Rangga menjeda ucapannya, membuat hati Raka berdebar tak karuan.
"Kalo nggak kenapa?" Tanya Raka tak sabar. "Kalo nggak, Mas akan tau akibatnya." Jawab Rangga dingin. Setelah selesai berbincang via telepon dengan adiknya, Raka kembali termenung memikirkan kerumitan dalam hidupnya. Semenjak ayah mereka meninggal, Raka yang saat itu masih duduk di bangku SMA terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, membiayai ibu dan adik satu-satunya. Ia bekerja menjadi kuli panggul di pasar setelah pulang sekolah. Ekonomi mereka mulai membaik saat Rangga sudah lulus SMA. Saat itu Raka pun sudah bekerja di sebuah delaer mobil. Melihat Rangga yang bingung tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Raka berinisiatif memasukan adiknya ke tempatnya bekerja. Rangga diterima sebagai staff karena kemampuannya dibidang komputer cukup mumpuni, sedangkan Raka sebagai mekanik. Saat Raka dan Aulia baru tiga bulan menikah, perusahaan mengalami kerugian sangat besar. Banyak karyawan yang terkena PHK termasuk Raka. Karena tak kunjung mendapat pekerjaan, ia menerima tawaran temannya bekerja di pabrik mainan. Raka mulai bekerja di pabrik dengan status harian lepas, hingga saat ini. Sebenarnya Raka merasa tidak terima dengan perlakuan adiknya belakangan ini. Namun ia mengesampingkan perasaan itu demi buah hatinya. Keesokan harinya, Rangga dan Anna menjenguk Bian di rumah sakit. "Gimana kondisi Bian, Mbak?" Tanya Anna dengan raut cemas. "Kata dokter dehidrasi, tapi tadi pagi abis diperiksa lanjutan, sekarang lagi nunggu hasilnya, Na." Jawab Aulia lemah. Mereka berempat berbincang sembari memandangi wajah melas Bian yang sedang terlelap. Tak tega, itulah yang ada di benak mereka. Tak lama dokter masuk sembari membawa beberapa kertas dan sebuah benda mirip hasil rontgen. "Ibu kasih apa ke bayi ibu?" Tanya dokter dengan raut menahan emosi. Aulia terkejut sekaligus bingung, menatap suami dan iparnya. "Lihat! Ini ada gumpalan di usus anak ibu. Bu, anak ibu baru tiga bulan. Belum saatnya dikasih makanan, ASI aja cukup. Kalo ASI ibu seret, ibu bisa konsul ke DSA. Kalo dirasa kemahalan, ibu bisa beli ASI booster, atau kalo emang gak keluar ASInya, kasihlah susu formula, bukan dikasih makan." Lanjut dokter menunjukan hasil pemeriksaan Bian. Aulia shock mendengar penjelasan dokter. "Tapi dok, saya gak pernah ngasih apapun selain ASI ke bayi saya." Lirih Aulia menahan tangis. "Aku beneran gak ngasih apa-apa ke Bian, Mas. Tapi..., kemarin sore pas aku mau mandi dan shalat ashar, aku titip Bian ke ibu, kebetulan ibu lagi makan pisang rebus. Terus maghribnya kan..., Bian langsung demam, muntah terus kejang." Ucap Aulia terbata, mencoba berpikir positif dan tak ingin menyalahkan siapapun. "Ini pasti ulah ibu." Celetuk Rangga dengan raut marah. Wajah dokter yang semula emosi kemudian melunak. Ia menyesal telah mengatakan hal demikian, karena kasus seperti ini memang sering terjadi efek pemberian MPASI dini. "Maaf bu, pak, pasien harus segera dioperasi untuk mengeluarkan gumpalan di ususnya. Kalo tidak segera ditangani, saya khawatir akan mengancam nyawa pasien." Ucap dokter tak ingin membuang waktu. "Apa? Operasi?" Pekik Aulia terkejut, tubuhnya terasa lemas tak bertulang. Anna yang berada di samping Aulia dengan sigap memeluknya. "Iya bu. Saya perlu tandatangan bapak untung persetujuan." Ucap dokter kemudian melirik suster untuk menyerahkan surat persetujuan tindakan dan pulpen pada Raka. Raka menerimanya dengan tangan bergetar. "Biayanya pasti sangat mahal." Lirih Raka sangat pelan, namun masih bisa didengar oleh Rangga yang berada di sampingnya. "Gak usah mikirin biaya, aku yang tanggung semuanya, Mas. Cepet tandatangan, biar Bian cepet ditangani jangan kelamaan mikir!" Sela Rangga greget dengan tingkah kakaknya yang lambat menurutnya. Setelah surat persetujuan sudah ditandatangani, dokter dan suster pun keluar. "Sabar ya, Mbak." Ucap Anna yang masih memeluk Aulia. "Tapi itu pasti sakit banget, Na. Kasian Bian." Isak Aulia dengan tubuh bergetar. Ibu mana yang tak hancur mendengar malaikat kecilnya hendak dioperasi? Itulah perasaan Aulia saat ini, hancur sehancur-hancurnya. Benar kata Rangga, ini pasti ulah ibu. Ibu pasti memberi Bian pisang rebus yang sedang ia makan. Karena sejak Bian baru beberapa hari lahir, ibu selalu memaksa Aulia dan Raka untuk menyuapinya pisang, namun Raka dengan tegas menolaknya. Tapi kali ini Aulia kecolongan, ia tak menyangka jika mertuanya akan sekurang ajar itu. Tubuh Aulia hendak merosot ke lantai jika tidak ditahan oleh Anna. Aulia merasa sangat bodoh karena membuat bayi kecilnya menderita. "Mas Raka!" Panggil Anna yang sudah tak kuat menahan Aulia. Raka yang sedang terlarut oleh pikirannya dengan sigap mengambil alih istrinya dari Anna. Rangga memperhatikan gerak-gerik mereka. Tak sengaja Raka memeluk lengan Anna yang masih memegangi Aulia. Hati Rangga terasa cemburu melihat adegan tersebut. 'Baru liat segitu aja aku gak kuat, apalagi..., akh! Aku harus pikirin cara lain' batin Rangga tanpa mengalihkan pandangannya dari mereka. Dua jam berlalu, akhirnya operasi Bian berjalan lancar. Bayi malang itu berhasil diselamatkan, namun ia belum siuman. Hati Aulia kembali berdenyut nyeri melihat banyaknya alat medis yang menempel ditubuh mungil putranya. Tiga hari kemudian, Rangga menghubungi kakaknya untuk melakukan ide gilanya. Awalnya Raka menolak karena Bian masih masa pemulihan di rumah sakit. Namun karena ancaman Rangga, Raka pun menuruti perintah adiknya. "Ayah pergi dulu ya, Bun. Kalo ada apa-apa langsung telpon aja." Pamit Raka pada istrinya. Ia beralasan hendak mengurus surat izin ke pabrik tempatnya bekerja. Tiga puluh menit berlalu, akhirnya Raka sampai di rumah mewah minimalis milik adiknya. Jantungnya berdegup tak karuan karena tak percaya dia akan menuruti ide gila adiknya. Anna membukakan pintu untuk Raka, tatapan keduanya bertemu, mereka merasa canggung karena membayangkan apa yang akan terjadi hari ini. "Udah dateng, Mas? Masuk." Ucap Rangga yang baru selesai mandi. Saat ini ketiganya sedang duduk di ruang tamu. Suasana terasa sangat canggung. "Jadi gini...," Rangga membuka obrolan dan menjelaskan apa yang harus mereka lakukan. Raka dan Anna mengerutkan kening karena rencana Rangga berubah lagi. Tapi Anna merasa sedikit lega karena ia lebih setuju dengan cara yang Rangga berikan kali ini, berbeda dengan Raka. Mereka bertiga masuk ke kamar tamu yang sudah Rangga siapkan. Rangga memutar sebuah film dewasa melalui infocus yang dipantulkan ke dinding. Mereka mulai menjalankan tugasnya masing-masing. Raka duduk di sofa ujung kasur sembari menghadap dinding menonton film tersebut. Sedangkan Rangga mulai melakukan pemanasan pada Anna diatas ranjang. "Udah siap sayang?" Bisik Rangga beberapa menit kemudian sembari mengusap lembut pipi istrinya. Eksekusi pun dimulai. . . . To be continue ~Eksekusi pun dimulai.Raka berjalan mendekati sepasang suami istri itu. Wajah Anna memerah menahan malu karena bagian tubuh yang sangat ia jaga dilihat lelaki lain selain suaminya.Anna duduk dibagian ujung ranjang sebelah kiri, sembari bersandar ditubuh suaminya. Ia merapatkan kakinya kala Raka berdiri dihadapannya, tanda sudah siap menjalankan tugasnya."Bentar, Mas." Tolak Anna saat Raka hendak mendekatkan miliknya pada milik Anna, membuat Raka menghentikan niatnya."Kenapa sayang? Sebentar doang kok." Desak Rangga memeluk tubuh Anna yang bersandar padanya.Dengan sedikit paksaan dibalut rayuan, Anna pun tak bisa menghindar lagi.Rangga menyuruh kakaknya meneruskan rencana mereka, lebih tepatnya rencana Rangga.Raka meneguk salivanya menahan gejolak aneh dalam dirinya. Sesegera mungkin ia menuntaskan tugasnya. Anna meringis karena menahan perih di area intimnya, disusul rasa hangat memenuhi bagian itu."Udah." Ucap Raka menarik miliknya kemudian bergegas keluar dari kamar.Anna aga
Rangga menjeda ucapannya, membuat hati Raka berdebar tak karuan. "Kalo nggak kenapa?" Tanya Raka tak sabar. "Kalo nggak, Mas akan tau akibatnya." Jawab Rangga dingin. Setelah selesai berbincang via telepon dengan adiknya, Raka kembali termenung memikirkan kerumitan dalam hidupnya. Semenjak ayah mereka meninggal, Raka yang saat itu masih duduk di bangku SMA terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, membiayai ibu dan adik satu-satunya. Ia bekerja menjadi kuli panggul di pasar setelah pulang sekolah. Ekonomi mereka mulai membaik saat Rangga sudah lulus SMA. Saat itu Raka pun sudah bekerja di sebuah delaer mobil. Melihat Rangga yang bingung tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Raka berinisiatif memasukan adiknya ke tempatnya bekerja. Rangga diterima sebagai staff karena kemampuannya dibidang komputer cukup mumpuni, sedangkan Raka sebagai mekanik. Saat Raka dan Aulia baru tiga bulan me
[Besok masuk siang. Kenapa, Ga?] -Raka- Jemari Rangga bergetar kala mengetik balasan pesan untuk kakaknya. Pesan yang sudah ia ketik cukup panjang, kembali ia hapus karena ragu. "Gimana cara ngomongnya ya?" Batin Rangga menggigit bibir bawahnya. Saat Rangga tengah berpikir, Raka kembali mengirimkan pesan. [Ada apa sih? Cepetan ngomong jangan bikin penasaran!] -Raka- Tanpa pikir panjang, akhirnya Rangga mengajak kakaknya untuk bertemu besok. . Keesokan harinya sikap Anna masih saja dingin pada Rangga. Rangga yang merasa bersalah pun memeluk istrinya yang sedang mencuci piring. "Maafin aku, sayang." Bisik Rangga menyembunyikan wajahnya di leher Anna, Anna pun menghentikan gerakannya. "Maaf karena udah bikin kamu ada disituasi kayak gini. Maaf karena aku gak bisa apa-apa lagi. Maaf karena aku udah ngorbanin kamu buat mengatasi masalah kita."
Sejak percakapan mereka malam itu, hubungan Anna dan Rangga menjadi renggang, lebih tepatnya Anna lah yang menghindar dari suaminya. Ia tak habis pikir dengan ide gila sang suami. Suami macam apa yang menyuruh istrinya dinikmati oleh laki-laki lain? Sekali pun itu kakak iparnya, tetap saja rasanya tak pantas jika suaminya menyuruhnya untuk melakukan hal itu. "Sayang? Kamu masih marah sama aku?" Tanya Rangga seraya duduk di samping istrinya yang sedang sarapan."Sarapan kamu udah aku siapin, aku berangkat duluan soalnya hari ini banyak pesanan yang harus dikirim." Jawab Anna tak menanggapi pertanyaan Rangga.Ya, selain menjadi ibu rumah tangga, Anna juga memiliki bisnis online shop yang lumayan menghasilkan. Hitung-hitung mengisi waktu luang, karena di rumah saja pun rasanya sangat membosankan.Anna meneguk segelas air lalu bangkit dari duduknya. Sebelum ia benar-benar melangkah, Rangga menahan pergelangan tangan Anna, membuat Anna mau tak mau berhenti."Udah tiga hari kamu diemin aku
"Hasilnya normal ya, Bunda. Sel telurnya masya Allah bagus-bagus, udah siap dibuahi. Jangan terlalu stress, jaga pola hidup sehat, makan makanan yang bergizi dan yang paling penting, doanya lebih dikencengin lagi." Terang Dokter Nadia menjelaskan dengan lembut dan tenang, senyum ramahnya tak pernah luntur dari bibirnya."Alhamdulillah. Terima kasih ya, Dok. Semoga saya bisa secepatnya punya momongan." Balas Anna sembari tersenyum, namun menahan getir dihatinya.Ini adalah ke sekian kalinya Anna mendatangi dokter obgyn. Tak terhitung berapa banyak dokter yang ia dan suaminya kunjungi, sejak tahun pertama pernikahannya. Tak jarang pula Anna pergi berkonsultasi seorang diri saat suaminya sedang bekerja, sepertti saat ini.Sepulang dari dokter, Anna terus melamun memikirkan nasibnya yang tak kunjung hamil. Selama melakukan pemeriksaan, dokter selalu mengatakan bahwa ia dan suaminya tidak bermasalah. Tapi mengapa rasanya sulit sekali untuk memiliki momongan? Begitulah yang selalu terbesit
"Gemes banget sih!" Ucap seorang wanita cantik yang sedang menciumi keponakannya."Makanya cepet punya anak, biar gak ngunyel-ngunyel anak orang terus! Nikah udah 5 tahun kok gak hamil-hamil, si Siti aja baru nikah 2 bulan langsung isi. Kaka Iparmu juga udah punya dua anak, masa kamu kalah sih, Na!" Celetuk wanita paruh baya yang menatap sinis pada menantunya.Sontak hati Anna berdenyut nyeri mendengar ucapan mertuanya. Setiap kali ia dan suaminya berkunjung ke rumah ini, selalu kata-kata pedas yang terjun bebas dari mulut ibu kandung suaminya."Kita kan lagi usaha, Bu. Ibu jangan ngomong gitu terus dong, yang ada Anna makin tertekan kalo terus-terusan ibu desak kayak gini. Anak itu kan anugerah dari Allah, bukan kita yang menentukan." Sela Rangga membela Anna, sembari duduk disamping istrinya."Usaha? Usaha apa? Mau sampe kapan kamu gak punya anak, Ga? Umur kamu itu udah 30 tahun, keburu mati gak punya anak! Siapa nanti yang doain kamu di alam kubur?" Bentak Bu Rahma dengan suara men