"Kya ...."
Bug
Suara teriakan itu dibarengi dengan suara seperti benda jatuh. Padahal hari masih pagi, tetapi sudah ada kericuhan yang terjadi.
Seorang pria yang belum sepenuhnya sadar dari tidur nyenyaknya terpaksa terbangun akibat badan atletisnya menyentuh lantai. Ia meringis, dan rasa sakit langsung membuat nyawanya terkumpul.
"Badan kamu kurus tapi tendangan kamu kuat juga, ya," keluh Ardhan sembari berdiri dan mengelus bagian tubuhnya yang terbentur lantai.
"Lagian kenapa Om tidur ngelewatin batas dan peluk-peluk aku, hah." Hara menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Apa jangan-jangan," ucapnya penuh selidik dan melihat pada tubuhnya.
'Baju aku masih lengkap. Enggak ada tanda-tanda dibuka.'
Ardhan menatap tak percaya istri kecilnya. "Kamu enggak saya apa-apakan. Enggak usah berpikir negatif, ini masih pagi," ujar Ardhan menyadarkan Hara yang tengah menilik pakaian yang ia pakai.
<Suasana setelah kejadian Ardhan menggoda Hara cukup hening. Ardhan sibuk menonton TV dan Hara yang sibuk dengan rasa malunya. Sadari habis mandi ia tak keluar kamar dan hanya diam dengan umpatan-umpatan.Ardhan tak ambil pusing. Ia mengerti perasaan Hara. Istri kecilnya itu memang akan seperti itu jika sedang malu. Sudah lama mengenal, tampaknya memberi banyak keuntungan bagi Ardhan.Hari mulai siang, suara gesekan kayu pintu dan lantai terdengar. Ardhan menoleh, ia mendapati Hara yang sedang mengeluarkan kepalanya. Mungkin untuk melihat situasi. Saat tatapan mereka bertemu. Hara dengan cepat menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara. Ardhan terkekeh melihat tingkah Hara. Sementara Hara terus merutuki dirinya."Ayo, Hara. Kamu bisa. Kalau gini terus, dia bisa mikir kamu mulai suka," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.Kemudian ia keluar dan ikut duduk untuk menonton. Meski begitu, ia duduk di kursi lainnya. Ardhan fo
Napas keduanya menderu, seperti orang yang habis lari maraton. Hara memalingkan wajah dengan pipi yang merona. Sementara Ardhan tersenyum, ia juga merasa salah tingkah. Seketika ruangan yang awalnya terasa panas, kini terasa canggung."Em, saya akan tidur sofa depan TV saja. Saya takut kelepasan," ucap Ardhan membelah keheningan dan segera keluar dari sana. Ia takut akan lepas kendali dan memangsa Hara jika malam ini tidur bersama.Hara diam tak menjawab. Ia masih sibuk menetralkan degub jantungnya. Ia tak menyangka bisa berbuat begitu. Apalagi yang terakhir dirinya lah yang memulai."Apa yang barusan lo lakuin, Hara. Ceroboh banget, sih. Om Ardhan bisa berpikir macam-macam tentang kamu kedepannya," ucapnya lirih sembali memegang kepalanya.Sebelum kembali ke kamarnya, Hara menyelesaikan merapikan barang mendiang sang ibu sembari mencoba agar tidak gugup nanti di depan Ardhan. Ia tak menangis lagi karena kepergian sang ibu, kini Ha
Netra cokelat gelap milik Ardhan tak henti-hentinya menatap Hara yang masih terlelap dalam tidurnya. Entah bagaimana sehingga posisi Hara sekarang berhadapan dengan Ardhan. Karena Hara lebih pendek daripada Ardhan. Ia tidur dengan bantal dada bidang Ardhan yang tengah terlentang. Kaki Hara menindih kaki Ardhan. Hara seperti sedang memeluk guling raksasa. Ardhan tak tahan untuk tidak mengulas senyum. Ia bahkan ingin tertawa membayangkan bagaimana reaksi Hara saat terbangun dan melihat posisi keduanya. Dari dekat, Ardhan bisa melihat jelas wajah istri kecilnya. Matanya terlihat sembab karena semalam menangis. Pandangannya turun dan berhenti pada bibir merah muda yang kemarin ia nikmati. 'Sadar Ardhan. Jangan berpikir macam-macam. Kamu tidak boleh melakukannya,' ujarnya dalam hati memperingatkan nafsu yang mulai muncul. Ia dengan cepat mengalihkan pandangannya dari bibir yang sekarang menjadi candu untuknya. Hara men
Ardhan dan Hara berjalan beriringan saat hendak masuk rumah. Setelah pintu terbuka, mulut Hara ikut terbuka. Bagian ruang tamu rumah itu tak kalah mewah. Tak hanya bagian luarnya yang indah, dalamnya tak kalah indah."Ayo ke kamarmu," ajak Ardhan dengan menggenggam tangan mungil Hara dan menariknya dengan lembut menuju lantai dua.Rumah itu cukup mewah dan pastinya mahal. Dilihat dari model, interior, dan eksteriornya. Bagian dalam rumah itu juga lebih di dominasi warna putih. Meski begitu, tak terlalu banyak barang juga. Hanya barang-barang penting.Hara kembali dibuat takjub oleh rumah itu. Kali ini kamarnya yang membuatnya ternganga. "I-ini kamar aku, Om? Serius?" Binar kebahagiaan terpancar dari mata kecilnya.Hara langsung masuk dan melihat lebih dalam. Kamar itu benar-benar luas dan indah. Perpaduan antara warna putih dan cokelat susu amat apik. Ada sofa, TV dengan layar besar, ranjang besar, dan ruangan luas.Ar
Kuku tajam Weni melukai pipi Hara. "Saya tidak akan tinggal diam. Saya akan memisahkan kamu dengan anak saya. Dan jangan harap kamu mendapat harta. Satu peserpun saya tidak akan memberikannya!" ujar Weni tepat di wajah Hara.Para pekerja tak ada yang berani melerai. Meski merasa kasihan, mereka tak mampu berbuat apa-apa. Mereka takut oleh Weni.Jari-jari besar dengan warna kulit putih kecokelatan memegang tangan Weni dan melepaskan cengkramannya atas dagu Hara dengan kasar. "Cukup, Ma! Dia istri Ardhan. Seharusnya Mama tidak bersikap kasar seperti ini!"Tubuh Hara gemetar saat Ardhan memeluknya. Tangis Hara bahkan sudah tak bersuara. Suaranya tercekat karena ketakutan yang ia rasa."Berani kamu Ardhan sama Mama? Anak durhaka kamu!" geram Weni atas tingkah anaknya barusan. Karena selama ini Ardhan tak pernah sekasar itu padanya."Mama yang sudah keterlaluan. Sudah cukup selama ini Ardhan diam atas tingkah Mama terhadap keluar
Ardhan menghampiri Hara yang dibantu berdiri oleh pekerja di rumah mereka. "Kamu tidak apa-apa? Ayo ke kamar. Saya obati lukanya," ujar Ardhan dengan anda khawatir.Hara tersenyum, ia senang ada orang lain yang khawatir padanya selain keluarganya. "Aku enggak apa-apa, Om. Cuma kaget aja sama sikap Mama," jawab Hara dengan lembut seolah-olah ia baik-baik saja.Ardhan mengangguk mengerti. Lalu tangannya merangkul pundak Hara. Keduanya naik ke kamar Hara. Ardhan meminta pembantu untuk membawakan es dan kain yang akan digunakan untuk mengompres pipi Hara yang terlihat memar akibat tamparan Weni.Ardhan menyuruh Hara duduk di sofa yang ada di kamar. Sementara itu ia jongkok di depannya. "Duduk dulu, Hara." Ardhan mengambil napas panjang sebelum berbicara lagi."Saya ingin minta maaf soal kelakukan Mama saya. Saya merasa bersalah, karena Mama pipi kamu memar seperti ini." Ardhan mengatakannya dengan membelai pipi Hara yang terlihat bekas
Hara menjadi gugup. Apakah maksudnya perasaan itu perasaan antara laki-laki dan seorang wanita? "Ma-maksud, Om?" "Satu-satunya yang akan berubah soal perasaan saya terhadap kamu itu, yang awalnya sebagai adik mungkin akan berubah menjadi perasaan suka terhadap wanita. Setelah suka menjadi sayang, dan menjadi jatuh cinta. Saya tidak bisa menjamin untuk tidak memandang kamu sebagai wanita." Meski saat mengucapkan hal itu Ardhan tidak memandang Hara, tetapi efeknya membuat pipi Hara merona dengan jantung yang berdegup kencang. Sudut bibirnya terangkat. Bukannya merasa takut, Hara merasakan perasaan bahagia. Dahi Ardhan berkerut saat menyadari Hara tersenyum karena ucapannya. "Kenapa kamu tersenyum?" Ketahuan tersenyum Hara mendadak salah tingkah. "Eh, apaan. Enggak kok. Ini tu karena enggak sakit lagi. Iya enggak sakit lagi." *** Ini hari pertamanya tinggal di rumah Ardhan. Matanya tak kunjung terpejam meski wakt
Skak mat. Hara tak mampu berkata-kata. Melihat Hara yang diam, Ardhan terbahak sampai tersedak. "Uhuk, uhuk." Hara memberikan segelas air. "Makanya, jangan suka usilin anak kecil. Kena karma, 'kan?" Setelah mengucapkan itu Hara pergi tanpa sarapan. Meninggalkan Ardhan yang harus menghabiskan sarapan sendirian. Ardhan langsung berangkat kerja setelahnya. Hara bosan di rumah sendirian tanpa adanya Ardhan. "Mau rumah sebagus apapun kalau sendirian tanpa keluarga enggak enak, ya. Jadi kangen ayah sama ibu." *** Di kantor, Ardhan sibuk dengan setumpuk pekerjaan. Satu minggu tidak masuk membuatnya harus mengerjakan banyak hal. Tidak ada kesempatan untuk bersantai barang sejenak. "Hara sedang apa, ya?" gumam Ardhan di sela-sela menandatangani berkas-berkas di mejanya. Ia melihat foto yang terpajang di mejanya. Seorang anak kecil dengan rambut kuncir kuda yang tengah menikmati es krim. Itu foto sepuluh t