Sebuah mobil sedan putih pabrikan Jepang mendarat perlahan di sebuah gedung perkantoran berlantai 5. Tak lama berselang, turun seorang pria berwajah oriental dilengkapi kacamata bulat. Pria itu bergegas menuju bangku penumpang untuk membukakan pintu.
Sepatu mengkilat yang pertama kali ditampakkan, membuat para petinggi yang menunggu di lobi pun penasaran. Seperti tak percaya bahwa atasan baru mereka ternyata pria muda tiga puluh tahunan. Walau masih muda, vibes bos-nya sudah terlihat.
Saat memasuki lobby, langkah pria itu kembali terhenti.
"Ini serius kantor?" Pria itu menoleh ke pria berkacamata yang berdiri di sampingnya.
"Bapak hanya menugaskan saya untuk mengakuisisi perusahaan yang akan bangkrut dengan melihat prospek ke depannya." Pria itu tak mau kalah menjawab pertanyaan dari atasannya.
"Tapi bukan berarti bangunan tua kaya begini, kan? Kamu lihat itu?” Pria itu menunjuk sudut ruangan.
“Dinding retak di mana-mana, plafon yang hampir jatuh, lantai yang tampak kusam, debu bertebaran. Al, kamu tahu kan apa saja yang harus kamu bereskan dengan semua kekacauan ini?" Kali ini tanpa menatap ke arah lawan bicaranya.
"Tahu, Pak."
Dua pria muda yang sejak tadi berjalan beriringan itu kini berjalan berlawanan arah. Sang sekretaris dengan ditemani para manager bersiap berkeliling gedung.
"Ini ruangan Bapak." Salah satu manager membuka pintu. Memersilakan pria muda itu agar memasuki ruangan yang sudah dibersihkan setiap sudutnya. Tangan yang sejak tadi disembunyikan dalam saku celana perlahan meraba meja dan bangku yang akan dia duduki. Memastikan jika dua benda tersebut benar-benar bersih.
"Tolong nyalakan komputer serta cek telepon apakah semua berfungsi dengan baik."
"Baik, Pak." Kedua pria paruh baya itu segera menjalankan apa yang diminta atasannya. Walau dalam hati mereka bergumul tak senang.
Sambil menunggu kedua orang tersebut melaksanakan tugas yang diminta, pria itu menuju jendela yang letaknya tak jauh dari meja kerja. Melihat kota Samarinda dari lantai 5. Pikirannya kembali pada beberapa tahun silam. Tempat di mana dia pernah dibesarkan sampai usia remaja. Yang selama ini membuat rindunya meluap-luap ingin segera kembali ke sini. Akhirnya mimpi itu terwujud meskipun butuh beberapa tahun untuk mencapainya. Walau dia sudah hidup dan beradaptasi di tanah Eropa dengan baik, ternyata kehangatan rumah yang selalu ramai oleh teman-temannya itu lebih menyenangkan dari nyamannya tanah Eropa.
"Sudah, Pak. Semua berfungsi dengan baik." Salah satu pria yang tadi diminta untuk menyalakan komputer membuyarkan lamunan masa lalunya.
“Ok, thank you. Kalian silakan lanjutkan pekerjaan masing-masing.” Dua orang pria itu undur diri. Berpapasan dengan Alfa yang akan memasuki ruangan.
"Ini Pak beberapa hal yang harus diperbaiki." Alfa menyodorkan tablet tempat dia menuliskan tugas yang tadi diberikan atasannya. Setelah beberapa menit membacanya, alis pria itu terlihat mengkerut. Seraya memberikan nomor urut hal urgensi yang harus dilakukan terlebih dulu.
"Oke, pertama, tugaskan purchasing untuk mencari supplier sebanyak mungkin dan minta penawarannya. Deadline 2 hari. Hal lainnya kita bahas saat meeting.” Alfa mengangguk.
"Kedua, cari arsitek untuk renovasi gedung ini. Kamu juga sambil cari ruko kecil untuk kita pindahan sampai gedung ini selesai diperbaiki." Pria itu kembali menuliskan di tab-nya sambil berjalan mengikuti atasannya menuju ruang meeting."
"Pagi, Pak." Semua manager sudah berkumpul memenuhi ruangan.
"Pagi," jawab pria itu singkat.
"Saya ingin memperkenalkan diri sebelum kita mulai bekerja bersama. Nama saya Morgan Palevi yang mulai hari ini akan menjadi direktur utama di perusahaan ini. Pertama-tama….”
Bruk!
Terdengar suara keras dari sudut ruangan. Semua mata yang semula menatap Morgan beralih ke sumber suara. Satu per satu berdiri melihat apa yang baru saja terjadi. Sebuah bongkahan plafond di atas lantai membuat peserta rapat melongo.
"Ckckckck. Baru tadi aku bilang kan Al, bentar lagi bangunan ini roboh." Morgan bergumam pada Alfa yang duduk di sebelahnya.
"Udah dapat arsiteknya belum?"
"Baru ada beberapa, sih, Pak."
"Coba lihat." Alfa menyodorkan tab yang selalu dia bawa ke mana-mana,"Ini, Pak."
Dia mulai fokus membaca profil arsitek yang dikumpulkan asistennya secara detail.
Sampai pada kandidat ketiga yang membuat jarinya bergetar. Tidak perlu sampai membaca lengkap profil sang arsitek. Dari foto yang ada di atas CV jelas dia tau siapa wanita itu. Jarinya mengepal seraya berkata, "hubungi dia dan minta hari ini datang."
"Baik, Pak."
"Meeting kita lanjutkan besok." Tanpa banyak kata Morgan meninggalkan ruangan. Pikirannya jadi tak karuan setelah membaca nama calon arsiteknya tadi.
"Maaf Pak jika saya melakukan kesalahan. Awalnya saya tidak ingin memasukkan nama beliau tapi prestasinya pantas untuk dipertimbangkan. Saya akan mencarikan..."
"Tidak perlu. Justru ini alasan bagus untuk menemuinya tanpa aku susah payah. Entah ini kebetulan atau takdir."
Tok…tok…tok
Alfa memasuki ruangan bersama dengan wanita yang baru saja dihubunginya.
“Pak…, Bu Purple sudah sampai. Saya permisi dulu.” Alfa meninggalkan ruangan.
Morgan menarik napas dalam-dalam, memersiapkan diri berhadapan dengan wanita yang ingin dia temui sejak lama itu. Lima tahun rasanya sudah lebih dari cukup untuk melupakannya. Entah hari ini atau besok pada akhirnya akan bertemu juga, hanya soal ritme.
“Silakan duduk, bu…Purple.” Morgan membalikkan badan, lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri wanita yang berdiri agak jauh dari mejanya.
“Morgan?” Tangan mungil yang semula percaya diri membawa resume pekerjaan mendadak lunglai. Matanya tak berkedip menatap sosok pria di hadapannya. Namun pria itu tak terusik sama sekali. Dia tetap melangkah menuju sofa, lalu duduk.
“Sampai kapan Anda akan berdiri di situ?” Purple yang berusaha menyadarkan diri segera menuju sofa.
“Kamu beneran Morgan, kan?” Morgan menggerakkan jarinya di atas tablet. Acuh tak acuh dengan rasa penasaran Purple.
“Pertama-tama saya akan jelaskan.…”
Wanita itu tersenyum tipis seraya menatap lekat pria yang mengabaikannya. “I miss you so much….”
Deg! Jari Morgan terhenti.
“Saya bukan ….”
“Benarkah?” Purple mendekatkan wajahnya.
“Serius kamu bukan Morgan mantan kekasihku? Padahal aku masih ingat dengan jelas rasa manis bibir ini, lho.” Purple meletakkan jarinya di atas bibir Morgan. Membuat pria itu makin tak berkutik. Hatinya jadi tak karuan dengan sikap ugal-ugalan wanita itu.
Morgan meraih jari mungil itu seraya berkata, “Saya sudah lupa rasa manisnya, yang saya ingat hanya punya seorang mantan yang meninggalkan saya dengan alasan bahwa saya anak yatim piatu dan miskin. Dia juga lebih memilih bersama pria pilihan orang tuanya.”
“Aku bisa ….”
“Saya rasa kita tak bisa berdikusi dengan baik hari ini. Saya akan minta dicarikan kandidat lain yang bisa fokus dalam bekerja.” Morgan berdiri meninggalkan wanita itu, lalu berjalan menuju mejanya kembali. Purple mengejarnya.
“Aku pastikan kamu nggak akan dapat arsitek sebaik aku dalam bekerja maupun berciuman.” Purple mengatakannya seraya tersenyum menggoda.
“See you tomorrow mantan kesayanganku….” Purple melambaikan tangan. Morgan hanya melirik. Namun setelah sosok itu benar-benar menghilang di balik pintu, tubuhnya lemas seketika. Jika besok bertemu lagi entah apa dia bisa tahan dengan godaan seperti itu. Baru hari pertama saja hatinya sudah bergemuruh tak karuan.
Selangor, Malaysia – 09.00 pagi“Sial!” umpat Morgan setelah mematikan sambungan telepon dari sang kekasih. Walau tadi dia berusaha tenang dan menyembunyikan rasa cemburunya tetap saja dia merasa was-was jika sudah menyangkut sahabat kecil dari kekasihnya itu.Alfa yang berdiri di sampingnya tak berani menanyakan apa yang tengah membuat bosnya mendadak kesal saat meeting akan dimulai beberapa menit lagi.“Al, kita usahakan meeting ini selesai secepat mungkin. Ga usah terlalu banyak basa-basi. Jika pihak mereka banyak permintaan kita cari investor lain.“Baik, Pak.”Ting.Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka, keduanya menuju ruangan ujung sebelah kanan, tempat berlangsungnya meeting yang akan menguras banyak waktu.Samarinda, IndonesiaSaat Purple akan membuka pintu mobil hitam yang mengantarkannya sampai depan rumah, Rudra bertanya, “Akankah hubungan kita berubah?”“Kalau udah tahu hubungan kita gak akan sama seperti dulu lagi, bukankah sebaiknya gue ngak perlu tahu gimana perasaan
Chapter 26Tin … tinSuara klakson dari sebuah mobil hitam yang terasa sangat familiar menarik perhatian Purple yang tengah berdiri di pinggir jalan menunggu taksi dengan tangan menenteng sebuah koper. Dia akhirnya memilih pulang sendiri karena Alfa hari ini sakit dan pacarnya mendadak harus ke Malaysia untuk negoisasi harga dengan customer barunya.“Masuk,” perintah laki-laki dari dalam mobil setelah kaca bagian penumpang terbuka. Sebelum memutuskan untuk mengikuti perintah laki-laki itu, Purple mengangkat kopernya. Sebagai kode minta tolong agar supir ganteng itu mau menaruh kopernya di bagasi. Begitu sang supir keluar dari mobil dan mengambil alih koper dari tangan Purple, sang pemilik justru dengan santainya masuk ke dalam mobil.“Lo habis dari mana?” tanya Purple seraya memakai sabuk pengamannya.“Abis service monitorku rusak.”“Oh ….” Setelah mengucapkan sepatah kata itu Purple menyandarkan kepalanya dan perlahan menutup mata.“Lo habis dari mana? Berhari-hari ngak bisa dihubungi
Chapter 25Lebih baik dari perkiraan, ternyata tak sampai seminggu luka Morgan sudah mengering. Lima hari berlalu begitu saja tanpa terasa. Seperti sebelumnya, Purple tetap tekun dengan pekerjaannya. Sama sekali tak goyah dengan rengekan Morgan tiap kali wanita itu ingin berangkat kerja. Dan entah disengaja atau memang benar sibuk, Purple selalu pulang malam. Itulah yang ada di pikiran Morgan tiap kali pacarnya pulang jam 19.00 WITA.Aktivitasnya yang begitu padat membuat rumah Morgan hanya jadi tempat persinggahan untuk tidur. Tiap selesai memberikan obat dan mengganti perban, mereka mengobrol ringan. Kadang Purple tertidur saat obrolan mereka belum berakhir. Dan seperti biasa Morgan hanya dapat menahan hasratnya selama beberapa hari itu dengan amat tersiksa. Apalagi saat wanita itu tertidur di bahunya dengan hanya mengenakan tank top dibalut outer tipis. Outer berbahan satin yang kadang terbuka tanpa sengaja seakan terus mengejek dirinya ya
Chapter 24Selepas kepergian Desi yang berhasil membuat mood-nya berantakan, Purple membereskan sisa sarapan yang baru dia makan setengah. Dia buang sisanya karena nafsu makannya hilang seketika. Menutup jatah sarapan Morgan dengan tudung saji di atas meja makan, lalu pergi ke kamar mandi.30 menit kemudianKeluar dari kamar mandi Purple merapikan sedikit bagian dapur yang berantakan. Membuang sampah yang berserakan di meja, menaruh beberapa makanan dan minuman ke dalam kulkas, terakhir dia manyapu dan mengepel lantai agar terlihat bersih. Kemudian menuju kamar tidur mengambil shoulder bag-nya. Mengeluarkan beberapa buah peralatan make up yang akan dia gunakan untuk merias diri.Merasa penampilannya sudah sempurna dengan baju kasualnya, Purple menghampiri Morgan yang masih tertidur. Mengecup kening pria itu sambil berkata, “Aku berangkat kerja, ya.” Diikuti senyuman tipis di bibirnya yang berwarna peach.
Samarinda-Sinar baskara yang menerobos gorden putih di kamar tidur Morgan membuat mata Purple terasa silau. Dia mengerjap untuk sesaat. Berusaha menyadarkan diri bahwa ini adalah kali pertama dia tidur di rumah seorang pria yang bahkan tidak pernah terpikir sedikit pun mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama. Sebuah takdir yang sulit dipercaya. Di tengah keputus asaannya dulu mencari cinta yang hilang ternyata Tuhan sudah mengatur waktu yang paling tepat bagi mereka untuk bertemu kembali. Entah takdir atau kebetulan, dia tetap merasa bersyukur.Purple memiringkan badannya ke kanan. Mengamati dengan saksama durja rupawan seorang pria yang menemaninya tidur semalam. Setiap pahatan indah dalam diri pria itu seakan tak memiliki cela di dalamnya. Dalam tuturnya yang lembut dan setiap perlakuan terhadap dirinya penuh dengan perhatian serta pertimbangan. Agar tak menyakiti atau melukai. Menggambarkan dengan jelas perasaan takut kehilangan dan ditinggalkan seperti dulu.S
Ruangan yang semula dipenuhi suara erangan Purple mendadak berubah hening karena kepergian dua manusia itu ke tempat yang berbeda. Purple memutuskan untuk membersihkan diri, sementara Morgan memilih untuk menahan gairah yang tadi sempat membara dengan menyulut sebatang tembakau di teras rumah. Hanya itu satu-satunya pelarian yang tersisa mengingat dia sudah bertekad untuk tak menjadi pecandu alkohol lagi dan hidup lebih baik demi wanita yang dicintainya.“Kenapa merokok? Kondisimu kan lagi ngak baik.” Suara lembut wanita yang muncul di belakangnya membuat Morgan kaget. Buru-buru dia membuang rokok yang baru terisap setengah itu dengan asal, lalu menyeka bibirnya agar tidak terlalu bau.“Apa ada hal buruk sampai kamu merokok lagi?” Morgan menggeleng.“Aku hanya sedang melampiaskan hasrat yang tak tersalurkan. Kamu tahu, kan aku ini pria dewasa dengan usia yang tepat untuk menyalurkan hasrat.”Deg!Purple tahu betu