Share

Part 5 ~

Penulis: seblakcoet
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-20 12:15:18

Rangga menjeda ucapannya, membuat hati Raka berdebar tak karuan.

"Kalo nggak kenapa?" Tanya Raka tak sabar.

"Kalo nggak, Mas akan tau akibatnya." Jawab Rangga dingin.

Setelah selesai berbincang via telepon dengan adiknya, Raka kembali termenung memikirkan kerumitan dalam hidupnya. Semenjak ayah mereka meninggal, Raka yang saat itu masih duduk di bangku SMA terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, membiayai ibu dan adik satu-satunya. Ia bekerja menjadi kuli panggul di pasar setelah pulang sekolah.

Ekonomi mereka mulai membaik saat Rangga sudah lulus SMA. Saat itu Raka pun sudah bekerja di sebuah delaer mobil. Melihat Rangga yang bingung tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Raka berinisiatif memasukan adiknya ke tempatnya bekerja. Rangga diterima sebagai staff karena kemampuannya dibidang komputer cukup mumpuni, sedangkan Raka sebagai mekanik.

Saat Raka dan Aulia baru tiga bulan menikah, perusahaan mengalami kerugian sangat besar. Banyak karyawan yang terkena PHK termasuk Raka. Karena tak kunjung mendapat pekerjaan, ia menerima tawaran temannya bekerja di pabrik mainan. Raka mulai bekerja di pabrik dengan status harian lepas, hingga saat ini.

Sebenarnya Raka merasa tidak terima dengan perlakuan adiknya belakangan ini. Namun ia mengesampingkan perasaan itu demi buah hatinya.

Keesokan harinya, Rangga dan Anna menjenguk Bian di rumah sakit.

"Gimana kondisi Bian, Mbak?" Tanya Anna dengan raut cemas.

"Kata dokter dehidrasi, tapi tadi pagi abis diperiksa lanjutan, sekarang lagi nunggu hasilnya, Na." Jawab Aulia lemah.

Mereka berempat berbincang sembari memandangi wajah melas Bian yang sedang terlelap. Tak tega, itulah yang ada di benak mereka.

Tak lama dokter masuk sembari membawa beberapa kertas dan sebuah benda mirip hasil rontgen.

"Ibu kasih apa ke bayi ibu?" Tanya dokter dengan raut menahan emosi.

Aulia terkejut sekaligus bingung, menatap suami dan iparnya.

"Lihat! Ini ada gumpalan di usus anak ibu. Bu, anak ibu baru tiga bulan. Belum saatnya dikasih makanan, ASI aja cukup. Kalo ASI ibu seret, ibu bisa konsul ke DSA. Kalo dirasa kemahalan, ibu bisa beli ASI booster, atau kalo emang gak keluar ASInya, kasihlah susu formula, bukan dikasih makan." Lanjut dokter menunjukan hasil pemeriksaan Bian.

Aulia shock mendengar penjelasan dokter.

"Tapi dok, saya gak pernah ngasih apapun selain ASI ke bayi saya." Lirih Aulia menahan tangis.

"Aku beneran gak ngasih apa-apa ke Bian, Mas. Tapi..., kemarin sore pas aku mau mandi dan shalat ashar, aku titip Bian ke ibu, kebetulan ibu lagi makan pisang rebus. Terus maghribnya kan..., Bian langsung demam, muntah terus kejang." Ucap Aulia terbata, mencoba berpikir positif dan tak ingin menyalahkan siapapun.

"Ini pasti ulah ibu." Celetuk Rangga dengan raut marah.

Wajah dokter yang semula emosi kemudian melunak. Ia menyesal telah mengatakan hal demikian, karena kasus seperti ini memang sering terjadi efek pemberian MPASI dini.

"Maaf bu, pak, pasien harus segera dioperasi untuk mengeluarkan gumpalan di ususnya. Kalo tidak segera ditangani, saya khawatir akan mengancam nyawa pasien." Ucap dokter tak ingin membuang waktu.

"Apa? Operasi?" Pekik Aulia terkejut, tubuhnya terasa lemas tak bertulang. Anna yang berada di samping Aulia dengan sigap memeluknya.

"Iya bu. Saya perlu tandatangan bapak untung persetujuan." Ucap dokter kemudian melirik suster untuk menyerahkan surat persetujuan tindakan dan pulpen pada Raka.

Raka menerimanya dengan tangan bergetar.

"Biayanya pasti sangat mahal." Lirih Raka sangat pelan, namun masih bisa didengar oleh Rangga yang berada di sampingnya.

"Gak usah mikirin biaya, aku yang tanggung semuanya, Mas. Cepet tandatangan, biar Bian cepet ditangani jangan kelamaan mikir!" Sela Rangga greget dengan tingkah kakaknya yang lambat menurutnya.

Setelah surat persetujuan sudah ditandatangani, dokter dan suster pun keluar.

"Sabar ya, Mbak." Ucap Anna yang masih memeluk Aulia.

"Tapi itu pasti sakit banget, Na. Kasian Bian." Isak Aulia dengan tubuh bergetar.

Ibu mana yang tak hancur mendengar malaikat kecilnya hendak dioperasi? Itulah perasaan Aulia saat ini, hancur sehancur-hancurnya. Benar kata Rangga, ini pasti ulah ibu. Ibu pasti memberi Bian pisang rebus yang sedang ia makan. Karena sejak Bian baru beberapa hari lahir, ibu selalu memaksa Aulia dan Raka untuk menyuapinya pisang, namun Raka dengan tegas menolaknya. Tapi kali ini Aulia kecolongan, ia tak menyangka jika mertuanya akan sekurang ajar itu.

Tubuh Aulia hendak merosot ke lantai jika tidak ditahan oleh Anna. Aulia merasa sangat bodoh karena membuat bayi kecilnya menderita.

"Mas Raka!" Panggil Anna yang sudah tak kuat menahan Aulia.

Raka yang sedang terlarut oleh pikirannya dengan sigap mengambil alih istrinya dari Anna. Rangga memperhatikan gerak-gerik mereka. Tak sengaja Raka memeluk lengan Anna yang masih memegangi Aulia. Hati Rangga terasa cemburu melihat adegan tersebut.

'Baru liat segitu aja aku gak kuat, apalagi..., akh! Aku harus pikirin cara lain' batin Rangga tanpa mengalihkan pandangannya dari mereka.

Dua jam berlalu, akhirnya operasi Bian berjalan lancar. Bayi malang itu berhasil diselamatkan, namun ia belum siuman. Hati Aulia kembali berdenyut nyeri melihat banyaknya alat medis yang menempel ditubuh mungil putranya.

Tiga hari kemudian, Rangga menghubungi kakaknya untuk melakukan ide gilanya. Awalnya Raka menolak karena Bian masih masa pemulihan di rumah sakit. Namun karena ancaman Rangga, Raka pun menuruti perintah adiknya.

"Ayah pergi dulu ya, Bun. Kalo ada apa-apa langsung telpon aja." Pamit Raka pada istrinya. Ia beralasan hendak mengurus surat izin ke pabrik tempatnya bekerja.

Tiga puluh menit berlalu, akhirnya Raka sampai di rumah mewah minimalis milik adiknya. Jantungnya berdegup tak karuan karena tak percaya dia akan menuruti ide gila adiknya.

Anna membukakan pintu untuk Raka, tatapan keduanya bertemu, mereka merasa canggung karena membayangkan apa yang akan terjadi hari ini.

"Udah dateng, Mas? Masuk." Ucap Rangga yang baru selesai mandi.

Saat ini ketiganya sedang duduk di ruang tamu. Suasana terasa sangat canggung.

"Jadi gini...," Rangga membuka obrolan dan menjelaskan apa yang harus mereka lakukan.

Raka dan Anna mengerutkan kening karena rencana Rangga berubah lagi. Tapi Anna merasa sedikit lega karena ia lebih setuju dengan cara yang Rangga berikan kali ini, berbeda dengan Raka.

Mereka bertiga masuk ke kamar tamu yang sudah Rangga siapkan. Rangga memutar sebuah film dewasa melalui infocus yang dipantulkan ke dinding. Mereka mulai menjalankan tugasnya masing-masing. Raka duduk di sofa ujung kasur sembari menghadap dinding menonton film tersebut. Sedangkan Rangga mulai melakukan pemanasan pada Anna diatas ranjang.

"Udah siap sayang?" Bisik Rangga beberapa menit kemudian sembari mengusap lembut pipi istrinya.

Eksekusi pun dimulai.

.

.

.

To be continue ~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Skandal Akibat Ambisi Mertua   Epilog — Empat tahun telah berlalu.

    Waktu berjalan tanpa suara, menghapus sedikit demi sedikit bekas luka yang dulu terasa mustahil sembuh. Rumah bercat putih gading di pinggir kota itu kini tampak hangat. Di halamannya, suara tawa anak-anak berpadu dengan aroma kopi dan roti pandan yang keluar dari dapur kecil di teras. Papan kayu bertuliskan “Kopi Kybi – Homemade & Family Taste” bergoyang lembut tertiup angin sore. Itulah tempat baru yang dibangun Raka dan Aulia. Sebuah usaha kecil yang menjadi simbol rekonsiliasi — bukan hanya antara suami dan istri, tapi juga antara mereka dan masa lalu. Aulia menata toples-toples berisi kue kering buatan tangannya. Pipi dan tubuhnya kini berisi, matanya lembut, jauh dari pandangan dingin dan kelelahan dulu. Ia tersenyum ketika Raka datang membawa sekeranjang bahan belanjaan dari pasar. “Capek, Mas?” tanyanya sambil membantu menurunkan barang. “Lumayan,” jawab Raka sambil tertawa kecil. “Tapi seneng lihat kamu semangat terus. Kopinya laku keras ya hari ini?” “Alhamdulillah.”

  • Terjerat Skandal Akibat Ambisi Mertua   Part 37 Ending

    Matahari sore menembus tirai ruang tamu rumah kecil itu, menebar cahaya keemasan yang lembut. Suara tawa anak-anak terdengar dari halaman depan — Iki sedang mengejar adiknya yang baru belajar jalan, sementara Bu Rahma duduk di kursi rotan, menonton sambil tersenyum.Sudah hampir setahun sejak malam kelam itu. Luka di tubuh Aulia sudah lama sembuh, tapi luka di hatinya baru benar-benar reda beberapa bulan terakhir. Kini, ia bisa tertawa lagi, meski kadang masih ada gurat getir di ujung matanya. Namun senyum yang ia miliki sekarang bukan senyum palsu — itu senyum seseorang yang telah berdamai dengan masa lalunya.Raka keluar dari dapur sambil membawa dua gelas jus jambu. Ia duduk di sebelah istrinya. “Capek?” tanyanya lembut.Aulia menggeleng, “Nggak. Aku suka lihat mereka main kayak gitu. Rasanya… damai.”Raka ikut tersenyum. “Aku juga.”Sejenak keduanya terdiam, menikmati pemandangan sederhana yang dulu tak mereka hargai. Dulu rumah ini terasa sempit, pengap oleh amarah dan saling cur

  • Terjerat Skandal Akibat Ambisi Mertua   Part 36 Membuka lembaran baru

    Sisa Luka dan Awal yang Baru.Hari-hari setelah kejadian di hotel itu berjalan pelan, seperti waktu sengaja memperlambat langkahnya agar semua luka punya kesempatan untuk bernapas. Rumah Bu Rahma yang dulu dipenuhi teriakan dan amarah kini lebih sering sunyi. Hanya suara tangis Bian di malam hari, atau tawa kecil Iki saat menonton kartun di ruang tamu, yang memecah kesunyian itu.Aulia masih dalam masa pemulihan. Tubuhnya penuh memar, jiwanya lebih parah lagi. Ia jarang bicara. Setiap kali seseorang menyentuh pundaknya dari belakang, tubuhnya langsung menegang, matanya memejam seolah masih berada di kamar hotel itu. Raka melihat semua itu dengan hati remuk, merasa bersalah, merasa gagal. Tapi kali ini ia tidak menyerah seperti dulu. Ia memilih tetap di sisi Aulia, meski kadang hanya dalam diam.Bu Rahma setiap hari selalu membantu. Ia menyiapkan makanan, mencuci pakaian, menemani cucunya bermain. Kadang ia duduk di ruang tamu bersama Raka, keduanya berbicara pelan agar Aulia yang sed

  • Terjerat Skandal Akibat Ambisi Mertua   Part 35 Ketakutan

    Hari-hari setelah kepergian Anna berjalan dengan lambat dan dingin. Rumah yang dulu riuh oleh suara Fikri dan tawa kecil Bian kini terasa seperti ruang kosong.Raka duduk di meja makan setiap pagi hanya menatap piringnya tanpa selera. Aulia sibuk mengurus anak-anak, tapi wajahnya selalu tanpa ekspresi.“Mas nggak berangkat kerja?” tanya Aulia satu pagi.Raka mengangguk pelan. “Berangkat, sebentar lagi.”Aulia mendengus. “Kalau masih kepikiran perempuan itu, mending terus terang aja. Aku capek pura-pura nggak lihat.”Raka menatap istrinya lelah. “Aku cuma capek, Bun.”“Capek? Aku juga capek, Mas. Tapi bedanya, aku nggak pernah mikirin orang lain waktu capek,” balas Aulia tajam sebelum masuk kamar dan menutup pintu.Raka memijat pelipisnya. Sejak Anna pergi, hidupnya seperti kehilangan arah. Ia pernah mencoba mengirim pesan — tapi pesannya tak pernah terkirim. Nomornya diblokir. Ia bahkan memberanikan diri datang ke rumah Anna seminggu kemudian, hanya untuk mendapati papan ‘DIJUAL’ sud

  • Terjerat Skandal Akibat Ambisi Mertua   Part 34 Pamit dan datang

    Keputusan yang Mengikat LukaTiga hari sudah berlalu sejak kejadian di rumah sakit, tapi bayangan Aulia yang menatapnya dingin di lorong itu masih terus mengganggu pikiran Anna. Tatapan tanpa sapa, tanpa pengakuan, seolah ia hanyalah angin lalu yang tak berarti.Malam itu, setelah menidurkan bayinya, Anna duduk di teras rumah dengan selimut tipis menutupi bahunya. Angin lembut membawa aroma tanah basah. Di meja kecil di sampingnya, secangkir teh sudah dingin. Ia menatapnya kosong, sebelum akhirnya menekan nama Raka di layar ponselnya.Panggilan berdering cukup lama sebelum suara itu muncul di seberang sana.“Halo, Na?” suara Raka terdengar pelan, lelah.Anna menelan ludah. “Mas Raka, aku mau tanya sesuatu… soal Mbak Aul.”Raka terdiam sejenak. “Kenapa?”“Aku ketemu dia di rumah sakit, waktu aku mau pulang. Dia sama laki-laki. Aku coba sapa, tapi dia malah marah dan buang muka.” Nada suara Anna bergetar. “Aku jadi makin ngerasa bersalah, Mas. Waktu lihat Mbak Aul kayak gitu, rasanya s

  • Terjerat Skandal Akibat Ambisi Mertua   Part 33 Rahasia Aulia

    Raka duduk di ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak lambat. Sudah hampir pukul dua belas malam, tapi Aulia belum juga kembali.Anak-anaknya sudah menangis berbarengan sejak tadi, sementara Bu Rahma mondar-mandir di ruang tengah sambil menggendong Bian yang terus rewel mencari ibunya.“Raka… coba telpon lagi, Nak. Mungkin kali ini diangkat,” suara Bu Rahma serak, matanya sembab karena tangis yang tak berhenti sejak pertengkaran anak dan menantunya.Raka mengusap wajahnya kasar. “Udah, Bu. Udah sepuluh kali. Tapi nomornya nggak aktif.”Nada suaranya berat, campuran antara marah dan khawatir. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.Fikri, anak sulungnya tiba-tiba menatap ayahnya dengan mata penuh air.“Itu salah Ayah! Bunda pergi gara-gara Ayah! Kenapa Ayah marahin Bunda? Kenapa Ayah biarin Bunda keluar sendiri!” Teriak Fikri sembari menangis.Ucapan polos itu menghantam dada Raka seperti batu besar. Ia terdiam, tidak bisa membalas.Bu Rahma memeluk Fikri, berusaha menenangkannya. “Jan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status