"Kok elo bangsat banget sih jadi laki, Ar?" pekik Ronald dengan rahang mengetat. "Ya elo tanggung jawab lah, Bego, masa mau enaknya doang? begitu hamil malah elo paksa gugurin. Otak lo jatuh dimana sih?" Ronald berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala.
"Gue nggak akan maksa Alisha. Gue bakal ngajak dia diskusi dulu tentang ini, siapa tau dia juga setuju sama usulan gue. Apalagi kandungannya masih kecil, pasti lebih mudah digugurin." Arya menjambak rambutnya yang sedari tadi sudah acak-acakan. Entah karena terlalu banyak pikiran atau memang dia sudah tak punya jalan keluar lain sebagai pilihan.
"Astaga , elo kalau mau bikin dosa jangan ngajak-ngajak gue!!" Ronald bergidik ngeri. Dosanya sudah menumpuk cukup banyak, jadi ia benar-benar tak ingin terlibat lagi dengan dosa orang lain meskipun itu sahabat dekatnya sendiri.
"Gue nggak ngajakin elo. Gue cuma minta tolong," seru Arya hampir putus asa. "Gue cuma minta nomor HP orang yang jualan pil-pil yang kata lo itu."
“Itu sama aja gue kecipratan dosanya bego.”
“Gue yang tanggung dosanya!”
“Elo malaikat? malaikat aja ogah kali deket-deket kita, eh … elo,” sahut Ronald mencoba menolah permintaan Arya.
“Terus gue harus gimana lagi, Ron?”
“Ya tanggung jawab dong, Alisha minta nikahin ya nikahin lah.”
Andai solusinya semudah itu. Tapi Arya punya pemikiran lain, yang tak semudah itu.
“Alisha masih kuliah, Kha. Gue juga baru lulus, belum ada kerjaan tetap. Belum lagi tuntuta bokap nyokap yang harus kelarin S2 sebelum masuk ke perusahaan.”
Ronald mendekat dan menepuk pundak sahabatnya. “Banyak kok yang udah nikah meskipun masih belum kelar kuliah. Alisha pinter, dia pasti nggak akan kesulitan ngejar kuliahnya. Elo juga anak sultan yang duitnya nggak akan habis dimakan tujuh turunan tujuh tanjakan. Jangan pake alasan belum kerja segala buat ngelak dari tanggung jawab. Apa bakar tuh saham yang udah atas nama lo sejak lahir?”
“Nggak semudah itu juga, Sat! Bokap nyokap gue bakalan kena serangan jantung kalau tau gue hamilin anak gadis orang. Belum lagi gue yang bakalan dihajar habis-habisan sama dua kakak gue. Elo kayak nggak tau Mas Seno aja deh, pistol dia bisa aja mecahin kepala gue kalau berita Alisha hamil sampe kedengeran.”
“Elo takut digebukin atau takut miskin sih sebenernya?”
Memang itulah hal yang paling ditakutkan oleh Arya sebenarnya. "Dua-duanya, Ron. Kalau gue didepak sama bokap, gue jatuh miskin, terus jadi gembel, lalu siapa yang bakal biayain Alisha dan bayinya?"
"Itu bayi lo juga, Kampret!"
"Maksud gue gitu, Ron. Terus kalau gue digebukin Mas Seno atau Mas Awan sampe tinggal nama gimana? siapa juga yang bakalan ngurus Alisha dan bayinya? Jadi menurut gue, udah paling bener kalau digugurin aja sebelum merugikan banyak pihak. Belum lagi nama besar bokap gue yang jadi taruhannya," seru Arya mulai mendoktrin Ronald dengan kalimat-kalimatnya.
"Nggak nyangka elo setega itu sama cewek." Ronald tersenyum miris. Tapi memang kalau dipikir-pikir, reputasi keluarga Dwisastro pasti akan hancur lebur jika nanti penerusnya malah ketahuan menghamili seorang gadis dan enggan bertanggung jawab seperti ini.
"Gue speechless ngadepin manusia modelan kayak elo, Ar." Masih menggeleng pelan, Ronald akhirnya mengelurkan ponsel dari saku jaketnya. Lalu menarikan jemarinya sesaat untuk mencari sebuah nama di kontak yang tersimpan di gawai tersebut.
Mendadak saja Ronald dihinggapi penyesalan pernah bercerita pada teman-temannya perihal penyewa di apartmentnya yang ternyata berjualan obat-obatan herbal yang belum memiliki ijin resmi. Hal tersebut ia ketahui karena Johan sendiri yang memberitahunya tentang betapa banyak gadis muda dan pasangannya yang mendatanginya untuk membeli obat penggugur kandungan.
"Thanks," jawab arya tanpa perlu repot menoleh, karena ia sedang sibuk menyimpan nomor baru ke dalam ponselnya.
"Elo gila, Arya!"
"Gue bakalan jadi beneran gila lagi kalau ngaku udah hamilin Alisha di depan keluarga gue, Kha."
***
"Sha, mata kamu kok bengkak gitu sih? nangis?" Marissa keheranan begitu melihat ada yang berbeda di wajah Alisha.
"Eh, masa sih bengkak?"Alisha yang sebelumnya menunduk langsung mengusap kedua mata dan pipinya yang memang masih sembab akibat tangisannya semalam. "Nggak ah, Kak. Efek begadangin tugas aja semalam nih, bejibun banget," lanjutnya lagi setelah menemukan alasan.
"Emang masih banyak aja tugasnya?" Marissa sedikit keheranan, karena mahasiswa sepandai Alisha tak biasanya mengeluh karena tugas kuliah seperti ini.
"Banyak banget, Kak. Tau tuh, dosen baru tegaan bener kalau kasih tugas nggak kira-kira," Alisha meringis salah tingkah mendengar kebohongan yang keluar dari mulutnya sendiri.
"Masa sih?"
Alisha mengangguk mantap. "Eh, Kakak ada apa? tumbenan ke kamar aku pagi-pagi, mana udah rapi banget gini."
"Aku udah mulai pelatihan hari ini, jadi emang berangkat pagi. Mau ngasih tau juga kalau aku bakalan nginep di mess mereka sampe dua minggu ke depan," jawab Marissa dengan wajah berbinar.
Marissa memang baru saja lolos bekerja di salah satu perusahaan BUMN, dan mulai hari ini ia akan mengikuti pelatihan hingga beberapa hari ke depan.
"Nggak masalah kan kamu sendirian dulu?"
Alisha berdecak sekilas. "Kakak apaan deh, kayak yang aku takut sama demit aja."
"Ya kali aja, Sha."
"Nggak akan lah, palingan juga demitnya yang takut sama duluan aku, Kak," serunya tergelak kecil. "Kak Marissa nggak perlu khawatir."
"Ke kamu sih nggak khawatir, Sha. Khawatirnya malah ke Arya aja," Marissa menepuk pundak Alisha sembari terkekeh. "Khawatirnya kalau dia makin rajin ke sini nyamperin kamu yang lagi sendirian, kamu ati-ati aja kalau berduaan sama dia. Takutnya kalian khilaf," gelak tawa Marissa lembali meledak.
Alisha sontak menunduk dalam. Ia dan Arya memang pernah khilaf, dan hasilnya benar-benar di luar prediksi mereka. “Nggak akan, Kak.”
‘Jangan sampai terulang lagi,’ lanjut Alisha dalam hati.
Dering ponsel milik Marissa menjeda obrolan mereka berdua. “Eh, bentar, Sha. Ini si Rakha nelpon. Pasti udah di bawah,” seru Marissa mengedipkan sebelah mata.
“Iya, Sayang … oke-oke, aku udah siap kok ini. Oh ke bawah aja, oke, otw…” Marissa beralih berbincang dengan ponsel yang masih menempel di telinganya.
“Sha, aku ke bawah duluan ya. Rakha udah jemput tapi nggak bisa naik.” Marissa gegas bangkit lantas berjalan keluar dari kamar Alisha. “Kamu ada kuliah kan hari ini?”
Alisha hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan suara. Gadis itu mengekor di belakang Marissa sambil memperhatikan teman satu apartmennya itu yang hendak berangkat.
“Buruan siap-siap, kata Rakha barusan dia lihat mobil Arya belok ke basement. Pasti mau nganter kamu ke kampus,” sambung Marissa masih sibuk dengan barang bawaanya. Tak banyak memang, hanya koper berukuran sedang dan satu tas ransel kecil yang sudah menggantung di punggungnya.
“Mas Arya?”
“Iya, Arya pacar kamu. Arya siapa lagi emang kalau bukan si manja itu.”
“Tapi kuliahkku masih siang, Kak—” belum sempat Alisha menuntaskan kalimatnya. Sosok yang baru saja disebut Marissa sudah ada di depan pintu apartment bersamaan dengan Marissa yang hendak keluar.
“Naaah, ini dia orang yang barusan diomongin ternyata udah dateng. Masuk aja lo, Ar, gue cabut duluan ya!” pekik Marissa tersenyum lebar saat melihat sosok Arya. Tak berniat berbasa-basi lama, Marissa segera berlalu dan tak menoleh lagi pada Arya maupun Alisha.
Arya menggeleng pelan seolah Marissa adalah makhluk kasat mata yang tak terlihat olehnya. “Sha, siap-siap gih, kita ke kampus, sekalian aku mau lanjut ngomongin rencana kita yang kemarin.”
“Tapi bukannya kita janjian siang ke kamp—”
“Sekarang aja, Sha. Lebih cepat lebih baik,” potong Arya enggan mendengar penolakan. “Kamu pengen segera dapet solusi tentang masalah kehamilanmu ini kan?”
Alisha spontan mengangguk bak robot.
“Ayo buruan, mumpung aku udah dapet barangnya.”
Kening Alisha mengernyit seketika. “Barang?”
***
Alisha hanya menggelengkan kepala pelan, masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Arya. Bukan pernikahan bak kawin lari seperti itu yang Alisha inginkan. Bukan pernikahan sembunyi-sembunyi yang menjadi rahasia seolah-olah hanya dirinyalah yang memaksakan keadaan. Bukan.‘Tiket penerbangan sudah aku siapkan semua, aku tunggu di New York, Sha. Pin ATM-nya tanggal lahir kamu,...’Alisha kembali menutup email dan menghapus semua pesan yang dikirm Arya padanya. Tak ada gunanya. Karena Alisha masih menganggap Arya tetap enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alisha lantas menutup email dan menghapus semua pesan yang dikirim Arya padanya. Sia-sia dan tak ada gunanya. Karena Alisha menganggap Arya tetap enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan cenderung 'cari aman' dengan membawanya kabur ke luar negeri.Alisha pikir ia tak butuh laki-laki yang habis manis sepah dibuang seperti itu. Ia akui kalau kehamilannya ini juga akibat ulahnya juga, setidaknya Alisha ikut andil dengan
"Arya yang nyuruh kamu datang ke sini?" sinis Alisha ketika mendapati Yoshi sudah berada di teras kost-nya. Beberapa menit yang lalu seorang security memanggilnya, memberi tahu bahwa ada seorang kerabat jauh yang datang mengunjungi. Alisha yang sebelumnya sempat panik karena mengira tempat tinggalnya ditemukan oleh sang kakak, ternyata justru dibuat kesal karena menemukan asisten Arya itu sudah tersenyum kaku padanya.Padahal baru dua hari Alisha merasa tenang lantaran mulai menempati hunian barunya setelah sebelumnya tinggal di hotel untuk beberapa hari. Tempat kost elite yang ia temukan berkat bantuan internet. Kost mewah milik salah satu artis senior ini muncul di halaman utama pencarian. Fasilitas mewah, keamanan dan jaminan privasi yang terjaga membuat Alisha tak berpiikir dua kali untuk menyewa salah satu kamar yang terbilang cukup nyaman di bangunan ini.“Tolong bilang sama boss kamu yang cemen itu, nggak usah cari-cari aku lagi. Apalagi kalau hanya bisa mengandalkan orang lain
Begitu sampai di bandara Juanda Surabaya, lengan Alisha langsung didekap oleh Iin yang kini mensejajari langkahnya."Biar cowok-cowok aja yang ngurusin bagasi, kita langsung keluar,rame banget di sini," bisik Iin lantas menggiring Alisha menuju pintu keluar."Kamu tadi nggak mabuk waktu terbang?" tanya Iin begitu mereka berdua duduk berhadapan di salah satu cafe bandara sembari menunggu kedatangan Danesh dan Alam, suami Iin.Awalnya, Alisha mengira akan banyak mendapatkan banyak pertanyaan tentang Arya dari Iin. Namun ternyata prasangkanya tak berdasar. Meskipun cukup penasaran, Iin tak menunjukkan ketertarikannya tentang adegan kemunculan Arya sebelum keberangkatan tadi.Alisha menggeleng pelan. "Nggak kok, Kak.""Ngerasa mual-mual juga nggak?" imbuh Iin hanya memastikan kekhawatirannya saja.Alisha menunduk mengusap perutnya pelan. "Aman, Kak, Alhamdulillah.""Sha, kamu jadi tinggal di tempat sepupu kamu itu selama di Surabaya?" tanya Iin kembali mengangkat topik yang berbeda."Iya.
"Yosh? lo disuruh mama berapa lama di New York? kapan berangkat?" cecar Arya begitu ia kembali ke rumah dan menemukan Yoshi sedang menata koper miliknya."Sa- saya berangkat minggu depan, Mas. Satu minggu sebelum Mas Boss berangkat. Ibu hanya bilang untuk selalu dampingi Mas seperti biasa, jadi saya ngikut perintah Mas Boss aja setelah rapihin apartemen di sana.""Oke, good," gumam Arya lantas mengacak rambutnya lagi. "Gue punya rencana, jangan sampe bocor ke mama apalagi ke keluarga yang lain." Setelah mondar mandir tak jelas, akhirnya Arya mendaratkan bokongnya di sofa tunggal yang ada di teras samping."Rencana gimana, Mas Boss?" Perasaan Yoshi mulai tak nyaman mengingat si bungsu Dwisastro yang menjadi atasannya ini sering kali memberinya job desk di luar nalar yang bisa dibilang bisa membahayakan pekerjaannya."Sebelum berangkat, lo harus cari tahu mendetail tentang keberadaan Alisha selama ini."Alisha lagi, keluh Yoshi hanya bisa ia utarakan dalam hati. Namun ia tak punya jawaba
"Yang tadi itu … orang yang seharusnya bertanggung jawab atas dari bayi kamu?" Pria yang duduk di sebelah Alisha akhirnya bersuara juga setelah berdeham beberapa kali.Alisha yang sedang menatap nanar jendela pesawat di sebelahnya langsung menoleh. Karena sepanjang waktu tadi yang ia tahu Danesh sedang memejamkan mata tanpa berminat bersuara. Wajar, kalau Alisha sedikit terkejut pria kaku yang pernah mencegahnya melakukan percobaan bunuh diri ini malah mengajaknya berbicara."Ap- apa? ehm ... gimana maksudnya, Mas?" "Pemuda yang tadi itu, ayahnya kan?" Kali ini ekor mata Danesh melirik sekilas ke arah perut Alisha."Itu... hmm, itu, aku nggak mau jawab!" Alisha memilih acuh saja. Memilih diam itu hak prerogatifnya kan?Danesh yang hari ini mengenakan kaos causal berwarna navy hanya mengangguk samar. "Disayangkan sekali kalau memang benar pria tadi yang menyebabkan kamu frustasi dan kabur-kaburan seperti ini."Kening Alisha kembali berkerut. "Maksudnya, Mas?""Selama
"Aku janji kita akan menikah, aku akan tanggung jawab sepenuhnya."Arya berdecak frustrasi kala mengingat janji yang ia lemparkan pada sang kekasih di bawah naungan birahi. Malam itu Arya memang menjual janji akan menikahi Alisha, tapi tentu saja bukan saat ini waktunya. Masih banyak tanggung jawab lain yang harus ia tuntaskan terlebih dahulu pada kedua orangtua yang sudah banyak menaruh harapan padanya."Elo mau ngelamun sampe kiamat, Nja?" teguran dari Irawan membuat Arya mendongak seketika. 'Nja' adalah panggilan kecil dari kedua kakak Arya yang berarti 'Manja', sesuai dengan sikap si bungsu yang menurutnya sangat di luar nalar karena terlalu dimanja oleh kedua orangtua mereka."Sialan!""Itu koper di depan lo nggak akan ke isi penuh kalau lo lihatin terus, bego! buruan beresin, biar dibawa Ghidan."Keberangkatan Arya ke New York semakin dekat, namun pemuda itu sengaja mengulur waktu dengan memberi berbagai alasan agar ia bisa sedikit lebih lama tinggal di tanah air