Eksekusi pun dimulai.
Raka berjalan mendekati sepasang suami istri itu. Wajah Anna memerah menahan malu karena bagian tubuh yang sangat ia jaga dilihat lelaki lain selain suaminya. Anna duduk dibagian ujung ranjang sebelah kiri, sembari bersandar ditubuh suaminya. Ia merapatkan kakinya kala Raka berdiri dihadapannya, tanda sudah siap menjalankan tugasnya. "Bentar, Mas." Tolak Anna saat Raka hendak mendekatkan miliknya pada milik Anna, membuat Raka menghentikan niatnya. "Kenapa sayang? Sebentar doang kok." Desak Rangga memeluk tubuh Anna yang bersandar padanya. Dengan sedikit paksaan dibalut rayuan, Anna pun tak bisa menghindar lagi. Rangga menyuruh kakaknya meneruskan rencana mereka, lebih tepatnya rencana Rangga. Raka meneguk salivanya menahan gejolak aneh dalam dirinya. Sesegera mungkin ia menuntaskan tugasnya. Anna meringis karena menahan perih di area intimnya, disusul rasa hangat memenuhi bagian itu. "Udah." Ucap Raka menarik miliknya kemudian bergegas keluar dari kamar. Anna agak shock karena semuanya berjalan dengan sangat cepat, tapi sekarang ia merasa lega. Sedangkan Rangga menahan sakit dihatinya melihat adegan yang baru saja terjadi. 'Maaf sayang, aku terpaksa melakukan semua ini demi keutuhan rumah tangga kita.' Batin Rangga terbesit rasa sesal yang mendalam. Setelah menenangkan Anna, Rangga pun menyusul kakaknya ke ruang tamu. "Makasih, Mas. Semoga cara ini berhasil." Ucap Rangga duduk di depan Raka yang sedang menghisap sebatang rokok. "Kenapa harus gue yang hamilin istri lo? Apa jangan-jangan...," mata Raka menyipit tajam ke arah adiknya, ada rasa curiga yang mengganjal dihatinya. Ia merasa ada hal besar yang disembunyikan oleh adiknya. "Mas jangan mikir aneh-aneh, kalo aku bisa bikin Anna hamil, aku gak akan minta tolong sama Mas Raka. Maksud aku..., selama ini aku sama Anna udah berusaha semaksimal mungkin, udah gak terhitung berapa ratus juta yang kita keluarin demi bisa punya anak, tapi kenyataannya kita belum dipercaya buat itu. Aku minta tolong Mas Raka karena cuma Mas Raka satu-satunya kakakku, terlebih anak-anak Mas Raka ada miripnya kan sama aku? Seandainya ibu gak ngancem kayak gini, mungkin aku gak akan ngelakuin ide gila ini. Mas pikir aku rela liat istriku disentuh laki-laki lain sekalipun itu kakakku? Aku terpaksa, Mas. Aku harap mas bisa ngerti." Sela Rangga kesal karena Raka terus mencurigainya sejak awal. Raka menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar. "Ya udah, tugasku udah selesai 'kan? Aku balik ke rumah sakit dulu. Takutnya Aulia curiga kalo aku kelamaan." Pamit Raka bangkit kemudian meninggalkan rumah adiknya. Sepanjang perjalanan, Raka memikirkan sesuatu yang terus melekat di otaknya. "Kok bisa, ya?" Gumam Raka sembari menggelengkan kepalanya. Sesampainya di rumah sakit, ia dipanggil suster dengan raut panik dan napas tersenggal. "Pak cepat, Pak! Istri sama orangtua bapak bertengkar di ruang rawat!" Ucap suster itu menarik lengan Raka, seperti ibu yang memergoki anak remajanya merokok. Raka panik dan langsung berlari meninggalkan suster yang membungkuk karena lelah. "Ibu pikir aku nggak capek tiap hari dicaci maki dikatain istri pembawa sial? Memangnya ibu istri sehebat apa pantas ngatain aku kayak gitu? Kalo ibu istri yang hebat, harusnya ibu yang nafkahin anak-anak ibu sewaktu bapak meninggal, bukan Mas Raka! Ibu macam apa yang jadiin anaknya yang masih kecil jadi tulang punggung? Ibu pikir ibu hebat? Nggak bu! Justru ibu itu ibu yang jahat! Ibu yang gak tau diri! Anakku itu urusanku, bukan urusan ibu!" Aulia berteriak tak terkontrol sembari menunjuk-nunjuk wajah mertuanya. "Liat aja nanti bu, ibu akan menyesal udah nyakitin hati aku! Aku akan buktiin kalo aku bisa menghasilkan uang! Dan ibu akan aku jadikan babu di rumah ibu sendiri!" Lanjutnya dengan emosi yang masih berkobar. Raka tercengang melihat istrinya yang selama ini selalu lemah lembut bersikap arogan. Sedangkan Bu Rahma ditarik keluar oleh beberapa orang yang sedang menunggu pasien, sebelum ia hendak membalas perkataan menantunya. Dua orang wanita dewasa yang sedari tadi menahan Aulia, kemudian melepaskan Aulia kala Raka berjalan mendekatinya. "Apa? Kamu mau marah juga sama aku? Silahkan, Mas! Aku udah gak peduli sama kalian!" Ucap Aulia sembari menangis sesenggukan. Tanpa mengucapkan apapun, Raka memeluk istrinya dengan erat. Ia paham, pasti ibunya berulah lagi dengan mengatakan hal-hal menyakitkan pada istrinya. Aulia yang sedang lelah fisik dan batinpun meluapkan isi hatinya hingga meledak-ledak. "Maaf ya Pak, Bu sudah mengganggu waktu istirahatnya." Ucap Raka pada tiga pasien lain yang sedang terbaring dan ditemani oleh keluarganya Tiga hari kemudian, Bian sudah diperbolehkan pulang dengan catatan harus dilanjutkan dengan berobat jalan. Semenjak kejadian hari itu, sikap Aulia menjadi dingin pada Raka. Ia menjadi irit bicara dan enggan diajak berdiskusi. "Gimana kalo kita ngontrak?" Bujuk Raka merebahkan tubuhnya disamping istrinya, namun Aulia membalikan tubuhnya membelakangi Raka. "Kamu atur aja, Mas. Kan kamu yang punya uang." Balas Aulia acuh. Belum sempat Raka berbicara lagi, Aulia bangkit menggendong Bian yang terbangun. Ia merasa lelah fisik dan batin. Tak tahu hendak mengadu pada siapa. Orangtuanya sudah lama meninggal, sedangkan ia hanya anak tunggal dan tak tahu siapa saja keluarganya. Kedua orangtuanya sama-sama merantau di kota ini, sejak ia lahir hingga dewasa, ia tak pernah dikenalkan apalagi diajak menemui keluarga orangtuanya. Hal itulah yang membuat Aulia menjadi sebatang kara. Sebulan berlalu, sikap Aulia masih saja dingin. Ia bahkan enggan disentuh jika Raka meminta haknya dengan alasan lelah. Tepat pukul empat sore, Aulia datang dengan kedua anaknya. Raka bersidekap menatap tajam ke arah Aulia. "Ayah! Iki abis jajan dong, liat deh banyak 'kan?" Ucap Fikri, putra sulung mereka yang berusia tujuh tahun. "Banyak banget? Dibeliin siapa?" Tanya Raka mengusap kepala putranya sembari tersenyum. "Dibeliin bunda dong, Yah! Iki masuk dulu ya, Yah. Eksrimnya takut keburu cair." Jawab Fikri kemudian masuk kedalam rumah. "Dari mana aja kamu? Fikri jajan banyak gitu uang dari mana?" Selidik Raka menatap istrinya dengan heran. "Uang aku. Aku sekarang kerja, Mas. Aku capek dihina ibu kamu terus." Ucap Aulia hendak masuk, namun ditahan oleh Raka. "Kerja apa? Bian baru sebulan keluar dari rumah sakit dan kamu setiap hari di rumah aja kan? Jawab jujur, Aulia!" Tanya Raka penuh selidik. "Jaman udah canggih, Mas. Main HP aja udah bisa dapet uang banyak. Udah ah aku capek gak mau debat sama kamu." Jawab Aulia acuh tak acuh sembari meninggalkan suaminya. "Istrimu kesambet setan apa sih, Ka? Semenjak pulang dari rumah sakit kok jadi aneh? Amit-amit kamu punya istri begitu! Sebaiknya kamu ceraikan aja istrimu yang gak tau diri itu! Itu dapet duit dari mana coba? jangan-jangan jadi pelacur lagi!" Sinis Bu Rahma mengompori Raka. . . . To be continue ~Eksekusi pun dimulai.Raka berjalan mendekati sepasang suami istri itu. Wajah Anna memerah menahan malu karena bagian tubuh yang sangat ia jaga dilihat lelaki lain selain suaminya.Anna duduk dibagian ujung ranjang sebelah kiri, sembari bersandar ditubuh suaminya. Ia merapatkan kakinya kala Raka berdiri dihadapannya, tanda sudah siap menjalankan tugasnya."Bentar, Mas." Tolak Anna saat Raka hendak mendekatkan miliknya pada milik Anna, membuat Raka menghentikan niatnya."Kenapa sayang? Sebentar doang kok." Desak Rangga memeluk tubuh Anna yang bersandar padanya.Dengan sedikit paksaan dibalut rayuan, Anna pun tak bisa menghindar lagi.Rangga menyuruh kakaknya meneruskan rencana mereka, lebih tepatnya rencana Rangga.Raka meneguk salivanya menahan gejolak aneh dalam dirinya. Sesegera mungkin ia menuntaskan tugasnya. Anna meringis karena menahan perih di area intimnya, disusul rasa hangat memenuhi bagian itu."Udah." Ucap Raka menarik miliknya kemudian bergegas keluar dari kamar.Anna aga
Rangga menjeda ucapannya, membuat hati Raka berdebar tak karuan. "Kalo nggak kenapa?" Tanya Raka tak sabar. "Kalo nggak, Mas akan tau akibatnya." Jawab Rangga dingin. Setelah selesai berbincang via telepon dengan adiknya, Raka kembali termenung memikirkan kerumitan dalam hidupnya. Semenjak ayah mereka meninggal, Raka yang saat itu masih duduk di bangku SMA terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, membiayai ibu dan adik satu-satunya. Ia bekerja menjadi kuli panggul di pasar setelah pulang sekolah. Ekonomi mereka mulai membaik saat Rangga sudah lulus SMA. Saat itu Raka pun sudah bekerja di sebuah delaer mobil. Melihat Rangga yang bingung tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Raka berinisiatif memasukan adiknya ke tempatnya bekerja. Rangga diterima sebagai staff karena kemampuannya dibidang komputer cukup mumpuni, sedangkan Raka sebagai mekanik. Saat Raka dan Aulia baru tiga bulan me
[Besok masuk siang. Kenapa, Ga?] -Raka- Jemari Rangga bergetar kala mengetik balasan pesan untuk kakaknya. Pesan yang sudah ia ketik cukup panjang, kembali ia hapus karena ragu. "Gimana cara ngomongnya ya?" Batin Rangga menggigit bibir bawahnya. Saat Rangga tengah berpikir, Raka kembali mengirimkan pesan. [Ada apa sih? Cepetan ngomong jangan bikin penasaran!] -Raka- Tanpa pikir panjang, akhirnya Rangga mengajak kakaknya untuk bertemu besok. . Keesokan harinya sikap Anna masih saja dingin pada Rangga. Rangga yang merasa bersalah pun memeluk istrinya yang sedang mencuci piring. "Maafin aku, sayang." Bisik Rangga menyembunyikan wajahnya di leher Anna, Anna pun menghentikan gerakannya. "Maaf karena udah bikin kamu ada disituasi kayak gini. Maaf karena aku gak bisa apa-apa lagi. Maaf karena aku udah ngorbanin kamu buat mengatasi masalah kita."
Sejak percakapan mereka malam itu, hubungan Anna dan Rangga menjadi renggang, lebih tepatnya Anna lah yang menghindar dari suaminya. Ia tak habis pikir dengan ide gila sang suami. Suami macam apa yang menyuruh istrinya dinikmati oleh laki-laki lain? Sekali pun itu kakak iparnya, tetap saja rasanya tak pantas jika suaminya menyuruhnya untuk melakukan hal itu. "Sayang? Kamu masih marah sama aku?" Tanya Rangga seraya duduk di samping istrinya yang sedang sarapan."Sarapan kamu udah aku siapin, aku berangkat duluan soalnya hari ini banyak pesanan yang harus dikirim." Jawab Anna tak menanggapi pertanyaan Rangga.Ya, selain menjadi ibu rumah tangga, Anna juga memiliki bisnis online shop yang lumayan menghasilkan. Hitung-hitung mengisi waktu luang, karena di rumah saja pun rasanya sangat membosankan.Anna meneguk segelas air lalu bangkit dari duduknya. Sebelum ia benar-benar melangkah, Rangga menahan pergelangan tangan Anna, membuat Anna mau tak mau berhenti."Udah tiga hari kamu diemin aku
"Hasilnya normal ya, Bunda. Sel telurnya masya Allah bagus-bagus, udah siap dibuahi. Jangan terlalu stress, jaga pola hidup sehat, makan makanan yang bergizi dan yang paling penting, doanya lebih dikencengin lagi." Terang Dokter Nadia menjelaskan dengan lembut dan tenang, senyum ramahnya tak pernah luntur dari bibirnya."Alhamdulillah. Terima kasih ya, Dok. Semoga saya bisa secepatnya punya momongan." Balas Anna sembari tersenyum, namun menahan getir dihatinya.Ini adalah ke sekian kalinya Anna mendatangi dokter obgyn. Tak terhitung berapa banyak dokter yang ia dan suaminya kunjungi, sejak tahun pertama pernikahannya. Tak jarang pula Anna pergi berkonsultasi seorang diri saat suaminya sedang bekerja, sepertti saat ini.Sepulang dari dokter, Anna terus melamun memikirkan nasibnya yang tak kunjung hamil. Selama melakukan pemeriksaan, dokter selalu mengatakan bahwa ia dan suaminya tidak bermasalah. Tapi mengapa rasanya sulit sekali untuk memiliki momongan? Begitulah yang selalu terbesit
"Gemes banget sih!" Ucap seorang wanita cantik yang sedang menciumi keponakannya."Makanya cepet punya anak, biar gak ngunyel-ngunyel anak orang terus! Nikah udah 5 tahun kok gak hamil-hamil, si Siti aja baru nikah 2 bulan langsung isi. Kaka Iparmu juga udah punya dua anak, masa kamu kalah sih, Na!" Celetuk wanita paruh baya yang menatap sinis pada menantunya.Sontak hati Anna berdenyut nyeri mendengar ucapan mertuanya. Setiap kali ia dan suaminya berkunjung ke rumah ini, selalu kata-kata pedas yang terjun bebas dari mulut ibu kandung suaminya."Kita kan lagi usaha, Bu. Ibu jangan ngomong gitu terus dong, yang ada Anna makin tertekan kalo terus-terusan ibu desak kayak gini. Anak itu kan anugerah dari Allah, bukan kita yang menentukan." Sela Rangga membela Anna, sembari duduk disamping istrinya."Usaha? Usaha apa? Mau sampe kapan kamu gak punya anak, Ga? Umur kamu itu udah 30 tahun, keburu mati gak punya anak! Siapa nanti yang doain kamu di alam kubur?" Bentak Bu Rahma dengan suara men