakhir milik mereka sudah kukaji,” ucap Dante tanpa melepaskan pandangan dari layar. “Dua palsu. Tapi yang satu ini—” ia mengetuk titik merah yang berkedip di peta, “—mengarah ke gudang tempat kau ditahan. Jeja
Sudah lebih dari dua minggu sejak mereka kembali ke mansion Santiago.Leon kini pulih hampir sepenuhnya. Bekas luka di tubuhnya masih membekas, tapi jiwanya telah bangkit. Tak ada waktu untuk terbaring lebih lama. Setiap malam ia berdiri di ruang kendali bersama Dante dan Rafael, memeriksa rekaman, melacak jejak, menyusun ulang peta kekuatan, mencari titik kelemahan musuh.“Tak mungkin Sergio bergerak sendiri. Ada jaringan baru di bawah tanah yang kita belum tahu,” gumam Leon saat berdiri di depan papan besar penuh peta dan kabel penghubung antar-foto.Rafael mengangguk. “Kemungkinan mereka menyusup ke salah satu jalur lama yang dulu sempat ditutup ayahmu. Aku akan ke medan. Cek langsung.”Leon mengangguk pelan. “Hati-hati.”Namun tak peduli seberapa dalam dia menyelam ke perang rahasia ini, tak peduli seberapa sering dia mengulang-ulang briefing dan menggeledah dokumen lama...Satu hal tetap mengganggu pikirannya.Kai. Masih belum bangun.Setiap malam, Leon menyempatkan diri masuk ke
Pagi itu langit cerah di atas pangkalan militer yang selama beberapa hari terakhir menjadi saksi perjuangan antara hidup dan mati. Suasana perlahan mulai melunak, ketegangan yang sempat menggantung kini tergantikan oleh kesibukan persiapan kepulangan.Leon duduk di kursi roda, wajahnya lebih segar meski bekas luka masih tampak jelas di sisi pelipis dan lengan. Di sisinya berdiri Dante dan Rafael, sibuk mengatur dokumen dan keamanan untuk perjalanan udara.“Jangan pakai kursi roda,” gerutu Leon pelan, meski tak ada tenaga untuk benar-benar bangkit. “Ini memalukan.”Dante menyeringai. “Coba kau jalan sendiri, baru bisa protes. Dan lagi, kau tetap kelihatan berbahaya meski duduk, percaya saja.”Di sisi lain ruangan, Maya memeriksa berkas medis dan mengangguk pada petugas medis militer yang akan mendampingi mereka selama penerbangan. “Leon bisa terbang. Kondisinya stabil. Hanya butuh perawatan lanjutan di rumah, dan sedikit—banyak—istirahat,” katanya sambil menatap tajam ke arah Leon.Leo
Di dalam ruang operasi yang disinari cahaya putih terang, hiruk pikuk ketegangan berubah menjadi irama sunyi yang teratur.Hanya suara mesin monitor, detak pelan ventilator, dan instruksi-instruksi tajam namun tenang dari dua dokter perempuan terdengar bergema.Maya dan Elera bekerja seperti dua sisi mata pisau.Lincah. Presisi. Tajam dalam pengambilan keputusan.Tubuh Kai terbujur dengan luka terbuka di sisi perutnya, ginjal kirinya sudah sebagian ditambal dan diperkuat. Tapi pembuluh darah halus di sekitarnya masih rapuh—salah sedikit saja, Kai bisa kehilangan fungsi ginjal sepenuhnya.“Ler, aku tahan arteri ini. Fokus pada tambalan jaringan. Jangan sampai bocor sedikit pun,” kata Maya tanpa perlu menatap Elera.Elera mengangguk, tangannya tetap bergerak cepat. “Kau pikir aku lupa siapa gurunya kita berdua?”Maya menyeringai tipis. “Oh, dia akan sangat sombong kalau sadar nanti. Mungkin bilang dia pingsan hanya untuk nguji kemampuan kita.”Elera tertawa kecil, meski wajahnya tetap f