Caroline terbangun dua jam kemudian. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Ia melihat sebuah bangunan asing di depannya. “Di mana aku sekarang?”
Caroline merasakan seseorang menghantam lehernya. Ia kembali tidak sadarkan diri.
Keesokan harinya, Caroline terbangun di sebuah kamar mewah. Wanita itu terkejut ketika melihat pakaiannya sudah berganti.
“Astaga, apa yang sudah terjadi padaku? Di mana aku sekarang?” Caroline melompat dari kasur, mengingat-ingat kejadian semalam. “Astaga, apa mungkin aku berada di rumah rentenir tua sialan itu? Susan benar-benar menjualku!”
Caroline segera memeriksa tubuhnya. “Aku … baik-baik saja. Luka-lakuku juga sudah diobati. Siapa yang melakukannya?”
Caroline keluar dari kamar, memaksakan diri berlari di koridor panjang, mengawasi sekeliling. “Astaga, ke mana orang-orang? Rumah ini sangat sepi.”
Caroline berlari di lorong, berusaha mengingat kejadian semalam. Dadanya mendadak sesak ketika teringat dengan pengkhianatan Ethan dan Rebecca, terutama tindakan keji Susan yang menjualnya pada seorang rentenir tua dan ancamannya yang akan menghabisi Anthony.
Caroline dengan cepat menyeka tangis. “Aku pasti akan membalas kalian semua! Aku tidak akan tinggal diam!”
Caroline tiba-tiba terjatuh di lantai. Ia meringis ketika lututnya terluka. “Aku tidak boleh menangis. Aku harus kuat! Aku harus segera pergi dari tempat sialan ini dan menyelamatkan ayahku dari orang-orang jahat itu.”
Caroline terus berhenti, mengendalikan napas yang terengah-engah. Ia berhenti ketika melihat seseorang yang duduk di pinggiran kolam.
Caroline mendekat dan seketika saja menahan napas ketika bertatapan dengan seorang pria. Pria itu memiliki wajah tampan, mata biru, alis tebal, dan rahang yang tegas. Sosoknya sangat tampan nyaris seperti malaikat.
“Kau sudah bangun?” tanya pria itu sembari menaiki kursi roda.
“Dia cacat,” gumam Caroline.
Caroline menggelengkan kepala berkali-kali, menepuk-nepuk pipi. “Siapa kau?”
“Aku adalah pemilik rumah ini.” Pria itu mendekati Caroline.
Caroline segera mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Ia ingin melarikan diri dari rumah ini. Akan tetapi, ia justru tidak bisa bergerak dari tempatnya. Matanya seringkali tertarik pada pria asing itu.
“Astaga, apa yang terjadi padaku? Aku seharusnya segera lari dari rumah ini. Pria itu mungkin saja anak dari rentenir tua menyebalkan itu.”
“Aku harus pergi.” Caroline berjalan meninggalkan halaman.
“Ke mana kau akan pergi?” tanya pria itu seraya menyusul Caroline.
“Itu bukan urusanmu. Aku tidak ingin tinggal di tempat menyedihkan seperti ini, terlebih terlibat dengan pria menyebalkan sepertimu. Aku juga tidak ingin terlibat dengan pria mana pun lagi.” Caroline berdecak, mengamati pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Astaga, aku pasti sudah gila karena kejadian semalam.” Caroline menepuk dahi. Ia tiba-tiba terjatuh ketika kakinya tersandung sesuatu. “Astaga.”
Caroline terbaring di rerumputan. “Kenapa aku terus mengalami nasib sial? Apa Tuhan benar-benar membenciku?”
Caroline terdiam ketika sebuah tangan terulur ke arahnya. “Jangan menyentuhku!”
Pria itu menarik tangannya kembali. Dibandingkan meninggal Caroline, ia justru mengambil kotak obat di bawah kursi roda, lalu mengobati lutut Caroline.
“A-apa yang kau lakukan? Jangan berani menyentuhku!” ketus Caroline
Pria itu tidak menanggapi ucapan Caroline, fokus untuk mengobati luka. “Aku sudah mengobati lukamu.”
Caroline dengan cepat berdiri, menghindari menatap pria itu. Ia benar-benar terganggu dengan wajah tampannya. Ia bisa mengatakan bahwa pria itu adalah pria tertampan yang pernah ia lihat seumur hidupnya, bahkan artis terkenal sekalipun kalah tampan. Satu hal yang menjadi kekurangannya adalah kecacatannya.
“Jangan berharap kalau aku akan berterima kasih padamu. Aku tidak pernah meminta tolong padamu.” Caroline menyilangkan kedua tangan di dada.
“Ya, aku juga tidak butuh ucapan terima kasihmu.” Pria itu memundurkan kursi roda, meninggalkan Caroline.
“Tunggu!” Caroline mengejar pria itu, menahan rasa sakit di pipi. “Di mana ayahmu? Aku ingin bertemu dengannya sekarang juga.”
Pria itu terus melajukan kursi rodanya.
“Aku bilang tunggu!” Caroline berdiri di depan pria itu sambil merentangkan tangan, mengendalikan napas yang terengah-engah. “Di mana ayahmu? Aku harus bertemu dengannya sekarang juga!”
“Ayahku berada di tempat yang jauh sekarang. Kenapa kau ingin bertemu dengannya?”
“Apa maksudmu?” Caroline terkejut, menatap sinis. “Jangan membohongiku! Aku ingin bertemu dengan ayahmu sekarang juga.”
“Aku berkata jujur. Aku tinggal di rumah ini bersama asisten-asistenku.”
“Apa yang terjadi?” Caroline bergumam, membelakangi pria itu. “Apa mungkin dua bawahan Susan membawaku ke tempat yang salah? Aku rasa itu tidak mungkin.”
Caroline berbalik. “Aku tidak mengenalmu dan tidak ingin mengenalmu. Aku sudah menjalani hari-hari yang sangat buruk, dan aku tidak ingin kau menambah daftar hal buruk yang terjadi padaku. Katakan, di mana ayahmu sekarang?”
“Aku mengatakan hal yang sebenarnya.”
Caroline mengentak rumput. “Dengarkan aku! Kekasihku berselingkuh dengan adik tiriku, dan ibu tiriku sudah menjualku pada ayahmu yang merupakan seorang rentenir gila. Ibu tiriku mengancam akan menghabisi ayahku jika aku tidak menuruti keinginannya. Dan entah bagaimana aku berada di rumah ini dan bertemu dengan pria menyebalkan sepertimu.”
“Kita baru beberapa menit bertemu. Aku juga tidak berbuat apa pun padamu. Jadi, bagaimana mungkin kau bisa memanggilku dengan sebutan pria menyebalkan?”
“Berhenti bicara!” Caroline memutar bola mata, menunggu pria itu bicara. “Kenapa kau diam saja? Kau seharus mengatakan apa yang terjadi padaku!”
“Kau memintaku untuk berhenti bicara. Kau ingat?”
“Katakan sekarang!”
“Kau tergeletak pingsan di halaman depan setelah dua orang pria menurunkanmu dari mobil. Akulah yang sudah membawamu ke dalam rumah, dan membaringkanmu di kasur. Kau sepertinya keliru mengenai—”
“Tunggu!” Caroline mundur selangkah. “Apa kau yang mengganti bajuku?”
“Tidak, asistenku yang mengganti bajumu.”
“Jangan berbohong!”
“Aku tidak berbohong. Asistenku memang mengganti bajumu.”
“Diamlah!” Caroline berdecak, menatap sinis pria itu. Ia benar-benar kesal melihat pria mana pun sekarang.
“Kau pasti kebingungan sekarang. Aku akan menjelaskan semuanya padamu setelah kita sarapan. Masuklah sekarang.” Pria itu melewati Caroline, melaju menuju dalam rumah.
“Kau tidak bisa memerintahku! Aku akan pergi dari rumah ini sekarang juga!” Caroline berjalan tergesa-gesa meski ia tidak tahu harus pergi ke mana.
“Apa kau yakin akan pergi dari rumah ini?” tanya pria bermata biru.
Rombongan mobil bergerak sangat cepat di sebuah jembatan. Dari kejauhan, terlihat gedung-gedung pencakar langit dan sebuah pesawat terbang. Di salah satu mobil, Susan dan Rebecca berada. Kedua wanita itu tertidur nyaris di sepanjang perjalanan.Susan mulai membuka mata, memijat keningnya beberapa kali. “Di mana aku sekarang?”Susan tercengang saat melihat pemandangan kota asing di jendela. Ia menoleh pada dua pria di kursi depan, beralih pada Rebecca yang masih tertidur.Susan mengguncang tubuh putrinya berkali-kali. “Rebecca, bangunlah sekarang! Rebecca.”Rebecca mengerjap, membuka mata perlahan. Ia merenggangkan badan beberapa kali, dan terdiam saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu. “Apakah kita sudah sampai di kediaman Caroline dan si rentenir tua itu, Bu?”“Apa maksudmu, Rebecca?” Susan berkata dengan suara kecil, nyaris seperti bisikan. “Orang-orang asing yang kita temui di depan rumah itu membawa kita ke tempat asing.”“Apa?” Rebecca seketika menegakkan punggung, membuka m
Susan tampak cemas saat beberapa mobil kembali menepi dan orang-orang berpakaian hitam terus bermunculan. “Sialan, siapa mereka sebenarnya?” gumamnya. Para pengawal Susan dan Rebecca segera bersiaga. Mereka tampak ragu karena kalah jumlah dengan orang-orang asing itu.“Apa kepentingan kalian di tempat ini?” tanya salah satu pria berseragam hitam. “Jika kalian tidak memiliki kepentingan apa pun, kalian harus segera pergi dari tempat ini sebelum aku dan para bawahanku bertindak kasar.”Susana mengamati orang-orang berseragam hitam yang sudah mengelilinginya dan Rebecca. Ia berusaha tenang, berjalan selangkah meski Rebecca tidak melepaskan tangannya. “Aku sedang mencari putriku yang menurut kabar berada di rumah ini, Tuan. Kami akan segera pergi karena rumah ini tampak kosong,” kata Susan setenang mungkin. Orang-orang berseragam itu saling bertatapan sesaat. Si pemimpin memberikan tanda pada bawahannya dengan anggukan kepala.Susan dan Rebecca semakin tegang, menoleh pada seorang pria
Ethan mulai mengerjap, membuka mata perlahan. Pria itu berusaha membiasakan diri dengan cahaya yang menyilaukannya. Ia meringis kesakitan, merasakan kepalanya sangat sakit.“Di mana aku sekarang?” Ethan memaksakan diri untuk duduk, mengamati keadaan sekeliling. “Aku berada di rumah sakit?”Ethan termenung saat mengingat kejadian semalam. Ia berlari dari kejaran para berandal. Saat menyeberang, sebuah mobil mendadak muncul dan menabraknya sehingga ia terlempar dan tidak sadarkan diri di jalan.“Dasar brengsek! Badanku terasa sangat sakit.” Ethan memijat kening beberapa kali, menggelengkan kepala. Ia menoleh ke arah pintu saat seseorang memasuki ruangan. “Siapa kau?”“Aku kira kau akan tertidur selamanya, sialan! Aku adalah orang yang sudah menabrakmu,” ujar slah satu anggota pasukan yang dikerahkan Daniel, Donald, dan Dennis.“Dasar bajingan!” teriak Ethan tiba-tiba, “apa kau tidak bisa menyetir mobil dengan baik, hah? Kau membuatku menderita. Kau harus bertanggung jawab dan memberikan
Rebecca seketika terdiam, menjatuhkan tubuh di sofa. Ia meremas bantal dan gaun, menyumpahi Caroline saat melihat deretan foto yang wanita itu kirimkan padanya. Dadanya amat sesak karena amarah.“Jika tahu kejadiannya seperti ini, akulah yang sebaiknya dijual pada si rentenir tua itu. Aku benar-benar iri pada Caroline. Dia membeli sebuah toko mewah seharga seratus juta dolar secara tunai dan sekarang dia tinggal di sebuah rumah megah dengan barang-barang mewah.”Rebecca melempar bantal saking kesal dengan kenyataan yang terjadi. Wanita itu menarik-narik rambut, bergegas mendekati jendela. Sialnya, ia justru disambut dengan petir menggelegar.“Ah!” Rebecca sontak berteriak saat petir menyambar sebuah pohon. Ia berjongkok sambil menutup kedua telinganya.Susan mendengkus kesal, menatap Rebecca sekilas. Wanita itu berjalan mondar-mandir, berharap sebuah rencana muncul. Foto-foto yang ia lihat di ponsel Rebecca tadi membuatnya semakin jengkel.“Terkutuklah kau, Caroline!” pekik Rebecca.“
Serombongan mobil mewah tiba di depan kediaman lama Eric dan Caroline. Sekitar seratus orang berpakaian hitam seketika keluar dari kendaraan, bergegas memasuki halaman dan rumah. Mereka seperti semut yang mengerumuni sesuatu. Selepas lima belas menit berlalu, mereka kembali berkumpul di halaman.“Tuan Eric dan orang-orangnya kemungkinan sudah meninggalkan rumah ini sejak kemarin. Kita akan pergi ke lokasi selanjutnya,” ujar pemimpin rombongan.Orang-orang itu memasuki mobil kembali, meninggalkan kediaman mewah di tengah hutan itu. Dalam waktu cukup singkat, mereka sudah menjauh dari kediaman.Tidak lama setelahnya, seorang pria muncul dari balik pohon, mengamati rumah dengan teropong. “Siapa orang-orang itu? Mereka datang dengan puluhan mobil mewah yang aku aksir harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan dollar.”Steve melompat turun. “Aku beruntung karena orang-orang itu tidak menyadari keberadaanku. Selain kaya, mereka juga terlihat berbahaya.”Steve mengawasi keadaan sekeli
Caroline bangun dengan keadaan segar bugar. Ia terkejut ketika melihat keadaan kamar mandi yang begitu mewah, ditambah ruangan khusus di mana beragam pakaian dan aksesoris yang tersusun sangat rapi di lemari-lemari kaca. “Apakah semua ini milikku, Layla?”“Tentu saja, Nona. Tuan Eric menyediakan semuanya untuk Anda,” jawab Layla.Caroline mengamati keadaan sekeliling, memandang dengan takjub. Mulutnya terbuka dan matanya memercik kekaguman yang luar biasa ketika ia mengelilingi satu per satu rak. “Astaga, ini seperti yang aku lihat di film-film dan video orang-orang kelas atas.”Caroline menatap pantulan dirinya di kaca, menampar pipi beberapa kali. “Ini semua bukanlah mimpi. Astaga, kenapa aku baru menyadari hal ini.”Caroline tiba-tiba tersenyum. “Aku tahu harus berbuat apa sekarang.”“Layla, panggilkan beberapa pengawal wanita untuk membantuku memilih pakaian dan aksesoris yang cocok untukku. Aku ingin mengejutkan Eric.”“Aku mengerti, Nona.” Layla segera menghubungi bawahannya.Em