Di rumah, Hara merasa sangat bosan. Ia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar.
"Bosen."
Netranya menatap jam yang menggantung di dinding kamar. Masih pukul dua siang, artinya Ardhan masih lama pulang.
Hara berjalan turun, ia mencoba melihat apakah ada yang bisa ia kerjakan untuk menghilangkan kebosanan. Rumah tampak sepi, semuanya sudah tertata rapi.
Hara ke belakang, terlihat ada beberapa pekerja yang sedang mengerjakan pekerjaannya. Ada Mbok Sur yang sedang merawat bunga yang ada di taman belakang.
Hara mendekat, berniat membantu. "Mbok, Hara bantu, ya," ucapnya saat berjongkok di samping Mbok Sur dan mengejutkannya.
"Astaghfirullah, Non Hara. Bikin kaget saja."
Hara tersenyum, ia sedikit merasa bersalah. "Maaf, Mbok. Tapi Hara boleh bantu, kan? Hara bosen," ujarnya tanpa basa-basi.
Mbok Sur membersihkan tangannya dari tanah yang menempel di tangannya karena ia baru saja m
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote, komen dan kritikan jika merasa ada yang kurang.
Hari cepat berlalu, jam menunjuk pukul delapan malam, tetapi Ardhan belum juga pulang. Hara yang diminta tidak menunggu malah melakukan sebaliknya. Sejak tadi pagi Hara memang tak nafsu makan. Ia bahkan sampai sekarang tak mau makan. Bila ditawarkan alasannya menunggu Ardhan pulang. Tangan Hara gatal ingin menelpon, tetapi ia juga gengsi. Lagipula bukankah sudah jelas Ardhan bilang bahwa ia akan pulang malam? Lalu entah mengapa Hara menjadi cemas begini. Persis seperti istri yang khawatir terhadap suaminya. "Udah jam delapan kok belum pulang, sih," gumam Hara dengan hembusan napas yang ia hembuskan secara kasar. Tadi sore, ia sudah memasak untuk Ardhan. Ia meminta pada Mbok Sur agar membolehkannya. Hara memakai alasan bahwa cinta bisa datang dari perut lalu ke hati. Dengan itu ia membujuk Mbok Sur. Tanpa curiga, Mbok Sur mengizinkannya, berpikiran bahwa Hara memang ingin menunjukkan rasa cinta. Pintu kamar diketuk
"Ada apa, Hara?" tanya Ardhan mencoba bersikap biasa saja. Jujur, sebenarnya ia juga bingung harus bersikap seperti apa. "Em, anu." Hara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tak dapat berpikir jernih sekarang. "Anu apa, Hara? Kalau bicara yang jelas, saya tidak mengerti." Alih-alih mendapatkan jawaban, Ardhan justru mendapat sebuah suara yang menggelitik. Ia tak tahan untuk tidak tertawa. Hara sampai dibuat malu kerenanya. "Jadi tadi kamu tidur belum makan?" tanya Ardhan dengan menahan tawanya. Sebab Hara terlihat sangat malu di matanya. Sementara Hara, hanya menunduk, melihat ujung kakinya. Ia merutuki dirinya. 'Kenapa malah jadi gini, astaga. Malu banget.' Sadar Hara yang malu, Ardhan mengambil inisiatif . "Tunggu saya di meja makan. Saya akan memakai pakaian dan akan segera menyusul," ujar Ardhan membuat Hara mendongakkan kepalanya. Saat melihat Ardhan, Hara kembali terhipnotis dengan apa yang se
Melihat Ardhan membalut lukanya yang tidak seberapa entah mengapa hatinya tetap menghangat. Padahal, dulu saat ia terjatuh Ardhan akan melakukan hal yang sama, tetapi, mengapa sekarang rasanya berbeda? "Hara?" ujar Ardhan membuat Hara tersadar dari lamunannya. Ardhan membereskan kotak P3K itu. "Kamu memikirkan apa? Kenapa melamun, hem?" tanya Ardhan lembut. Hara menggeleng dan tersenyum tipis. Ia enggan bersuara karena masih memikirkan perasaan apa yang baru saja ia rasakan. Karena menurutnya itu begitu asing dan baru ia rasa. "Karena baru makan tidak baik jika langsung tidur. Kamu mau menonton TV? Atau mau menonton film?" tawar Ardhan di tengah kebisuan Hara. Hara masih diam saja. Ardhan berpikiran mungkin Hara syok karena kejadian di kamarnya tadi. "Ya sudah, saya tinggal, ya?" Hara memegang tangan Ardhan saat hendak menjauh darinya. Ia menggeleng sebagai tanda tak mau ditinggalkan. 'Tadi d
"Engh...." lenguhan Hara membuat Ardhan menyudahi permainannya. Ia membuang muka. Sekarang wajahnya merona. Niat hati ingin mengecup sekilas, tetapi malah berakhir dengan lumatan. Hara masih enggan membuka mata. Ia masih mengatur napas sembari menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru dirasa. Entah mengapa saat bibir Ardhan menempel pada bibirnya ia tak menghindarinya, tetapi justru membiarkan. Seolah ia juga menginginkannya. "Ma-maaf, Hara. Saya tidak bermaksud melakukannya. Awalnya saya hanya ingin mengecup sekilas, tetapi ... ini terjadi begitu saja. Maafkan saya Hara," ujar Ardhan penuh penyesalan. Ia takut Hara akan takut dan menjauhinya. Namun, tangan mungil Hara memegang pipi Ardhan yang tidak menatapnya. Menarik, dan membuat keduanya bertatapan. Netra hitam dan cokelat itu saling memandang. Entah karena bisikan setan atau memang keinginan pribadi. Hara mendekatkan wajahnya pada Ardhan. Ia mendaratkan bibir merah mudanya
"Eugh, Om. Tolong hentikan," pinta Hara saat tatapan Ardhan membuatnya dag dig dug tak karuan. Ardhan tak langsung menyingkir, ia memandang lekat wajah istri kecilnya. Ia sudah sangat bernafsu sekarang, tetapi bukan berarti kehilangan akal sehatnya. Ia masih sadar bahwa pernikahan keduanya tak sama dengan yang lain. "Maaf," ujar Ardhan lalu melepaskan Hara dari kungkungannya. Ardhan langsung kembali ke kamarnya dan meninggalkan Hara yang jantungnya dibuat berdegup kencang. "Fyuh. Untung saja," ucap Hara lega karena Ardhan sudah pergi, tetapi tidak dengan perasaannya. Ia tak menampik bahwa baru saja hatinya bergejolak karena pria itu. Namun, ia berusaha meyakinkan diri bahwa itu tak lebih karena sentuhan fisik semata. *** "Saya yakin kamu belum mengetahui kebenaran atas kematian ayahmu sehingga mau menikah dengan Ardhan." Ucapannya terdengar lembut, tetapi entah mengapa Hara merasa takut. Saat ini Hara keda
"Om, sebenarnya apa penyebab kematian ayah aku?"Suasana makan malam tiba-tiba berubah. Ardhan yang sejak pulang dari kantor diam karena canggung akibat perbuatannya tadi pagi. Kini terdiam karena pertanyaan itu."Ayah kamu meninggal saat kecelakaan kerja."Ardhan menjawab dengan gugup tanpa melihat Hara."Kenapa memangnya?" tanya Ardhan. Ia penasaran, kenapa Hara mempertanyakan itu sekarang. Padahal saat Weni datang dan marah-marah Hara tak memikirkannya. Apa mungkin saat itu ketakutan lebih menguasai pikiran dibandingkan rasa penasaran?Namun, aneh bila tiba-tiba Hara bertanya seperti itu tanpa sebuah pemicu. Apakah ini waktunya memberitahu Hara yang sebenarnya?"Hara ragu untuk memberitahu bahwa Weni datang. Ia takut Ardhan kecewa karena tak memberitahu dari tadi. "Em, enggak, Om. Cuma penasaran aja. Soalnya waktu itu Hara enggak ngeliat wajah ayah. Karena waktu itu aku kan masih kecil, jadi nangis dan enggak ngeliat
Dengan wajah lesu dan bagian bawah mata yang menghitam Hara memasak sarapan pagi ini. Sudah bisa ditebak, tanpa Ardhan di sampingnya, ia tak dapat tidur dengan nyenyak. Ingin mengeluh, tetapi malu mengatakan. Hara tipikal orang yang jika sudah nyaman akan sulit lepas dari kenyamanan itu.Ardhan yang baru turun dengan tangan sedang mengancingkan kancing lengannya terdiam saat melihat Hara yang menata meja makan. Tanpa sadar senyumnya terbit melihat hal itu."Eh, udah siap. Sarapan dulu, Om," ucap Hara saat melihat Ardhan berdiri tak jauh dari meja makan.Hara sejujurnya terpesona dengan tampilan Ardhan pagi ini. Memakai kemeja putih bersih dengan dasi berwarna hitam, tak lupa jas berwarna hitam tersampir di lengan tangan kanan yang sedang ia kancingkan. Tubuhnya begitu proposional, seperti pria-pria Korea yang ditonton Hara. Meski tua, pesonanya tak pudar dimakan usia.Ardhan berjalan dengan memakai jasnya ke arah meja makan. "Lain
"Ya sudah, saya berangkat dulu," pamit Ardhan.Mobilnya sudah tak terlihat, tetapi Hara masih setia di pintu rumah dengan senyuman. 'Astaga, aku kenapa? Sadar Hara, jangan terpesona.' Namun sisi lain dirinya memberontak. 'Bukankah wajar seorang istri terpesona pada suaminya sendiri?' Begitulah pemikiran sisi lain dalam dirinya.Setelah Ardhan pergi Hara merasa malas untuk keluar. Ia memilih merebahkan tubuhnya. Niat hati hanya ingin rebahan sebentar, malah kelepasan hingga ketiduran. Saat bangun Hara terkejut karena hari sudah siang."Kenapa bisa ketiduran, sih. Huu, udah siang. Jadi males keluar," kesalnya dan turun ke dapur. Ia melihat Mbok Sur sedang mengolah sesuatu."Bikin apa, Mbok," tanya Hara dan duduk di kursi meja makan membuat Mbok Sur terkejut karena Hara yang datang tiba-tiba."Astaghfirullah, Non ini. Ngagetin aja," ujarnya membuat Hara merasa bersalah."Non Hara enggak jadi pergi?" Hara terl