LOGIN"Oke, kali ini aku keep. Tapi lain kali nggak ya..." Danesh mencubit ujubg hidung Alisha. "Cuma kamu yang dimiliki Angga, jangan sampai dia sedih karena adiknya kesakitan tapi malah nggak mau ngabarin.""Aku nggak kesakitan!" sergah Alisha tak mau mengaku."Halah mbel, itu kakimu spontan kamu sembunyiin satu pasti ada yang nggak beres." Danesh mengendik ke bawah, merujuk pada salah satu kaki Alisha."Sok tau,""Taulah..." ejek Danesh terkekeh pelan. "Ya udah sana bikinin kopi dulu. Aku tunggu di ruang tengah, nanti aku periksa kakimu," pungkas Danesh lantas membawa piring-piring berisi kudapan yang Alisha bawa menuju ruang tengah. Tempat favoritnya menghabiskan waktu dengan menonton chanel National Geographic.Menghela napas pelan, Alisha tak punya alasan lain untuk menghindar. Pria yang lebih tua delapan tahun di atasnya itu tetap saja tak bisa ia bohongi dengan mudah. Karena kata Danesh, menebak pikiran Alisha itu sama mudahnya dengan membaca lembaran buku yang terbuka sempurna. Tak
Beberapa tahun berselang...Ibu kota kembali diguyur gerimis. Alisha baru saja keluar dari taksi online yang mengantarkannya sampai depan pagar lantas berlarian sambil mengangkat tas laptop miliknya di kepala. Begitu sampai di teras, perempuan berambut pendek itu gegas mengetuk pintu tak sabaran. Berharap penghuni rumah yang hampir menjadi tujuannya setiap kali galau ini segera muncul membukakan pintu.Begitu daun pintu terbuka, Alisha langsung menerjang masuk karena tak mau diserang kedinginan. "Mas lama banget, sih buka pintunya?" gerutu Alisha langsung berjalan menuju dapur setelah meletakkan begitu saja jaket dan tas laptop di sofa ruang tengah. Setelah mencuci tangan hingga bersih, perempuan cantik itu meletakkan paper bag yang ia bawa di atas kitchen table.Sudah hapal dengan letak peralatan dapur yang ada, Alisha mengambil panci yang tergantung di dekat rak lantas memasak air hendak membuat cokelat panas. Sangat mudah 'mengacak-acak' dapur minimalis dengan aksen hitam putih itu
Arya kembali datang ke rumah Alisha. Alisha tahu saat mengintip dari balik jendela, ia melihat Arya masih berdiri di dekat pagar sambil menenteng helm di tangan kanannya. Sepertinya benar, apa yang dikatakan Hanami beberapa minggu lalu tentang Arya yang kini tak lagi menerima fasilitas mewah dari kedua orang tuanya. Buktinya saat ini pria itu hanya menggunakan motor biasa yang dipinjam dari Yoshi, mantan ajudannya.“Bi, ayah udah berangkat?” tanya Alisha setelah memastikan Magika tertidur lelap di tengah tempat tidur luas miliknya.“Sudah, Mbak. Baru saja berangkat dijemput sama Pak Alam.”Alisha cukup bersyukur karena sejak sang ayah menemaninya di Surabaya, pria paruh baya tersebut tak sampai merasa bosan karena menemukan ‘teman baru’ yakni Alam dan Danesh. Seperti hari ini ketika Faris mengutarakan niatnya untuk membeli sebidang tanah di Surabaya Barat milik kolega Alam. Faris yang memiliki banyak tanah untuk dimanfaat sebagai lahan basah tentu saja menyambut baik tawaran tersebut.
Alisha menatap lurus ke depan, di mana jari-jemarinya saling bertaut satu sama lain demi menyembunyikan kegugupan dalam hatinya. Padahal ini bukanlah pertemuan yang pertama, tapi entah kenapa, hari ini hatinya dilanda bimbang. Terlebih lagi saat menatap tatapan sendu dan berkaca-kaca dari sosok perempuan paruh baya yang kini ada di hadapannya.“Setidaknya saya sangat berterima kasih karena tiga hari ini kamu memberi ijin untuk melihat Magika secara langsung, Sha.” Ucapan tulus Hanami kembali mengalun di telinga Alisha.Alisha tak menjawab, namun dari senyum tipis dan anggukan pelan kepalanya, Hanami tahu kalau perempuan muda di depannya sudah jauh lebih tenang daripada terakhir kali mereka berdua bertemu.“Hmm … kamu mau langsung bawa Magika ke pulang ke Banten?” Hanami kembali yang memulai percakapan karena Alisha lebih banyak diam.“Sementara ini masih di Surabaya, Bu. Nunggu sampai Magika siap diajak bepergian jauh, nunggu ijin dari dokternya juga,” jawab Alisha tanpa membalas tata
"Dokter Indira," sapa Senopati terlebih dahulu. Pria jangkung dengan kemeja biru tua itu melebarkan senyum ramah.Berbanding terbalik dengan Iin yang susah payah memaksakan senyum. Dengan tangan kiri ia meraih pergelangan tangan Alisha dan menarik perempuan itu agar berjalan di belakangnya saja bukan malah sejajar. Alisha yang tak tahu maksud Iin hanya mengerutkan kening. Alisha sama sekali tak mengenali Senopati yabg notabene adalah kakak kandung Arya."Apa sih, Ka—" Kalimat Alisha tak terlalu terdengar karena disela oleh Senopati."Selesai visite, Dok?" lanjut Senopati mengulurkan tangan kanan hendak menjabat. Sepasang matanya sempat melirik sekilas ke arah perempuan muda yang ada di sebelah Iin."Iya, Pak. Baru selesai ini," jawab Iin mendadak kikuk saat membalas uluran tangan Senopati. Padahal sebelumnya ia tak pernah merasa sewas-was ini. Apalagi dirinya juga menjadi dokter anak yang menangani bayi Senopati saat baru lahir minggu lalu. Bayi cantik berjenis kelamin perempuan yang
Kemarin, ketika Arya mendatangi rumah yang ditempati Alisha dan ayahnya, perempuan yang baru saja berubah status menjadi ibu itu menolak untuk bertemu. Hatinya belum siap. Sebagai gantinya, ia meminta tolong sang ayah untuk menemui Arya di ruang tamu. Sementara Alisha gegas bersembunyi ke kamarnya di lantai atas setelah Iin dan suaminya berpamitan."Bertanggung jawab kata kamu?" Alisha masih ingat betul kalimat tegas yang keluar dari mulut Faris saat mencecar Arya yang duduk bersimpuh di depannya."Om, saya ... benar-benar mencintai Alisha," jawab Arya sayup-sayup terdengar."Cinta? tau apa kamu tentang cinta? menjaga kehormatan Alisha saja tidak bisa!!" pekik Faris semakin menaikkan nada bicaranya.Sesekali Alisha mengintip dari lantai atas, dan saat itu juga ia melihat amarah yang selama ini menumpuk di benak ayahnya seketika tumpah ruah. Bisa jadi, ketika di rumah sakit Faris tak bisa leluasa meluapkan emosi karena tahu ia tengah berada di ruang publik. Jauh berbeda ketika ia hanya







