“Pagi, Pak.”
Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.
Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.
“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.
“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.
“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.
“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan progress pekerjaan kalian. Entah new customer, repeat order atau perluasan area penjualan. Agar saya bisa ikut memantau dan memperbaiki apa yang kurang. Dan tentu jika hasil kalian sesuai dengan harapan perusahaan, saya akan memberikan bonus yang sesuai.”
Prok … prok.
Morgan menutup meeting dengan suasana menyenangkan. Tim pemasaran juga mulai menunjukkan gairah kerja yang berbeda dari biasanya. Saat Morgan melintasi meja Purple entah mengapa ada perasaan berbeda dari sebelumnya. Padahal dia pikir kemarin adalah awal pertemuan yang baik.
“Kenapa dia datang siang dengan mata merah?” Dia juga terlihat kesal.
Tok … tok … tok.
Alfa memersilakan Purple yang berada di luar ruangan untuk masuk.
“Ada yang mau saya bicarakan dengan pak Morgan.” Alfa merentangkan tangan memersilakan.
“Pak … ada yang mau saya diskusikan mengenai ….”
“Diskusi dengan Alfa aja, saya sibuk.” Lelaki itu mengatakannya tanpa menatap wajah Purple. Walau bertanya-tanya, Purple dengan langkah berat menuju meja Alfa. Sekretaris yang kerap memakai kacamata itu menyuruh Purple agar duduk di sofa saja. Wanita itu segera membuka draft gambar yang baru selesai dia buat.
“Begini, Pak, untuk ruang sekretaris di kantor lama, saya rasa kurang privasi. Apalagi jika nanti ada beberapa orang sekretaris. Terlalu sempit juga. Saya sudah mendesain ulang untuk ruangan yang baru agar lebih fresh, terlihat luas dan lebih private, yang ini Pak.” Purple menunjuk ke salah satu gambar yang dia lingkari.
Keduanya terlihat sangat serius mendiskusikan perihal letak ruang sekretaris yang akan ditata ulang.
“Ehem ….” Serentak Alfa dan Purple memandang ke arah Morgan yang baru saja berdehem. Tak sadar mereka duduk berdekatan. Menyadari hal itu keduanya saling menjauhkan diri.
“Bos … mau kopi?” Alfa menawarkan bosnya yang tadi pura-pura batuk agar suasana mencair.
“Hmmm ….” Purple menggeleng seraya mengucap terima kasih saat Alfa menawarinya kopi juga.
Ruangan itu jadi hening setelah kepergian Alfa ke pantri. Purple yang kebetulan membawa gawai memilih untuk membuka benda pipih itu lalu memainkannya asal. Dia membuka aplikasi W******p dan melihat status teman-temannya.
“Bisa pulang jam 20.00 lagi, nih.” Status itu disertai dengan foto sebuah komputer yang memerlihatkan desain belum selesai milik Rudra.
“Kenceng, nih.” Purple memberikan tanggapan atas status Rudra itu.
“Ototnya.” Purple tersenyum membaca balasan Rudra. Morgan melirik tajam pada wanita yang duduk di sofa sambil senyum-senyum sendiri itu.
“Ehem ….” Refleks Purple menoleh ke asal suara, lalu memasukkan gawainya segera ke saku blazer yang dikenakan. Kemudian berjalan pelan tanpa menimbulkan suara sepatu ke arah meja Morgan.
“Bapak haus? Mau diambilkan minum?” Purple mengatakannya seraya memiringkan kepala, menggoda Morgan yang sedari tadi tak fokus bekerja. Dengan wajah cemberut Morgan menjawab, “Gak usah.”
“Ya, sudah.” Purple mengangguk-angguk pelan lalu berjalan kembali menuju sofa. Membuka kembali gambar yang tadi sempat ditutup.
Drrrttt … drrttt … drrrttt.
Sebuah panggilan masuk ke telepon genggam Morgan. Tertulis nama Laura.
“Hi, Babe …. How are you?”
“I’m fine, Uncle. When you come back here?”
“Why? Do you miss me?” Morgan mengencangkan suaranya seraya berjalan menuju tempat dispenser yang berdekatan dengan sofa untuk mengambil air mineral.
“Yeah, I miss you.”
“I miss you, too. Muaaccchhh.” Morgan melirik wanita di sampingnya. Purple tak bergeming. Dia masih fokus melihat gambarnya dan menandai beberapa object yang nanti akan dia diskusikan kembali dengan Alfa. Sama sekali tak tertarik dengan percakapan mesra yang berlangsung antara laki-laki yang berdiri di sampingnya entah dengan siapa.
Tok … tok.
“Ini Pak, kopinya.” Alfa meletakkan sebuah cangkir berisi kopi ke atas meja atasannya lalu kembali ke sofa. Melanjutkan diskusinya dengan Purple.
“Jadi gimana, Pak? Bapak setuju dengan konsep ini?” Terlihat Morgan berjalan menuju meja kerja Alfa, mencari-cari sesuatu, lalu mengambilnya dan kembali ke mejanya.
“Al, periksa email dulu. Pak Frans bilang ada email ke kita.”
“Baik, Pak.” Alfa kembali ke meja dan melaksanakan perintah bosnya. Setelah selesai, dia kembali berbicara dengan Purple untuk menyetujui konsep yang diajukan. Morgan ke meja Alfa lagi, entah apa yang dicari tapi sekarang lebih lama dan seperti seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka berdua.
“Cari apa, Bos?”
“Emmm …. Itu laporan penjualan bulan Mei.”
“Sudah saya taruh di meja Bapak.”
“Kalau ada saya gak cari di sini.” Dengan jengkel Alfa menghampiri atasannya sambil berbisik, “ Bilang aja kalau emang gak suka saya ngobrol sama dia.” Morgan melotot. Alfa pura-pura tak melihat reaksi bosnya dan justru membalikkan badan menatap Purple.
“Bu, maaf sepertinya saya harus pergi sebentar. Ada barang pesanan yang harus saya ambil sekarang.”
“Oh, iya gak apa-apa, Pak. Kita bisa lanjutkan nanti aja,” jawab Purple santai.
“Saya pergi agak lama, Bu, jadi silakan dilanjutkan dengan pak Morgan.” Morgan masih bengong menatap kepergian Alfa yang buru-buru.
Emang aku pesan barang apa? Dengan muka bingung dia berjalan ke arah sofa.
“Kalau memang Bapak sibuk saya bisa lanjutkan lagi nanti sama pak Alfa. Saya tak ingin jadi beban orang yang se-da-ng si-buk.” Purple berdiri, berniat akan meninggalkan ruangan.
“Tunggu!” Refleks tangan Morgan meraih tangan Purple yang sudah berdiri.
“Kalian diskusi sampai mana?” Sadar sikapnya membuat Purple bingung, Morgan segera menarik tangannya kembali.
“Sampai sini, Pak.” Purple menunjuk objek terakhir yang tadi dia bicarakan dengan Alfa. Pria itu menanggapinya dengan serius dan memberikan masukan sesuai keinginannya.
“Bikin satu ruangan lagi di dekat ruangan saya.”
“Ini sudah saya siapkan untuk ruangan pak Alfa, Pak.”
“Bukan buat Alfa.”
“Lantas?”
“Buat kucing kesayanganku.”
“Pffttt ….”
“Kenapa ketawa? Aku serius, lho.” Tatapannya tajam melihat Purple yang menahan tawa.
“Iya, iya, Pak, nanti saya buatkan di dekat ruangan Bapak.”
“Bikin ruangan yang luas, serba hijau, karena dia suka warna hijau dengan dekorasi minimalis.” Purple menuliskannya seraya menahan senyum.
“Jadi, piaran Bapak kucing atau kambing ini?”
“Singa! Puas?” Purple tak dapat menahan gelak tawanya. Morgan memandangi wajah mungil itu dalam-dalam. Baru kali ini dia mendengar tawa renyah gadis itu.
Happy Monday... Nungguin, ya? Maaf kemarin sempat sakit dan ngak kuat ngapa-ngapain kayak orang jompo jadi baru sempat update lagi. Cus langsung baca. Jangan lupa tinggalkan jejak, like dan share sebanyak-banyaknya untuk dukung penulis. Thank you. Happy reading
Selangor, Malaysia – 09.00 pagi“Sial!” umpat Morgan setelah mematikan sambungan telepon dari sang kekasih. Walau tadi dia berusaha tenang dan menyembunyikan rasa cemburunya tetap saja dia merasa was-was jika sudah menyangkut sahabat kecil dari kekasihnya itu.Alfa yang berdiri di sampingnya tak berani menanyakan apa yang tengah membuat bosnya mendadak kesal saat meeting akan dimulai beberapa menit lagi.“Al, kita usahakan meeting ini selesai secepat mungkin. Ga usah terlalu banyak basa-basi. Jika pihak mereka banyak permintaan kita cari investor lain.“Baik, Pak.”Ting.Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka, keduanya menuju ruangan ujung sebelah kanan, tempat berlangsungnya meeting yang akan menguras banyak waktu.Samarinda, IndonesiaSaat Purple akan membuka pintu mobil hitam yang mengantarkannya sampai depan rumah, Rudra bertanya, “Akankah hubungan kita berubah?”“Kalau udah tahu hubungan kita gak akan sama seperti dulu lagi, bukankah sebaiknya gue ngak perlu tahu gimana perasaan
Chapter 26Tin … tinSuara klakson dari sebuah mobil hitam yang terasa sangat familiar menarik perhatian Purple yang tengah berdiri di pinggir jalan menunggu taksi dengan tangan menenteng sebuah koper. Dia akhirnya memilih pulang sendiri karena Alfa hari ini sakit dan pacarnya mendadak harus ke Malaysia untuk negoisasi harga dengan customer barunya.“Masuk,” perintah laki-laki dari dalam mobil setelah kaca bagian penumpang terbuka. Sebelum memutuskan untuk mengikuti perintah laki-laki itu, Purple mengangkat kopernya. Sebagai kode minta tolong agar supir ganteng itu mau menaruh kopernya di bagasi. Begitu sang supir keluar dari mobil dan mengambil alih koper dari tangan Purple, sang pemilik justru dengan santainya masuk ke dalam mobil.“Lo habis dari mana?” tanya Purple seraya memakai sabuk pengamannya.“Abis service monitorku rusak.”“Oh ….” Setelah mengucapkan sepatah kata itu Purple menyandarkan kepalanya dan perlahan menutup mata.“Lo habis dari mana? Berhari-hari ngak bisa dihubungi
Chapter 25Lebih baik dari perkiraan, ternyata tak sampai seminggu luka Morgan sudah mengering. Lima hari berlalu begitu saja tanpa terasa. Seperti sebelumnya, Purple tetap tekun dengan pekerjaannya. Sama sekali tak goyah dengan rengekan Morgan tiap kali wanita itu ingin berangkat kerja. Dan entah disengaja atau memang benar sibuk, Purple selalu pulang malam. Itulah yang ada di pikiran Morgan tiap kali pacarnya pulang jam 19.00 WITA.Aktivitasnya yang begitu padat membuat rumah Morgan hanya jadi tempat persinggahan untuk tidur. Tiap selesai memberikan obat dan mengganti perban, mereka mengobrol ringan. Kadang Purple tertidur saat obrolan mereka belum berakhir. Dan seperti biasa Morgan hanya dapat menahan hasratnya selama beberapa hari itu dengan amat tersiksa. Apalagi saat wanita itu tertidur di bahunya dengan hanya mengenakan tank top dibalut outer tipis. Outer berbahan satin yang kadang terbuka tanpa sengaja seakan terus mengejek dirinya ya
Chapter 24Selepas kepergian Desi yang berhasil membuat mood-nya berantakan, Purple membereskan sisa sarapan yang baru dia makan setengah. Dia buang sisanya karena nafsu makannya hilang seketika. Menutup jatah sarapan Morgan dengan tudung saji di atas meja makan, lalu pergi ke kamar mandi.30 menit kemudianKeluar dari kamar mandi Purple merapikan sedikit bagian dapur yang berantakan. Membuang sampah yang berserakan di meja, menaruh beberapa makanan dan minuman ke dalam kulkas, terakhir dia manyapu dan mengepel lantai agar terlihat bersih. Kemudian menuju kamar tidur mengambil shoulder bag-nya. Mengeluarkan beberapa buah peralatan make up yang akan dia gunakan untuk merias diri.Merasa penampilannya sudah sempurna dengan baju kasualnya, Purple menghampiri Morgan yang masih tertidur. Mengecup kening pria itu sambil berkata, “Aku berangkat kerja, ya.” Diikuti senyuman tipis di bibirnya yang berwarna peach.
Samarinda-Sinar baskara yang menerobos gorden putih di kamar tidur Morgan membuat mata Purple terasa silau. Dia mengerjap untuk sesaat. Berusaha menyadarkan diri bahwa ini adalah kali pertama dia tidur di rumah seorang pria yang bahkan tidak pernah terpikir sedikit pun mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama. Sebuah takdir yang sulit dipercaya. Di tengah keputus asaannya dulu mencari cinta yang hilang ternyata Tuhan sudah mengatur waktu yang paling tepat bagi mereka untuk bertemu kembali. Entah takdir atau kebetulan, dia tetap merasa bersyukur.Purple memiringkan badannya ke kanan. Mengamati dengan saksama durja rupawan seorang pria yang menemaninya tidur semalam. Setiap pahatan indah dalam diri pria itu seakan tak memiliki cela di dalamnya. Dalam tuturnya yang lembut dan setiap perlakuan terhadap dirinya penuh dengan perhatian serta pertimbangan. Agar tak menyakiti atau melukai. Menggambarkan dengan jelas perasaan takut kehilangan dan ditinggalkan seperti dulu.S
Ruangan yang semula dipenuhi suara erangan Purple mendadak berubah hening karena kepergian dua manusia itu ke tempat yang berbeda. Purple memutuskan untuk membersihkan diri, sementara Morgan memilih untuk menahan gairah yang tadi sempat membara dengan menyulut sebatang tembakau di teras rumah. Hanya itu satu-satunya pelarian yang tersisa mengingat dia sudah bertekad untuk tak menjadi pecandu alkohol lagi dan hidup lebih baik demi wanita yang dicintainya.“Kenapa merokok? Kondisimu kan lagi ngak baik.” Suara lembut wanita yang muncul di belakangnya membuat Morgan kaget. Buru-buru dia membuang rokok yang baru terisap setengah itu dengan asal, lalu menyeka bibirnya agar tidak terlalu bau.“Apa ada hal buruk sampai kamu merokok lagi?” Morgan menggeleng.“Aku hanya sedang melampiaskan hasrat yang tak tersalurkan. Kamu tahu, kan aku ini pria dewasa dengan usia yang tepat untuk menyalurkan hasrat.”Deg!Purple tahu betu